Minggu, 10 Januari 2021

BK PHA XI, POLITIK HUKUM AGRARIA

 


 

BK PHA XI, POLITIK HUKUM AGRARIA

KULIAH Ke-11 SENIN, 11 JANUARI 2021, JAM 08.30 – 10.30

JURUSAN ; PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH; REINHARD HUTAPEA

PROSPEK REFORMA AGRARIA;

MEMPERKUAT ORGANISASI RAKYAT

Pengantar

Intisari dari mata kuliah ini, sebagaimana disebut dalam kuliah minggu lalu (Kuliah ke-10) adalah “reforma agraria”. Kuliah yang diharapkan tidak lagi sekedar memahami apa itu “hukum agraria dengan segala permasalahannya, namun adalah untuk menimbulkan minat mencari “solusi, way out, atau metode”, yang dapat diterapkan.

Meski kelihatannya (terlalu) ideal, ikhtiar demikian harus diupayakan. Para mahasiswa harus dibangkitkan minatnya terhadap masalah-masalah yang dihadapi, masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Minimal, kalaupun belum ditemukan kreasi dan inovasinya, para mahasiswa harus menghayati masalah-masalah, khususnya masalah laten, yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Masalah agraria sebagaimana disebut Gunawan Wiradi adalah masalah laten, masalah mendasar, dan sentral dari seluruh permasalahan yang dihadapi bangsanya. Semua masalah, atau konflik sosial, yang berbungkus Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan, yang jumlahnya ribuan itu, pada dasarnya adalah masalah agraria. Lebih jelasnya Gunawan Wiradi mengatakan;

1.       Sudah sama-sama kita saksikan, selama lebih kurang 20 tahun terakhir ini, konflik sosial merebak dimana-mana meliputi semua sektor, dan hampir di semua wilayah.

2.      Jika ditelaah secara cermat, hampir semua konflik-konflik tersebut, yang ribuan jumlahnya, pada dasarnya adalah merupakan konflik agraria, yaitu konflik memperebutkan sumbar-sumber agrarian (tanah, air, tanaman, tambang, dan sebagainya)

3.      Sebagain dari kasus konflik-konflik tersebut memang terbungkus dengan nuansa konflik agama, etnik, kedaerahan, dan lain-lain SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan), namun pada hakekatnya, sumber utamanya adalah masalah agraria.

Akan tetapi meski masalahnya laten dan mendasar, upaya untuk meretasnya secara mendasar tidak pernah muncul. Kebijakan-kebijakan, khususnya kebijakan hukum pertanahan yang ditempuh, cenderung jauh dari rasa keadilan masyarakat. Tulisan Prof Maria Sumardjono di Kompas tanggal 6 Juni 2020, menunjukkan bagaimana keadilan itu semakin jauh…

Puncaknya melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Pertanahan yang tak dilanjutkan pembahasannya pada 23 September 2019 dan pengaturan pertanahan dalam RUU Cipta Kerja, karakter negative yang cenderung destruktif kian tampak. Tujuan keadilan social makin kabur, prinsip Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) ditinggalkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dilanggar, dan prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Tap MPR No IX Tahun 2001 tak diakomodasi (K, 6 Juni 2020)

·         Mengerikan

·         Sadis

·         Ahistoris

Lalu? Tinggallah Perpres No 86 Tahun 2018, sebatas Perpres, bukan sebagai Undang-Undang UU). Namanya Perpres, sebagaimana dalam tata perundangan kita…….yah sebatas Perpres.  Eksistensinya tidak sekuat UU.

Perpres No 86 Tahun 2018

Arti

Pasal 1 angka 1 Perpres No 86 Tahun 2018

Reforma agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Penataan asset (Pasal 1 angka 2)

Adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan tanah

Penataan akses (Pasal 1 angka 3)

Adalah pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada subjek reforma agraria dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut juga pemberdayaan masyarakat

Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)  Pasal 1 angka 4

Adalah tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi

Tujuan

Pasal 2 Perpres No 86 Tahun 2018.

1.      Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan

2.      Menangani sengketa dan konflik agraria.

3.      Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

4.      Menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan.

5.      Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi.

6.      Meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan.

7.      Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.

Ia hanya sebatas kata-kata atau kalimat yang enak dan indah dibaca, namun pahit bila dipraksiskan……lain hal jika ia sudah berbentuk UU, mungkin akan seperti yang ditulis Gunawan Wiradi di bawah ini, yakni

4. Reforma Agraria yang “genuine” (sejati) adalah
       a. Sifatnya “drastic” (tegas), “fixed in time” (waktunya pasti) (menurut
           Christodoulou, 1990),
       b. Status program itu “Ad Hock (khusus) menurut (Peter Dorner, 1972),
       c. Proses operasinya “rapid” (cepat) (menurut Ellias Tuma, 1965).
5. Pada tingkat nasional harus ada sebuah Badan Otorita Reforma Agraria (BORA),
yang hanya bertanggung jawab kepada Presiden. Kewenangan dan tugas BORA
adalah
       a. Mengkordinir semua sektor,
       b. Mempercepat proses
       c. Menangani konflik.
6. Prinsip-prinsip utama yang harus dipegang:
       a. Tanah untuk mereka yang benar-benar mengerjakannya (penggarap),
       b. Tanah tidak dijadikan komoditi komersial, yaitu tidak boleh dijadikan barang
           dagangan (jual-beli yang semata-mata untuk mencari keuntungan),
       c. Tanah mempunyai fungsi sosial.
7. Semuanya itu perlu dipayungi oleh payung hukum[1] yang mewadahi semua aturan-aturan sektoral. Artinya, semua Undang-undang sektoral (Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Pertambangan, Pengairan, dan lain-lainnya) seharusnya merujuk dan berada pada koridor Undang-Undang payung itu. Sebelum Orde Baru, UndangUndang payung ini adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, beserta berbagai undang-undang turunannya.
8. Landasan Filosofi UUPA 1960 adalah neo-populis (bukan kapitalis, bukan
komunis). Atas dasar landasan ini, maka luas pemilikan/penguasaan tanah dibatasi.
UU No. 56/1960 (yang secara popular dikenal sebagai UU Land Reform)
menetapkan batas-batas luas maksimum dan batas luas minimum.
9. Untuk uraian yang lebih lengkap, lihat buku Gunawan Wiradi, Reforma Agraria:
Perjalanan yang Belum Berakhir
, Yogyakarta: Insist press, Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA), dan Pustaka Pelajar, 2000.

Singkatnya tidak ada tindak lanjutnya yang konglrit,hanya sebatas normatf-normatif yang tak ada ukuran rillnya. Meminjam bahasa pasar….omong (tulis) doang

MEMPERKUAT ORGANISASI RAKYAT

MELALUI PENGUASAAN INFORMASI.

III. Bagaimana Prospeknya ke Masa Depan
1.
Di masa kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun, jangankan pelaksanaan land
reform, wacana (pemahaman) tentang land reform pun ditekan dan dimatikan
dengan menempelkan stigma-stigma (cap atau tuduhan) tertentu. Masalah
agraria ditata bukan untuk kepentingan rakyat banyak, tetapi untuk
memfasilitasi modal asing. Akibatnya, sekarang ini, masalah agraria sudah
terlanjur begitu ruwet sehingga sulit unti mengatasinya.
2. Dengan tuduhan Orde Baru –tetapi apa betul Orde Baru sudah tumbang? –
gagasan land reform muncul kembali dan bahkan di tahun 2001 lahir TAP MPR
No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ini
kemudian baru ditindaklanjuti dengan Keppres No. 34/2003, yang isinya
memberi mandat kepada BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk melakukan
“penyempurnaan” terhadap UUPA 1960.
3. Prospek atau masa depan pembaruan agraria yang merakyat masih suram.
Perjuangan masih panjang, karena berbagai hambatan kuat menghadang.
Hambatan-hambatan itu antara lain:
a. Para petinggi atau elit nasional generasi sekarang ini tidak atau belum
memahami benar masalah agraria. Ini merupakan produk pendidikan Orde
Baru.
b. Akibatnya, belum terasa ada kemauan (komitmen) politik yang nyata
untuk melaksanakan pembaruan agraria yang sejati. Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria sebagai pelaksanaan Keppres No. 34/2003 ternyata
bukan “menyempurnakan” tetapi malah “mengubah” UUPA 1960.
c. Sikap pemerintah, bagaimanapun juga sudah terlanjur terkait erat dengan
berbagai warisan Orde Baru, seperti beratnya hutang luar negeri,
keterikatan dengan kesepakatan-kesepakatan internasional dalam konteks
globalisasi neo-liberal, dan pikiran-pikiran neo-liberal yang mendominasi
cara berpikir para elite ekonomi.
d. Di lain pihak, organisasi rakyat masih sangat lemah. Mudah dibujuk,
mudah dibelokan, mudah di adu-domba. Kesadaran mengenai posisi
tawarnya masih sangat rendah. (Hal ini tercermin dari Pemilihan umum
yang lalu).
4. Mengingat hal-hal tersebut di atas, lantas apa yang harus dilakukan? Sudah jelas,
organisasi rakyat perlu diperkuat. Diperkuat dalam berbagai hal! Bukan hal yang
mudah, tetapi harus dilakukan.
5. Salah satu kekuatan organisasi adalah Penguasaan Informasi. Inilah yang secara
teoritis dapat meningkatkan posisi-tawar organisasi tersebut. Namun perlu
dicatat, penguasaan informasi tanpa kesadaran tentang posisi-tawar itu sendiri, ya
hampir tak ada artinya.
6. Salah satu cara penguasaan informasi adalah dengan aktif mengumpulkan
informasi, atau melakukan “pendataan”
(soal teknis mengenai hal ini, dapat
dipelajari bersama-sama).


PERTANYAAN

1.      BAGAIMANA TANGGAPAN SAUDARA DENGAN PEMIKIRAN GUNAWAN WIRADI YANG MENYATAKAN BAHWA SEMUA PERMASAAHN ATAU KONFLIK SOSIA BERAKAR DARI MASALAH AGRARIA.

2.     MENURUT IMU PEMERINTAHAN BAGAIMANA CARANYA MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT, SEHINGGA MEREKA DAPAT MENGUASAI INFORMASI. JEASKAN DENGAN SISTIMATIS.



[1] Ini yang ditengarai Prof Maria Sumardjono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar