Jumat, 11 Desember 2020

MS PTPUU V, PROSES DAN TEKNIK PERUNDANG-UNDANGAN

 


 

MS PTPUU V , PROSES DAN TEKNIK PERUNDANG-UNDANGAN

KULIAH KELIMA, SABTU/12 DESEMBER 2020, JAM 08.30 – 10.30

JURUSAN PEMERINTAHAN, UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

Cat; dari UTS kemaren tersirat ada mahasiswa yang rupanya sama sekali tidak pernah membaca materi kuliah. Hal ini saya tahu, karena ia mengirim jawaban UTS yang bukan mata kuliah saya.

Ada juga yang belum/tidak tahu cara membuka b l o g….mungkin gaptek….Bagaimana jika E-government diterapkan? Apa masih minta-minta bantuan orang/pihak lain? Era saat ini adalah era digital…siapa tak menguasainya….ia akan ketinggalan.

Bacalah materi kuliah kelima ini dengan seksama. Bila ada hal-hal yang tidak dipahami atau tanggapan, tulis via WA group, dan akan saya jawab sesuai waktu yang diberikan. Tanggapan ini sekaligus pengganti tugas-tugas dan quis (agar diperhatikan).

 Selanjutnya jawab pertanyaan-pertanyaan yang tercantum “d i t e n g a h”, dan dikirimkan ke WA  atau e mail saya,   reinhardhutapea59@gmail.com

 

INKONSISTENSI DPR-RI DALAM PROSES

 PEMBUATAN UNDANG-UNDANG

Pengantar

Pada kuliah ke empat yang lalu telah diuraikan proses pembentukan UU di DPR-RI secara teknis, yakni sebagai berikut;

 

Proses Pembentukan Undang-Undang

Diambil dari tulisan Ilman Hadi SH, 24 maret 2020

Dasar hukum atau landasan pembentukan UU adalah UUD 1945, UU No 12 Tahun 2011, dan Tata Tertib DPR-RI.

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dikatakan: kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang (UU) ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Pasal 20 ayat (2) UUD 1945: bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Proses pembentukan UU diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Selain itu, diatur juga dalam UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan perubahannya

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011. Materi muatan yang harus diatur melalui UU adalah:

a.       Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945

b.      Perintah suatu UU untuk diatur dengan UU

c.       Pengesahan perjanjian internasional tertentu

d.      Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, dan/atau

e.       Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat

Dalam UU No 12 Tahun 2011 dan perubahannya, proses pembuatan UU di atur dalam Pasal 16 UU No 12 tahun 2011 s.d Pasal 23 UU No 15 Tahun 2019, Pasal 43 UU No 12 tahun 2011 s.d Pasal 51 UU No 12 tahun 2011, dan Pasal 65 UU No 12 Tahun 2011 s.d Pasal 74 UU No 12 tahun 2011.

Sedangkan dalam UU MD3 dan perubahannya, pembentukan UU di atur dalam Pasal 162 s.d Pasal 173.

Berdasarkan kedua UU tersebut, dapat disarikan proses pembentukan UU sebagai berikut:

1.      Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun oleh DPR, DPD, dan pemerintah untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU.

2.      RUU dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.

3.      Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali untuk RUU anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), RUU Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU, atau pencabutan Perppu

4.      RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi.

5.      RUU yang diajukan oleh Presiden diajukan dengan surat presiden kepada pimpinan DPR dan usulannya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

6.      Materi muatan RUU yang diajukan oleh DPD serupa dengan yang dapat diajukan oleh presiden yang telah diterangkan di atas. RUU tersebut beserta naskah akademiknya diajukan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.

7.      Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan

8.      Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus

9.      Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.

10.  Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna yang berisi :

a.       Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I

b.      Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna

c.       Pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh Menteri yang ditugaskan..

11.  Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.

12.  RUU yang telah mendapat persetujuan Bersama DPR dengan presiden diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam Lembara Negara republik Indonesia.

13.  Apabila pembahasan RUU telah memasuki pembahasan daftar inventarisasi masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas tahunan.

Demikian mekanisme, prosedur, atau teknis pembuatan UU di DPR-RI

Dari uraian di atas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan seksama, yakni;

·         Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat (huruf e dalam Pasal 10 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011)

·         Naskah akademik[1], dan

·         Program legislasi nasional[2].

Bagaimana…..sejauh mana……kebutuhan hukum masyarakat itu diperjuangkan , mungkin atau pastinya masih jauh. Jauh….jauh…..jauh kata Slank dalam salah satu bait lagunya…..

Dalam kuliah sebelumnya/kuliah ke empat telah kita deskripsikan pendapat beberapa pakar tentang distorsi itu. Seperti Siti Zuhro yang menyatakan

1.      Sistim yang rancu di legislasi,

2.       Konsep dan desain ketatanegaraan yang tidak jelas arahnya, dan apa yang akan dicapai,

3.      DPR nya yang jadi “Dewan Perwakilan Partai”, (Cat; berarti bukan wakil rakyat, lalu wakil siapa?)

4.      Terlalu dominannya fraksi.

Dengan bahasa lain, Ponco Sutowo mengemukakan bahwa

o   demokrasi hari ini masih dikuasai oligarkhi, dan

o   parpol mengabaikan kepentingan rakyat dengan kepentingan lain

Teguh Yuwono menyinggung tentang nilai-nilai Pancasila yang belum diimplementasikan dalam pembuatan UU, hingga statement Yudi Latif yang menuding demokrasi yang kita terapkan tidak sesuai kebutuhan bangsa.

Sinyalemen demikian data kita lihat dalam pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, atau yang popular dengan “Omnibus Law”. Undang-Undang yang dari  pembahasan, pemutusan, hingga pengundangannya masih tetap kontroversial, paradoks, dan sungguh menjengkelkan.

Ia, sebagaimana dikatakan Ponco Sutowo, masih sebatas kepentingan Oligarkhi, alias kepentingan segelintir orang….mengutif pakar tata negara FH-UGM, Zainal Arifin Mohtar;

*      Pengesahan terkesan terburu-buru, tanpa mempertimbangkan suara public.

*      Proses formilnya dibuat tanpa partisipasi public, tanpa aspirasi, aspirasi itu ditutup, hanya pihak tertentu yang didengarkan

*      Saat paripurna, draft tidak dibagikan kepada anggota yang hadir/cek kosong saja.

*      Rawan disusupi pasal-pasal pesanan

Dalam bahasa lain, namun substansi yang sama, Bivitri Susani mengatakan;

v  Dari segi metode, Omnibus Law membuat public cenderung lebih sulit memahami apa sebenarnya yang diatur secara konkrit dalam undang-undang itu.

v  Undang-Undang ini menyembunyikan isu/maksud yang sebenarnya[3].

v  Proses pembentukan undang-undang ini inkonstitusionil, dan melanggar prinsip demokrasi substantif (Kontan, 14 Oktober 2020)

Sebelumnya dalam kuliah ke empat, Bambang Kesowo, telah mengingatkan ekses dari Omnibus Law ini, yakni (1) mengancam kepentingan nasional, dan (2) sarat dengan kepentingan korporasi besar.

Masalah demikian masih dapat diuraikan sekian banyak/Panjang lagi, namun untuk kepentingan kuliah ke lima ini, dirasa sudah cukup. Selanjutnya diteruskn kepada pertanyaan-pertanyaan dibawah ini. Pertanyaan-pertanyaan yang memancing saudara/I diskusi, mengeluarkan pendapat, untuk menggairahkan intelektualitas……Intelectual exercise……

 

PERTANYAAN/DISKUSI

1.     Mengingat banyaknya masalah yang ditimbulkan DPR dalam sepak terjangnya selama ini, bagaimana (misalnya), jika kita meniru negara yang tak punya DPR, seperti Brunei Darussalam dan RRC. Di kedua negara itu, kehidupan masyarakatnya reatif jauh lebih baik dari Indonesia. Bagaimana pendapat saudara/i.

2.     Mengapa DPR tidak menjalankan fungsinya sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Dimana letak kekeliruannya? Jelaskan secara analitis.

3.     Tahukah saudara/i berapa penghasilan seorang anggota DPR RI setiap bulan? Apakah itu sudah layak, kebesaran, atau bagaimana? Uraikan secara logis dan sistimatis

4.     DPR pusat, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, sering melakukan studi banding. Apa yang mereka perbandingkan? Berapa lama mereka studi banding?  Mohon diberi tanggapan.

5.     Menurut saudara/i, berapa besar uang yang dikeluarkan seorang caleg, agar ia terpilih menjadi anggota DPR (pusat, propinsi, kabupaten/kota)

Sebagai komparasi baca tulisan di bawah ini


Setahun Jokowi-Ma'ruf:

Proses Legislasi Merampas Hak Masyarakat

 

 

 

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pengantar RUU APBN tahun anggaran 2021 beserta nota keuangannya pada masa persidangan I DPR tahun 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020).

 

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pengantar RUU APBN tahun anggaran 2021 beserta nota keuangannya pada masa persidangan I DPR tahun 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras. Oleh: Haris Prabowo - 22 Oktober 2020 Dibaca Normal 2 menit Proses legislasi selama setahun terakhir Jokowi-Ma'aruf tak bisa dibilang bagus. Aspirasi minim, arah kebijakan pun tak sesuai keinginan publik.

 

Sudah satu tahun Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin menjalankan roda pemerintahan. Sejak dilantik 20 Oktober tahun lalu, sudah banyak kejadian berlalu, termasuk yang disorot publik karena dianggap keliru—dan akhirnya memicu protes di jalanan.

Salah satu yang paling disoroti publik adalah bagaimana negara memperlakukan proses legislasi baik saat merevisi atau membuat sebuah undang-undang. Dalam satu tahun terakhir, negara—eksekutif dan legislatif—banyak memproduksi UU yang kontroversial, bahkan cenderung ditolak publik.

Mari kita mulai dari revisi UU KPK pada September 2019. UU KPK baru, yang revisinya dilakukan hanya dalam waktu belasan hari dan beberapa kali di hotel mewah, banyak mempreteli kekuatan lembaga antirasuah buah gerakan reformasi 1998: dari mulai adanya Dewan Pengawas, ketentuan SP3 untuk perkara yang tidak selesai disidik dalam waktu satu tahun, dan pegawai KPK diubah statusnya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

            Ketika itu Jokowi menyatakan sebaliknya. Revisi UU KPK, katanya, justru memperkuat lembaga antirasuah itu. “KPK tetap dalam posisi kuat dan terkuat dalam pemberantasan korupsi,” kata Jokowi 16 September 2019.

Penolakan masif pun muncul di berbagai kota dengan nama #ReformasiDikorupsi. Ketika itu Jokowi sempat mengatakan akan bertemu para mahasiswa—penggerak demonstrasi selain buruh—dari BEM SI. Namun batal tanpa alasan yang jelas. Baca juga: Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf: Kekerasan TNI-Polri Semakin 'Membudaya'

Ketika itu aparat bertindak represif bahkan memunculkan korban tewas ditembak peluru yang dibeli dari duit pajak: Randi dan Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Enam polisi dianggap bersalah karena membawa senjata api, tapi hanya disanksi ringan.

 Berikutnya adalah pembentukan UU Minerba pada Mei 2020 lalu—saat pandemi COVID-19 mulai merebak di Indonesia. Dibahas kilat, UU Minerba dianggap hanya menguntungan oligarki dan orang-orang kaya pemilik tambang, dan di saat yang sama akan memperparah krisis ekologi.

 Protes disuarakan warga dan kelompok pegiat lingkungan, bahkan sampai melakukan teror ke Whatsapp para anggota Panja RUU Minerba.

UU Minerba memperbolehkan perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan. Mereka yang memegang KK dan PKP2B dan belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masing-masing paling lama selama 10 tahun.

Setelahnya, DPR RI dan Pemerintah merevisi UU Mahkamah Konstitusi (MK). UU MK juga dibahas kilat tanpa partisipasi luas ke publik. Padahal, revisi UU MK tak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2020.

Sebagian akademisi menduga diubahnya beberapa pasal di UU MK—salah satunya memperpanjang masa jabatan hakim—bak memberi “pil tidur” kepada mereka.

 Baca juga: Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf, PKS: Menteri Gaduh & Ada Politik Dinasti

Dan yang terakhir: UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober lalu. Cipta Kerja—sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka—tetap dibahas secara kilat termasuk di hotel-hotel elite, menerabas banyak aturan, dan minim partisipasi publik.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut rentetan proses legislasi yang buruk di atas sebagai “paket agar oligarki semakin berkuasa di Indonesia.” Sementara pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutnya dengan proses “legislasi nan menyebalkan.” Injak Hukum dan HAM

Konsekuensi dari pemberlakuan ragam UU yang bermasalah di atas, di masa depan akan semakin marak konflik agraria dan lingkungan hidup, semakin represifnya pembungkaman kebebasan berpendapat, dan tentunya pengabaian terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dalam catatan YLBHI, semua preseden itu sudah terjadi dan bisa dirasakan jelas satu tahun terakhir pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. YLBHI menyebut pemerintahan Jokowi-Ma’ruf “menginjak-injak hukum dan hak asasi manusia” di Indonesia.

 Saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (21/10/2020) sore, peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Rahmah Mutiara menilai proses legislasi 2019 sampai 2020 yang cenderung mengacuhkan suara publik “melanggar banyak hak konstitusional”.

 Menurutnya, proses legislasi yang berjalan selama satu tahun terakhir tak lagi mencerminkan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.

 Rahmah menilai para penyelenggara negara tidak menjadikan suara publik sebagai acuan utama mereka dalam membuat kebijakan.

 Baca juga: Jokowi Mengomeli Diri Sendiri Saat Bicara HAM dan Lingkungan

Ia juga mengkritik cara Jokowi yang menanggapi ketidakpuasan publik. Jokowi kerapkali melemparkan solusi agar mereka menggugat ke MK. Cara berpikir seperti itu, kata Rahmah, keliru.

“Seharusnya sedari awal pembentukan UU tidak mengabaikan ketentuan yang dituliskan di konstitusi. MK pun tidak menjadi jaminan perbaikan proses legislasi ini, karena selama 17 tahun MK berdiri, hingga saat ini belum ada satu pun pengujian formil yang dikabulkan,” katanya.

 Dalam laporan satu tahun pemerintahan Jokowi Ma’ruf, Kantor Staf Kepresidenan (KSP) menyebut ada lima pencapaian sejak 2019. Lima pencapaian tersebut di bidang pembangunan SDM; infrastruktur; pemangkasan regulasi; penyederhanaan regulasi; dan transformasi ekonomi.

 Kritik masyarakat terkait Cipta Kerja, dalam laporan itu, dibuat jadi salah satu pencapaian. “Omnibus law menjadi solusi mengurai keruwetan aturan. Undang-Undang Cipta Kerja salah satunya, meringkas 79 UU dan menyatukan 11 klaster menjadi satu aturan. Metode omnibus law diharapkan jadi obat yang 'cespleng' menghasilkan produk hukum yang efisien dan aspiratif,” demikian tertulis dalam laporan tersebut, dikutip dari Antara.


 



[1] Akan dibahas di kesempatan lain

[2] Idem, akan dibahas di kesempatan lain

[3] Semoga bukan Lembaga penipu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar