BS P VI, PANCASILA
KULIAH VI, 16 NOVEMBER 2020, JAM 17.00 – 19.00
JURUSAN PEMERINTAHAN/KOMUNIKASI, FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Pengantar
Dalam kuliah ke lima yang lalu telah diuraikan.
1. Makna/pengertian, fungsi, tujuan, dan jenis Ideologi
2. Hubungan Pancasila dengan Liberalisme
3. Hubungan Pancasila dengan Komunisme
4. Hubungan Pancasila dengan Agama
Pada kuliah ke enam ini, yang bertema “Pancasila Sebagai Sistim Filsafat” akan diuraikan…
1. Arti/makna filsafat.
2. Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pancasila
3. Hakikat sila-sila Pancasila
Materi di ambil dari “Materi Ajar Pendidikan Pancasila, 2013, Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud”
Baca dengan seksama, setelah itu jawablah pertanyaan-pertanyaan ini;
1. Jelaskan pengertian filsafat secara umum.
2. Jelaskan filsafat Pancasila secara umum
3. Jelaskan arti, a) metafisika, b)ontologi, c) epistemologi, d) aksiologi, dan e) logika
4. Bagaimana pendapat Darmodihardjo tentang kekhasan Ideologi Pancasila. uraikan secara sistematis.
5. Mengapa filsafat Pancasila berbeda dengan filsafat “materialism, idealism, rsionalisme, liberalism, komunisme”. Deskripsikan secara sistematis.
∏
PANCASILA
SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Pancasila merupakan filsafat
bangsa Indonesia
mengandung pengertian sebagai hasil perenungan
mendalam
dari para tokoh pendiri negara (the founding
fathers) ketika
berusaha menggali nilai-nilai dasar dan merumuskan
dasar
negara untuk di atasnya didirikan negara Republik
Indonesia.
Hasil perenungan itu secara resmi disahkan bersamaan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD
NRI)
tahun 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia
(PPKI) pada 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Filsafat
Negara
Republik Indonesia.
Kelima
dasar atau prinsip yang terdapat dalam sila-sila
Pancasila tersebut merupakan satu kesatuan
bagian-bagian
sehingga saling berhubungan dan saling bekerjasama
untuk satu
tujuan tertentu sehingga dapat disebut sebagai sistem.
Pengertian suatu sistem, sebagaimana dikutip oleh
Kaelan
(2000: 66) dari Shrode dan Don Voich memiliki
ciri-ciri sebagai
berikut: 1) suatu kesatuan bagian-bagian; 2)
bagian-bagian
tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri; 3) saling
berhubungan, saling ketergantungan; 4) kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan
sistem); dan 5) terjadi dalam suatu lingkungan yang
kompleks.
Berdasarkan
pengertian tersebut, Pancasila yang berisi
lima sila, yaitu Sila Ketuhanan yang Maha Esa, Sila
Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, Sila Persatuan Indonesia, Sila
Kerakyatan
yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan dan Sila Keadilan Sosial
bagi
Seluruh Rakyat Indonesia, saling berhubungan membentuk
satu
kesatuan sistem yang dalam proses bekerjanya saling
melengkapi dalam mencapai tujuan. Meskipun setiap sila
pada
hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, memiliki
fungsi
sendiri-sendiri,
namun memiliki tujuan tertentu yang sama, yaitu
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
Pancasila
sebagai sistem filsafat mengandung pemikiran
tentang manusia yang berhubungan denganTuhan, dengan
diri
sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang
semua
itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu,
sebagai sistem
filsafat, Pancasila memiliki ciri khas yang berbeda
dengan
sistem-sistem filsafat lain yang ada di dunia, seperti
materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme,
komunisme
dan lain sebagainya.
Kekhasan
nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila
berkembang dalam budaya dan peradaban Indonesia,
terutama
sebagai jiwa dan asas kerohanian bangsa dalam
perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Selanjutnya nilai
filsafat
Pancasila, baik sebagai pandangan hidup atau filsafat
hidup
(Weltanschauung) bangsa
maupun sebagai jiwa bangsa atau jati
diri (Volksgeist) nasional,
memberikan identitas dan integritas
serta martabat bangsa dalam menghadapi budaya dan
peradaban dunia.
Menurut
Darmodihardjo (1979: 86), Pancasila adalah
ideologi yang memiliki kekhasan, yaitu:
1) Kekhasan pertama, Tuhan Yang Maha Esa sebab
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa
manusia Indonesia percaya adanya Tuhan;
2) Kekhasan kedua, penghargaan kepada sesama umat
manusia apapun suku bangsa dan bahasanya;
3) Kekhasan ketiga, bangsa Indonesia menjunjung tinggi
persatuan bangsa;
4)
Kekhasan keempat, kehidupan manusia Indonesia
bermasyarakat dan bernegara berdasarkan atas sistem
demokrasi; dan
5) Kekhasan kelima, keadilan sosial bagi hidup
bersama.
Kelahiran
ideologi bersumber dari pandangan hidup yang
dianut oleh suatu masyarakat. Pandangan hidup kemudian
berbentuk sebagai keyakinan terhadap nilai tertentu
yang
diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat. Selain
itu,
ideologi berfungsi sebagai alat membangun solidaritas
masyarakat dengan mengangkat berbagai perbedaan ke
dalam
tata nilai baru.
Sebagai
ideologi, Pancasila berfungsi membentuk identitas
bangsa dan negara Indonesia sehingga bangsa dan negara
Indonesia memiliki ciri khas berbeda dari bangsa dan
negara
lain. Pembedaan ini dimungkinkan karena ideologi
memiliki ciri
selain sebagai pembeda juga sebagai pembatas dan
pemisah dari
ideologi lain.
A.
Pengertian Filsafat
Istilah ‘filsafat’ berasal
dari bahasa Yunani,
(philosophia), tersusun
dari kata philos yang berarti cinta
atau philia yang berarti
persahabatan, tertarik kepada dan
kata sophos yang berarti
kebijaksanaan, pengetahuan,
ketrampilan, pengalaman praktis, inteligensi (Bagus,
1996:
242). Dengan demikian philosophia secara
harfiah berarti
mencintai kebijaksanaan. Kata kebijaksanaan juga
dikenal
dalam bahasa Inggris, wisdom. Berdasarkan
makna kata
tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan
upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang
nantinya bisa menjadi konsep yang bermanfaat bagi
peradaban manusia.
Suatu
pengetahuan bijaksana akan mengantarkan
seseorang mencapai kebenaran. Orang yang mencintai
pengetahuan
bijaksana adalah orang yang mencintai
kebenaran. Cinta kebenaran adalah karakteristik dari
setiap filsuf dari dahulu sampai sekarang. Filsuf
dalam
mencari kebijaksanaan, mempergunakan cara dengan
berpikir sedalam-dalamnya. Filsafat sebagai hasil
berpikir
sedalam-dalamnya diharapkan merupakan pengetahuan
yang paling bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati
kesempurnaan.
Adapun
istilah ‘philosophos’ pertama kali digunakan
oleh Pythagoras (572 -497 SM) untuk menunjukkan
dirinya
sebagai pecinta kebijaksanaan (lover of
wisdom), bukan
kebijaksanaan itu sendiri. Selain Phytagoras,
filsuf-filsuf
lain juga memberikan pengertian filsafat yang
berbedabeda. Oleh karena itu, filsafat mempunyai banyak arti,
tergantung pada bagaimana filsuf-filsuf
menggunakannya.
Berikut
disampaikan beberapa pengertian filsafat menurut
beberapa filsuf, yaitu antara lain:
1) Plato (427-347 SM); filsafat adalah pengetahuan
tentang
segala yang ada atau ilmu pengetahuan yang berminat
mencapai kebenaran yang asli;
2) Aristoteles (384-322 SM); filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di
dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika atau
filsafat
menyelidiki sebab dan asas segala benda;
3) Marcus Tullius Cicero (106-43 SM); filsafat adalah
pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan
usaha-usaha untuk mencapainya;
4) Immanuel Kant (1724-1804); filsafat itu ilmu pokok
dan
pangkal segala pengetahuan yang mencakup di
dalamnya empat persoalan, yaitu: “apakah yang dapat
kita ketahui? (dijawab oleh metafisika), apakah yang
dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika), sampai di
manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)”.
Secara umum, filsafat merupakan ilmu
yang berusaha
menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh
kebenaran. Berdasarkan pengertian umum ini, ciri-ciri
filsafat dapat disebut sebagai usaha berpikir radikal,
menyeluruh, dan integral, atau dapat dikatakan sebagai
suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu
sedalamdalamnya.
Sejak
kemunculannya di Yunani, dan menyusul
perkembangan pesat ilmu pengetahuan, kedudukan
filsafat
kemudian dikenal sebagai The Mother of
Science (induk
ilmu pengetahuan). Sebagai induk ilmu pengetahuan,
filsafat merupakan muara bagi ilmu pengetahuan,
termasuk
ilmu pengetahuan yang bersifat positivistik, seperti
ilmu
komunikasi dan teknologi informasi yang baru saja
muncul
dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) saat ini. Demikian pula, dibandingkan dengan
ilmu
pengetahuan lain, filsafat merupakan kegiatan
intelektual
yang metodis dan sistematis, namun lebih menekankan
aspek reflektif dalam menangkap makna yang hakiki dari
segala sesuatu.
Dalam
Kamus Filsafat, Bagus (1996: 242)
mengartikan filsafat sebagai sebuah pencarian.
Beranjak
dari arti harfiah filsafat sebagai cinta akan
kebijaksanaan,
menurut Bagus (1996: 242-243), arti itu menunjukkan
bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki
pengertian menyeluruh tentang segala sesuatu yang
dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus-menerus harus
mengejarnya. Berkaitan dengan apa yang dilakukannya,
filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio
manusia
yang menembus dasar-dasar terakhir dari segala
sesuatu.
Filsafat menggumuli seluruh realitas, tetapi
teristimewa
eksistensi dan tujuan manusia.
Dalam pengertiannya sebagai pengetahuan
yang
menembus dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu,
filsafat
memiliki empat cabang keilmuan yang utama, yaitu:
1) Metafisika; cabang filsafat yang mempelajari asal
mula
segala sesuatu yang-ada dan yang mungkin-ada.
Metafisika terdiri atas metafisika umum yang
selanjutnya disebut sebagai ontologi, yaitu ilmu yang
membahas segala sesuatu yang-ada, dan metafisika
khusus yang terbagi dalam teodesi yang membahas
adanya Tuhan, kosmologi yang membahas adanya alam
semesta, dan antropologi metafisik yang membahas
adanya manusia.
2) Epistemologi; cabang filsafat mempelajari seluk beluk
pengetahuan. Dalam epistemologi, terkandung
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pengetahuan,
seperti kriteria apa yang dapat memuaskan kita untuk
mengungkapkan kebenaran, apakah sesuatu yang kita
percaya dapat diketahui, dan apa yang dimaksudkan
oleh suatu pernyataan yang dianggap benar.
3) Aksiologi; cabang filsafat yang menelusuri hakikat
nilai.
Dalam aksiologi terdapat etika yang membahas hakikat
nilai baik-buruk, dan estetika yang membahas
nilai-nilai
keindahan. Dalam etika, dipelajari dasar-dasar
benarsalah dan baik-buruk dengan pertimbanganpertimbangan moral secara
fundamental dan praktis.
Sedangkan dalam estetika, dipelajari kriteria-kriteria
yang mengantarkan sesuatu dapat disebut indah.
4) Logika; cabang filsafat yang memuat aturan-aturan
berpikir rasional. Logika mengajarkan manusia untuk
menelusuri struktur-struktur argumen yang
mengandung kebenaran atau menggali secara optimal
pengetahuan manusia berdasarkan bukti-buktinya. Bagi
para filsuf, logika merupakan alat utama yang
digunakan
dalam meluruskan pertimbangan-pertimbangan rasional
mereka
untuk menemukan kebenaran dari problemproblem kefilsafatan.
B.
Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila dapat
didefinisikan sebagai refleksi
kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar
negara
dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk
mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar
dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat,
karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang
mendalam yang dilakukan oleh the founding
fathers
Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem (Abdul
Gani, 1998).
Pengertian
filsafat Pancasila secara umum adalah
hasil berpikir atau pemikiran yang
sedalam-dalamnya dari
bangsa Indonesia yang dianggap,
dipercaya dan diyakini
sebagai kenyataan, norma-norma dan
nilai-nilai yang
benar, adil, bijaksana, dan paling
sesuai dengan kehidupan
dan kepribadian bangsa Indonesia.
Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh
Soekarno sejak 1955 sampai kekuasaannya
berakhir pada
1965. Pada saat itu Soekarno selalu
menyatakan bahwa
Pancasila merupakan filsafat asli
Indonesia yang diambil
dari budaya dan tradisi Indonesia, serta
merupakan
akulturasi budaya India (Hindu-Buddha),
Barat (Kristen),
dan Arab (Islam). Filsafat Pancasila
menurut Soeharto telah
mengalami Indonesianisasi. Semua sila
dalam Pancasila
adalah asli diangkat dari budaya
Indonesia dan selanjutnya
dijabarkan menjadi lebih rinci ke dalam
butir-butir
Pancasila.
Filsafat Pancasila dapat digolongkan
sebagai filsafat
praktis sehingga filsafat Pancasila tidak hanya
mengandung
pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak hanya
bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang
berwujud
filsafat
Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman
hidup sehari-hari (way of life atau weltanschauung) agar
hidup bangsa Indonesia dapat mencapai kebahagiaan
lahir
dan batin, baik di dunia maupun di akhirat (Salam,
1988:
23-24).
Sebagai
filsafat, Pancasila memiliki dasar ontologis,
epistemologis, dan aksiologis, seperti diuraikan di
bawah
ini.
1.
Dasar Ontologis Pancasila
Dasar-dasar ontologis
Pancasila menunjukkan secara jelas
bahwa Pancasila itu benar-benar ada dalam realitas
dengan
identitas dan entitas yang jelas. Melalui tinjauan
filsafat, dasar
ontologis Pancasila mengungkap status istilah yang
digunakan,
isi dan susunan sila-sila, tata hubungan, serta
kedudukannya.
Dengan
kata lain, pengungkapan secara ontologis itu dapat
memperjelas identitas dan entitas Pancasila secara
filosofis.
Kaelan (2002: 69) menjelaskan dasar ontologis
Pancasila
pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat
mutlak
mono-pluralis. Manusia
Indonesia menjadi dasar adanya
Pancasila. Manusia Indonesia sebagai pendukung pokok
sila-sila
Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang
mutlak, yaitu
terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa, jasmani dan
rohani,
sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan
sosial, serta
kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi
berdiri
sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
(Kaelan,
2002:72).
Ciri-ciri
dasar dalam setiap sila Pancasila mencerminkan
sifat-sifat dasar manusia yang bersifat dwi-tunggal. Ada
hubungan yang bersifat dependen antara Pancasila
dengan
manusia Indonesia. Artinya, eksistensi, sifat dan
kualitas
Pancasila
amat bergantung pada manusia Indonesia. Selain
ditemukan adanya manusia Indonesia sebagai pendukung
pokok
Pancasila, secara ontologis, realitas yang menjadikan
sifat-sifat
melekat dan dimiliki Pancasila dapat diungkap sehingga
identitas dan entitas Pancasila itu menjadi sangat
jelas.
Soekarno
menggunakan istilah Pancasila untuk memberi
lima dasar negara yang diajukan. Dua orang sebelumnya
Soepomo dan Muhammad Yamin meskipun menyampaikan
konsep dasar negara masing-masing tetapi tidak sampai
memberikan nama. Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia
(PPKI) atau Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
yang
didalamnya duduk Soekarno sebagai anggota, menggunakan
istilah Pancasila yang diperkenankan Soekarno menjadi
nama
resmi Dasar Negara Indonesia yang isinya terdiri dari
lima sila,
tidak seperti yang diusulkan Soekarno melainkan
seperti
rumusan PPKI yang tercermin dalam Pembukaan UUD 1945
alinea keempat.
Berhubung
pengertian Pancasila merupakan kesatuan,
menurut Notonagoro (1983: 32), maka lebih seyogyanya
dan
tepat untuk menulis istilah Pancasila tidak sebagai
dua kata
“Panca Sila”, akan tetapi sebagai satu kata
“Pancasila”. Penulisan
Pancasila bukan dua kata melainkan satu kata juga
mencerminkan bahwa Pancasila adalah sebuah sistem
bukan dua
buah sistem.
Nama
Pancasila yang menjadi identitas lima dasar negara
Indonesia adalah bukan istilah yang diperkenalkan
Soekarno
tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, bukan
Pancasila
yang ada dalam kitab Sutasoma, bukan yang ada dalam
Piagam
Jakarta, melainkan yang ada dalam alinea keempat
Pembukaan
UUD 1945.
Jika ditinjau menurut sejarah asal-usul
pembentukannya,
Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar filsafat
negara. Ada
empat macam sebab (causa) yang menurut
Notonagoro dapat
digunakan untuk menetapkan Pancasila sebagai Dasar
Filsafat
Negara, yaitu sebab berupa materi (causa
material), sebab
berupa bentuk (causa
formalis), sebab berupa tujuan (causa
finalis), dan sebab
berupa asal mula karya (causa eficient)
(Notonagoro,1983: 25). Lebih jauh Notonagoro menjelaskan
keempat causa itu seperti
berikut. Pertama, bangsa Indonesia
sebagai asal mula bahan (causa
materialis) terdapat dalam adat
kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya; kedua,
seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Bung Karno yang
kemudian bersama-sama Bung Hatta menjadi Pembentuk
Negara, sebagai asal mula bentuk atau bangun (causa
formalis)
dan asal mula tujuan (causa finalis) dari Pancasila
sebagai calon
dasar filsafat Negara; ketiga, sejumlah
sembilan orang, di
antaranya kedua beliau tersebut ditambah dengan semua
anggota BPUPKI yang terdiri atas golongan-golongan
kebangsaan dan agama, dengan menyusun rencana
Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tempat terdapatnya Pancasila,
dan
juga Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan
Indonesia yang menerima rencana tersebut dengan
perubahan
sebagai asal mula sambungan, baik dalam arti asal mula
bentuk
maupun dalam arti asal mula tujuan dari Pancasila
sebagai Calon
Dasar Filsafat Negara; keempat, Panitia
Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) sebagai asal mula karya (causa
eficient), yaitu
yang menjadikan Pancasila sebagai Dasar Filsafat
Negara yang
sebelumnya ditetapkan sebagai calon Dasar Filsafat
Negara
(Notonagoro, 1983: 25-26).
2.
Dasar Epistemologis Pancasila
Epistemologi Pancasila
terkait dengan sumber dasar
pengetahuan Pancasila. Eksistensi Pancasila dibangun
sebagai
abstraksi dan penyederhanaan terhadap realitas yang
ada dalam
masyarakat bangsa Indonesia dengan lingkungan yang
heterogen, multikultur, dan multietnik dengan cara
menggali
nilai-nilai yang memiliki kemiripan dan kesamaan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat bangsa
Indonesia (Salam, 1998: 29).
Masalah-masalah
yang dihadapi menyangkut keinginan
untuk mendapatkan pendidikan, kesejahteraan,
perdamaian, dan
ketentraman. Pancasila itu lahir sebagai respon atau
jawaban
atas keadaan yang terjadi dan dialami masyarakat
bangsa
Indonesia dan sekaligus merupakan harapan. Diharapkan
Pancasila menjadi cara yang efektif dalam memecahkan
kesulitan hidup yang dihadapi oleh masyarakat bangsa
Indonesia.
Pancasila
memiliki kebenaran korespondensi dari aspek
epistemologis sejauh sila-sila itu secara praktis
didukung oleh
realita yang dialami dan dipraktekkan oleh manusia
Indonesia.
Pengetahuan Pancasila bersumber pada manusia Indonesia
dan
lingkungannya. Pancasila dibangun dan berakar pada
manusia
Indonesia beserta seluruh suasana kebatinan yang dimiliki.
Kaelan (2002: 96) mengemukakan bahwa Pancasila
merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia
dalam
memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat,
bangsa
dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar
bagi
manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi
dalam
hidup dan kehidupan.
Dasar epistemologis Pancasila juga
berkait erat dengan
dasar ontologis Pancasila karena pengetahuan Pancasila
berpijak
pada hakikat manusia yang menjadi pendukung pokok
Pancasila
(Kaelan, 2002: 97). Secara lebih khusus, pengetahuan
tentang
Pancasila yang sila-sila di dalamnya merupakan
abstraksi atas
kesamaan nilai-nilai yang ada dan dimiliki oleh
masyarakat yang
pluralistik dan heterogen adalah epistemologi sosial.
Epistemologi
sosial Pancasila juga dicirikan dengan adanya
upaya masyarakat bangsa Indonesia yang berkeinginan
untuk
membebaskan diri menjadi bangsa merdeka, bersatu,
berdaulat
dan berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang
adil
dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan
yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta ingin mewujudkan
keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber
pengetahuan Pancasila dapat ditelusuri melalui
sejarah terbentuknya Pancasila. Dalam penelusuran
sejarah
mengenai kebudayaan yang berkait dengan lahirnya
Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia telah
diuraikan di
depan yang secara garis besar dapat dikemukakan
sebagai
berikut. Akar sila-sila Pancasila ada dan berpijak pada
nilai serta
budaya masyarakat bangsa Indonesia.
Nilai
serta budaya masyarakat bangsa Indonesia yang
dapat diungkap mulai awal sejarah pada abad IV Masehi
di
samping diambil dari nilai asli Indonesia juga
diperkaya dengan
dimasukkannya nilai dan budaya dari luar Indonesia.
Nilai-nilai
dimaksud berasal dari agama Hindu, Budha, Islam, serta
nilai-nilai demokrasi yang dibawa dari Barat. Berdasarkan realitas
yang demikian maka dapat dikatakan bahwa secara
epistemologis pengetahuan Pancasila bersumber pada
nilai dan
budaya tradisional dan modern, budaya asli dan
campuran.
Selain itu, sumber historis itu,
menurut tinjauan
epistemologis, Pancasila mengakui kebenaran
pengetahuan yang
bersumber dari wahyu atau agama serta kebenaran yang
bersumber pada akal pikiran manusia serta kebenaran
yang
bersifat empiris berdasarkan pada pengalaman. Dengan
sifatnya
yang demikian maka pengetahuan Pancasila mencerminkan
adanya pemikiran masyarakat tradisional dan modern.
3.
Dasar Aksiologis Pancasila
Aksiologi terkait erat
dengan penelaahan atas nilai. Dari
aspek aksiologi, Pancasila tidak bisa dilepaskan dari
manusia
Indonesia sebagai latar belakang, karena Pancasila
bukan nilai
yang ada dengan sendirinya (given value)
melainkan nilai yang
diciptakan (created value) oleh
manusia Indonesia. Nilai-nilai
dalam Pancasila hanya bisa dimengerti dengan mengenal
manusia Indonesia dan latar belakangnya.
Nilai
berhubungan dengan kajian mengenai apa yang
secara intrinsik, yaitu bernilai dalam dirinya sendiri
dan
ekstrinsik atau disebut instrumental, yaitu bernilai
sejauh
dikaitkan dengan cara mencapai tujuan. Pada aliran
hedonisme
yang menjadi nilai intrinsik adalah kesenangan, pada
utilitarianisme adalah nilai manfaat bagi kebanyakan
orang
(Smart, J.J.C., and Bernard Williams, 1973: 71).
Pancasila
mengandung nilai, baik intrinsik maupun
ekstrinsik atau instrumental. Nilai intrinsik
Pancasila adalah
hasil perpaduan antara nilai asli milik bangsa
Indonesia dan nilai
yang diambil dari budaya luar Indonesia, baik yang
diserap pada
saat Indonesia memasuki masa sejarah abad IV Masehi,
masa
imperialis, maupun yang diambil oleh para kaum
cendekiawan
Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan para
pejuang kemerdekaan lainnya yang mengambil nilai-nilai
modern saat belajar ke negara Belanda.
Kekhasan nilai yang melekat dalam
Pancasila sebagai nilai
intrinsik terletak pada diakuinya nilai-nilai
ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan
sosial sebagai
satu kesatuan. Kekhasan ini yang membedakan Indonesia
dari
negara lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan,
kerakyatan, dan keadilan memiliki sifat umum
universal. Karena
sifatnya yang universal, maka nilai-nilai itu tidak
hanya milik
manusia Indonesia, melainkan manusia seluruh dunia.
Pancasila sebagai nilai instrumental mengandung
imperatif dan menjadi arah bahwa dalam proses
mewujudkan
cita-cita negara bangsa, seharusnya menyesuaikan
dengan sifatsifat yang ada dalam nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebagai nilai
instrumental,
Pancasila tidak hanya mencerminkan identitas manusia
Indonesia, melainkan juga berfungsi sebagai cara (mean) dalam
mencapai tujuan, bahwa dalam mewujudkan cita-cita
negara
bangsa, Indonesia menggunakan cara-cara yang
berketuhanan,
berketuhanan yang adil dan beradab, berpersatuan,
berkerakyatan yang menghargai musyawarah dalam
mencapai
mufakat, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pancasila
juga mencerminkan nilai realitas dan idealitas.
Pancasila mencerminkan nilai realitas, karena di dalam
sila-sila
Pancasila berisi nilai yang sudah dipraktekkan dalam
hidup
sehari-hari oleh bangsa Indonesia. Di samping
mengandung nilai
realitas, sila-sila Pancasila berisi nilai-nilai
idealitas, yaitu nilai
yang diinginkan untuk dicapai.
Menurut
Kaelan (2002: 128), nilai-nilai yang terkandung
dalam sila I sampai dengan sila V Pancasila merupakan
cita-cita,
harapan, dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan
dalam kehidupannya. Namun, Pancasila yang pada tahun
1945
secara formal menjadi das Sollen bangsa
Indonesia, sebenarnya
diangkat
dari kenyataan riil yang berupa prinsip-prinsip dasar
yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan dan
kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia.
Oleh
karena itu, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2002:
129),
Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia,
Pancasila
merupakan Sein im
Sollen. Pancasila merupakan harapan, citacita, tapi sekaligus
adalah kenyataan bagi bangsa Indonesia.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila mempunyai
tingkatan dan bobot yang berbeda. Meskipun demikian,
nilai-nilai itu tidak saling bertentangan, bahkan saling melengkapi. Hal
ini disebabkan sebagai suatu substansi, Pancasila
merupakan
satu kesatuan yang bulat dan utuh, atau kesatuan
organik
(organic whole). Dengan
demikian berarti nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan
yang
bulat dan utuh pula. Nilai-nilai itu saling
berhubungan secara
erat dan nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan
dari nilai
yang lain. Atau nilai-nilai yang dimiliki bangsa
Indonesia itu akan
memberikan pola (patroon) bagi sikap,
tingkah laku dan
perbuatan bangsa Indonesia (Kaelan, 2002: 129).
Notonagoro
(1983: 39) menyatakan bahwa isi arti dari
Pancasila yang abstrak itu hanya terdapat atau lebih
tepat
dimaksudkan hanya terdapat dalam pikiran atau
angan-angan,
justru karena Pancasila itu merupakan cita-cita
bangsa, yang
menjadi dasar falsafah atau dasar kerohanian negara.
Tidak
berarti hanya tinggal di dalam pikiran atau
angan-angan saja,
tetapi ada hubungannya dengan hal-hal yang
sungguh-sungguh
ada. Adanya Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil
adalah tidak
bisa dibantah.
C.
Hakikat Sila-Sila Pancasila
Kata ‘hakikat’ dapat
diartikan sebagai suatu inti yang
terdalam dari segala sesuatu yang terdiri dari
sejumlah unsur
tertentu dan yang mewujudkan sesuatu itu, sehingga
terpisah
dengan sesuatu lain dan bersifat mutlak. Ditunjukkan
oleh
Notonagoro (1975: 58), hakikat segala sesuatu
mengandung
kesatuan mutlak dari unsur-unsur yang menyusun atau
membentuknya. Misalnya, hakikat air terdiri atas dua
unsur
mutlak, yaitu hidrogen dan oksigen. Kebersatuan kedua
unsur
tersebut bersifat mutlak untuk mewujudkan air. Dengan
kata
lain, kedua unsur tersebut secara bersama-sama
menyusun air
sehingga terpisah dari benda yang lainnya, misalnya
dengan
batu, kayu, air raksa dan lain sebagainya.
Terkait
dengan hakikat sila-sila Pancasila, pengertian kata
‘hakikat’ dapat dipahami dalam tiga kategori, yaitu:
1) Hakikat abstrak yang disebut juga sebagai hakikat
jenis atau
hakikat umum yang mengandung unsur-unsur yang sama,
tetap dan tidak berubah. Hakikat abstrak sila-sila
Pancasila
menunjuk pada kata: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Menurut bentuknya, Pancasila
terdiri atas kata-kata dasar Tuhan, manusia, satu,
rakyat, dan
adil yang dibubuhi awalan dan akhiran, berupa ke dan
an (sila
I, II, IV, dan V), sedangkan yang satu berupa per dan
an (sila
III). Kedua macam awalan dan akhiran itu mempunyai
kesamaan dalam maksudnya yang pokok, ialah membuat
abstrak atau mujarad, tidak maujud atau lebih
tidak maujud
arti daripada kata dasarnya (Notonagoro, 1967: 39).
2) Hakikat pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat
khusus,
artinya terikat kepada barang sesuatu. Hakikat pribadi
Pancasila menunjuk pada ciri-ciri khusus sila-sila
Pancasila
yang
ada pada bangsa Indonesia, yaitu adat istiadat, nilai-nilai
agama, nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter yang
melekat pada bangsa Indonesia sehingga membedakan
bangsa Indonesia dengan bangsa yang lain di dunia.
Sifat-sifat
dan ciri-ciri ini tetap melekat dan ada pada bangsa
Indonesia.
Hakikat pribadi inilah yang realisasinya sering
disebut
sebagai kepribadian, dan totalitas kongkritnya disebut
kepribadian Pancasila.
3) Hakikat kongkrit yang bersifat nyata sebagaimana
dalam
kenyataannya. Hakikat kongkrit Pancasila terletak pada
fungsi Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dalam
realisasinya, Pancasila adalah pedoman praktis, yaitu
dalam
wujud pelaksanaan praktis dalam kehidupan negara,
bangsa
dan negara Indonesia yang sesuai dengan kenyataan
seharihari, tempat, keadaan dan waktu. Dengan realisasi hakikat
kongkrit itu, pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan
negara
setiap hari bersifat dinamis, antisipatif, dan sesuai
dengan
perkembangan waktu, keadaan, serta perubahan zaman
(Notonagoro, 1975: 58-61).
Pancasila
yang berisi lima sila, menurut Notonagoro
(1967: 32) merupakan satu kesatuan utuh. Kesatuan
sila-sila
Pancasila tersebut, diuraikan sebagai berikut:
1.
Kesatuan sila-sila Pancasila dalam struktur yang bersifat
hirarkis dan berbentuk piramidal
Susunan secara hirarkis mengandung pengertian bahwa
sila-sila Pancasila memiliki tingkatan berjenjang,
yaitu sila yang
ada di atas menjadi landasan sila yang ada di
bawahnya. Sila
pertama melandasi sila kedua, sila kedua melandasi
sila ketiga,
sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila keempat
melandasi
sila kelima. Pengertian matematika piramidal digunakan
untuk
menggambarkan hubungan hirarkis sila-sila Pancasila
menurut
urut-urutan
luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya
(kwalitas). Dengan demikian, diperoleh pengertian
bahwa
menurut urut-urutannya, setiap sila merupakan
pengkhususan
dari sila-sila yang ada dimukanya.
Dalam
susunan hirarkis dan piramidal, sila Ketuhanan
yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan
Indonesia,
kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan
Yang
Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang
membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan
Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
Demikian
selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya
mengandung
sila-sila lainnya.
Secara
ontologis, kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu
sistem yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal
tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut, sebagaimana
diungkapkan oleh
Notonagoro (1984: 61 dan 1975: 52, 57), bahwa hakikat
adanya
Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai
causa
prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang
ada termasuk
manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada
sebagai
akibat adanya Tuhan (sila pertama). Adapun manusia
adalah
sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara
adalah
lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan
hidup
bersama yang anggotanya adalah manusia (sila kedua).
Dengan
demikian, negara adalah sebagai akibat adanya manusia
yang
bersatu (sila ketiga). Selanjutnya terbentuklah
persekutuan
hidup bersama yang disebut rakyat. Rakyat pada
hakikatnya
merupakan unsur negara di samping wilayah dan
pemerintah.
Rakyat
adalah totalitas individu-individu dalam negara yang
bersatu (sila keempat). Adapun keadilan yang pada
hakikatnya
merupakan tujuan bersama atau keadilan sosial (sila kelima)
pada
hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama
yang disebut negara.
2. Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling
mengisi dan saling mengkualifikasi
Sila-sila
Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula
dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi
dalam
kerangka hubungan hirarkis piramidal seperti di atas.
Dalam
rumusan ini, tiap-tiap sila mengandung empat sila
lainnya atau
dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk
kelengkapan
hubungan kesatuan keseluruhan sila-sila Pancasila yang
dipersatukan dengan rumusan hirarkis piramidal
tersebut,
berikut disampaikan kesatuan sila-sila Pancasila yang
saling
mengisi dan saling mengkualifikasi.
a) Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia;
b) Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab
adalah
kemanusiaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia;
c) Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan
yang
ber-Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
d) Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
adalah
kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia;
e) Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia
adalah keadilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro,
1975: 43-44).[ ]
Daftar
Pustaka
Abdul Gani, Ruslan, 1998, “Pancasila dan Reformasi”, Makalah
Seminar Nasional KAGAMA, 8 Juli 1998, Yogyakarta.
Bagus, Lorens, 1996, Kamus
Filsafat, PT. Gramedia, Jakarta.
Kaelan, 2000, Pendidikan
Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
_____, 2002, Filsafat
Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia, Paradigma,
Yogyakarta.
Notonagoro, 1967, Beberapa Hal
Mengenai Falsafah
Pancasila; Pengertian Inti-Isi Mutlak Daripada
Pancasila Dasar Falsafah Negara, Pokok Pangkal
Pelaksanaan Secara Murni Dan Konsekuen,
Cetakan Kedua, Pancuran Tudjuh, Jakarta.
_________, 1983, Pancasila
Secara Ilmiah Populer, Cetakan
Kelima, Bina Aksara, Jakarta.
Salam, H. Burhanuddin, 1998, Filsafat
Pancasilaisme,Rineka
Cipta, Jakarta.
Smart, J.J.C., and Bernard Williams, 1973, Utilitarianism;
For
and Against, Cambridge
University Press, United
Kingdom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar