BK PHA XII, POLITIK HUKUM AGRARIA
KULIAH Ke-12 SENIN, 18 JANUARI 2021, JAM 08.30 – 10.30
JURUSAN ; PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH; REINHARD HUTAPEA
Cat: sebagai tugas akhir buatlah makalah dengan judul “Tantangan dan Peluang Reforma Agraria di era Jokowi”. Diselesaikan dalam satu minggu.
⌂
INFORMASI DAN PERKEMBANGAN BARU REFORMA AGRARIA
Pengantar
Pada kuliah ke-11 minggu lalu, jalan keluar yang bisa ditempuh saat ini untuk reforma agraria sebagaimana disarankan Gunawan Wiradi adalah (hanyalah) memperkuat organisasi rakyat dengan penguasaan informasi. Untuk lebih jelasnya kita kutif kembali pendapat beliau dibawah ini:
4. Mengingat hal-hal tersebut di atas, lantas apa yang harus
dilakukan? Sudah jelas,
organisasi
rakyat perlu diperkuat. Diperkuat dalam
berbagai hal! Bukan hal yang
mudah, tetapi harus dilakukan.
5. Salah satu kekuatan organisasi adalah Penguasaan
Informasi. Inilah yang secara
teoritis dapat meningkatkan
posisi-tawar organisasi tersebut. Namun perlu
dicatat, penguasaan informasi tanpa
kesadaran tentang posisi-tawar itu sendiri, ya
hampir tak ada artinya.
Salah satu cara penguasaan informasi adalah dengan aktif
mengumpulkan
informasi, atau melakukan “pendataan” (soal teknis
mengenai hal ini, dapat
dipelajari bersama-sama).
Informasi terakhir tentang perkembangan reformasi agraria ini adalah kebijakan Presiden Jokowi tanggal 7 Januari 2021. Namun sebelum diuraikan apa-apa saja kebijakan yang dikeluarkan pada tanggal 7 Januari 2021 tersebut, dibawah ini akan diutarakan pemikiran-pemikiran seorang tenaga ahli agraria di Kantor Staf Presiden.
∏⌂∏
PERTARUHAN AGRARIA DI 2021
Usep Setiawan
Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden
Kompas, 14 Januari 2021
Menjelang tutup tahun 2020 terjadi perkembangan penting dalam dinamika reforma agraria nasional. Presiden Jokowi menggelar tiga kali rapat internal yang tak hanya dihadiri para Menteri, tetapi juga aktifis Gerakan reforma agraria dan perhutanan sosial.
Kantor Staf Presiden telah menindaklanjutinya dengan melakukan rapat koordinasi dengan Menteri ATR/Kepala BPN, Menteri LHK dan sejumah pejabat eselon 1 dari 14 Kementerian dan lembaga (K/L) bersama empat pemimpin ormas sipil/CSO (23/12/2020). Dalam rapat dibahas perkembangan hasil identifikasi awal atas usulan CSO untuk penyelesaian konflik agraria, reforma agraria, dan perhutanan sosial.
Rapat memutuskan segera dibentuk tim kerja bersama pemerintah dan CSO, penyusunan rencana aksi bersama percepatan reforma agraria untuk 2021. Dalam rapat, keempat pimpinan CSO mengajukan setidaknya 163 lokasi usulan kepada pemerintah. Uraiannya, KPA mengusulkan 54 dari 430 lokasi prioritas reforma agraria, dan SPI menyodorkan 34 dari 135 kasus atau lokasi konflik agraria dan redistribusi tanah.
Lalu, BRWA mengajukan 27 dari 474 lokasi usulan penetapan hutan adat dan GEMA PS menyampaikan 48 kasus penyelesaian konflik, redistribusi tanah dan 82 lokasi usulan perhutanan sosial, khususnya di Jawa. Melihat kasus yang diajukan CSO, tipologi penyebabnya adalah kebijakan di sector perkebunan, kehutanan, infrastruktur, transmigrasi, dan ainnya. Jika dilihat dari aktor yang terlibat, mencakup kategori masyarakat versus bandan usaha miik swasta, BUMN, Instansi Pemerintah, atau masyarakat lainnya.
Langkah presiden membuka pintu lebar bagi para aktivis reforma agraria dan lingkungan hidup menjadi momentum penambahan atas bolong komunikasi politik pemerintah setelah kontroversi pengesahan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.
Kesediaan Presiden mengundang 10 aktivis ingkungan hidup dan 10 aktivis reforma agraria pada 23 Nopember 2020, dan empat pemimpin ormas sipil berpengaruh pada 3 Desember 2020 menjadi penanda kesungguhan niat pemerintah membuka mata dan telinga. Sebagian CSO ini barisan kritikus, bahkan penolak UU Cipta kerja. Presiden membuka pintu Istana bukan hanya guna mendengarkan dan menyerap aspirasi kalangan Gerakan sosial, melainkan juga mengakomodasi substansi dan strategi pelaksanaan legislasi dan regulasi guna membuka dan memperluas lapangan kerja itu. Diakui tak semua kalangan CSO menyambut baik undangan ini.
Pemerintah tentu menghargai setiap pilihan pimpinan CSO. Pemerintah menaruh sangka baik bahwa ketidakhadiran juga merupakan partisipasi publik yang patut diapresiasi dan diberi ruang ekspresi. Makna esensinya yang mesti ditangkap pembuat dan pelaksana kebijakan negara.
Tiga prasyarat
Pelaksanaan reforma agraria perlu adaptasi kebiasaan baru dalam geliat pandemic Covid-19. Memperhatikan dinamika konsolidasi kementerian dan Lembaga Bersama sejumlah CSO diakhir 2020, hemat penulis terdapat tiga hal krusial yang bisa menjadi pertaruhan, yakni menyangkut cakrawala data, kesepahaman akan target dan limitasinya, serta penerapan prinsip kolaborasi.
Pertama, cakrawala data menjadi hal krusial untuk disepakti pemerintah dan CSO. Data yang diajukan CSO umumnya bersifat numerik, baik subjek maupun objeknya. Data spasial berupa peta masih langka. Ini menyebabkan kerumitan dalam eksekusi pemerintah. Masalah data dan peta menjadi penghambat penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah.
Karena itu, klarifikasi dan penyempurnaan data dan peta spasial seluruh titik lokasi kasus/usulan CSO untuk penyelesaian konflik agrarian, redistribusi tanah dan perhutanan sosial, jadi agenda pertama yang harus dituntaskan dalam kerangka aksi bersama jangka pendek.
Kedua, kesepahaman akan target dan limitasi capaian. Perlu juga kesepahaman Bersama mengenai alat ukur dalam menilai capaian dari rencana aksi percepatan pelaksanaan agenda besar ini. Target minimum misalnya terkumpul dan terklarifikasinya seluruh data dari usulan CSO oleh K/L terkait. Target menengah, terklarifikasi dan tertanganinya seluruh data dan usulan tersebut. Inilah kerangka limitasinya. Target maksimumnya tentu adanya eksekusi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria, redistribusi tanah dan perhutanan sosial (terutama hutan adat)
Dalam kacamata Presiden, keberhasilan reforma agrarian dan perhutanan sosial adalah keberdayaan rakyat secara ekonomi sehingga kemiskinan dan pengangguran diperdesaan dapat ditekan serendah mungkin.
Ketiga, aktualisasi prinsip kolaborasi pemerintah dengan CSO. Kolaborasi menjadi kunci guna mengurasi kasus dan usulan lokasi reforma agraria dan perhutanan sosial. Seluruh Menteri dan pejabat K/L harus menginternalisasi maksud presiden.
Kolaborasi percepatan reforma agraria bermakna mendekatkan persfektif, memadukan pendekatan dan menetapkan target capaian dari kesuksesan dan kegagalan. Makna kolaborasi diawali kemauan semua pihak untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Pemerintah sebagai pelayan rakyat menjalankan regulasi dan kebijakan dibawah legislasi negara untuk rakyat. CSO jadi cermin jujur dari realitas lapangan yang obyektif. Perlu keterpaduan keduanya supaya keadilan agraria beranjak nyata.
∏⌂∏
Tiga prasyarat yang diajukan Usep Setiawan ini, bila dibandingkan dengan yang disyaratkan Gunawan Wiradi pada kuliah ke-9, yakni:
1. Kemauan politik
2. Organisasi rakyat harus kuat
3. Data tentang masyarakat harus teliti dan cermat
4. Birokrasi tidak boleh korup
5. Militer harus mendukung
6. Elit politik harus terpisah dari eit bisnis.
Kecenderungannya masih sangat jauh…..No 2, 3, 4, dan 6, tidak disebut Usep Setiawan. Sebagai informasi terakhir bacalah tulisan di bawah ini.
Presiden Jokowi Serahkan SK Pengelolaan Hutan Sosial,
Hutan Adat, dan TORA se-Indonesia
Presiden Joko Widodo pada Kamis, 7 Januari 2021, menyerahkan surat keputusan (SK) untuk Hutan Sosial, Hutan Adat, dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) se-Indonesia. Penyerahan dilakukan kepada 30 perwakilan penerima yang hadir terbatas di Istana Negara, Jakarta, dan kepada penerima lainnya yang mengikuti acara secara virtual di 30 provinsi.
Penyerahan SK yang merupakan bagian dari kebijakan redistribusi aset dan reforma agraria tersebut bertujuan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan menjadi salah satu jawaban bagi banyaknya sengketa agraria.
"Sejak lima tahun terakhir, pemerintah memiliki perhatian yang khusus kepada yang namanya redistribusi aset. Mengapa? Ini terkait dengan kemiskinan, ketimpangan ekonomi, khususnya yang terjadi di pedesaan dan lingkungan sekitar hutan. Redistribusi aset ini juga menjadi jawaban bagi banyaknya terjadi sengketa agraria," ujar Presiden dalam sambutannya.
Dalam penyerahan ini, Presiden menyerahkan sebanyak 2.929 SK Hutan Sosial yang mencakup lahan seluas 3.442.460,20 hektare bagi 651.568 kepala keluarga di seluruh Tanah Air, 35 SK Hutan Adat yang mencakup lahan seluas 37.526 hektare, dan 58 SK TORA yang mencakup lahan seluas 72.074,81 hektare untuk 17 provinsi.
Kepala Negara tidak menginginkan acara penyerahan SK kepada masyarakat ini hanya bersifat seremonial belaka. Tetapi untuk selanjutnya harus dapat dipastikan bahwa SK tersebut benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat penerima dan pengelola lahan hutan yang diberikan pemerintah dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hutan.
"Ini akan saya ikuti, cek terus, untuk memastikan bahwa lahan ini memang betul-betul dipakai untuk kegiatan-kegiatan produktif. Tidak kemudian ditelantarkan, tetapi terus dikembangkan sehingga memiliki manfaat yang besar bagi ekonomi masyarakat. Tujuannya ke situ," tuturnya.
Menurut Presiden, dewasa ini banyak sekali potensi dan peluang usaha yang dapat dikembangkan melalui pengelolaan lahan hutan secara legal tersebut. Masing-masing daerah, misalnya, memiliki komoditas produktif unggulannya tersendiri yang dapat dikembangkan melalui pengelolaan ini.
Namun, tidak hanya sebatas itu, pengelolaan juga dapat dilakukan misalnya dengan menempuh jalan usaha ekowisata. Nantinya, masyarakat dapat membangun kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal, serta pembelajaran dan pendidikan.
"Saya sudah melihat desa-desa di beberapa provinsi dan kabupaten/kota sudah masuk ke sana, ke ekowisata, dan laku, menguntungkan, serta memberikan hasil," kata Presiden.
Apapun bentuk pengelolaan yang akan ditempuh oleh penerima SK, Presiden Joko Widodo memerintahkan jajaran terkait untuk memberikan kemudahan bagi mereka terhadap akses permodalan, terutama Kredit Usaha Rakyat (KUR). Selain itu, Kepala negara juga memandang diperlukan adanya pendampingan yang baik kepada mereka terkait dengan edukasi manajemen usaha beserta penerapan teknologi.
"Saya kira kalau cara-cara ini dilakukan kita akan bisa memetik keuntungan besarnya pada suatu waktu nanti," ucapnya.
Oleh karena itu, Presiden memberikan tugas bagi jajarannya untuk dapat melahirkan terobosan kebijakan yang saling terkonsolidasi antara kementerian, pemerintah pusat, hingga pemerintah daerah agar kebijakan yang ditempuh pemerintah ini benar-benar mampu memenuhi tujuan awalnya, yakni memberikan dampak yang signifikan bagi pemerataan ekonomi dan keadilan ekonomi
rakyat tanpa mengganggu fungsi hutan dan ekosistemnya.
"Hutannya bisa dipelihara, tapi keuntungan juga bisa didapat oleh rakyat," tandasnya.
Hadir dalam acara tersebut di antaranya ialah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Jakarta, 7 Januari 2021
Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden
Tidak ada komentar:
Posting Komentar