BK PHA X, POLITIK HUKUM AGRARIA
KULIAH Ke-10 SENIN, 4 JANUARI 2021, JAM 08.30 – 10.30
JURUSAN ; PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH; REINHARD HUTAPEA
⌂
REFORMA AGRARIA BAGI PEMULA
Oleh: Gunawan Wiradi
Pengantar
Kuliah ke-10 ini adalah puncak mata kuliah Politik dan Hukum Agraria. Kuliah yang tidak sekedar mendeskripsikan konsep-konsep agraria sebagaimana kuliah-kuliah sebelumnya, melainkan untuk mendalami lebih jauh apa yang dimaksud dengan Reforma Agraria.
Kata, istilah, atau konsep sakti, yang terus diperbincangkan dari waktu ke waktu, namun masih jauh dari implementasinya. Pada waktu Soekarno berkuasa, telah ditempuh UUPA, yakni UU No 5 Tahun 1960, akan tetapi sebagaimana kita bahas dalam kuliah-kuliah yang lalu masih jauh dari harapan. Jurang antara harapan dan realitanya masih sangat jomplang. Beberapa pakar agraria, seperti Prof Dr Maria Sumardjono, bahkan mempertanyakan apa masih ada UU tersebut…...
Dua tahun yang lalu Presiden Jokowi membuat Kebijakan/Perpres tentang kebijakan agung itu, yakni Perpres No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Beberapa pakar, juga telah memberikan tanggapannya, termasuk Gunawan Wiradi (lihat pada kuliah ke-9), yang teori – konsepnya tentang Reforma Agraria akan kita bahas pada kuliah ini.
Akan tetapi, karena Perpres tersebut masih baru, kita belum bisa menelaah empiriknya lebih jauh. Sebagai pengantar untuk memahami tulisan Gunawan Wiradi, lebih dulu, akan di deskripsikan kembali “arti dan tujuan” dari Perpres tersebut dibawah ini
Perpres No 86 Tahun 2018.
Arti
Pasal 1 angka 1 Perpres No 86 Tahun 2018
Reforma agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Penataan asset (Pasal 1 angka 2)
Adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan tanah
Penataan akses (Pasal 1 angka 3)
Adalah pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada subjek reforma agraria dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut juga pemberdayaan masyarakat
Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) Pasal 1 angka 4
Adalah tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi
Tujuan
Pasal 2 Perpres No 86 Tahun 2018.
1. Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan
2. Menangani sengketa dan konflik agraria.
3. Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
4. Menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan.
5. Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi.
6. Meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan.
7. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
Selanjutnya sebagai pendalaman, perbandingan. dan artikulasi. bacalah tulisan Gunawan Wiradi di bawah ini
∏
Reforma Agraria
Untuk Pemula
1. Reforma Agraria
Apa Itu ?
I. Pengantar
1. Sudah sama-sama kita saksikan,
selama lebih kurang 20 tahun terakhir ini, konflik
sosial merebak dimana-mana,
meliputi semua sektor, dan hampir di semua
wilayah.
2. Jika di telaah secara cermat,
hampir semua kasus-kasus konflik tersebut, yang
ribuan jumlahnya, pada dasarnya
adalah merupakan konflik agraria, yaitu konflik
memperebutkan sumber-sumber agraria
(tanah, air, tanaman, tambang dan
sebagainya).
3. Sebagian dari kasus-kasus
konflik tersebut memang terbungkus dengan nuansa
konflik agama, etnik, kedaerahan
dan lain-lain “SARA” (Suku, Agama, Ras dan
Antar golongan). Namun pada
hakekatnya, sumber utamanya adalah masalah
agraria. Mengapa “bungkus”-nya,
atau “panggung”-nya menjadi demikian
bermacam-macam? Hal itu diduga
karena dua hal:
a.
Ada “tangan-tangan” dari kekuatan-kekuatan yang memang ingin menguasai
sumber-sumber alam Indonesia,
merekayasa dan membelokkan masalahnya,
sehingga masalah intinya
terkaburkan.
b. Selama lebih kurang 30 tahun, lidah
rakyat terpasung. Sekalipun sudah masuk
ke era reformasi, tetapi aspirasi
rakyat (pendapat atau cita-cita) yang
sesungguhnya, menjadi tidak
terekspresikan sebagaimana mestinya. Rakyat
masih mengalami trauma masa lalu,
akibat intimidasi oknum-oknum aparat
bersenjata yang dengan mudah memberi
cap bahwa mengangkat masalah
agraria adalah berbau komunis.
Akibatnya, rakyat mudah dibelokkan, isu
agraria digeser menjadi isu “SARA”.
4. Alangkah pentingnya bagi
pemimpin baru, untuk mulai menyadari bahwa sumber
utama krisis multi-dimensi yang membuat
Indonesia terpuruk ke dalam kondisi
sekarang ini adalah kebijakan
politik ekonomi orde baru yang
mengingkari cita-cita para pendiri Republik. Orde Baru tidak meletakan masalah Reforma Agraria
sebagai basis pembangunan. Tanah
sebagai salah satu sumber agraria justru
dijadikan “komoditi strategis”. Untuk
memfasilitasi kepentingan modal (khususnya
modal asing).
5. Sadar atau tidak, sengaja atau
tidak sengaja. Bangsa Indonesia, khususnya generasi
Orde Baru telah melupakan sejarah bangsa. Sejarah Undang-Undang Agraria
Kolonial 1870; sejarah kebjakan agraria
zaman Jepang; sejarah perjanjian KMB
(Konferensi Meja Bundar); sejarah
pembatalan KMB; dan lain-lain fakta sejarah
yang berkaitan dengan soal agraria;
semuanya itu dilupakan! Atau, sengaja dihapus
dari ingatan orang.
6. Dapat dipahami bahwa karena hal-hal
tersebut di atas, maka dalam pemilu 2004
yang baru saja berlangsung ini,
tidak satu pun partai politik yang secara tegas
mengangkat isu agraria. Kalaupun
ada satu dua partai politik mengangkat masalah
agraria, tetap gemanya hampir tak
terdengar.
7. Demikianlah, uraian singkat
tersebut diatas itu dianggap penting, agar para
pemimpin baru nanti mulai menyadari
bahwa masalah dasar yang diperlukan bagi
terwujudnya cita-cita kemerdekaan adalah masalah
agraria dalam arti luas.
Catatan ringkas berikut ini sekedar merupakan pintu masuk untuk
memahami masalah pembaruan agraria, atau istilah yang sudah mendunia, Reforma
Agraria (Bahasa Spanyol)
2. II. Makna dan Isi
Reforma Agraria Secara Umum
1. Pengertian:
“Reforma Agraria” (RA) atau “Agrarian Reform” adalah suatu penataan kembali
(penataan ulang) susunan pemilikan,
penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber
agraria (terutama tanah), untuk
kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani,
tunakisma, dan lain-lainnya),
secara menyeluruh dan komprehensif (lengkap).
2. Penjelasan:
“Penataan ulang” itu sendiri
kemudian dikenal dengan “Land Reform”.
“Menyeluruh dan Komperhensif”,
artinya, pertama, sasarannya bukan hanya tanah
pertanian, tetapi juga tanah-tanah
kehutanan, perkebunan, pertambangan,
pengairan, kelautan dan
lain-lainnya. Pendek kata, semua sumber-sumber agraria.
Kedua, program land reform itu harus disertai program-program
penunjangnya
seperti, penyuluhan dan pendidikan
tentang teknologi produksi, program
perkreditan, pemasaran dan lain
sebagainya, Singkatnya, Reforma Agraria adalah
Land Reform plus program penunjang. Memang, intinya adalah “Land Reform”.
3. Tujuan:
• Tujuan utamanya
secara makro adalah mengubah struktur masyarakat, dari
susunan masyarakat warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi
susunan masyarakat yang lebh adil dan
merata.
• Secara mikro
tujuannya adalah agar sedapat mungkin semua (atau sebagian
besar) rakyat mempunyai asset produksi
sehingga lebih produktif, dan
pengangguran dapat diperkecil.
4. Reforma Agraria yang “genuine” (sejati) adalah
a. Sifatnya “drastic” (tegas), “fixed in time” (waktunya pasti)
(menurut
Christodoulou, 1990),
b. Status program itu “Ad Hock (khusus) menurut (Peter Dorner, 1972),
c. Proses operasinya “rapid” (cepat) (menurut Ellias Tuma, 1965).
5. Pada tingkat nasional harus ada
sebuah Badan Otorita Reforma Agraria (BORA),
yang hanya bertanggung jawab kepada
Presiden. Kewenangan dan tugas BORA
adalah
a. Mengkordinir semua sektor,
b. Mempercepat proses
c. Menangani konflik.
6. Prinsip-prinsip utama yang harus
dipegang:
a. Tanah untuk mereka yang benar-benar
mengerjakannya (penggarap),
b. Tanah tidak dijadikan komoditi
komersial, yaitu tidak boleh dijadikan barang
dagangan (jual-beli yang semata-mata
untuk mencari keuntungan),
c. Tanah mempunyai fungsi sosial.
7. Semuanya itu perlu dipayungi
oleh payung hukum yang mewadahi semua aturan-aturan sektoral. Artinya, semua
Undang-undang sektoral (Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Pertambangan,
Pengairan, dan lain-lainnya) seharusnya merujuk dan berada pada koridor
Undang-Undang payung itu. Sebelum Orde Baru, UndangUndang payung ini adalah Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, beserta berbagai undang-undang turunannya.
8. Landasan Filosofi UUPA 1960
adalah neo-populis (bukan kapitalis, bukan
komunis). Atas dasar landasan ini,
maka luas pemilikan/penguasaan tanah dibatasi.
UU No. 56/1960 (yang secara popular
dikenal sebagai UU Land Reform)
menetapkan batas-batas luas
maksimum dan batas luas minimum.
9. Untuk uraian yang lebih lengkap,
lihat buku Gunawan Wiradi, Reforma Agraria:
Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta:
Insist press, Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA), dan Pustaka Pelajar,
2000.
III. Operasionalisasi dan
Tahapannya
1. Setiap negara tentu saja
mempunyai cara pandang sendiri-sendiri, karena
kondisinya memang berbeda-beda.
Oleh karena itu, dalam hal reforma agraria,
maka landasan filosofinya,
modelnya, “grand design”nya (rancangan
besar), dan
pola implementasinya pelaksanaannya
juga berbeda-beda.
2. Di Indonesia, dalam pelaksanaan
program Land Reform tahun 1960-an, prioritas
pertama ditujukan baru kepada
penataan tanah-tanah pertanian, yaitu
melaksanakan ketentuan batas
maksimum luas penguasaan tanah pertanian, dan
melakukan redistribusi (pembagian
ulang).
3. Dilihat dari segi teknis
operasional, walaupun di berbagai negara model reforma
agraria itu berbeda-beda, namun
tahapan awalnya selalu sama, yaitu “regstrasi
tanah”. Tujuannya adalah untuk
memperoleh “peta” struktur penguasaan tanah.
(Siapa menguasai berapa; berapa persen milik penguasa, menguasai
berapa persen
luas tanah yang ada). Strukturnya timpang atau tidak. Bukan untuk memberi
sertifikat ! Sertifikasi adalah program ikutan,
yaitu, setelah redistribusi dilakukan,
barulah sertifikasi dilaksanakan.
3. Konsep Umum
Reforma Agraria
I. Pengertian
Istilah Agraria
Sekarang ini, masih banyak orang
yang mengasosiasikan istilah “agraria” dengan
“pertanian” saja, bahkan lebih
sempit lagi, hanya sebatas “tanah pertanian”. Ini merupakan salah tafsir (Fallacy). Celakanya, salah tafsir ini lalu menjadi “salah kaprah”
terutama sejak Orde Baru.
Jika kita lacak sejarahnya, sejak
zaman Romawi Kuno – karena dari sanalah asal muasalnya- maka kita memperoleh
pemahaman yang lebih baik.
• Secara estimologi (ilmu asal-usul kata), istilah “agraria” berasal
dari Bahasa
Latin, “Ager”, yang artinya (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan
perkotaan); (c) wilayah; (d) tanah
negara.
• Saudara kembar dari istilah tersebut adalah: “agger” (dengan
dua huruf ‘g’), yang
artinya: (a) tanggul penahan; (b)
pematang; (c) tanggul sungai; (d) jalan tambak;
(e) reruntuhan tanah; (f) bukit (Lihat, Prent, et al, 1969; juga World Bank
Dictionary, 1982).
Dari pengertian di atas, tampak jelas
bahwa yang dicakup oleh istilah “agraria” itu
bukan sekedar “tanah” atau
“pertanian” saja. Kata-kata “pedusunan”,”bukit”,”wilayah”, dan lain-lain itu
jelas menunjukan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala
sesuatu yang terwadahi olehnya. “Pedusunan”,
misalnya, di situ ada tumbuhtumbuhan, ada air, ada sungai, mungkin juga ada
tambang, ada hewan, dan ada masyarakat manusia!
Semua arti tersebut diatas memberi kesan
bahwa tekananya memang pada “tanah”, justru karena “tanah” itu mewadahi
semuanya. Pada masa itu, konsep-konsep tentang “lingkungan”, belum dikenal.
Kegiatan utama manusia saat itu adalah berburu di hutan, menggembalakan ternak,
ataupun bertani, untuk menghasilkan pangan.
Agar tidak berhenti pada penjelasan
asal-usul kata (estimologi), ada baiknya kita
tinjau sepintas sejarah mengenai
gagasan tentang “pembaruan” dan penggunaan istilah
“agraria” dalam konteks pembaruan
itu.
Gagasan mengenai penataan pembagian
wilayah, diperkirakan sudah terjadi
ribuan tahun sebelum Masehi. Bahkan
buku Levictus dalam Kitab Perjanjian Lama
menggambarkan adanya redistribusi
penguasaan tanah setiap 50 tahun sekali (Lihat, R. King 1977: 28; J. Powelson,
1988: 5-52; R. Prosterman, et al, 1990:3).
Namun selanjutnya yang diterima dan disepakati sebagai fakta
sejarah oleh para sejarahwan adalah bahwa apa yang sekarang kita sebut dengan
istilah “land reform” itu, pertama
kali terjadi di Yunani Kuno, di masa pemerintahan Solon, 594 tahun Sebelum
Masehi.
Undang-undang Solon ini tentu saja tidak
memakai istilah “agraria”, karena Bahasa Yunani bukanlah bahasa Latin.
Undang-undang tersebut dinamai “Seisachtheia”, yang artinya “mengocok beban”. Beban itu mencakup berbagai hubungan yang tidak serasi (tidak adil), antara pemerintah dengan
pemerintah dengan pemegang kuasa wilayah; antara penguasa wilayah dengan
pengguna bagian-bagian wilayah; antara pengguna tanah dengan penggarap; antara
pemlik ternak dengan penggembala ternak; dan lain sebagainya.
Hubungan yang
tidak adil itu mencakup masalah bagi-hasil, masalah pajak, masalah hubungan
antara penguasa tanah dengan budak, dan lain-lainnya. Demikian sejarah agraria
yang terjadi di Yunani.
Pada zaman Romawi Kuno, dikenal adanya
beberapa kali penetapan undang-undang agraria pada waktu yang berbeda-beda.
Gambaran ringkasnya kurang lebih
sebagai berikut.
Kota Romawi berdiri pada 753 Sebelum
Masehi, tetapi “Republik Romawi” berdiri 510 tahun Sebelum Masehi. Rentang
waktu sampai dengan jatuhnya Republik pada 27 tahun Sebelum Masehi, merupakan
bagian pertama dari zaman “Romawi Kuno” –yang berlanjut ke bagian kedua: zaman
Kekaisaran Roma. Bagian pertama itulah yang menjadi rujukan kita.
Ketika Roma belum berkembang, seluruh
wilayah negara itu dianggap sebagai
“milik umum” (public property) yang tak di bagi-bagi. Setiap warga negara berhak untuk memanfaatkannya.
Akan tetapi lama-kelamaan, para “bangsawan” keturunan para pendiri negara
memperoleh hak turun-temurun atas bagian wilayah yang memang telah mereka manfaatkan.
Para Bangsawan ini disebut patricia.
Melalui berbagai penaklukan wilayah
lain, Republik Romawi berkembang.
Wilayah negara bertambah luas.
Namun, di lain pihak, timbul kelas sosial baru yang
disebut plebian, yaitu warga negara baru yang bukan keturunan warga asli. Kaum Plebian juga membutuhkan sumber penghidupan, khususnya tanah. Maka
lahirlah untuk pertama kali Undang-Undang Agraria (Leges Agrariae), 489 Sebelum Masehi. Undang-unang ini muncul atas prakarsa
seorang anggota “konsul”, bernama Spurius Cassius.
Namun Undang-Undang ini ternyata macet,
karena di tentang keras oleh sebagian besar bangsawan. Kira-kira 20 tahun
kemudian, lahirlah undang-undang baru yang lebih dikenal sebagai Undang-undang
Licinius, sesuai dengan nama pencetusnya, Yaitu Licinius Stolo. Setelah
rancangan Undang-undangnya (RUU) mengalami perdebatan selama 5 tahun, akhirnya
RUU ini diterima dan ditetapkan pada tahun 367 Sebelum Masehi.
Inti UU Licinius adalah bahwa setiap
warga negara Romawi diberi hak untuk
“memanfaatkan” sebagian dari
wilayah negara (burger gerechtigd zou zijn gebruik temaken van een deel van de nog
niet toegewezen staatsdomeinen). Namun dibatasi
bahwa setiap orang hanya memperoleh bagian tidak lebih dari “500 iugera” (1
iugerum = ¼ hektar). Dari batasan ini saja sudah jelas bahwa hamparan sekitar
125 hektar itu tentu bukan berupa satuan usaha tani saja,
melainkan bisa terdiri dari areal hutan untuk berburu, padang penggembalaan,
dan lain-lain.
Undang-undang Licinius ini pun macet
juga karena berbagai sebab. Peperangan
yang terjadi silih berganti (dengan
Perancis, Yunani dan lainnya) merupakan kesempatan, bukan saja bagi para
patrician dan orang kaya, tetapi juga bagi tentara dan veteran untuk menguasai
tanah-tanah, melebihi batas “500 iugera”. Terjadilah proses akumulasi penguasaan
wilayah.
Setelah lebih kurang 200 tahun kemudian,
UU Licinius tersebut seolah-olah
masuk “peti-es”. Maka seorang
anggota parlemen Tiberius Gracchus, berhasil menggolkan UU Agraria yang baru (Lex Agraria). Inti UU ini adalah menyelaraskan kembali
ketentuan-ketentuan Licinius, yakni batas maksimum “500 iugera” diteguhkan
kembali.
Selain itu, ada tambahan bahwa setiap
anak laki-laki dalam keluarga diperkenankan menguasai “250 iugera”, asalkan
dalam satu keluarga tidak menguasai lebih dari “1000 iugera”. (Lihat juga
Russel King, 1977, op. cit).
Undang-undang ini pun macet, bahkan
Tiberius lalu dibunuh. Sepuluh tahun
kemudian, adiknya Gaius Gracchus,
mencoba meneruskan langkah kakaknya. Dia pun mengalami nasib yang sama: dibunuh
!
Demikian, uraian sejarah ringkas
agraria. Uraian sejarah itu berupaya menunjukan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Makna “agraria” bukanlah sebatas
“tanah” (kulit bumi), juga bukan sebatas
“pertanian”, melainkan “wilayah”
yang mewadahi semuanya.
2. Para pendiri Republik Indonesia dan
para perumus UU PA-1960 sudah
mempunyai “pandangan ke masa depan”
(foresight) yang jauh (karena beliau-beliau
itu pada umumnya belajar sejarah dan perjalanan sejarah), sehingga
yang hendak diatur oleh UUPA itu
bukan sebatas tanah tetapi “agraria”.
3. Pasal 1 (ayat 1 sampai ayat 5) UUPA
1960 jelas sekali rumusannya: “Bumi, air,
dan ruang angkasa serta kekayaan
yang terkandung di dalamnya...! “inilah
“agraria”! selain permukaan bumi,
juga tubuh bumi di bawahnya (ayat 4); juga
yang berada di bawah air. Dalam
pengertian air, termasuk laut (ayat 5). Yang
dimaksud ruang angkasa ialah ruang
di atas bumi dan ruang di atas air (ayat 6).
Demikian pula Pasal 4 ayat 2.
4. Atas dasar pemahaman di atas, maka
istilah-istilah “sumber daya alam”,
lingkungan”, “tata ruang” (dan
lain-lainnya), semua itu pada hakekatnya
hanyalah istilah-istilah baru untuk
unsur-unsur lama yang sudah tercantum
dalam UUPA.
5. Pemahaman dari semua itu adalah bahwa
semua undang-undang sektoral itu
seharusnya tunduk kepada atau di
bawah payung UUPA 1960.
6. Istilah “sumber daya” itu sendiri
mengandung bias pemikiran ekonomi, bahwa
“daya” itu harus dimanfaatkan. Alam
itu harus dieksploitir dengan prinsip
ekonomi: “dengan korbanan sedikit
mungkin, dapat untung sebesar mungkin”.
Bahkan, karena manusia ini bagian
dari alam, maka manusia pun disebut
sebagai “sumber daya”, yang karena
tu harus di eksploitir sebagai “faktor”
produksi. Inilah latar belakang
terjadinya gejala yang berlangsung secara
sejarah I’exploitation de
I’homme par I’homme (eksploitasi manusia oleh
manusia). Inilah juga yang
ditentang oleh UUPA, antara lain melalui pasal 10
ayat 1; pasal 13 ayat 2 dan ayat 3;
serta pasal 41 ayat 3.
7. Dengan memahami itu semua, jika
memang kita sudah benar-benar
mempunyai komitmen politik untuk
mengagendakan reforma agraria, maka
agar memperoleh landasan hukum yang
kuat, agenda tersebut harus berupa
“amanat” MPR dalam bentuk ketetapan
MPR, dan seharusnya hanya satu TAP
yaitu TAP tentang “Agraria” (Lepas
dari masalah apakah UUPA-1960 akan
dipertahankan sebagaimana adanya,
ataukah akan disempurnakan).
II. Konsep Umum Reforma Agraria
1. Sebelum Perang Dunia ke-II,
bahkan sampai dekade 1960-an, pembaruan agraria
dikenal dengan istilah “Land Reform”.
2. “Land Reform” yang pertama kali di dunia, secara resmi tercatat dalam sejarah
adalah terjadi di Yunani Kuno 594
tahun sebelum Masehi. Jadi umurnya sudah
lebih dari 2500 tahun.
3. Hakekat maknanya adalah
Penataan kembali (atau pembaruan)
struktur pemilikan, penguasaan dan
penggunaan tanah/wilayah, demi
kepentngan petani kecil, penyakap dan buruh
tani tak bertanah”. Prisnsipnya:
Tanah untuk penggarap!
4. Dalam perjalanan sejarah yang
panjang itu, konsep tersebut memang sedikitsedikit berkembang dan berubah
sesuai dengan perubahan zaman dan kondisinya.
Misalnya, dengan tumbuhnya banyak
kota dan berkembangnya perkotaan, maka
kota-kota pun perlu di tata.
5. Di lain pihak, pengalaman “land
reform” yang hanya berupa “redistribusi”
(pembagian kembali) tanah ternyata
kurang berhasil. Kegagalan ini, misalnya,
karena buruh tani yang memperoleh
tanah, banyak yang tidak mampu
mengusahakan sendiri tanahnya
karena kekurangan modal, kurang keterampilan,
dan sebagainya. Akhirnya, si petani
menjual tanahnya.
6. Berdasarkan pengalaman sejarah
yang panjang itu, dan di berbagai negara, maka
sekarang disadari bahwa “land
reform” itu perlu di sertai dengan program-program
penunjangnya. Program penunjang itu
antara lain, perkreditan, penyediaan sarana
produksi, pendidikan dan lain-lain.
“Land reform” plus berbagai penunjang itulah
yang sekarang disebut dalam bahasa
Spanyol: Reforma Agraria. Inti tujuannya
tetap sama, yaitu menolong rakyat
kecil, mewujudkan keadilan, dan meniadakan
atau setidaknya mengurangi
ketidakmerataan.
7. Di Indonesia, sekarang ini sudah
ada TAP- MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam (disingkat TAP PA-PSDA). Namun
sejauh ini, masih tetap terjadi
perdebatan di banyak kalangan, yang
mempertanyakan, apa perbedaan
antara “Reforma Agraria” (RA) dan “Pengelolaan
Sumber Daya Alam (PSDA)”. Pertanyaan
ini dapat dijawab sebagai berikut.
8. Dilihat dari obyeknya, atau
sasaran materi yang digarapnya, substansinya, adalah
sama (bumi, ar dan seterusnya).
PSDA bias ekonomi, RA bias sosial-politik.
Memang dalam sejarahnya yang
panjang itu (ribuan tahun), sejak awal RA pada
hakekatnya merupakan kebijakan
sosial-politik, bukan kebijakan ekonomi.
Barulah pada peralihan abad-19 ke
abad- 20, terutama sejak terjadinya “Debat
Agraria” selama 35 tahun di Eropa
(1895-1929), aspek ekonomi menjadi
pertimbangan penting dalam agenda
RA. Walaupun sebelumnya, yaitu pada tahun
1880, Bulgaria –sebelum menjadi
negara komunis- sudah melaksanakan RA
dengan sangat memperhatikan aspek
ekonomi.
9. Jika demikian halnya, lantas apa
yang bisa dibedakan? Perbedaanya terletak pada
kata “Reforma” dibandingkan dengan
kata “Pengelolaan”.
a. Pengelolaan, mengandung
intisari: ketertiban, kesinambungan dan
keberlanjutan.
b. Reforma (bahasa Spanyol), atau Reform (Bahasa Inggris), mengandung intisari:
“ketidaktertiban untuk sementara”,
karena prosesnya memang “menata” ulang,
membongkar yang lama, menyususn
yang baru. Oleh karena itu:
• Bentuknya adalah sebuah “operasi” (menurut istilah Christoulou,
1990);
• Sifatnya “Ad Hoc” (khusus) ( menurut istilah Peter
Dorner, 1972)
• Proses “rapid” (cepat) (istilah Tuma, 1965)
Dengan demikian, program RA
mempunyai batas waktu atau punya umur.
10. Jika demikian, dalam rangka
mendorong keluarnya TAP-MPR, bagaimana
mengintegrasikan kedua pandangan
tersebut di atas, manjadi satu TAP?
Pengintegrasiannya terletak pada
landasan “tata-kelola”. “Kelola” tanpa “tata baru”
sama saja mempertahankan ‘status
quo’. Sebaliknya, “tata baru” tanpa “kelola”,
tidak akan berkelanjutan. Jadi,
“Tata-Kelola” dalam satu paket itulah sebenarnya
yang dimaksud dengan Reforma
Agraria (dalam artinya yang “sejati”), seperti yang
pernah dilakukan di Bulgaria,
seperti yang telah disinggung di atas.
11. Dari semua itu, secara tegas
saya pribadi berpendapat bahwa semua undang-undang sektoral itu, “payung”-nya
hanya satu yaitu: Undang-undang Agraria !
III. Tantangan yang Dihadapi
1. Sekalipun sudah ada landasan
hukum yang berupa TAP MPR No. IX/2001, tetapi
sampai sekarang belum jelas tindak
lanjutnya. Bahkan, mengingat bahwa salah
satu agenda sidang tahunan MPR 2003
lalu adalah meninjau ulang semua TAPMPR (termasuk TAP-TAP MPRS sebelum orde
baru), sempat ada kemungkinan
TAP-MPR No. IX/2001 itu dicabut.
Syukurlah hal itu tidak terjadi.
2. Tantangan yang dihadapi oleh
gerakan tani dan gerakan reforma agraria
sesungguhnya sangat berat, ibarat
“tembok besar”. Mengapa? Karena, terutama
sejak Orde Baru, para petinggi
nasional kita –sadar atau tidak sadar- sudah
terlanjur terseret ke dalam
pemikiran neo-liberal, dengan masuk ke dalam
komitmen-komitmen politik dan
ekonomi internasional seperti GATT/ WTO/
AFTA/ APEC/ AoA, dan sejenisnya.
Kita terjebak ke dalam arus itu “agama” pasar
bebas.
3. Idiologi neo-liberalisme yang
mendewakan pasar bebas mengambil prinsip: (a)
perdagangan bebas; (b) tenaga
kerja; (c) investasi bebas; (d) modal bebas; dan (e)
persaingan bebas. Semua ini pada
hakekatnya menggerogoti kedaulatan Negara.
Kata kunci yang menyakitkan hati
adalah
“Ketimpangan (ketidakmerataan)
adalah Rahmat Tuhan!! Orang miskin, itu
salahnya sendiri” --Pidato Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher—
4. Akibat-akibat
dari serbuan cara berpikir neo-liberal itu adalah tanah harus
dijadikan komoditi (barang
dagangan). Karena serba bebas, maka dagang tanah
pun harus bebas. Itulah sebabnya
para penganut neo-liberalisme mati-matian
berusaha mengubah UUD 1945, agar
dapat menghapuskan peran negara. Padahal
Reforma Agraria memang memerlukan
dua kekuatan yang saling menunjang,
yaitu kemauan rakyat, dan kekuasaan
negara yang melindungi rakyat.
5. Oleh karena itu, menghadapi
tantangan seperti itu, modal awal yang harus
dibangun adalah konsolidasi
(merapatkan barisan) kekuatan rakyat, agar tak larut
ke dalam arus tersebut.
3. Land Reform di Indonesia
I. Pengantar
Pengertian reforma agraria sudah
dijelaskan secara umum pada bab sebelumnya.
Pada bab ini akan diuraikan secara
ringkas:
• Land Reform yang pernah diusahakan pada masa Pemerintahan Bung
Karno.
Upaya ini kemudian dihentikan oleh
pemerintah orde baru.
• Prospek land reform di masa yang akan datang
II. Land Reform
Indonesia Tahun 1960
1. Cita-cita pendiri Republik kita
ini, cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia.
cita-cita revolusi Indonesia adalah
“mengubah susunan masyarakat, yaitu dari struktur masyarakat warisan stelsel
feodalisme dan kolonialisme menjadi
susunan masyarakat yang lebih merata,
demokratis, adil dan sejahtera”.
Itulah cita-citanya! Jadi, bukan
sekedar kemerdekaan politik dalam arti
mempunyai pemerintahan bangsa
sendiri. Sebab walaupun punya pemerintahan
oleh bangsa sendiri, tetapi jika
ternyata justru menindas rakyatnya sendiri, apa
gunanya? Memang, tanpa kemerdekaan politik terlebih dahulu, secara teori
kita
akan sulit untuk mengubah susunan
masyarakat itu. Jadi kemerdekaan barulah
“sasaran-antara”, atau menurut
perkataan Bung Karno, kemerdekaan adalah
“jembatan-emas”. Di seberang
jembatan itulah kita berusaha membangun
masyarakat baru yang bebas dari
penindasan manusia oleh manusia”. Itulah
sebabnya, walaupun sudah merdeka,
Bung Karno mengatakan bahwa “revolusi
belum selesai!” Karena, kita belum berhasil
mengubah masyarakat. Bahkan selama
orde baru ciri penindasan itu
semakin nyata, melebihi di zaman kolonial.
2. Bagi Indonesia, yang masyarakatnya berciri agraris, maka untuk
mencapai citacita tersebut di atas, caranya adalah dengan melakukan perombakan (penataan
kembali) susunan
pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria
khususnya tanah, agar lebih adil dan merata, demi
kepentingan rakyat kecil pada
umumnya. Inilah “land reform”. Program perombakan ini, disertai dengan
program-program penunjangnya,
seperti pendidikan, perkreditan, pemasaran, dan
lain-lain- yang dalam bahasa
Spanyol disebut “Reforma Agraria”.
3. Sudah sejak awal, yaitu segera setelah Proklamasi Kemerdekaan
1945. Para
pemimpin mulai mengupayakan untuk
melakukan RA dengan cara merumuskan
undang-undang agraria baru,
mengganti UU Agraria Kolonial 1870. Namun upaya
itu terpaksa mengalami proses
panjang selama 12 tahun. Akhirnya lahirlah
Undang-undang Pokok Agraria No. 5
Tahun 1960. Proses panjang ini disebabkan
oleh beberapa hal:
a. Periode 1945-1950 adalah masa revolusi fisik. Perang dan damai
silih
berganti, sehingga kerja panitia
penyusunan undang-undang menjadi
tersendat-sendat.
b. Periode 1950-1960, sekalipun relatif adalah masa damai, namun
gejolak
politik masih juga silih berrganti,
sehingga kabinet pemerintah pun jatuh
bangun. Panitia Agraria pun menjadi
berganti-ganti: Panitia Agraria Yogya
1948; Panitia Agraria Jakarta 1952,
Panitia Suwahyo 1956; Panitia Sunaryo
1958; dan Rancangan Sadjarwo 1960.
c. Partai-partai besar dalam DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
berbeda-beda
pandangannya mengenai agraria,
sehingga titik temu atau kompromi sulit
dicapai.
4. Kondisi tersebut jauh hari sudah diantisipasi oleh para pemimpin
Indonesia. maka
masalah agraria tidak ditangani
secara gegabah, melainkan sangat serius dan hatihati. Ada dua hal yang dianggap
masalah mendasar, yaitu soal keuangan dan soal
agraria. Itulah sebabnya, dalam sejarah kita hanya dua hal itulah yang
penyusunan “Undang-undang
Pokok”-nya tidak ditangani oleh Komisi ataupun
Pansus DPR, melainkan oleh “Panitia
Negara”.
5. Sekalipun pimpinan panitia tersebut berganti-ganti seiring dengan
jatuhbangunnya kabinet, namun pakar-pakar yang menjadi anggotanya tetap sama.
Mereka inilah yang secara
terus-menerus mengembangkan pemikiran.
Singkatnya, lahirnya UU-PA 1960
bukanlah sembarangan, melainkan melalui
perdebatan panjang. Tidak seperti
berbagai undang-undang di masa Orde Baru
yang disusun melalui sistem
“proyek”, sekali jadi.
6. Mengingat bahwa masalah agraria adalah masalah yang sangat rumit
dan
mendasar, maka meskipun UU-PA baru
tersusun tahun 1960, tetapi sejak awal
kemerdekaan, pemerintah RI sudah
melakukan langkah-langkah pendahuluan,
yaitu sekaligus sebagai langkah percobaan, dalam skala kecil. Tindakan ini,
tanpa
mengalami banyak kesulitan,
memperoleh persetujuan badan legislatif, karena
mereka yang mempunyai vested interest (kepentingan) dalam susunan yang lama
tidak mendapat dukungan dari partai
politik besar yang mana pun (lihat, Selo
Soemardjan, 1962).
7. Ada empat langkah pendahuluan (Cf. Selo Soemardjan, 1962; Ibid) yang dapat
disebut disini, yaitu
a. Tahun 1946, saat belum ada setahun Indonesia merdeka. Upaya yang
dilakukan adalah menghapuskan
lembaga “desa perdikan”, yaitu
menghapuskan hak-hak istimewa yang sampai saat itu dimiliki oleh
penguasa desa perdikan beserta
keluarganya secara turun-menurun.
Melalui Undang-undang No. 13/1946, setelah dari tanah mereka yang
relatif luas-luas, dibagikan
kembali kepada para penggarap, petani kecil,
dan buruh tani. Ganti rugi
diberikan dalam bentuk uang bulanan. Inilah
contoh land reform terbatas, skala
kecil, khususnya di daerah Banyumas,
Jawa Tengah.
b. Tahun 1948, ditetapkan Undang-undang Darurat No. 13/1948, yang
menetapkan bahwa semua tanah yang sebelumnya dikuasai oleh kira-kira
40 perusahaan
gula Belanda di Kesultanan Yogyakarta dan
Surakarta,
disediakan untuk petani Indonesia.
Hal ini mengakhiri persaingan
mengenai penguasaan tanah dan air,
yang tidak seimbang antara
perusahaan gula yang besar dan kuat
dan petani yang tidak terorganisir.
c. Tahun 1958, sebenarnya, sejak tahun 1945, Pemerintah RI sudah berusaha
untuk membeli kembali tanah-tanah
partikelir yang sampai saat itu
dikuasai oleh tuan-tuan tanah
bangsa asing. Namun proses negosiasinya
berjalan sangat lamban. Oleh karena
itu, maka ditetapkan Undang-undang
No. 1/1958, yang menghapuskan
semua tanah-tanah partikelir. Semua hakhak
yang istimewa yang sebelumnya dipegang oleh tuan-tuan tanah
diambil alih oleh pemerintah.
Proses likuidasi ini selesai sekitar tahun
1962.
d. Tahun 1960, sekitar setengah tahun sebelum ditetapkannya UUPA (24
September 1960), telah ditetapkan
lebih dulu Undang-Undang Perjanjian
Bagi Hasil (UUPBH), yaitu UU No.
2/1960. Isi UUPBH ini mengandung
tiga pokok utama:
• “Kepastian penyakapan” (Security of tenancy) yang tercermin
dalam pasal 4 dan 5,
• Demokrasi, yang tercermin dalam pasal 7,
• Akomodasi dan pengakuan terhadap ketentuan adat (Pasal 7 ayat1).
Demikianlah beberapa langkah
pendahuluan. Ada yang berpendapat bahwa
UUPBH itu bukan lagi langkah
pendahuluan, karena sudah diberlakukan langsung
secara nasional. UUPBH adalah
“reform” dalam hal penyakapan (tenancy reform).
8. Apa yang dikenal sebagai UUPA 1960, judul aslinya adalah UU No.
5/1960
tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria. Jadi, isinya baru
berupa prinspprinsip dasar, Karena itu, berbagai ketentuan di dalamnya,
sedianya akan
dijabarkan lebih lanjut dalam
berbagai Undang-Undang khusus. Salah satu
penjabaran itu adalah UU No.
56/1960 –yang semula berupa PP pengganti UU –
tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian, yang kemudian secara salah kaprah
dikenal sebagai UU Land Reform.
Atas dasar pertimbangan keadaan
saat itu, masalah pertanian rakyat inilah
yang diprioritaskan. Tanah-tanah
yang melebihi batas maksimum diambil (dengan
ganti rugi) oleh pemerintah, lalu
didistribusikan kepada rakyat (penggarap,
tunakisma). Prinsip-prinsip dasar
yang lain belum sempat tergarap, keburu
pemerintah lama digulingkan oleh
Orde Baru. Gerakan Land Reform lalu lenyap
dari peredaran bahkan ditabukan.
9. Pelaksanaan Land Reform tersebut
mulai dilancarkan oleh pemerintah sejak 24
September 1961, dengan pertama-tama
membentuk panitia-panitia di ketiga
tingkat daerah otonomi, untuk
melakukan pendaftaran milik tanah yang melebihi
maksimum, serta tanah-tanah guntai
(absentee). Langkah ini saat itu baru
meliputi Pulau Jawa, Bali, Sulawesi
dan Kepulauan Nusa Tenggara. Secara
keseluruhan daerah tersebut,
terdapat sekitar 27.000 pemilik sawah yahg
miliknya melebihi batas maksimum.
Jumlah luas kelebihan itu semuanya ada
sekitar satu juta hektar, yang
kemudian akan didistribusikan kepada rakyat tani
kecil yang membutuhkannya.
Bagaimana proses selanjutnya, tidak
begitu mudah untuk
menggambarkannya. Data yang akurat
sukar diperoleh. Sejak berkuasanya
Pemerintahan Orde Baru, fungsi
instansi agraria di jungkir balikan, sehingga
pendataannya terbengkalai dan data
yang ada tentang gerakan land reform
menjadi kurang bisa dipercaya.
10. Karena pengertian masyarakat
yang keliru bahwa land reform adalah
mendistribusikan tanah, maka timbul
pertanyaan, “tanah siapa dan tanah apa
yang di bagi-bagi?” Maka timbul
istilah “tanah obyek land reform”. Sebenarnya
dalam arti yang benar, “obyek
reform” adalah semuanya seperti tanah hutan,
tanah perkebunan, dan lain-lain.
Semua itu di tata ulang peruntukannya. Jadi,
tidak melulu pengertiannya harus
didistribusikan, tetapi di”redistribusi”. Artinya,
diserasikan, agar rakyat memperoleh
hak secara relatif merata dan adil.
11. Tetapi jika kita terima dulu
pemahaman yang salah kaprah tersebut di atas, maka
menurut hukum yang ada), tanah
“obyek land reform” itu, pada tahap pertama
terdiri dari tiga macam, yaitu (a)
tanah kelebihan; (b) tanah guntai dan bekas
tanah partikelir; dan (c) bekas
tanah swapraja yang diambil oleh pemerintah.
III. Bagaimana
Prospeknya ke Masa Depan
1. Di masa kekuasaan Orde Baru selama
32 tahun, jangankan pelaksanaan land
reform, wacana (pemahaman) tentang
land reform pun ditekan dan dimatikan
dengan menempelkan stigma-stigma (cap atau tuduhan) tertentu. Masalah
agraria ditata bukan untuk
kepentingan rakyat banyak, tetapi untuk
memfasilitasi modal asing. Akibatnya, sekarang ini, masalah agraria sudah
terlanjur begitu ruwet sehingga
sulit unti mengatasinya.
2. Dengan tuduhan Orde Baru –tetapi apa betul Orde Baru sudah
tumbang? –
gagasan land reform muncul kembali
dan bahkan di tahun 2001 lahir TAP MPR
No. IX/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ini
kemudian baru ditindaklanjuti
dengan Keppres No. 34/2003, yang isinya
memberi mandat kepada BPN (Badan
Pertanahan Nasional) untuk melakukan
“penyempurnaan” terhadap UUPA 1960.
3. Prospek atau masa depan pembaruan agraria yang merakyat masih
suram.
Perjuangan masih panjang, karena
berbagai hambatan kuat menghadang.
Hambatan-hambatan itu antara lain:
a. Para petinggi atau elit nasional generasi sekarang ini tidak atau
belum
memahami benar masalah agraria. Ini
merupakan produk pendidikan Orde
Baru.
b. Akibatnya, belum terasa ada kemauan (komitmen) politik yang nyata
untuk melaksanakan pembaruan
agraria yang sejati. Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria sebagai pelaksanaan
Keppres No. 34/2003 ternyata
bukan “menyempurnakan” tetapi malah
“mengubah” UUPA 1960.
c. Sikap pemerintah, bagaimanapun juga sudah terlanjur terkait erat
dengan
berbagai warisan Orde Baru, seperti beratnya hutang luar negeri,
keterikatan dengan
kesepakatan-kesepakatan internasional dalam konteks
globalisasi neo-liberal, dan
pikiran-pikiran neo-liberal yang mendominasi
cara berpikir para elite ekonomi.
d. Di lain pihak, organisasi rakyat masih sangat lemah. Mudah
dibujuk,
mudah dibelokan, mudah di
adu-domba. Kesadaran mengenai posisi
tawarnya masih sangat rendah. (Hal
ini tercermin dari Pemilihan umum
yang lalu).
4. Mengingat hal-hal tersebut di atas, lantas apa yang harus
dilakukan? Sudah jelas,
organisasi rakyat perlu diperkuat.
Diperkuat dalam berbagai hal! Bukan hal yang
mudah, tetapi harus dilakukan.
5. Salah satu kekuatan organisasi adalah Penguasaan Informasi. Inilah yang
secara
teoritis dapat meningkatkan
posisi-tawar organisasi tersebut. Namun perlu
dicatat, penguasaan informasi tanpa
kesadaran tentang posisi-tawar itu sendiri, ya
hampir tak ada artinya.
6. Salah satu cara penguasaan informasi adalah dengan aktif mengumpulkan
informasi, atau melakukan
“pendataan” (soal teknis mengenai hal ini, dapat
dipelajari bersama-sama).
PERTANYAAN
· Tulis hal-hal yang belum saudara pahami akan tulisan Gunawan Wiradi ini.
· Bandingkan pendapat Gunawan Wiradi dengan Maria Sumardjono.
· Apa kesimpulan saudara dari tulisan Gunawan Wiradi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar