MS PTPUU VIII , PROSES DAN TEKNIK PERUNDANG-UNDANGAN
KULIAH KE -8, SABTU/30 JANUARI 2021, JAM 10.00 SD 11.30
JURUSAN PEMERINTAHAN, UDA MEDAN
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat: tugas dalam kuliah terakhir ini, adalah membuat makalah atau artikel. lihat di bagian akhir materi
∏
MEWUJUDKAN NEGARA (HUKUM) DEMOKRATIS BERDASARKAN PANCASILA DAN UUD 1945
PENDAHULUAN
Pada kuliah ke-7, telah diuraikan proses politik dan sumbatan-sumbatannya. Sumbatan-sumbatan yang sesungguhnya sudah banyak dibahas pada kuliah-kuliah sebelumnya (kuliah pertama hingga kuliah ke enam). Akan tetapi agar tetap aktual, direlasikan dengan konsep-konsep terakhir yang ditulis para pakar yang kompeten terhadap masalah itu.
Pakar yang dipilih adalah Azyumardi Azra, mewakili para intelektual, dan Akbar Tanjung mewakili para politisi. Dua konsep – pandangan, yang ternyata saling melengkapi. Azyumardi Azra dalam tulisannya menyimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur politik jauh ketinggaan dari infrastruktur fisik.
Dengan bahasa lain, namun substansi yang sama Akbar Tanjung mendukung/mengamini pendapat Azyumardi Azra. Akbar menekankan agar fungsi partai politik dan sistem pemilu lebih ditingkatkan. lebih jelasnya Akbar mengatakan:
…..selain faktor kepemimpinan, kuatnya kelembagaan partai politik mempersyaratkan adanya kesisteman dan infrastruktur partai yang kokoh, kuatnya kemandirian dan adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis, serta melekatnya di benak masyarakat program-program utama yang menjadi agenda perjuangan partai-partai politik.
Singkatnya ada masalah besar, kalau bukan masalah laten dalam sistim atau tatanan politik. Masalah yang berimbas pada seluruh kehidupan politik, termasuk dalam “Proses dan Teknik Perundang-undangan[1]” sebagaimana yang kita pelajari saat ini.
Pendekatan lain, yakni pendekatan hukum, juga menengarai seperti itu, yakni ada masalah besar dalam perundang-undangan kita. Masalah yang krusial dan laten. Masalah yang diucapkan sendiri oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, ketika menyampaikan laporan Tahunan MK Tahun 2019 di Gedung MK.
Ketua MK menyatakan, berdasarkan penelitian tiga dosen Universitas Trisakti, ada putusan MK yang tidak dipatuhi oleh pemerintah……dan ini adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi, lanjutnya (Hukum online. Com, 29 Januari 2020)
Ada tiga kategori terhadap putusan MK, yang diteliti ;
1. Dipatuhi seluruhnya.
2. Dipatuhi Sebagian, dan
3. Tidak dipatuhi.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap putusan-putusan MK, yakni 109 perkara, di dapat tingkat kepatuhan , yakni dipatuhi seluruhnya sebanyak 59 putusan (54,12 persen), dipatuhi sebagian sebanyak 6 perkara (5,5 persen), tidak dipatuhi sebanyak 24 perkara (22,01 persen), sisanya 20 putusan (18,34 persen) belum dapat diidentifikasi secara jelas dengan berbagai alasan.
Sejak MK didirikan tahun 2003 hingga akhir Desember 2019, MK telah menerima sebanyak 3005 perkara. Dari jumlah itu, perkara pengujian Undang-Undang (PUU) mendominasi tercatat sebanyak 1317 perkara.
Diikuti perkara Perselisihan Hasi Pemilihan Kepala Daerah (PHPUD), Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD (PHPU) sebanyak 671 perkara, dan Perselisihan Hasil Pemiihan Presiden dan Wakil Presiden sebanyak 5 persen. Dan, SKN 26 perkara.
Tingkat ketidak patuhan putusan MK itu didasarkan (sebagaimana disebutkan sebelumnya) hasil penelitin Dosen Universitas Trisakti yang disampaikan ketua MK, Anwar Usman dalam Penyampaian laporan tahunan MK tahun 2019 di Gedung MK Jakarta, 28 Januari 2020, yang dihadiri Presiden dan Ketua DPR RI.
Dalam pertemuan itu, Anwar Usman selanjutnya mengatakan, tingkat kepatuhan terhadap putusan mencerminkan kedewasaan atau kematangan kita sebagai negara hukum demokratis, sekaligus negara berdasarkan hukum.
Baginya hasil penelitian yang menemukan ketidakpatuhan terhadap putusan MK sebesar 22,01 persen dari 109 putusan MK, jelas mengundang tanda tanya besar….
Selain bertentangan dengan doktrin negara hukum, juga bentuk pembangkangan terhadap konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi dalam bernegara. Sebab, konstitusi tidak berarti apa-apa, manakala tidak ditegakkan dan ditaati pemangku kepentingan.
Pernyataan yang diperkuat Direktur Setara Institut, Ismail Hasan yang mengatakan tingkat disiplin para penyelenggara negara dalam mematuhi putusan MK masih rendah. Pada hal, pembangkangan pada putusan MK merupakan bentuk pelembagaan ketidak adilan terhadap warga negara.
Kacau….kacau…kacau. kekacauan yang tak habis-habisnya dibahas. Yang jelas dan pasti dari uraian demikian tersirat bahwa Undang_undang (UU) yang dibuat oleh Presiden dan DPR, sebagaimana yang kita pelajari selama ini, tidak berjalan sebagaimana mestinya, yakni sebagaimana perintah UUD 1945, karena p r o s e s n y a tidak mengikuti prinsip-prinsip yang seharusnya dilakukan, yakni penegakan kedaulatan rakyat/demokrasi.
Katenye kedaulatan rakyet…tapi prakteknye bukan itu….payeh negare neh….katenye reformase…kok repot nase….tidakkah demokrasi itu kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan? Atau kemerdekaan, kesejahteraan, dan keadilan? Keadilan ape….yang ade justru sebaliknya nyong….ketidak adian, seperti cerite dibaweh neh….
Lampiran 1
KETIDAKADILAN SOSIAL JADI
POTRET NYATA DI JAKARTA
Adagium yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, tampaknya masih menjadi gambaran kondisi sosial DKI Jakarta saat ini. Di satu sisi, Jakarta menyuguhkan kemewahan bagi sebagian orang berduit. Di sisi lainnya, masyarakatnya masih hidup dalam kemiskinan.
Musni Umar, sosiolog sekaligus Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta mengungkapkan, sejatinya ketidakadilan sosial di DKI sudah berlangsung sangat lama.
Karena sudah berlangsung lama, maka masyarakat akhirnya menganggap ketidakadilan sosial merupakan realitas sosial yang tidak perlu dipersoalkan dan diributkan.
Dampaknya masyarakat tidak peduli terhadap ketidakadilan sosial, walaupun bertentangan dengan teologis, ideologis, dan sosiologis, ujar Musni.
Karena masyarakat diam dan tidak peduli tegaknya keadian sosial, maka mereka yang berkuasa seakan cuek dan justru membuat Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda), atau Peraturan Gubernur (Pergub) yang memihak kepada kepentingan elit dan pemodal dan tidak memihak terwujudnya keadilan sosial.
Selanjutnya, dengan alas an untuk kepentingan umum dan penataan kota, pemerintah daerah melakukan penggusuran tempat tinggal rakyat jelata yang padat dan kumuh tanpa musyawarah dan ganti rugi.
Ketiga, demi alasan investasi, mereka yang berkuasa membuat peraturan yang memihak kepada pemodal dan merugikan kepentingan rakyat jelata, bangsa, dan negara imbuh Musni Umar.
Suatu hal yang memprihatinkan, masyarakat kelas menengah dan kelas atas, didukung pemberitaan media dan media sosial, mendukung kebijakan apapun yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa.
Akibatnya pemerintah DKI di masa lalu, sesukanya melakukan penggusuran. Walaupun sangat menyayat rasa keadilan, tetap tidak peduli karena merasa didukung kelas menengah dan elit.
Selain itu menurut Musni, pengusaha dan pemodal suka (kerapkali) didukung oleh mereka yang menyebut diri aktivis.
Demi uang dan kekuasaan mereka rela menjadi alat untuk menyerang siapapun penguasa, perorangan, atau kelompok yang mencoba membela sikecil dalam rangka mewujudkan keadilan sosial………
∏
Bagaimana tampil kedaulatan, jika yang mengemuka yang sebaliknya (ketidak adilan)? Tidakkah kedaulatan mensiratkan kesamaan – kesetaraan? Kalau ketidakadilan atau ketimpangan yang melesat, itu pertanda sistim masyarakat itu masih jomplang, alias primitif. Masih seperti era-era gelap dahulu. Era dimana sistim sosial masih feodal, super paternalistik, atau patrimonial.
Dalam konteks demikianlah relevan dikemukakan pendapat guru besar FHUI tahun 1960-an, yakni J. Resink, yang menyatakan bahwa negeri ini doyan mengadopsi konsep-konsep modern dari Barat, seperti, konsep “negara, konstitusi, legislatif, eksekutif, judicative, parlemen, partai-partai politik”, dan sebagainya, namun masyarakatnya masih beraja-raja.
Konsepnya modern, tapi pelaksanaannya kampungan. Mungkin seperti itulah maksudnya Resink secara singkat. -------Modern, tapi primitif….bilangnya rock n roll, tapi suka-hobinya “dangdut”….katanya rasional, faktanya masih emosional……sangat relijius, tapi koruptif. Mohtar Lubis (1977) dulu nyerocos bahwa orang Indonesia itu karakternya
hipokrit/munafik,
enggan
bertanggung jawab,
feudal,
percaya tahyul,
wataknya lemah.
Secara antropologis Kuntjaraningrat (1984), tidak begitu jauh dengan Mohtar Lubis mengatakan bahwa sifat-sifat orang Indonesia itu masih terperangkap …….
· Mentalitas yang meremehkan mutu
· Mentalitas yang suka menerabas
· Sifat tak percaya kepada diri sendiri
· Sifat tak bertanggung jawab
· Sifat tak berdisiplin murni
Semua karakter yang aneh-aneh itu menjadi determinant (factor utama) dalam “Proses dan Teknik Perundang-undangan” yang sedang kita pelajari. Oleh karena itu, tidak usah kaget kalau out put maupun out comenya seperti yang dikatakan Sosiolog Musni Umar di atas…..mereka yang berkuasa seakan cuek dan justru membuat UU, PP, Perda, Pergub, yang memihak kepada kepentingan elit dan pemodal, dan tidak memihak terwujudnya keadilan sosial.
Jelas dan terang, sinyalemen itu bukan demokrasi, apalagi demokrasi Pancasila, sudah pasti tidak seperti itu. Pancasia mensiratkan Keilahian/Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan masyarakat, yang sudah diatur dengan jelas dalam UUD 1945.
Lalu demokrasi yang bagaimana, yang dipraktekkan saat ini? Untuk menelaahnya bacalah tulisan Soekarno, yang di tulis pada tahun 1941 dibawah ini.
Lampiran 2
DEMOKRASI POLITIK DENGAN DEMOKRASI EKONOMI = DEMOKRASI SOSIAL
Negeri Eropah mengenal parlementair democratie sesudah adanya Revolusi Perancis, yang terjadi pada penghabisan abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Parlementaire democratie (demokrasi dengan parlemen) inilah yang dinamakan demokrasi politik atau politieke democratie: semua lapisan rakyat mempunyai hak bercampur tangan di dalam politik kenegaraan, hak buat memilih anggota parlemen dan dipilih menjadi anggota parlemen.
Kalau ditilik dengan sekelebatan mata saja (sekilas), maka memang cara pemerintahan semacam ini seperti sudah bisa menyenangkan 100% kepada rakyat. Bukan?, mau apa lagi?, - toh sudah bisa memiih atau dipiih buat parlemen, boleh membuat usul ini atau itu, boleh menyetem pro kalau mufakat dan boleh menyetem menolak kalau tidak mufakat, boleh mengadakan undang-undang baru atau meniadakan undang-undang lama, boleh menjatuhkan Menteri yang tidak disenangi atau mengangkat Menteri baru yang dicocoki? Mau apa agi, bukan?, - kan ini sudah satu cara pemerintahan yang 100% “dengan rakyat”, oleh rakyat, buat rakyat?
Sekelebatan mata saja memang begitu. Tetapi di dalam prakteknya ternyataah, bahwa rakyat di dalam negeri-negeri yang memakai cara pemerintahan yang demikian itu, belumah 100% senang. Di negeri-negeri yang ada parlemen, terutama di dalam urusan r e z e k I, di dalam urusan e k o n o m I , rakyat jelata masih saja banyak menderita kemiskinan. Dinegeri-negeri yang ada politieke democratie itu seperti Perancis, seperti Inggris, seperti Amerika, Belgia, Nederand, Zwedia, Nowegia, dan lain-lain maka disitulah ada kapitalisme.
Dinegeri-negeri itu malahan subur kapitalisme itu, subur stelsel cara produksi dengan memakai tenaga perburuhan. Karena itu ternyatalah, bahwa untuk membuat sejahtera rakyat-jelata, politieke democratie atau parlementaire democratie saja b e l u m l a h c u k u p. masih perlu agi ditambah dengan demokrasi dilapangan lain, kerakyatan dilapangan lain, kesama-rasa-rataan dilapangan ain. Lapangan ain ini ialah lapangan r e z e k I, lapangan ekonomi. Demokrasi politik saja belum mencukupi, demokrasi politik itu masih perlu di- complete” – kan lagi dengan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik saja belum cukup, - yang mencukupi ialah demokrasi politik p l u s demokrasi ekonomi.
Memang dari t a r I c h – t u m b u h n y a politieke democratie sudah tampaklah bahwa politieke democratie itu “ada apa apanya”. Dari ontstaans-vormnya ia nyata satu demokrasi yang tidak sempurna bagi rakyat. Sudahkah pembaca pernah membaca tarics terjadinya parlementaire democratie alias politieke democratie itu? Kalau belum, dibawah inilah dia, dalam garis-garis yang besar.
Sebagai tadi saya katakana, negeri Perancislah tempat buatannya parlementaire democratie itu. Sebelum silamnya abad kedelapan belas maka Perancis adalah satu negeri yang f e o d a l. Cara pemerintahan disitu adalah cara pemerintahan yang a u t o k r a t i s: Kekuasaan kenegaraan, kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan kehakiman, semuanya itu adalah memusat ketangannya seorang raja, yang sama sekali c a k r a w a r t i di dalam segala urusan negara. Tiap tiap perkataannya menjadi wet, tiap-tiap pendapatnya menjadi hukum, tiap-tiap titahnya menjadi nasibnya seluruh negeri dan rakyat. Ia memandang dirinya sebagai ganti Allah di dunia, ia anggap kekuasaannya itu sebagai gantinya kekuasaan Allah. Ia persatukan dirinya dengan negara, ia berkata bahwa sebenarnya “negara” tidaklah ada, - negara adalaha dia sendiri, negara adalah I n g s u n P r I b a d i, “L’ Etat, c’est moi”, - negara ialah aku! Inilah cara pemerintahan yang dinamakan a b s o l u t e m o n a r c h I e, pemerintahannya seorang raja saja yang kekuasaannya tidak terbatas. Dan bagaimana raja seorang diri itu bisa berdiri tegak menjalankan kekuasaannya yang demikian itu? Bagaimana ia seorang diri bisa menjalankan kecakrawartian yang demikian itu? Ia bisa menjalankan kecakrawartian itu karena disokong oleh kesetiaannya kaum adel dan geesteijkheid, kesetiannya kaum ningrat, dan kaum penghulu-penghulu agama.
Bukan saja pada silamnya abad kedelapan belas ada cara pemerintahan yang demikian itu, bukan saja di zaman yang akhir-akhir sebelum Revolusi. Tidak, telah berabad-abad cara pemerintahan yang demikian itu beraku di Perancis (dan negeri-negeri lain), zonder ada letusan ketidak senangan hati dari pihaknya rakyat jelata. Tetapi pada silamnya abad kedelapan belas “maatschappelijke verhoudingen” mulai berobah, perbandingan-perbandingan masyarakat mulai berobah. Apa yang telah terjadi? Pada silamnya abad kedelapan belas itu mulai timbullah s a t u k e l a s b a r u dimasyarakat Perancis, yang makin lama makin bertambah arti, makin lama makin penting, makin lama makin kuat. Kelas baru ini iaah “ k e l a s n y a k a u m p e r u s a h a a n”. kelasnya kaum perniagaan, kaum handelar industri, kaum b u r j u i s, yang membuka dan menjalankan perusahaan-perusahaan beraneka ragam buat mencari untung.
Mula-mula tidak terlalu teranglah oleh kelas baru ini keburukannya cara pemerintahan feodal itu. Maklum mereka belum biak, belum subur, belum “nonjol betul di dalam masyarakat. Tetapi mereka selalu bertambah penting di dalam produksi-produksi masyarakat Perancis. Mereka punya peusahaan-perusahaan mau bangun dimana-mana. Akhirnya pada silamnya abad kedelapan belas terasalah betul oleh negara cara pemerintahan absolut, monarchie itu sebagai satu b e l e n g g u yang mengikat kegiatan mereka. Segala-gala kekuasaan ditangan raja, segala-gala hukum datangnya dari situ, mereka harus menurut dan menerima saja, pada hal mereka mau menaik betul keatas udaranya masyarakat, sebagai burung garuda diangkasa siang. Tidak bisa subur betul mereka punya perusahaan-perusahaan itu, selama wet-wet feodal, selama masih wet-wet negeri, selama aturan negara hanya menguntungkan kepada raja dan adel dan geestelijkheid saja, - selama bukan mereka sendiri yang memegang kemudi pemerintahan. Sebab hanya mereka, hanya merekalah sendiri yang tahu betul-betul undang-undang apa yang mesti diadakan buat menyuburkan mereka punya perusahaan, mereka punya perniagaan, mereka punya pertukangan, mereka punya kegiatan ekonomi, - bukan kelas lain atau orang lain.
Apa daya? Jalan satu-satunya ialah merebut kekuasaan itu! Merebut kemudi pemerintahan dari tangannya raja dan ningrat dan penghulu agama, merebut kecakrawartian itu dari tangannya feodale autocratie, - ke dalam tangan mereka sendiri! Tetapi sudahkah cukup mereka punya kekuatan untuk menjalankan perjuangan ini dengan harapan sukses? Raja menguasai bala tantara, raja memerintah polisi dan hakim-hakim, raja menggenggam segenap machtsapparaatnya negara, - tetapi mereka?
Disinilah kaum perusahaan itu lantas memainkan satu rol yang paling hebat di dalam mereka punya sejarah; mereka mencari kekuatan itu dikalangan rakyat jelata! Mereka semangatkan rakyat-jelata itu kepada mereka punya perjuangan! Mereka mobilisir rakyat jelata itu menjadi satu tenaga yang berjuang bagi kepentingan dan kemanfaatan mereka.
Mereka tahu, - sudah lama rakyat jelata itu menggerutu. Sudah lama rakyat jelata itu marah dan dendam, karena ditindas oleh feodale autocratie itu. Baik dikota-kota besar seperti Paris dan Lyon maupun didusun-dusun seluruh Perancis, rakyat jelata miskin dan papa-sengsara, diperas habis-habisan oleh raja dan ningrat dan penghulu-penghuu agama itu, ditumpas semua hak-haknya sehingga boleh dikatakan tiada hak lagi baginya sama sekali. Apa yang lebih mudah dari pada membangkitkan rakyat jelata itu supaya berjuang melawan penindas-penindasnya itu?
Maka rakyat-jelata itu dibangkitkanlah oleh kaum perusahaan itu! Dibangkitkan dengan semboyan yang muluk-muluk, yang berisi tuntutan, hak campur tangan bagi rakyat di dalam dapurnya pemerintahan. Dibangkitkan dengan pekik perjuangan “liberte, egalite, fraternite”, - kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Dibangkitkan dengan tuntutan “semua bagi rakyat, semua dengan rakyat, semua oleh rakyat”, dibangkitkan dengan pidato-pidato revolusioner dan dengan mendirikan N a t i o n a l e V e r g a d e r i n g (parlemen), yang disitulah semua hukum-hukum buatan feodale autocratie itu dibongkar dan ditiadakan, diganti dengan wet-wet baru bikinan rakyat sendiri. Dibangkitkan dus dengan semboyan parlementaire democratie, yakni cara pemerintahan yang berdasar kepada suara rakyat dan kehendak rakyat.
Dan hebatlah juga kesediaan rakyat jeata Perancis buat berjuang mati-matian melaksanakan tuntutan-tuntutan dan semboyan-semboyan itu! Hatinya tertangkap sama sekali oleh keindahan sinarnya idealism baru itu, berkobar-kobar menyala-nyala menyundul langitnya extase, menghebatkan dendamnya rakyat jelata Perancis itu menjadi satu “revolutionnaire will”, satu “kemauan revolutionnair”, yang menggelombang menghantam tembok-temboknya kekuasaan feodale autocratie itu dengan cara yang gemuruh gegap gempita! Raja runtuh, kaum ningrat runtuh, kaum penghulu agama runtuh, semua elemen-elemennya feodale autocratie itu runtuh oleh hantamannya offensief rakyat-jelata Perancis itu….Dan jikalau nanti abad kedelapan belas telah silam, diganti dengan abad kesembilan belas, jikalau abad kesembilan belas ini telah berusia beberapa tahun pula, maka telah habislah sama sekali di Perancis itu tiap-tiap sisa dari feodae autocratie itu, telah habislah absolute monarchie, - telah berkibarah di Perancis benderanya r e p u b l i k dan benderanya parlementarie democratie.
Revolusinya kaum perusahaan di Perancis telah berhasil! Revolusinya kaum peusahaan, dengan tenaganya rakyat jelata dan darahnya rakyat jelata! Revolusi ini segeralah menjadi suara lonceng pula buat lain-lain negeri dibenua Eropah, buat menghapuskan sistim-sistim yang feodal, otokrasi, absolutism. Revolusi ini, - dengan pertumpahan darah atau zonder pertumpahan darah, - fahamnya, ismenya menjalarlah ke Belgia, kenegeri Belanda, kenegeri Jerman, kenegeri-negeri utara, ke Swis, ke Denmark, dan kenegeri-negeri lain. Raja-raja yang memerintah dinegeri itu diikatkan kekuasaannya dengan parlementaire democratie, ditelikung kecakrawartiannya yang tiada berbatas, ditundukkan kekuasaannya absolute monarchie menjadi constitusionele monarchie (kerajaan berdasarkan konstitusi) yang musti tunduk kepada grondwet (undang-undang dasar) dan kehendak rakyat. Sejak pertengahan abad kesembilan belas, boleh dikatakan seluruh Eropah Barat sudahlah menjadi padangnya sistim-sistim baru parlementaire democratie itu: parlemen pembuat wet, parlemen pengontrol tiap-tiap perbuatan pemerintah, parlemen pemegang kemudinya perahu negara…
Tetapi!
Justru di Eropa Barat itulah pada pertengahan abad kesembilan belas kapitalisme mulai menaik betul-betul. Justru di Eropah Barat ituah sejak dari waktu itu kapitalisme dengan pesat menjalankan ia punya oppgang, ia punya “Aufstieg”, ia punya kenaikan sebagai yang saya gambarkan di dalam artikel nomor lebaran tempo hari. Justru di Eropa Barat itulah sejak dari waktu itu kelas burjuis menjadi maha-kuasa. Kelasnya feodalendom surut dan silam, kelasnya otokrasi keningratan hilang dan hapus, tetapi tempatnya digantiah dengan kelasnya kapitalismendom yang maha kaya. Dan rakyat jelata, yang di Perancis melaksanakan suruhannya kelas burjuis itu dengan mengorbankan ia punya darah dan ia punya jiwa, rakyat jelata itu dilapangan ekonomi tetaplah papa-sengsara. Rakyat jelata itu diapangan ekonomi tetaplah kelas yang menderita, tetaplah duduk di pihak yang buntung. Rakyat jelata itu di Perancis nyatalah diperkudakan semata-mata oleh kelas burjuis, disuruh mengupas nangka, disuruh kena getah, tetapi tidak dikasih makan nangkanya.
Tentu, - ia punya hak-hak politik kini adalah jauh lebih luas daripada dulu. Kini ia boleh memilih, kini ia boleh masuk parlemen, kini ia boleh bersuara, kini ia boleh memprotes, kini ia boleh berkehendak, - dulu ia hanyalah budak semata-mata yang hanya mempunyai kewajiban dan tidak mempunyai hak. Dulu ia hanyalah kena “sabda pandita guru”. Tetapi apakah yang kini didapat sebagai untung dilapangan ekonomi? Dulu ia kekurangan rezeki, kini ia masih kekurangan rezeki. Dulu ia “kawulo”, kini ia “buruh”. Dulu ia “horige”, kini ia “proletar”.
Ini, inilah pertentangan yang ada dalam demokrasi itu: Pertama, pertentangan antara adanya hak politik dengan k e t i a d a a n h a k e k o n o m i ………….
∏
Demokrasi Sosial
Tulisan Bung Karno demikian belum selesai…..Yang jelas pesannya adalah, demokrasi itu akan mencapai tujuannya, apabila yang dipraktekkan adalah demokrasi sosial. Tidak sekedar demokrasi politik.
Demokrasi yang dipraktekkan di Indonesia saat ini, jelas bukan demokrasi sosial yang dititahkan Bung Karno sebagai penggali Pancasila, yang sudah di atur dalam UUD 1945, melainkan hanya sekedar demokrasi politik, yang hanya menguntungkan segelintir elit dan pemodal.
Dan referensi seperti demikian yang kita gunakan dalam mata kuliah “Proses dan Teknik Perundang-undangan”.
Lalu?.....silakan para mahasiswa memberi tanggapan. Tanggapan yang disusun secara anaitis, yakni daam bentuk makalah atau artikel, dengan jumlah kata 500 – 600 kata, satu setengah spasi. Judulnya bebas….atau pilih dari judul judul dibawah ini;
1. UU Omnibus Law Yang Kontroversial
2. Masalah-Masalah Dalam Penyusunan UU
3. Menakar Nilai-Nilai Pancasila dalam UU
4. Pemikiran Bung Karno Tinggal Kenangan
5. Praktek Legislasi Yang Buruk
6. Proses Legislasi Yang tidak Mendengarkan Aspirasi Publik.
Diselesaikan selama satu minggu, dan dikirim ke e mail saya. Merdeka
[1] Menurut Dekan FH UGM, Sigit Riyanto, praktek legislasi (proses – mekanisme – prosedur pembuatan Undang-Undang) kita masih buruk dan tidak mendengarkan aspirasi publik. Hal demikian , ia katakan Ketika menanggapi turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, dari skor 40 menjadi 37 (Kompas 29 Januari 2021).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar