MS PTPUU VII , PROSES DAN TEKNIK PERUNDANG-UNDANGAN
KULIAH KE -7, SABTU/16 JANUARI 2021, JAM 10.00 SD 11.30
JURUSAN PEMERINTAHAN, UDA MEDAN
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
∏
PROSES POLITIK DAN SUMBATAN-SUMBATANNYA
PENDAHULUAN
Pada kuliah ke-7 ini akan kita ulangi kembali makna dari judul mata kuliah ini. Judulnya adalah “Proses dan Teknik Perundang-undangan”. Judul yang mengandung (paling tidak) dua arti, (mungkin lebih tepatnya dua konsep), yakni “proses” dan “teknik”.
“Proses” kecenderungannya adalah konsep politik, sedangkan “Teknik” adalah konsep hukum. Sebagai konsep politik, “proses” maksudnya adalah bagaimana lembaga-lembaga atau sistim politik berfungsi sebagaimana teori “sistim politik”, sedangkan konsep Teknik adalah apakah peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan (sudah consensus) dijalankan atau tidak.
Pada kuliah-kuliah yang lewat kedua konsep itu telah diuraikan secara panjang lebar, lengkap dengan iustrasi-ilustrasinya. Untuk lebih merelevansikan atau meng up to datenya, akan kita hubungkan dengan perkembangan-perkembangan terakhir.
Untuk ini akan diutarakan dua pandangan, yakni dari Azyumardi Azra dan Akbar Tanjung, yang kecenderungannya saling melengkapi. Intisari tulisan Azyumardi Azra adalah bahwa pembangunan infrastruktur politik jauh ketinggaan dari infrastruktur fisik. Sedangkan Akbar Tanjung yang mengamini pendapat Azyumardi Azra, tekanannya adalah agar fungsi partai politik dan sistem pemilu lebih ditingkatkan. lebih jelasnya Akbar mengatakan:
…..selain factor kepemimpinan,kuatnya kelembagaan partai politik mempersyaratkan adanya kesisteman dan infrastruktur partai yang kokoh, kuatnya kemandirian dan adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis, serta melekatnya di benak masyarakat program-program utama yang menjadi agenda perjuangan partai-partai politik[1].
Singkatnya praksiskan fungsi-fungsi partai politik sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Partai Politik. Begitu pula sistim pemilu, agar menganut proporsional tertutup, yakni hanya memilih partai, tidak memilih orang (Kompas, 15 Januari 2021)[2],
Untuk lebih detailnya bacalah tuisan Azyumardi Azra dibawah ini
∏
MEMBANGUN INFRASTRUKTUR POLITIK
Azyumardi Azra
(Kompas, 7 Januari 2021)
Pembangunan infrastruktur fisik berkembang pesat selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Infrastruktur berupa jalan tol, jaan ray, Pelabuhan, bandar udara, atau bendungan kelak bakal menjadi warisan era Jokowi. Semua ini bisa membangkitkan asa Indonesia maju pada masa depan yang tak terlalu lama.
Namun, asa Indonesia maju bukan hanya terletak pada infrastruktur fisik. Para ahli juga berbicara tentang infrastruktur ekonomi, sosial, kebudayaan, dan politik. Pembangunan infrastruktur bdang-bidang ini hampir tak menjadi wacana pokok dalam perbincangan elite politik.
Sulit mengukur kemajuan infrstruktur dalam semua bidang ini. Observasi dan penilaian awal mengisyaratkan, pembangunan infrastruktur politik, ekonomi, sosial, dan budaya tertinggal jauh ketimbang infrastruktur fisik.
Meminjam kerangka Gilman dan Rahman, infrastruktur politik hampir selalu terabaikan. Di tengah pasang naik dan turun demokrasi Indonesia lebih dari dua dasawarsa terakhir, elite politik, ahli ilmu politik, dan public perlu berbicara dan merancang pembangunan infrastruktur politik Indonesia yang mendesak bagi penguatan demokrasi.
Yang dimaksud infrastruktur politik itu adalah individu, kelompok, pranata, dan lembaga yang langsung atau tidak mendukung kinerja supra struktur, seperti ideologi, lembaga eksekutif, legislative, yudikatif, dan aparat pemerintahan. Infrastruktur yang kuat penting agar supra struktur dapat menjalankan tugasnya memajukan negara-bangsa.
Infrastuktur politik itu mencakup tokoh kepemimpinan komunitas, masyarakat sipil, dan kalangan penekan, seperti mahasiswa, akademisi, dan intelektual organik. Media massa dan partai politik dengan pelbagai kelompok dan organisasi sayapnya juga termasuk didalamnya.
Kebanyakan infrastruktur politik secara alamiah independent dan mandiri vis-à-vis lembaga formal kekuasaan politik negara. Mereka umumnya lahir dari prakarsa individu dan masyarakat yang menginginkan kehidupan kewargaan, kebangsaan, dan kenegaraan lebih baik.
Karena entitas infrastruktur ini berbasis pada masyarakat politik, mereka tumbuh dan bergerak tidak selalu sistematis dan konstan. Akibatnya, mereka sering menjadi sasaran manipulasi dan use and abuse lembaga atau kekuatan supra politik tertentu, khususnya eksekutif dan legislative.
Namun, entitas-entitas infrastruktur politik itu tidak bisa diabaikan. Tak jarang mereka di garis terdepan perubahan politik. Contoh paing akhir, Gerakan reformasi 1998. Mereka berhasil memaksa Presiden Suharto mundur dari kekuasaan yang dia pegang selama lebih dari tiga dasawarsa.
Dalam perjalanan sejak 1998, banyak perubahan politik terjadi. Namun, yang terpenting demokrasi liberal multi partai menjadi “the only game in town”. Sejak 1998, tidak ada lagi suksesi kekuasaan di tingkat nasional dan daerah kecuali melalui prosedur demokrasi.
Pada saat yang sama banyak figure dan entitas infrastruktur politik terserap ke dalam supra struktur. Mereka memasuki posisi public mulai dari tingkat nasional sampai lokal. Namun, sprastruktur politik mengubah perilaku politik mereka; banyak di antara mereka kemudian menjadi beban (liabilities) dalam upaya penguatan demokrasi dan penciptaan tata kelola pemerintah yang bersih dari KKN.
Proses ini dapat disebut “unmaking of political infrastruktures” – berantakannya infrastruktur politik. Di pihak lain, suprastruktur terus mengalami penguatan melalui koalisi dan aliansi yang terbentuk lewat unholy marriages atau marriages for convenience, perkawinan tidak sakral, hanya untuk kenikmatan.
Itulah sebabnya demokrasi Indonesia belum bisa terkonsolidasi: dia pernah mengalami pasang naik mencapai demokrasi relative sempurna (full democracy), tetapi lantas merosot jadi flawed democracy atau illiberal democracy.
Perkembangan tidak kondusif ini terutama terjadi karena makin menguatnya suprastruktur eksekutif dan legisatif pada tingkat nasional dengan mengorbankan infrastruktur politik. Kekuatan dan kekuasaan suprastruktur tidak bisa terimbangi dan terkontrol karena infrastruktur yang tercerai-berai.
Inilah saatnya berkonsolidasi, judul berita utama halaman politik danhukum, Kompas (4/1/2021). Dalam konteks itu, jika kita serius dengan konsolidasi demokrasi, perlu ada upaya serius seluruh pemangku kepentingan membangun infrastruktur poitik. Jelas, infrastruktur poitik yang kuat berkontribusi pada penguatan infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosia, dan infrastruktur budaya.
Untuk itu, pertama-tama perlu revitalisasi kepemimpinan komunitas dan masyarakat dengan memberikan ruang lebih besar untuk berkiprah. Sepatutnya elite suprapolitik formal mendorong dan memfasilitasi kepemimpinan masyarakat untuk membangkitkan partisipasi warga dalam proses politik dan pembangunan.
Selanjutnya, perlu penguatan kembali masyarakat sipil yang masih mengalami proses unmaking. Penguatan mesti dilakukan pemerintah dengan kembali membawa masyarakat sipil ke dalam proses politik. Aktor dan aktifis masyarakat sipil juga perlu memperkuat integritas dan komitmen pada civic cuture dan civility – tak cepat tergoda jalan pintas kekuasaan, ketenaran, dan kemewahan.
Revitalisasi media massa, khususnya arus utama, juga bagian penting pembangunan infrastruktur politik. Tanpa media massa yang bebas, kuat, dan dinamis, demokrasi kehilangan elannya. Pemerintah mesti memberikan ruang ebih besar pada media massa berekspresi: bukan mengebirinya dengan berbagai pembatasan dan ancaman.
Penguatan partai politik juga menjadi bagian penting dalam pembangunan infrastruktur politik. Parpol-parpol Indonesia menghadapi masaah serius terkait kepemimpinan oligarkhis; friksi dan faksi internal antar elite, keanggotaan tidak solid; dan pendanaan tidak memadai.
Oeh karena itu, RUU Parpol jadi kebutuhan mendesak. Penguatan Parpol perlu tercakup dalam RUU Pemilu yang telah masuk daam Program Legislasi Nasiona tahun ini.
Demokrasi Indonesia jelas tidak bisa terkonsolidasi jika infrastruktur dalam bidang ke empat bidang pokok itu terus terlantar. Jika orang mau optimis dengan konsolidasi nasional, pembangunan infrastruktur politik pasti sangat mendesak.
∏
Demikianlah tulisan Azyumardi Azra. Selanjutnya banding, komparasi, dan relevansikan dengan dua tulisan saya dibawah ini
1. DPR, Pulau Terapung Di Lautan Masyarakat.
2. Pilkada 2020, Pelembagaan kartel Politik.
Lamp 1
DPR, PULAU TERAPUNG DI LAUTAN MASYARAKAT
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan & Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published Waspada, 16 Okt 2019
Mereka bukan jembatan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana yang kita lihat pada negara-negara demokratis, atau kita baca pada teori-teori politik
Satu dekade yang lalu, Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, dan PKS melakukan studi banding ke Partai Komunis China (PKC). Kelima partai besar Indonesia ini berikhtiar mengkomparasikan tentang sistim, pola, atau model pengelolaan partai yang dipentaskan dinegeri tersebut. Negeri yang dikenal sebagai negeri komunis yang bersistim satu partai, dengan yang berlangsung di Indonesia yang Pancasilais dan menganut sistim multi partai.
Tiga kota yang menjadi focus studi mereka, yakni Beijing, Shanghai, dan Guiyang. Di kota ini mereka bak ilmuwan yang sedang melakukan riset, melihat secara langsung bagaimana PKC, khususnya di tingkat akar rumput (grassroots) mengimplementasikan tugas, fungsi, untuk mencapai tujuan partainya.
Dari penelusuran yang dilakukan ternyata, “Cabang dan khususnya Ranting PKC” sangat berperan ketimbang level diatasnya (tingkat Provinsi atau nasional, DPD/DPP. Mereka bekerja di akar rumput sesuai tugas, fungsi, dan peran-peran partai yang lain. Dengan kata lain, secara empiric, mereka mengimplementasikan fungsi-fungsi partai politik, seperti fungsi “komunikasi, sosialisasi, agregasi, artikulasi, rekrutmen dan lain-lain fungsi partai politik (Miriam Budiardjo 1975).
Lembaga Disfungsional
Dengan cekatan pengurus-pengurus partai tingkat cabang dan ranting mempraksis-empirikkan pertemuan-pertemuan rutin, baik sesama pengurus, dan atau terutama dengan masyarakat. Kantor-kantor partai mereka penuh dengan aktipitas, seperti membuat perencanaan/planning, pengorganisasian/organizing, pelaksanaan/actuating, dan pengawasan/controlling (POAC), sebagaimana layaknya biro modern.
Begitu pula kegiatan, aktipitas, dan pengabdian ke tengah-tengah masyarakat. Mereka menyambangi, mendengar, mengartikulasi, dan memberdayakan masyarakat. Mereka berkomunikasi dengan/secara dua arah, dan mensosialisasikan apa yang menjadi kebijakan partai. Sebaliknya , yakni sebagai timbal baliknya, mereka juga mendengar dan menghimpun aspirasi/apa yang diinginkan masyarakat (agregasi dan artikulasi).
Tidak cukup disitu, yang jauh lebih mengesankan adalah, dengan cekatan, pengurus-pengurus PKC demikian mendorong/melatih/memberdayakan masyarakat akan vokasi/keahlian tertentu. Masyarakat diberi pelatihan supaya mereka dapat meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasannya.
Dengan gesit, cekatan, handal dan penuh semangat, pengurus-pengurus PKC membimbing staf/karyawan/pengurus institusi-institusi lokal masyarakat di akar rumput, seperti lembaga kesehatan masyarakat (disini puskesmas) supaya lebih professional, meritokratis, efisien dan efektif melayani pasien-pasiennya.
Begitu pula dalam sektor pertanian dipedesan, yang mayoritas masih merupakan sumber pendapatan utama penduduk. Pengurus-pengurus ranting PKC, sangat cekatan membimbang dan memberdayakan mereka. Bagaimana membudidayakan pertanian-peternakan supaya lebih modern, canggih, memiliki nilai tambah, dan berhasil guna, menjadi pakem pengurus-pengurus akar rumput PKC ini.
Tidak kurang fantastik dan spektakulernya, adalah komitmen, kreatifitas, dan inovasi, pengurus-pengurus ranting PKC memberdayakan usaha-usaha kecil dan menengah (UKM) supaya sanggup bersaing di pasar internasional. Pengurus-pengurus partai begitu piawai, tekun, kerja keras, bersemangat membimbang kalangan ini supaya sanggup bersaing dan unggul di kancah global yang penuh tantangan. Terbukti mereka sukses. Mereka merajai perdagangan dunia saat ini.
Ilustrasi-ilustrasi lain masih dapat diuraikan sekian banyak/panjang lagi, seperti (misalnya) bagaimana mereka mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) asing ke negaranya, namun itu biarlah dilbahas di lain kesempatan. Yang jelas dan pasti pengurus-pengurus PKC adalah sosok-sosok pilihan. Sosok yang lahir secara alamiah dari justifikasi dan legitimasi masyarakat bawah. Tidak karena privilese, privacy, deking/kenalan (nepotisme), karena punya duit, apalagi karena pintar menjilat. Mereka sungguh professional, meritokrat dan legitimate.
Bagaimana dengan partai politik Indonesia? Perbandingannya mungkin ibarat langit dan bumi. Dari pengamatan atau penelitian sederhana dapat kita lihat bahwa partai-partai dinegeri ini masih disfungsional. Kita tak paham apa yang mereka kerjakan sehari-hari. Kantor-kantornya, khususnya kantor cabang, atau ranting nyaris tanpa kegiatan-aktipitas berarti.
Kantor spanduk/papan nama, dan manusianya terpampang, namun apa yang dikerjakan disana tidak jelas. Mungkin hanya kongkow-kongkow saja, ngalor-ngidul mengupas yang bukan fungsi dan tugasnya. Awam lebih melihat organisasi-organisasi lain, seperti LSM, organisasi sosial, keagamaan, berfungsi/punya kegiatan rutin ketimbang partai-partai politik. Sangat tak layak/aneh bin ajaib, lembaga yang seharusnya pro aktif hadir ditengah-tengah masyarakat, namun disfungsional.
Fungsi partai politik sebagaimana diatur dalam Undang Undang Partai Politik, yakni UU No 2 Tahun 2008 dan UU No 2 Tahun 2011, sesungguhnya sudah mensiratkan bahwa partai harus bekerja fungsional. Tidak hanya pada waktu pemilu, melainkan setiap waktu terus bekerja, sebab fungsinya adalah; satu, sebagai Pendidikan politik, dua, sebagai Pencipta iklim yang kondusif bagi persatuan dan persatuan bangsa untuk kesejahteraan masyarakat, tiga, Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi, empat, Instrument partisipasi politik, dan, lima, rekrutmen politik.
Jelas dan terang benderang, seyogianya apa yang dilakukan di China, juga harus dilakukan disini. Namun sebagaimana faktanya, yang kita saksikan hari-hari ini, partai politik nyaris tidak pernah melakukan pendidikan politik di akar rumput. Begitu pula fungsi-fungsi yang lain, seperti program-program untuk mensejahterakan masyarakat, agregasi dan artikulasi politik, instrument partisipasi, nyaris nihil melompong-mengongong-melolong, bak tong kosong nyaring bunyinya.
Yang jalan, praktis hanya fungsi kelima, yakni penyedia insan-insan untuk duduk dalam pemerintahan, khususnya menjadi anggota DPR (legislatif). Tampillah insan-insan (out put) yang lahir dari input dan proses yang kacau balau, amburadul, dan berantakan. Sebagai konsekwensinya akan melesat anggota DPR yang tidak melaksanakan fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Pemilu atau UUD 1945.
Pulau Terapung
Mereka bukan jembatan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana yang kita lihat pada negara-negara demokratis, atau kita baca pada teori-teori politik. Mereka menggunakan jembatan hanya untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok, dan birahinya. Proses (yang sadar atau sebaliknya) telah terlembaga pada pemilu pertama era reformasi, yakni pemilu 2004.
Pemilu yang sudah mulai diwarnai money politics, yang menguat pada pemilu 2009, terang benderang pada pemilu 2014, dan sudah dianggap tradisi pada pemilu 2019. Pola jahanam yang kasat mata, namun anehnya tak ada ikhtiar menghentikannya. Sudah tahu keliru, tapi tetap dipraksiskan.
Dipraksiskan, terutama oleh elit, dan kiamatnya, entah mengapa dinikmati juga oleh masyarakat (sadar tak sadar). Semua teriak tidak ke money politics, namun realitanya, baik yang teriak maupun tidak, mayoritas sama-sama menerima money politics. Kampanye hanya formalitas, praksis-empiriknya adalah bagi-bagi sembako dan duit (Ramlan Surbakti, K, 2018). Mau mengharapkan DPR berfungsi?
Mimpi. DPR sudah lepas dari konstituennya. Mereka adalah pulau terapung di lautan masyarakatnya. Lembaga, komunitas, atau kalangan yang akan melegalkan korupsi via revisi UU KPK, kata Emil Salim cs setelah bertemu Jokowi tanggal 4 oktober yang lalu. Oleh karena itu, meminjam litani Wiji Thukul “hanya satu kata, yakni lawan”. Lawan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
∏
Lamp 2
PILKADA 2020; PELEMBAGAAN KARTEL POLITIK
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 30 Jan 2020
Keasyikan menimang-nimang balon kepala daerah/ maupun wakilnya, banyak yang amnesia atau lupa akan hakiki, untuk apa sesungguhnya pilkada dilangsungkan. Mereka sadar atau sebaliknya telah terjerembab dalam euforia, alfa akan substansi, dan seakan-akan tujuan utama perhelatan pilkada hanya memenangkan orang, sosok, atau aktor tertentu. Titik ! (hanya dan hanya itu)
Sinyalemen demikian dapat dilihat dari perilaku figur-figur tertentu yang mendaftar ke segala partai, dan atau khususnya partai-partai politik yang melakukan koalisi (persekutuan) tanpa mengindahkan ideologi yang dianutnya. Partai-partai yang secara ideologis seharusnya tidak mungkin berkoalisi karena platform, visi, dan misi politiknya berbeda, atau bertolak belakang, dengan partai lain, secara permisif telah melakukan koalisi. Koalisi gaya apa itu? Koalisi jadi-jadian? Tidakkah koalisi ditempuh atas persamaan visi dan platform?
Partai Kartel
Yang pasti koalisi seperti itu tidak ada/tidak lazim (uncommon) dalam sistim demokrasi, negara maupun teori-teori politik modern. Bagaimana partai yang beraliran kiri, nyaris tanpa syarat berkoalisi dengan partai kanan sungguh suatu yang tak masuk akal. Idem dengan, yang berlabel religius dengan sekuler, atau yang putih dengan hitam, kuning, hijau, biru dan sebagainya, berkoalisi tanpa mengindahkan jati dirinya.
Ibarat air dan minyak, atau kucing dengan tikus, tidak mungkin bersatu dalam satu wahana. Air dan minyak tidak akan larut, kucing akan menerkam tikus dan lain-lain perumpamaan yang mencerminkan betapa metode seperti itu tidak mungkin dipersatukan, alias tidak mungkin bekerjasama dalam satu koalisi.
Namun apapun dalihnya, mereka, yakni partai-partai itu telah berkoalisi mencalonkan Gubernur, Bupati, atau Walikota idolanya. Persetan dengan demokrasi, dengan teori, dengan fatsun politik, dan lain-lain bentuk legitimasi, yang penting idola/jagoan menang, seakan-akan menjadi, atau itulah kredonya.
Celakanya lagi koalisi demikian tidak berhenti hanya pada waktu kontestasi pemilu/pilkada berlangsung. Pasca pemilu/pilkada, koalisi nan munafik tersebut kembali dilanjutkan dalam bentuk baru yang lebih menyeluruh, yakni koalisi antara partai-partai pemenang pemilu/pilkada dengan partai-partai yang kalah dalam pemilu/pilkada tersebut.
Fenomenanya dapat dilihat sejak/pada pilpres 1999 dimana beberapa partai melakukan koalisi untuk memenangkan presiden pilihannya. Namun setelah presiden terpilih, kembali lagi terjadi koalisi baru, yakni koalisi seluruh partai. Seluruh partai , termasuk partai-partai yang kalah mendapat jatah menteri di kabinet.
Pamungkasnya adalah sistim pemerintahan/kekuasaan saat ini. Prabowo yang kalah dalam perhelatan pemilihan Presiden, kini menjadi Menteri pertahanannya Jokowi. Kasus yang belum pernah terjadi dinegara manapun.
Dengan kata lain tidak ada lagi partai opposisi, yakni partai diluar pemerintahan/kekuasaan yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, baik di eksekutif (Presiden/kabinet), legislatif (DPR, DPD, MPR), maupun judicatif (MK, MA).
Dan Slater (2006), seorang Indonesianist yang meneliti politik dan pemerintahan Indonesia sejak era reformasi menyebut gejala demikian sebagai “jebakan pertanggung jawaban” karena hilang atau gagalnya partai-partai politik melakukan pengawasan dan keseimbangan (cheks and balances) sebagaimana lazimnya dalam sistim politik demokratis.
Begitu terus-menerus berlangsung, berkelindan, hingga terlembaga diseluruh level pemerintahan (pusat dan daerah), yakni tidak ada partai yang menjadi opposisi sebagaimana hakikatnya demokrasi. Kuskridho Ambardi (2008) yang menulis disertasi di Ohio University menyebut fenomena pemilu/demokrasi tanpa opposisi, tanpa ideologi sebagai basis koalisi, ini sebagai “partai kartel”.
Partai yang melakukan pengelompokan, baik sebelum maupun sesudah pemilu/pilkada untuk menghilangkan pengawasan dan persaingan, agar dapat mengeruk finansial/keuangan sebesar-besarnya untuk kepentingan partai, dan atau khususnya kekayaan para elit-elitnya (Katz & Mair, 1995)
Mereka berkoalisi untuk berkolusi, yaitu menggangsir uang negara/pemerintah/rakyat dengan model yang populer dengan sebutan rent seeking (perburuan rente) dan korupsi. Korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan, yang menjerumuskan Rohmin Dahuri, Bulog gate I dan II yang melibatkan Akbar Tanjung adalah beberapa contoh/bukti betapa masalah ini tidak dapat dibongkar tuntas karena partai-partai yang terlibat saling menutup dan melindungi (Ambardi, K, 2008)
Ekwivalen, analog, atau sama dengan kasus-kasus mega korupsi lain, seperti kasus BLBI, Century, kasus e-KTP, dan atau khususnya Jiwasraya yang sedang marak saat ini. Meski pengadilan belum memutuskannya, khalayak (public opinion) sudah yakin bahwa kasus tersebut sukar dituntaskan, karena partai-partai yang (ditengarai) terlibat di dalamnya (partai kartel) saling melindungi.
Pilkada 2020; Pelembagaan Kartel Politik
Demikian pula yang terjadi di daerah. Pada waktu kontestasi pemilihan Gubernur, Bupati, atau Walikota, terbentuk koalisi antar beberapa partai. Akan tetapi setelah kontestasi selesai (telah terpilih kepala daerahnya), seluruh partai/termasuk yang kalah, kembali lagi berkoalisi.
Berkoalisi sebagaimana yang terjadi di pusat tidak didasarkan kepada visi, misi, paltform, dan program kerja, melainkan untuk mengeruk sebesar-besarnya keuangan daerah untuk kepentingan finansial partai, dan atau khususnya kekayaan elit-elitnya.
Adapun metode, cara, atau siasat yang digunakan sebagaimana sudah rahasia umum adalah cincay-cincay antara birokrasi/kepala daerah dengan DPRD dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
APBD direkayasa sedemikian rupa seakan-akan demi kepentingan masyarakat, pada hal motif utamanya adalah untuk kepentingan birokrasi dan legislatif itu sendiri. Sinyalemen ini dapat dilihat ketika APBD yang disahkan ditelusuri item per item atau butir per butir. Disana banyak anggaran yang irrasional, yang tak jelas peruntukannya, yang jumlahnya telah di gelembungkan/mark up, yang tumpang tindih, dan lain-lain yang tak sejalan dengan kepentingan masyarakat.
Kasus APBD DKI Jaya yang Rp 12,1 T dicoret Ahok adalah kasus yang paling menarik betapa APBD sering dicincay-cincay, alias disalah gunakan antara birokrasi daerah dengan DPRD nya. Begitu pula kasus lem Aica Aibon 82 m di era Anis Baswedan. Kalau di ibukota saja masih berlangsung seperti itu, bagaimana dengan daerah?
Mungkin sudah tak perlu di bahas lagi, sebab masyarakat sudah letih, jenuh, dan jijik melihatya. Kunjungan, atau tepatnya jalan-jalan DPRD ke daerah lain yang terus menerus, yang bisa lima kali dalam sebulan, dan atau semakin banyaknya kepala daerah yang ter OTT KPK, adalah fakta-empirik bahwa pemerintahan daerah sudah terstruktur pada kartel politik. Pilkada 2020, tak lebih tak kurang terlembaga dalam pola demikian.
PERTANYAAN
1. Jelaskan apa yang dimaksud Azyumardi Azra dengan “infrastruktur politik dan supra struktur politik”
2. Bagaimana pendapat para mahasiswa dengan ide Azyumardi Azra yang mengatakan revitalisasi kepemimpinan komunitas dan masyarakat dengan memberikan ruang lebih besar untuk berkiprah….apakah itu memungkinkan?
3. Idem dengan no 2 membangun masyarakat sipil ke dalam proses politik….apakah memungkinkan juga?
4. Apa saran, metode, atau cara para mahasiswa meretas kepemimpinan partai politik yang oligarkhis saat ini?
BalasHapus1. Jelaskan apa yang dimaksud Azyumardi Azra dengan “infrastruktur politik dan supra struktur politik”??
√
jawaban : yang dimaksud dengan infrastruktur politik oleh azyumardi Azra adalah individu, kelompok, pranata, dan lembaga yang langsung atau tidak mendukung kinerja supra struktur, seperti ideologi, lembaga eksekutif, legislative, yudikatif, dan aparat pemerintahan.dan juga Infrastuktur politik itu mencakup tokoh kepemimpinan komunitas, masyarakat sipil, dan kalangan penekan, seperti mahasiswa, akademisi, dan intelektual organik.sedangkan
- SUPRA STRUKTUR POLITIK mengubah perilaku politik mereka; banyak di antara mereka kemudian menjadi beban (liabilities) dalam upaya penguatan demokrasi dan penciptaan tata kelola pemerintah yang bersih dari KKN.
2. Bagaimana pendapat para mahasiswa dengan ide Azyumardi Azra yang mengatakan revitalisasi kepemimpinan komunitas dan masyarakat dengan memberikan ruang lebih besar untuk berkiprah….apakah itu memungkinkan?
.
jawaban : MEMUNGKINKAn !!!REVITALISASI adalah suatu proses atau cara dan perbuatan untuk menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya terberdaya sehingga revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan untuk menjadi vital, sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau sangat diperlukan sekali untuk kehidupan dan sebagainya.JADI kalau kepemimpinan komunitas dan masyarakat memberikan ruang atau kesempatan untuk membuktikanny maka hal itu memungkinkan untuk terjadi.dan dsini cara yang harus diutamakan oleh kepemimpinan komunitas agar dapat berjalan dengan efektif(LANCAR) adalah
1. Peduli dengan kebutuhan komunitas
2. Memahami komunitas dengan baik
3. Fokus pada prioritas
4. Kejelasan peran
5. Bekerja bersama-sama
6. Membangun kemampuan memimpin
7. Berkomitmen untuk lebih memperhatikan masyarakat
8. Berkomunikasi dengan cara yang sesuai
9. Mendorong pada perubahan dan meningkatkan hasil
10. Membangun hubungan yang harmonis dengan pemerintah
11. Menjalin kerjasama yang baik dengan tokoh masyarakat
12. Memastikan adanya hukum dan kebijakan yang mendukung.
3.Idem dengan no 2 membangun masyarakat sipil ke dalam proses politik….apakah memungkinkan juga?
.
jawaban : MEMUNGKINKAN.KAREna dengan membangun atau mengaktifkan masyarakat sipil ke proses politik atau arena politik memiliki beberapa manfaat seperti.
1. mengadakan reformasi lembaga lembaga politik agar menjalankan fungsi dan tugasny secara baik dan benar.
2.memperkuat kepercayaan rakyat dengan cara menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
3. menegakkan supremasi hukum
4. memperkuat posisi indonesia dalam kancah politik internasional.
contohnya : Mengaktifkan masyarakat sipil dlm arena politik salah satu contoh dlm pilkada ada saksi dan pemantau dr masyarakat sipil.
4. Apa saran, metode, atau cara para mahasiswa meretas kepemimpinan partai politik yang oligarkhis saat ini?
.
jawaban :seharusnya parpol merevitalisasi diri dengan menganut paradigma bahwa politik adalah alat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Selain itu, diperlukan juga peningkatan partisipasi dan kritis masyarakat terhadap pelaksanaan demokrasi.dan juga politik oligarkhis harus di hilangkan demi kesejahtraan bersama,kalau negara kita negara hukum,memiliki UUD dan memiliki tugas masing2 maka semua lembaga2 bisa kerja sama memberantas politik oligarkhis.jikalau politik oligarkhis masi terus dilakukan.maka negara harus lebih tegas lagi untuk menghentikanny dengan menegakkan hukum yang sepantasnya kepada yang tidak bisa menjalankanya.
nama : fauzi zuhri surbakti
npm :19.011.113.001