KORUPSI, TERPINGGIRNYA RAKYAT DARI KEKUASAAN
Oleh Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 11 Februari 2021
Apakah dewan alfa lupa/amnesia) bahwa KPK sudah memberikan rambu-rambu untuk masalah itu, seperti panduan pengadaan barang dan jasa, agar tidak terjadi mark up, konflik kepentingan, dan perbuatan curang lainnya?
Waspada, 4 februari 2021, menurunkan headline (berita utama) “Sumut Peringkat 3 Terkorup”. Tema/headline yang diangkat dari semiloka DPRD Sumut, yang dihadiri wakil ketua KPK, Lily Pintauli Siregar, yang bertepatan berasal dari daerah ini (Medan).
Sebagai anak Medan yang terkenal “to the point, blak-blakan, dan cenderung kasat mata” bila berbicara, Lily Pintauli Siregar, tanpa tedeng aling-aling sedikitpun, langsung menghunjam ke jantung persoalan, yakni, bahwa, ia malu melihat Sumatera Utara yang hingga kini masih bertengger dalam peringkat ketiga terkorup setelah Jawa Barat dan Jawa Timur.
Dimana sebagian besar perbuatan terlarang itu dilakonkan anggota dewan, dengan berbagai modus, seperti, “uang ketuk palu (pengesahan setiap peraturan daerah/APBD), pembuatan regulasi (peraturan-peraturan daerah), dan lobi-lobi”, yang tak jarang melibatkan kesepakatan haram (Azyumardi Azra, K, 4 Februari 2021).
Pernyataan yang polos, kongkrit, sekaligus menyakitkan bagi rakyat (konstituen) yang tiada putus di rundung malang, atau menderita tiada akhir. Ibarat perjalanan, adalah perjalanan yang tiada tujuannya, sebagaimana dilukiskan Mohtar Lubis dalam novelnya, yaitu “jalan tak ada ujung”. Jalan yang dituntun UUD 1945 dan Pancasila, yakni masyarakat yang adil dan makmur, nyaris selalu dibelokkan kearah yang berlawanan.
Sekedar Kepentingan Lembaga
Termasuk (include) dalam semiloka korupsi DPRD Sumut, jalan mulus Pancasila dan UUD 1945 itu belum tampak. …masih cenderung elitis….Disinggung-dibicarakan saja tidak, apalagi diikhtiarkan? Lily Pintauli Siregar, yang diawal semiloka begitu garang, kongkrit, dan blak-blakan dalam menuding biang kerok permasalahan (perumusan masalah), tidak terlihat kegarangan/keasliannya, ketika ia ditantang, apa dan bagaimana jalan keluar (way out) dari malapetaka akbar tersebut.
Jalan keluar yang ditawarkan, sebagaimana pakem jawaban-jawaban pejabat pada umumnya, hanyalah narasi-narasi “normatif,kualitatif, diplomatis, dan retoris” nan mengambang. Dengan kata lain, tidak atau kurang kongkrit, langsung, atau terukur.
Sinyalemen demikian (paling tidak) terlihat dari tiga hal yang dilantunkan dalam semiloka itu, yakni tentang tanggapan-komentar seorang anggota Dewan, yang mempertanyakan, mengapa pejabat di Nias Selatan yang terang benderang melakukan korupsi, yang sudah dilaporkannya, tidak ditindak-lanjuti/diperiksa-periksa.
Begitu pula tanggapan-komentar anggota dewan yang lain, yang mempertanyakan mengapa hanya anggota dewan yang ditahan, tidak satupun ASN dilingkungan Pemprop yang ditangkap, dalam kasus mantan Gubsu Gatot Pujo Nugroho, dan jalan keluar kongkrit yang bagaimana, seperti apa, untuk meretas korupsi yang merajalela di Sumut.
Jawaban Lily, sebagaimana mantra-mantra jawaban pejabat pada umumnya, cenderung normatif, seperti “agar bersabar, sebab personal KPK tidak mencukupi, laporannya akan dijadikan atensi, dalam pengawasan anggaran agar rakyat dilibatkan aktif, agar dewan menjalankan fungsi dan tugasnya lebih baik, dan lain-lain statement yang kurang terukur (normatif-kualitatif).
Semakin/tambah miris, sebab beberapa hari sebelum semiloka itu (2 februari 2021), Transparansi International Indonesia (TII) mengumumkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negeri ini turun tiga poin, yakni dari 40 menjadi 37 poin (100 terbaik dan 0 terburuk). Artinya, secara nasional/umum tingkat korupsi Indonesia bukan semakin menurun, malah sebaliknya semakin meningkat.
Informasi, pengumuman, atau berita yang sesungguhnya tidak mengagetkan, dan tidak mengherankan, namun sangat memprihatinkan, sebab hal demikian sudah di duga akan terjadi sebelumnya, seperti (1) revisi UU KPK yang kontroversial, yang menurut banyak pengamat akan melemahkan lembaga anti rasuah itu, (2) perilaku pemerintah yang cenderung semakin otoriter, pasca masuknya partai-partai opposisi ke kabinet Jokowi Ma’ruf Amin (3) terbit dan dipaksakannya UU No 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistim Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19, khususnya pasal 20 yang menyatakan pemerintah dan pejabat pemerintah yang menjalankan kebijakan pemulihan ekonomi tidak dapat dituntut, baik pidana maupun perdata, plus (4) UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang popular dengan sebutan Omnibus Law yang banyak ditentang, menjadi kenyataan.akan terjadi hal yang tak diinginkan itu, yakni melesatnya korupsi.
Ke empat hal krusial yang sama sekali tidak dibicarakan dalam semiloka DPRD di atas. Begitu pula misalnya, mengapa sampai 3 kali walikota Medan, dan dua kali gubernur terjerembab korupsi, juga tidak disinggung sama sekali. Apakah dianggap sudah sama-sama dipahami sehingga tidak perlu dibicarakan? Atau karena keterbatasan waktu? Menjadi tanda tanya besar.
Yang jelas, yang mengemuka atau dominan dalam pembahasan semiloka kelihatannya hanya (berputar-putar) pada kepentingan anggota dewan yang terusik karena banyak yang masuk hotel prodeo, dan kepentingan-kepentingan internal dewan dan anggota-anggota dewan pada umumnya.
Permintaan anggota dewan, agar KPK ikut dalam proses penyusunan anggaran (APBD) misalnya adalah indikasinya. Untuk apa KPK yang masih banyak tugas-fungsi yang jauh lebih penting dalam penindakan korupsi, harus terlibat dalam penyusunan anggaran/APBD? Tidakkah sudah ada aturan, mekanisme, prosedur, dan tradisi yang melembaga selama ini untuk menyusun itu? Apakah anggota dewan alfa (lupa/amnesia) bahwa KPK sudah memberikan rambu-rambu untuk masalah itu, seperti panduan pengadaan barang dan jasa, agar tidak terjadi mark up, konflik kepentingan, dan perbuatan curang lainnya?
Terpinggirnya Rakyat
Tidak hanya rambu-rambu demikian yang disediakan KPK. Melainkan juga rambu-rambu untuk pencegahan, agar perbuatan extra ordinary/terlarang itu tidak terjadi, seperti tata kelola pemerintahan yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, serta mendorong pemberdayaan aparatur pengawas intern pemerintah (APIP) Mengapa anggota dewan yang sudah dilengkapi dengan staf-staf ahli, tidak memahami pedoman atau rambu-rambu demikian? Atau ada tujuan (goal) lain?
Mungkin atas pertanyaan-pertanyaan atau hipotesis demikian, meski tidak menolak, namun juga tidak mengiyakan penuh, Lily Pintauli Siregar mengatakan akan memenuhinya via zoom meeting (tidak langsung). Namun yang terpenting menurut beliau dalam pengawasan tersebut adalah melibatkan peran masyarakat secara aktif, termasuk dalam pelaporan dugaan kasus korupsi yang terjadi.
Postulat, aksioma, atau determinant factor, yang seharusnya telah tuntas jika pemerintahan itu disandarkan kepada kedaulatan rakyat (demokrasi), namun tidak dinegeri ini, sebab yang dipraksiskan baru sebatas demokrasi prosedural, yang menempatkan rakyat di pinggir kekuasaan. Lalu Lily Pintauli Siregar mengajaknya ke tengah? Ke pengawasan, pembahasan dan eksekusi anggaran dan regulasi-regulasi lain ? Mimpi di siang bolong kayaknya. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar