MK HMM VI, HUKUM MEDIA MASSA
KULIAH VI, 19 November 2020, JAM 08.30 – 10.30
dan jam 17.00 sd 19.00
JURUSAN KOMUNIKASI FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Pengantar
Pada kuliah ke lima telah ditelaah teori-teori media massa yang ada pada kuliah I sd IV dalam relasi-praksisnya dengan Undang-Undang Pers di Indonesia (UU No 40 Tahun 1999). Dalam UU ini, yang minimal harus saudara pahami ada dua hal, yakni :
· Pasal 1, ayat (8) sampai ayat (14) → Ketentuan Umum
· Pasal 18 ayat (1) sampai ayat (3) → Ketentuan pidana
Ketentuan Umum
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau
seluruh materi
informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau
tindakan teguran atau
peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun,
dan atau kewajiban
melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib,
dalam pelaksanaan kegiatan
jurnalistik.
9. Pembredelan
atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan
peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan
hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan
karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan
nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita
yang harus dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang
untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa
fakta yang merugikan
nama baiknya.
12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk
mengoreksi atau membetulkan
kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik
tentang dirinya maupun
tentang orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan
koreksi atau ralat terhadap suatu
informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak
benar yang telah diberitakan
oleh pers yang bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika
profesi kewartawanan.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
1. Setiap orang yang secara melawan
hukum dengan sengaja melakukan tindakan
yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan
ketentuan Pasal 4
ayat (2) dan ayat (3)[1] dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun
atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima
ratus juta rupiah).
2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2), serta
Pasal 13[2] dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00
(Lima ratus juta rupiah).
3. Perusahaan
pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12[3]
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (Seratus juta
rupiah).
Kedua ketentuan tersebut agar sungguh-sungguh dipahami (dikuasai). Selanjutnya hubungkan dengan UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik), UU No 19 Tahun 2016. UU yang hingga saat ini masih penuh kontroversi.
UU yang seharusnya dominan di bidang ekonomi (transaksi-transaksi), malah praksisnya lebih banyak di bidang media digital/medsos.
Agar pemahaman saudara tentang UU ITE ini lebih luas, dapat saudara ikuti di you tube ILC (Indonesia Lawyers Club) dengan tema UU ITE: Mengancam kebebasan berpendapat? Silakan mendengar dan mempelajarinya dengan seksama.
Setelah saudara menyimak dan mempelajarinya, nanti pada kuliah ketujuh (setelah UTS) akan kita bahas.
Sekarang akan kita deskripsikan, satu tulisan yang berhubungan dengan mata kuliah ini, yakni tentang benturan antara penerbit dan platform digital, yang kecenderungannya belum di atur dalam satu UU.
Adapun yang ingin ditanyakan dari tulisan tersebut adalah:
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan, a) publishers right, b) agregasi dan kurasi, c) coopetition.
2. Mengapa Google dan Facebook lebih kuat dari penerbit. Jelaskan secara sistimatis
3. Mengapa para penerbit belum bisa Bersatu melawan Google dan Facebook? Uraikan secara runtut.
4. Pada akhir tulisan tersebut dikatakan: …..Jika jalan negosiasi yang dipilih, dimanakah posisi dan peranan pemerintah? Jelaskan apa yang dimaksufd dengan pertanyaan tersebut
Jawabaan saya nanti di WA atau e mail……
⌂
BENTURAN PENERBIT DAN PLATFORM DIGITAL
Oleh Agus Sudibyo,
Anggota Dewan Pers dan Dosen ATVI Jakarta
Free online culture inilah kebaruan yang dibawa digitalisasi. Layanan daring,seperti mesin pencari dan media sosial, dapat diakses secara bebas.
Kita dapat memperoleh informasi, pengetahuan, hiburan, dan jejaring secara cuma-cuma disana. Para pengguna di dorong untuk berkontribusi pada budaya berbagi secara daring itu dengan membagikan apapun di ruang digital.
Maka terbentuklah ekosistem digital di mana karya, kekayaan intelektual dan keahlian pemusik, penerjemah, wartawan, penulis, peneliti, media massa , dan lain-lain diperlakukan sebagai “milik bersama” yang dapat di akses secara bebas. Kebebasan berinternet kemudian tidak bukan berarti kita dapat mengakses apapun di dunia maya, melainkan juga bahwa kita dapat menikmati jerih payah orang lain tanpa memberi imbalan apapun.
Budaya baru itu jelas menguntungkan platform digital yang dapat memanfaatkan dan memonetisasi konten pihak lain secara cuma-cuma. Demikian juga dengan para pengguna yang semakin terbiasa memperoleh segala rupa informasi secara gratis. Namun, bagaimana dengan para wartawan atau penulis yang hidup dari penghargaan atas karya-karya mereka? Bagaimana dengan media massa yang harus membayar setiap jerih payah wartawan dalam menghasilkan berita?
Jika berita itu kemudian diagregasi dan disebarkan secara cuma-cuma, bagaimana masa depan wartawan, media massa, dan institusi jurnalisme secara lebih luas?
Royalti karya jurnalistik
Dalam konteks inilah lahir perseteruan berkepanjangan antara penerbit dan platform digital. Jejak perseteruan itu dapat dilacak pada pertengahan decade 2000 di Perancis, Inggris, Kanada, Spanyol, Belgia, Jerman, Australia, Amerika serikat, dan China.
Proses agregasi dan kurasi berita oleh platform mesin pencari telah menimbulkan kemarahan para penerbit. Mereka mendorong munculnya regulasi yang memungkinkan penerbit mendapatkan royalty atau bagi hasil atas berita yang di agregasi platform mesin pencari. Perjuangan itu menemukan titik terang tatkala Uni Eropa mengesahkan amandemen UU Hak Cipta (EU Copyright Directive) Uni Eropa Tahun 2001.
Dengan judul publisher’s right, Pasal 11 UU Hak Cipta tersebut menegaskan platform digital (media social, agregator berita, atau mesin pencari) wajib memperoleh izin penerbit sebelum memanfaatkan konten penerbit secara sebagian atau keseluruhan. Penggunaan nukilan berita (news snipped) oleh platform mesin pencari tanpa izin penerbit menghasilkan konsekwensi pembayaran kompensasi dalam jumlah tertentu.
Perusahaan platform awalnya menolak pengaturan ini, Google berdalih publisher’s right itu justru mengurangi akses masyarakat atas berita dan membahayakan nasib jurnalisme. Pemberlakuan royalti atas nukilan berita, menurut Google, akan mereduksi insentif untuk platform mesin pencari dalam menghadirkan layanan distribusi konten yang lebih cepat dan efisien untuk penerbit dan pembaca. Gagasan tentang publisher’s right, menurut Google, hanya akan mendorong platform digital untuk berhenti mengurasi dan menyebarkan konten penerbit.
Tahun 2013, merujuk pada UU Hak Cipta Uni Eropa,sebuah konsorsium 200 penerbit di Jerman, dipimpin Axel Springer, secara tegas melarang Google news menyajikan nukilan berita mereka secara cuma-cuma. Google merespons dengan berhenti mengindeks dan mengurasi berita para penerbit tersebut.
Apa yang terjadi kemudian? Dalam dua minggu, situs web Axel Springer mengalami penurunan trafik hingga 40 persen pada sisi Google dan 80 persen pada sisi Google news. Axel Springer tak lama kemudian memutuskan bersedia kembali diindeks Google News.
Yang terjadi disini adalah media massa telanjur bergantung terhadap platform. Banyak media membutuhkan indeks, trafik, dan tidak mempunyai cara lain kecuali mendapatkannya dalam ekosistem platform digital. Yang terjadi antara penerbit dan platform disini, meminjam istilah Nikos Smyrnaios, adalah coopetition: kooperasi sekaligus kompetisi.
Penyebarluasan konten melalui mesin pencari memungkinkan penerbit mendapatkan indeks atau trafik. Sebaliknya mesin pencari memanfaatkan produktivitas media dalam menghasilkan berita setiap hari. Namun, disisi lain, kedua pihak sebenarnya bersaing untuk meraih iklan dan pembaca.
Ketergantungan terhadap platform terlebih-lebih terjadi pada penerbit kecil. Pengalaman Eropa menunjukkan, ketentuan tentang royalti atas nukilan berita telah diprotes para penerbit kecil yang justru merasa terbantu oleh keberadaan mesin pencari. Mereka memperoleh trafik, dapat mendistribusikan berita dengan cara yang murah, serta dapat berinteraksi dengan khalayak dengan cara yang lebih efisien. Bagi penerbit kecil, trafik lebih berharga dibandingkan dengan kompensasi karya jurnalistik yang diperjuangkan Uni Eropa untuk penerbit. Kenyataan ini membuat Gerakan menuntut platform digital agar membayar royalti atas nukilan berita menjadi ambyar di tengah jalan.
Monopoli distribusi konten
Tahun 2019, hasrat para penerbit untuk menuntut platform digital membayar kompensasi atau royalti atas agregasi konten jurnalistik menggeliat kembali setelah Uni Eropa memperbaharui regulasi tentang publisher’s right. Di Perancis, asosiasi media menuntut pelaksanaan publisher’s right mulai 24 Oktober 2020.
Di Australia, Komisi Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen menginisiasi regulasi tentang Kode Etik Platform Digital. Tidak ada yang baru dari respons platform Google mengancam akan berhenti mengindeks dan mengurasi konten jurnalistik di Eropa dan Australia jika regulasi itu diterapkan. Richard Gingras, Wakil Presiden Google, mengklaim Google tidak mengambil keuntungan dari agregasi berita.
Gingras justru berpikir sebaliknya, seharusnya penerbit yang membayar Google karena telah membantu proses distribusi berita. Gingras yakin, penarikan layanan Google News di Eropa dan Australia tak akan mengancam keuangan Google.
Hal yang baru kali ini adalah para penerbit tidak kendur oleh intimidasi Google. Mereka justru maju dengan senjata baru, yakni gugatan pelanggaran atas UU Anti Monopoli, Google dan Facebook menguasai 85 – 90 persen pasar display daring Eropa. Dengan penguasaan itu, mereka dituduh bertindak semena-mena dan sepihak terhadap para penerbit.
Ancaman Google untuk menghentikan agregasi konten adalah tindakan pemerasan. Penerbit dipaksa menyerahkan konten secara cuma-cuma kepada platform atau konten tersebut akan hilang dari ruang digital. Penerbit dipaksa membiarkan konten mereka muncul di mesin pencarian tanpa imbalan atau Google akan menerapkan aturan mereka sendiri secara sepihak. Kami tak akan membiarkan Google menggunakan dominasinya untuk melanggar UU Anti Monopoli, demikian kata Bertrand Gie dari surat kabar Le Figaro Groupe, Perancis.
Dalam konteks inilah, France’s Alliance of the Press of General Information dan The European Newspaper Publishers Association (ENPA) mengajukn gugatan anti monopoli kepada Google dan Facebook.
Ambiguitas platform
Pada tahap ini, yang mengemuka adalah sikap mendua platform digital. Antara melawan tuntutan para penerbit atau menawarkan konsesi dan kerjasama. Di satu sisi, Google dan Facebook menolak membayar royalti atas nukilan berita yang telah mereka manfaatkan. Disisi lain, Google dan Facebook membuka proses negosiasi dengan para penerbit untuk hal yang sama.
Di satu sisi Google dan Facebook mengancam akan berhenti mengindeks dan mengurasi konten penerbit, disisi lain keduanya mengalokasi anggaran “bagi hasil” untuk para penerbit. Oktober 2020, melalui News Showcase, Google menawarkan konsep “berbagi konten dan pendapatan” untuk penerbit berlisensi di Jerman, Brasil, dan Australia senilai lebih dari 1 miliar dollar AS. Berdurasi tiga tahun, jangkauan program ini diperluas untuk penerbit di banyak negara lainnya.
Melalui News Tab, Facebook juga mengambil momentum untuk menarik perhatian para penerbit dengan menawarkan kompensasi atas konten jurnalistik yang disebarkan melalui platform Facebook.
Ambivalensi ini menunjukkan platform digital sesungguhnya memperhitungkan keberadaan media massa sebagai bagian dari ekosistem yang mereka kembangkan. Secara bisnis, agregasi dan kurasi konten mungkin belum memiliki signifikasi ekonomi. Namun, platform digital mengambil keuntungan “politis” berupa referensi pengguna atas platform. Referensi pengguna bagaimanapun dipengaruhi kepercayaan public atas kualitas konten.
Semakin berkualitas konten yang dikurasi Google, semakin bagus citra Google di mata penggunanya. Tanpa menafikan beberapa kelemahannya, media massa adalah sumber konten yang lebih berkualitas. Legitimasi dan kredibilitas media massa disini menjadi perhitungan platform.
Kalau dalam prosesnya Google dan Facebook sering menggertak para penerbit, ini strategi untuk menaikkan posisi tawar dan mempermainkan sentiment public. Google dan Facebook mencoba “memecah-belah” penerbit besar dan penerbit kecil yang sangat bergantung pada trafik yang diberikan platform. Google dan Facebook juga mencoba memanfaatkan ketergantungan masyarakat terhadap layanan mereka untuk menciptakan opini negatif tentang penerbit.
Pada akhirnya keberhasilan penerbit untuk menuntut perlakuan tanggung jawab platform digital ditentukan oleh factor berikut. Pertama, kekompakan diantara para penerbit. Jika platform digital berhenti mengagregasi atau mengurasi konten, apakah penerbit siap kehilangan trafik untuk sementara waktu? Kegagalan dalam menghadapi Google di beberapa negara disebabkan oleh factor ini. Tantangannya adalah meyakinkan banyak penerbit yang telah sedemikian bergantung pada kerjasama dengan platform.
Kedua, merumuskan pokok gugatan terhadap platform, apakah royalti karya jurnalistik, monopoli distribusi konten, atau hak atas pemanfaatan data pengguna? Para penerbit harus menguasai benar pokok masalah ini, Menyusun prioritas dan menyepakati pada level mana akan berjuang. Apakah melalui jalur politik legislasi atau negosiasi langsung dengan perusahaan platform? Jika jalan negosiasi yang dipilih, dimanakan posisi dan peranan pemerintah? Perlu pertimbangan yang seksama dalam hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar