Rabu, 17 Februari 2021

MU HMM, HUKUM MEDIA MASSA

 


 

MU HMM , HUKUM MEDIA MASSA

UJIAN AKHIR SEMESTER

Kamis 18 FEBRUARI 2021

JURUSAN KOMUNIKASI FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

 

Cat: bacalah dengan seksama dan jawablah pertanyaan yang ada dibagian akhir

Pengantar

Hukum Media Massa sebagaimana kita pahami bersama adalah bagian/sub dari Sistim dan Tata Hukum Indonesia. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan terikat dengan sistim, struktur, atau tatanan hukum nasional.

Masalahnya adalah, bagaimana dan seperti apa hukum nasional itu. Adakah ia sesuai dengan tujuan atau hakiki dari hukum itu sendiri, dari Pancasila dan UUD 1945, yakni memberikan rasa keadilan bagi  masyarakat?

Dari pergaulan sehari-hari, sering kita dengar ucapan yang mengejek, mengolok-olok, plesetan-plesetan, dan lain-lain skeptisisme, tentang hukum kita, seperti;

·         Tajam ke bawah, tumpul ke atas,

·          Kasih uang habis perkara,

·          Maling ayam dihukum berat, koruptor di hukum ringan

·         Tebang pilih dalam pemilihan perkara…..

Atau seperti dikumandangkan Mahfud MD baru-baru ini di Alm Indonesia Lawyers Club (ILC) bahwa di Fakultas Hukum diberikan/diajarkan mata kuliah “Hukum Industri”, namun dalam praksisnya yang tampil atau dipraktekkan adalah sebaliknya, yakni “industri hukum”.

Walaupun tidak diuraikan Mahfud lebih jauh, maksudnya adalah bahwa yang memahami hukum, seperti para sarjana hukum, lawyer, dan penegak-penegak hukum lainnya, justru membalikkan (kalau bukan memporakporandakan) apa yang dipelajari di fakutas hukum tersebut. Demi memenangkan klin yang dibelanya dalam suatu perkara, nilai, prinsip, dan ayat-ayat hukum di utak-atik, demi memenangkan yang dibelanya, meski orang itu bersalah (Membe dan memenangkan yang salah).

Dibuatlah hukum-hukum baru, interpretasi-interpretasi/penafsiran-penafsiran baru sesuai maksud-maksud sempitnya (vested interest). Yang seharusnya kepala, dibuat menjadi kaki. Kaki menjadi kepala. Sungguh suatu dunia yang terbalik-balik (bahasa rakyatnya seperti disebut sebeumnya, membela yang bayar…bukan membela yang benar).

Yang sangat seram, namun di bungkus secara halus, adalah, apa yang popular dengan sebutan “Mafia Hukum – Mafia Peradilan”. Mereka-mereka, atau kalangan-kalangan tertentu yang bermain di balik layar (invisible hand), namun sangat menentukan dalam menang-kalahnya suatu perkara di pengadilan. Mereka yang mengatur hukum, bukan hakim atau jaksa.

Para mahasiswa mungkin masih ingat kasus Nenek Minah, nenek yang dihukum penjara 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan, karena memetik 3 buah kakao. Sang nenek dinyatakan bersalah di pengadian. Analog dengan kasus nenek Asyani di Situbondo tahun 2015, yang di vonnis 1 tahun penjara, dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan, dan denda Rp 500 juta, karena mencuri 2 batang pohon jati milik Perhutani.

Kasus seorang siswa SMK yang dipenjara 5 tahun karena mencuri sandal jepit milik seorang Briptu….Di Sumatera Utara, yang sempat viral adalah kasus kakek Sarimin (68 tahun), yang dijatuhi hukuman 2 bulan oleh pengadilan Simalungun. Ia dihukum karena terbukti bersalah memungut sisa getah pohon karet di perkebunan Bridgestone seberat 1,9 kg (Rp 17.000)

Yang sangat mengenaskan adalah kasus yang dialami Ompung (nenek) Saulina boru Sitorus, yang berusia 92 tahun. Ia dihukum 1 buan 14 hari oleh pengadilan negeri Balige, pada 29 Januari 2020 lalu. Ompung Saulina Sitorus ini dinyatakan bersalah karena menebang durian untuk pemakaman leluhurnya.

Sosiolog Imam Prasojo yang dimintai pendapatnya tentang kasus nenek dan Ompung tersebut, menyatakan bahwa hukuman itu menggambarkan proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri. Dengan nada lain, namun substansi yang sama, pakar hukum, Hikmahanto Yuwana menyebutnya, hukum yang tajam hanya ke bawah, namun tumpul ke atas.

Tumpul ke atas, karena kasus-kasus orang besar dan kuat tidak seperti yang dialami orang-orang kecil demikian. Mereka (yang besar dan kuat) ini mendapat perlakuan-perlakuan istimewa. Ada yang koruptor bermilyar-milyar, hingga triliunan, namun hukumannya hanya sekian tahun….mirisnya lagi mereka mendapat tempat, bak hotel (istana) dipenjaranya. Siapa-siapa itu, para mahasiswa dapat melihatnya melalui Google…..

Kasus-kasus raksasa yang hingga hari ini belum diadili antara lain adalah:

·         KKN Soeharto

·         Dana ketahanan pangan era Habibie

·         Kasus BLBI

·         Kasus Century

·         Kasus Jiwasraya

·         Kasus Asabri

·         Dll

Masih banyak yang dapat diuraikan tentang amburadul, acakakadut, dan kacau balaunya penegakan hukum (rule of law/rule of game) di negeri Pancasila ini. Jika di urut mengapa terjadi ha yang tak diinginkan itu, adalah karena:

1.     Lemahnya integritas penegakan hukum

2.     Tidak ada pengawasan yang efektif

3.     Masih melihat hukum dari kontennya

4.     Mentalitas praktisi hukum yang lemah

5.     Struktur hukum yang overlapping kewenangan

6.     Sarana dan prasarana hukum kurang memadai

7.     Peraturan hukum yang kurang jelas

8.     Independensi hukum masih bermasalah

9.     Proses peradilan yang masih bermasalah

10. Kurangnya Kesadaran masyarakat

11. Lemahnya political will dan political action dari pemerintah

12. Penegakan hukum masih positivis-legalistis

13. Peraturan perundang-undangan masih belum memihak rakyat

14. Kebijakan seringkali diputuskan oleh pihak terkait.

15. Budaya lama yang terus dilanjutkan

Sungguh suatu potret yang buram dan kusam yang jauh dari harapan rakyat…..

            Hukum Media Massa ada di dalam ranah demikian….ia bagian dari carut-marut, acakadut, dan amburadul, bak menegakkan benang basah di tatanan yang sakit. Kelemahan-kelemahan yang telah kita bahas selama ini, yang berakar dalam tatanan hukum yang belum tegak,

v  yang masih tajam ke bawah, tumpul ke atas,

v   KUHP alias Kasih Uang Habis Perkara…..

v  Yang masih tebang pilih

v  Yang masih konservatif….

Lalu, dibiarkan saja begitu terus?....ternyata tidak

 Untuk meretas kekarut-marutan hukum demikian, Alm Prof Satjipto Rahardjo, pernah menawarkan “penegakan hukum progresif”….berhukum harus berani keluar dari cara-cara konvensional dan status quo. Teks hukum yang selama ini didewakan harus dianggap sebagai sesuatu yang diperuntukkan untuk manusia dan kemanusiaan.

Para pelaku atau aktor hukum harus berani menafsirkan teks hukum dengan membebaskan diri dari logika hukum semata, melakukan lompatan, agar persoalan di masyarakat yang bergerak secara dinamis dapat dijawab dan diselesaikan “wadah hukum yang statis” (M. Zulva Aulia, FH Unja)

Bagaimana implementasi dan pelaksanaannya? Digubriskah?...jauh panggang dari api. Konsep hanya sebatas konsep. Perubahan yang diharapkan, sebagaimana direkomendasikan Prof Satjipto Rahardjo hanya ibarat es yang dicampakkan ke air, tidak lama kemudian mencair….kembai ke jati diri kelemahannya………..

Hukum Media Massa, sebagaimana disebut di atas, adalah bahagian dari hukum yang sakit itu….

·        UU Pers   UU No 40 Tahun 1999

·        UU Penyiaran   UU No 32 Tahun 2002

·        UU ITE 

Tidak terlepas dari kelemahan, kontroversi, dan penyakit demikian. Seperti apa, dan bagaimana kelemahan, kontroversi, dan penyakit ini, telah kita bahas dengan dinamis dalam kuliah, diskusi, dan kuis. Keculai bagi yang tidak aktif/malas……atau yang tak mau berpikir

 

S O A L

1.      Jelaskan secara sistematis faktor-faktor yang mendasari, atau pertimbangan dibuatnya UU Pers (UU No 40 Tahun 1999)

2.     Sama/idem dengan no 1, dasar dan pertimbangan dibuatnya UU Penyiaran (UU No 32 Tahun 2002)

3.     Meski sesungguhnya tidak merupakan UU Media Massa, UU ITE telah sangat berpengaruh terhadap perkembangan media. Jelaskan dengan runtut mengapa disebut demikian. Selain itu jelaskan juga, mengapa akhir-akhir ini/hingga penulisan UAS ini, banyak kalangan, ramai-ramai, termasuk Presiden Jokowi (Jokowi: Kalau Picu Ketidakadilan Hapus Pasal Karet UU ITE, SIB, 18 Februari 2021) ) menggugat agar UU ITE di revisi.

4.    Dalam rangka memperingati hari pers yang jatuh pada tanggal 9 februari yang lalu banyak komentar bermunculan dari para pakar atau tokoh. Salah satunya adalah Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers. Ia mengatakan agar  negara hadir dalam ketimpangan ekosistem media yang terjadi saat ini, yakni ketimpangan yang diakibatkan oleh disrupsi digital antara platform digital global dan media arus utama, dimana platform digital global memonopoli distribusi konten (diperkirakan sekitar 56 persen). Sebagai produsen, media arus utama tidak mendapatkan kompensasi ekonomi yang memadai atas monetisasi konten yang didstribusikan platform digital global. Ini juga merupakan bentuk, pengabaian hak cipta atas karya jurnalstik. Ketertutupan sistem algoritma platform digital global juga menciptakan monopoli data pengguna oleh platform digital global…..Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Australia, membuat peraturan untuk mengurangi monopoli berlebihan platform digital…..peraturan di negara-negara tersebut membuat platform digital global harus membayar konten kepada penerbit sebagai produsen konten (Kompas, 9 februrai 2021). Pertanyaan: bagaimana dengan Indonesia, apakah pengaturan seperti yang dilakukan di Amerika Serikat, Jerman, dan Australia sudah juga dilakukan?

5.     Idem dengan no 4, kali ini datang dari Moeldoko, Kepala Staf Presiden. Beberapa pernyataan beliau utarakan dalam rangka hari pers nasional, seperti: (a) bahwa ia sering ngomong benar, tapi  wartawan menulisnya salah, bagaimana jika ngomong salah? Bisa babak belur…(b) fenomena click bait, yakni, judul dan isi berita tidak sama….(c) munculnya berita yang serba mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lain yang tidak ada sangkut pautnya…..(d) tampilnya gempuran berita bohong, hoaks, berita disinformasi di media arus utama dan media sosial…..(e) media on line yang lebih mengutamakan kecepatan ketimbang keakuratan, sehingga meninggalkan konfirmasi dan pemahaman konteks….(f) di era post truth, masyarakat lebih percaya pada persepsi dan asumsi, dibanding data dan kebenaran. Pertanyaan, jelaskan (dan sedapat mungkin berikan ilustrasi) secara logis dan sistimatis pernyataan-pernyataan Moeldoko tersebut.

 

Selamat bergembira mengerjakan UAS.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar