Kamis, 24 Desember 2020

MENUJU PERGURUAN TINGGI PANCASILAIS

 


 

MENUJU PERGURUAN TINGGI PANCASILAIS

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan dan anggota ISRI

Published, Waspada, 26 Juni 2019

Aneh sungguh-sungguh aneh dan tak normal, bagaimana perubahan politik yang begitu radikal, tidak diikuti perubahan pendidikan. Apa yang salah?

Wapres Yusuf Kalla dalam orasinya pada peringatan hari Pendidikan nasional 2 Mei 2019 di Universitas Negeri Yogyakarta, nyeletuk agar perguruan tinggi melihat jauh ke depan, visioner. Kalau tidak seperti itu, yakni tidak visioner, maka sama saja dengan museum, yakni hanya mempraksiskan hal-hal yang sudah lewat, yang jauh dari kebutuhan bangsa  Bagaimana Kalla nyentil seperti itu? Apa yang keliru dengan perguruan tinggi kita? Adakah yang baru dari sentilannya? Tidakkah pengulangan belaka dari kritik-kritik sebelumnya?

Kalau kita runut kebelakang (flash back), pernyataan seperti itu lebih dari cukup telah diutarakan berbagai kalangan. Istilah gonta-ganti kebijakan, kurikulum, atau muatan pendidikan yang tak mendasar, setiap pergantian kabinet telah akrab dalam pergaulan/interaksi antar masyarakat sejak dulu. Penyakit/masalah klasik, laten, dan krusial yang terus dihembus-hembuskan, namun tak pernah diselesaikan dengan tuntas.

Dengan kata lain tidak ada yang baru dari celetukan Kalla. Sindiran-sindiran yang jauh lebih cadas, telah banyak disuarakan. Kurang apa Emil Salim yang menuding alumnus-alumnus UI yang “kapitalis dan berorientasi menak”, dan Satjipto Rahardjo yang mencap alumnus-alumnus perguruan tinggi, yang tidak sekedar kapitalis, tapi sudah “konglomeraat” pada era Soeharto/Orde Baru?

Belum lagi Hatta yang jauh sebelumnya telah berdendang bahwa orang-orang terdidik/intelektual yang bersemayam di Indonesia adalah orang Barat di Timur (kepalanya di Barat, kakinya di Timur), atau budayawan Rendra yang bersyair, intelektual yang berumah di angin, dan lain-lain konseptualisasi, yang menggambarkan betapa jauhnya hubungan antara kampus dengan masyarakatnya.

Miris, bagaimana perguruan tinggi yang seharusnya melahirkan kaum cerdik-pandai, intelektual, agent of change, dan suara kenabian bagi bangsa, negara, dan masyarakatnya, justru menjadi bagian dari masalah. Mengapa terjadi seperti itu?

Sentilan Baru Penyakit Lama

Secara halus namun menohok Sarlito Wirawan Sarwono dalam disertasinya “Perbedaan Antara Pemimpin Dan Aktipis Dalam Gerakan Protes Mahasiswa (1978) menengarai bahwa perguruan tinggi-perguruan tinggi di negeri-negeri sedang berkembang (NSB), termasuk Indonesia, memang masih seperti itu. Yakni, perguruan tingginya yang berlari kencang, sebaliknya masyarakatnya masih (berjalan) merayap-rayap. Sampai kapan?

Tidak ada jawaban yang sederhana. Pernyataan tinggal pernyataan, kritik tinggal kritik, solusi significan tak pernah muncul. Ganti pejabat, ganti kebijakan, namun problem fundamental-substansial pendidikan tinggi permanen jalan di tempat. Kebijakan yang muncul, entah mengapa selalu kebijakan yang coba-coba (trial and error) yang tidak menyelesaikan something wrong nan fenomenologis.

Tahun 1952, Presiden Soekarno mengkritik habis-habisan materi, kurikulum, dan teori ekonomi yang diajarkan di fakultas ekonomi UGM yang dianggap tidak sesuai kebutuhan Indonesia yang sudah/baru merdeka. Pemimpin besar revolusi ini tidak setuju dengan dengan buku “Economics” yang ditulis Paul Samuelson sebagai referensi utama, sebab tidak mengajarkan “kerjasama” (cooperation) sebagaimana jati diri bangsa Indonesia, melainkan “persaingan” (competition) yang berlangsung di masyarakat Barat/Amerika Serikat.

Persaingan sebagaimana hakikinya, adalah paham, aliran, atau filosofi yang memberikan kebebasan pada setiap individu berkompetisi di pasar, karena  persaingan tersebut konon akan menghasilkan komoditi yang bermutu dan harga yang murah sehingga masyarakat, konsumen, atau pembeli, akan diuntungkan. Dengan kata lain pasar bebas (freemarket)

Sebaliknya Indonesia yang masyarakatnya tidak individualistik, melainkan kekeluargaan/gotong royong/kolektiviteit sudah barang tentu tidak sesuai dengan sistim ekonomi demikian (pasar bebas). Negeri ini sebagaimana kesepakatan para pendiri negara yang telah dituangkan dalam Pancasila, dan khususnya pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomiannya didasarkan kepada usaha bersama dengan azas kekeluargaan.

Singkatnya muatan, materi, atau kurikulum yang diajarkan di perguruan tinggi tersebut bertolak belakang dengan kebutuhan bangsa, masyarakat, dan negara. Namun karena saat itu Indonesia baru merdeka, tiada pilihan lain, selain/terpaksa mempraksiskan bahan-bahan kuliah, termasuk dosen-dosennya, yang masih warisan Barat nan Kolonial, dengan harapan step by step (sesuai perjalanan waktu) akan diselaraskan dengan kebutuhan bangsa.

Tekad demikian terbaca dengan jelas dari pidato Soekarno waktu pembentukan Lemhanas 20 mei 1965. Soekarno dengan tegas memerintahkan agar semua yang diajarkan dalam lembaga dan sistim pendidikan Indonesia harus sesuai dengan jati diri Indonesia. Tidak Barat, tidak Timur, tidak kiri, tidak kanan, tapi nan berkarakter Indonesia.

Bagaimana Soekarno mengutarakan itu dapat dibaca dalam kutipan dibawah ini: ……karena itu di dalam Lembaga Pertahanan Nasional yang saya setujui ini, ialah diberi kuliah pengetahuan kepada semua pengikut-pengikutnya, supaya kita mengetahui dengan benar-benar, tanah air kita, geografi tanah air kita, asal rakyat kita, mentalitas rakyat kita, ekonomi kita, kultur kita. Semuanya itu akan kita olah menjadi bahan untuk menyusun dan menentukan pertahanan nasional kita. Kalau kita tidak mengetahui keadaan tanah air kita, konstalasi tanah air kita, de physieke constallatie dan mentalle constallatie dari tanah air kita, dari rakyat kita, dari ekonomi kita, dari kultur kita, kita tidak akan bisa menyusun pertahanan nasional Indonesia yang kuat. Karena itu dalam kurikulum yang ditentukan, ada ilmu sejarah, ada ilmu geopolitik, ada ilmu ekonomi, ada sosiologi, dan segala sesuatu yang diperlukan (baca Bung Karno dan ABRI, CV Haji Masagung)

Jelas, meskipun tidak dikatakan secara langsung, ilmu yang dibutuhkan adalah ilmu yang berdasarkan jati diri bangsa, yakni Pancasila. Bukan yang dari luar-luar nan impor itu. Sayang seribu sayang, keinginan luhur demikian jauh dari harapan, sebab setahun kemudian ia lengser keprabon, alias diturunkan dari singgasana kekuasaan oleh rezim yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru.

Orde Baru sebagaimana faktanya kemudian, memutar balik kebijakan-kebijakan yang di tempuh sebelumnya. Kebijakan-kebijakan yang berlangsung pada waktu itu, khususnya dalam dunia Pendidikan Tinggi dirombak total secara drastis. Kebijakan pendidikan tinggi Soekarno dimasukkan ke laci, atau dibuang ke tempat sampah.

Tampillah ilmu, sains, paradigma, kurikulum, dan sejenisnya yang berorientasi Barat, khususnya yang bergaya (style) Amerika Serikat. Dimana-mana melesat baratisasi dan amerikanisasi dalam praksis pendidikan. Namun sebagaimana penyakit yang suka meniru-niru, atau mungkin karena ada faktor lain, teori-teori, buku-buku, atau ilmu yang beraliran kiri yang di Barat dipelajari secara intens, dinegeri ini dilarang. Sungguh unik, Barat tapi minus pendekatan kiri.

Meminjam persfektif Sosiologi, dari tiga dasar, ilmu, dan teori sosial, yakni Weber, Durkheim, dan Marx, yang diizinkan bebas dipelajari hanya Weber dan Durkheim. Marx harus via filterisasi. Jadilah Barat, tapi Barat 2/3, tidak Barat 1 (full/penuh). Analog dengan teori, disiplin atau ilmu lain  

 Berbasis Pancasila

            Meski tidak persis sama, deskripsi demikian adalah cerminan perguruan tinggi dalam era Orde Baru. Cermin yang dapat diringkas dalam tiga konseptualisasi, yakni; (a) keasyikan dan ketiduran di menara gading (ivory tower), (b) terjerat metodologi yang tidak berpijak dalam realitas sosial budaya sendiri (HIPIIS, 1990), dan (c) terpenjara dalam pemikiran kapitalis.

            Cermin yang nyaris tak bergeming, walau tampil era reformasi yang memberi kesempatan melakukan perubahan significan. Tidak seperti sistim politik yang begitu drastis perubahannya, seperti amandemen UUD 1945 hingga empat kali, pemilihan presiden secara langsung, munculnya lembaga-lembaga baru (DPD dan MK), terwujudnya otonomi daerah dan lain-lain perubahan mendasar, namun tidak dalam bidang pendidikan tinggi.

Pendidikan tinggi sebagaimana yang berlangsung sebelumnya tetap jalan di tempat (alias tidak ada perubahan yang berarti). Aneh sungguh-sungguh aneh dan tak normal, bagaimana perubahan politik yang begitu radikal, tidak diikuti perubahan pendidikan. Apa yang salah? Jawabannya dikemukakan Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Satryo Sumantri Brodjonegoro, mantan dirjen Dikti 1999-2007,  dengan jujur, militant, dan menohok menudingnya sebagai sebagai kegagalan mengartikulasi pesan UUD 1945, yakni bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa. Pesan konstitusional yang belum pernah diwujudkan, karena belum ada pemahaman yang kongkrit tentang pesan tersebut.

Sebagai konsekwensi atau derivasinya, sudah dapat diprediksi bahwa kebijakan-kebijakan yang ditempuh kemudian akan menimbulkan bias, distorsi, hingga kegagalan, sebab tidak berdasarkan akar masalahnya.

Parameter-parameter yang digunakan, seperti “sistim pemeringkatan dan akreditasi”, yang berlangsung saat ini, cenderung hanya demi kepentingan lembaga, tidak bagi mahasiswa atau masyarakatnya. Belum lagi pengoperasiannya yang terjebak administratif-birokratis alias penuh pengaturan yang berdampak hilangnya otonomi dan akuntabilitas, menguapnya inovasi dan kreatipitas, tak ada kepercayaan terhadap dosen, menyempurnakan sosoknya sebagai institusi pencitraan yang penuh formalitas (Satryo Soemantri Brodjonegoro, K. 9 maret 2015) Lalu ?

Tiada lain, tiada bukan, paradigma pendidikan tinggi plus pengoperasiannya harus dikembalikan ke jati diri bangsa, yakni Pancasila, sehingga sentilan yang dilontarkan Kalla ke depan tidak mengemuka lagi. Semoga

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar