MK HMM XII, HUKUM MEDIA MASSA
KULIAH XII, 21 Januari 2021, JAM 08.30 – 10.30
dan jam 17.00 sd 19.00
JURUSAN KOMUNIKASI FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Catatan: dalam kuliah terakhir ini, para mahasiswa diminta untuk menuliskan hal-hal yang kurang dipahami, atau akan dipertanyakan dalam WA group. Setelah itu jawablah pertanyaan yang diberi garis merah dalam tulisan Agus Sudibyo.
⌂
PROSPEK HUKUM MEDIA MASSA
Pengantar
Ketika kita kuliah on minggu lalu (14 Januari 2021), MK telah memutuskan menolak permohonan RCTI dan INews tentang “uji materi” UU Penyiaran (UU No 32 Tahun 2002). Keinginan kedua lembaga penyiaran untuk menyetarakan penyiaran internet, sebagaimana dilakukan Youtube, Netflix di atur dalam UU Penyiaran tidak dikabulkan MK.
Pada kuliah terakhir/XII ini sesungguhnya hal demikian masih akan kita telaah/bahas/analisis, namun karena waktu yang tidak memadai, penelaahan demikian kita akhiri, dengan melampirkan satu tulisan yang berhubungan dengannya di bagian bawah.
Sekarang, sebagaimana judul kuliah di atas akan kita analisis bagaimana kira-kira masa depan atau prospek Hukum Media Massa. Akan lebih adilkah? Begitu-begitu aja? Atau….?
Hukum Media Massa sebagaimana kita pahami bersama adalah bagian/sub dari Sistim dan Tata Hukum Indonesia. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan terikat dengan sistim, struktur, atau tatanan hukum nasional.
Masalahnya adalah, bagaimana dan seperti apa hukum nasional itu. Adakah ia sesuai dengan tujuan atau hakiki hukum itu sendiri, yakni memberikan rasa keadilan bagi masyarakat?
Dari pergaulan sehari-hari, sering kita dengar ucapan yang mengejek, mengolok-olok, plesetan-plesetan, dan lain-lain skeptisisme, seperti;
· tajam ke bawah, tumpul ke atas,
· kasih uang habis perkara,
· maling ayam dihukum berat, koruptor di hukum ringan
· Tebang pilih…..
Atau seperti dikumandangkan Mahfud MD baru-baru ini di Alm Indonesia Lawyers Club bahwa di Fakultas Hukum diberikan/diajarkan mata kuliah “Hukum Industri”, namun dalam praksisnya yang tampil atau dipraktekkan adalah sebaliknya, yakni “industri hukum”.
Walaupun tidak diuraikan Mahfud lebih jauh, maksudnya adalah bahwa yang memahami hukum, seperti para sarjana hukum, lawyer, dan penegak-penegak hukum lainnya, justru membalikkan apa yang dipelajari di fakutas hukum tersebut. Demi memenangkan klin yang dibelanya, nilai, prinsip, dan ayat-ayat hukum di utak-atik, memenangkan seseorang/sesuatu, meski, seseorang atau sesuatu itu bersalah.
Dibuatlah hukum-hukum baru, interpretasi-interpretasi/penafsiran-penafsiran baru sesuai maksud-maksud sempitnya. Yang seharusnya kepala, dibuat menjadi kaki. Sebaliknya yang seharusnya menjadi kaki, dibuat menjadi kaki. Sungguh suatu dunia yang terbalik-balik (Bahasa rakyatnya membela yang bayar…bukan membela yang benar).
Yang sangat seram, namun di bungkus secara halus, adalah, apa yang popular dengan sebutan “Mafia Hukum – Mafia Peradilan”. Mereka-mereka, atau kalangan-kaangan tertentu yang bermain di balik layer (invisible hand), namun sangat menentukan dalam menang-kalahnya suatu perkara di pengadilan. Mereka yang mengatur hukum, bukan hakim atau jaksa.
Para mahasiswa mungkin masih ingat kasus Nenek Minah, seorang nenek yang dihukum penjara 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan, karena memetik 3 buah kakao. Sang nenek dinyatakan bersalah di pengadian. Analog dengan kasus nenek Asyani di Situbondo tahun 2015, yang di vonnis 1 tahun penjara, dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan, dan denda Rp 500 juta, karena mencuri 2 batang pohon jati milik Perhutani.
Kasus seorang siswa SMK yang dipenjara 5 tahun karena mencuri sandal jepit milik seorang Briptu….Di Sumatera Utara, yang sempat viral adalah kasus kakek Sarimin (68 tahun), yang dijatuhi hukuman 2 bulan oleh pengadilan Simalungun. Ia dihukum karena terbukti bersalah memungut sisa getah pohon karet di perkebunan Bridgestone seberat 1,9 kg (Rp 17.000)
Yang sangat mengenaskan adalah kasus yang dialami Ompung (nenek) Saulina boru Sitorus, yang berusia 92 tahun. Ia dihukum 1 buan 14 hari oleh pengadilan negeri Balige, pada 29 Januari 2020 lal. Ompung Saulina Sitorus ini dinyatakan bersalah karena menebang durian untuk pemakaman leluhurnya.
Sosiolog Imam Prasojo yang dimintai pendapatnya tentang kasus nenek dan Ompung tersebut, menyatakan bahwa hukuman itu menggambarkan proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri. Dengan nada lain, namun substansi yang sama, pakar hukum, Hikmahanto Yuwana menyebutnya, hukum yang tajam hanya ke bawah, namun tumpul ke atas.
Tumpul ke atas, karena kasus-kasus orang besar dan kuat tidak seperti yang dialami orang-orang kecil demikian. Mereka (yang besar dan kuat) ini mendapat perlakuan-perlakuan istimewa. Ada yang koruptor bermilyar-milyar, hingga triliunan, namun hukumannya hanya sekian tahun….mirisnya lagi mereka mendapat tempat, bak hotel (istana) dipenjaranya. Siapa-siapa itu, para mahasiswa dapat melihatnya melalui Google…..
Kasus-kasus raksasa yang hingga hari ini belum diadili antara lain adalah:
· KKN Soeharto
· Dana ketahanan pangan era Habibie
· Kasus BLBI
· Kasus Century
· Kasus Jiwasraya
· Dll
Masih banyak yang dapat diuraikan tentang amburadul, acakakadut, dan kacau balaunya penegakan hukum (rule of law/rule of game) di negeri Pancasila ini. Jika di urut mengapa terjadi demikian, adalah karena:
1. Lemahnya integritas penegakan hukum
2. Tidak ada pengawasan yang efektif
3. Masih melihat hukum dari kontennya
4. Mentalitas praktisi hukum yang lemah
5. Struktur hukum yang overlapping kewenangan
6. Sarana dan prasarana hukum kurang memadai
7. Peraturan hukum yang kurang jelas
8. Independensi hukum masih bermasalah
9. Proses peradilan yang masih bermasalah
10. Kesadaran masyarakat yang kurang
11. Lemahnya political will dan political action
12. Penegakan hukum masih positivis-legalistis
13. Peraturan perundang-undangan masih belum memihak rakyat
14. Kebijakan seringkai diputuskan oleh pihak terkait.
15. Budaya lama yang terus dilanjutkan
Ngeri benar………
Hukum Media Massa ada di dalam ranah demikian….ia bagian dari carut-marut nan menegakkan benang basah. Kelemahan-kelemahan yang kita bahas selama ini berakar dalam tatanan hukum yang belum tegak,
v yang masih tajam ke bawah, tumpul ke atas,
v KUHP alias Kasih Uang Habis Perkara…..
v Yang masih tebang pilih
v Yang masih konservatif….
Untuk meretas kekarut-marutan hukum demikian, Alm Prof Satjipto Rahardjo, menawarkan “penegakan hukum progresif”….berhukum harus berani keluar dari cara-cara konvensional dan status quo. Teks hukum yang selama ini didewakan harus dianggap sebagai sesuatu yang diperuntukkan untuk manusia dan kemanusiaan. Para pelaku atau actor hukum harus berani menafsirkan teks hukum dengan membebaskan diri dari logika hukum semata, melakukan lompatan, agar persoalan di masyarakat yang bergerak secara dinamis dapat dijawab dan diselesaikan “wadah hukum yang statis” (M. Zulva Aulia, FH Unja)
Seperti apa implementasinya? Konsep tinggal konsep, perubahan tak kunjung dating. Hukum Media Massa, sebagaimana disebut di atas, adalah bahagian dari hukum nasional, hukum yang sedang berlangsung, yang jauh dari layak. Bagaimana mengikuti perkembangan globalisasi seperti yang tertulis di bawah ini?
Lampiran
Ketika Platform Digital Berubah Haluan
Agus Sudibyo
Koordinator Kelompok Kerja Keberlanjutan Media Dewan Pers
Kompas, 8 Januari 2021
November 2020, Google bersepakat dengan penerbit Perancis seperti Le Monde, Le Figaro, Liberation, L’Express, Courrier International, dan L’Obs tentang kompensasi ekonomi untuk pemuatan nukilan berita (news snippet) dalam daftar pencarian Google.
Desember 2020, Facebook mengalokasikan dana jutaan poundsterling untuk kompensasi penyajian berita milik penerbit di Inggris di situs media social itu. Cukup mengejutkan bahwa Google dan Facebook akhirnya menempatkan penghargaan atas hak cipta karya jurnastik sebagai proyek berskala global. Bahkan keduanya seperti berebut meraih simpati para penerbit di seluruh dunia. Google meluncurkan News Showcase. Tak mau kalah, Facebook meluncurkan Newstab dalam kerangka sama
Perubahan UU Hak Cipta Uni Eropa beberapa tahun terakhir memang telah melembagakan publisher right atau neighboring rights, yakni hak penerbit atas kompensasi ekonomi dari penyajian nukilan atau ringkasan berita pada tampilan mesin pencarian atau newsfeed media social. Platform digital diharuskan bernegosiasi dengan penerbit untuk menyepakti kompensasi ekonomi itu. Proyek News Showcase dan Newstab adalah Langkah platform digital untuk mengantisipasi desakan reguasi semacam itu yang mengemuka di berbagai negara.
Perancis adaah negara Eropa pertama yang coba menerapkan publisher right pada skala nasional. Setelah melalui perseteruan panjang, Google akhirnya menerima keputusan Komisi Persaingan Usaha Perancis yang mengharuskannya bernegosiasi dengan penerbit Perancis soal
News Showcase adalah skema yang ditawarkan Google kepada penerbit untuk memperoleh kompensasi atas konten berlisensi yang mereka ciptakan atau rancang secara spesifik untuk disajikan pada platform Google.
Dengan proyek News Showcase, nukilan berita yang tersaji dalam Google Search and News memiliki nilai ekonomi yang menjadi hak penerbit. Diuncurkan oktober 2020, News Showcase telah berjalan di Jerman dan Brasil, lalu menyusul Perancis berdasarkan kesepakatan seperti di atas.
Negara selanjutnya yang menjadi sasaran News Showcase adalah Kanada, Inggris, dan Australia. Dengan nilai akumulasi lebih dari 1 milyar dollar AS selama tiga tahun, News Showcase diproyeksikan jadi proyek berskala global. Kapankah proyek ini sampai di Indonesia?
Kesediaan Google “berbagi pendapatan” dengan penerbit terasa kontras dengan reaksi penolakan Google atas pelembagaan publisher right saat-saat sebelumnya. Tidak hanya menolak membayar kompensasi atas jasanya membantu penerbit menyebarluaskan berita melalui penyajian nukilan berita dalam daftar pencarian Google
Bukan hanya menganggap negosiasi tentang publisher right sebagai tidak diperlukan, Google sempat mengancam akan menghentikan proses indeksasi, agregasi, dan kurasi berita miik penerbit. Pendekatan intimidatif ini juga diterapkan Google di Australia Ketika menghadapi tuntutan yang sama.
Yang terlihat kemudian adalah sikap mendua Google menghadapi isu publisher right. Meawan balik tuntutan para penerbit, tetapi juga menawarkan konsesi dan kerja sama. Menolak memberikan bagi hasil kepada penerbit seperti yang dituntut oleh Pemerintah Perancis dan Australia, tetapi disisi ain juga membuka negosiasi dengan penerbit. Mengancam akan berhenti mengindeks dan mengurasi konten penerbit, tetapi juga mengalokasi anggaran “bagi hasil” untuk penerbit.
Sikap mendua juga ditunjukkan Facebook. Setali tiga uang dengan Google, Facebook juga sempat menolak tuntutan untuk memberikan kompensasi ke penerbit atas penyajian berita dalam newsfeed Facebook. Facebook juga sempat melontarkan ancaman boikot terhadap penerbit di negara-negara. Namun pada akhirnya, setelah melalui pergulatan yang melelahkan, Facebook bersedia bernegoisasi dengan penerbit dan menyiapkan skema bagi hasil melalui proyek News Tab.
News Tab adalah satu bagian pada situs Facebook yang secara khusus disediakan untuk menayangkan Kembali berita-berita terpilih dan terkurasi milik para penerbit. Jika sebelumnya distribusi berita di situs Facebook terjadi melalui penyanjian link berita pada newsfeed pengguna, proyek News Tab memberi ruang khusus untuk penyajian berita itu yang bentuknya kemungkinan akan menyerupai daftar pencarian pada mesin pencari. Dari proyek ini, Facebook menjanjikan pendapatan dan pembaca baru yang significan untuk penerbit.
Sarah Brown, pimpinan News Partnerships Facebook untuk Eropa Utara, menyatakan Facebook akan merekrut curator professional untuk mengurasi berita-berita penerbit berdasarkan pertimbangan seperti kedalaman berita, aktualitas, sudut pandang yang menarik, kredibiitas sumber, dan keaslian berita. Proses kurasi ini akan menghasilkan daftar berita teratas (top stories) harian yang akan disandingkan dengan daftar berita pilihan algoritma Facebook berdasarkan pertimbangan minat atau kecenderungan bacaan pengguna.
The Guardian memperkirakan pemasukan tahunan dari News tab untuk penerbit di Inggris bisa mencapai puuhan juta pound. Injeksi dana dari Facebook itu diyaknini akan membantu industry media yang sedang menghadapi kesuitan ekonomi beberapa tahun terakhir. Penerbit Inggris yang telah bergabung daam proyek News Tab adalah The Guardian, The Daily Mirror, The Independent, the Economist serta banyak penerbit local.
Bagi Facebook, injeksi dana itu merupakan pilihan yang sulit dihindari setelah mereka menghadapi tekanan keras dari pemerintah maupun penerbit. Lucinda Southern dalam teaah berjudu “Stay ahead of regulations: Publishers question Google’s motives in paying for news” (digiday com, 26/6/2020) menyatakan, platform digital tak bisa dipertahankan pendekatan intimidatif ke penerbit.
Pemerintah Inggris, Perancis, Uni Eropa, dan Australia sebelumnya telah menuduh platform digital melakukan “tindakan sepihak” terhadap para penerbit yang bertentangan dengan meskipun coba dilawan, justru semakin mengeras di berbagai negara.
Google dan Facebook mungkin tak sepenuhnya menerima regulasi publisher right, tetapi coba cari jalan tengah tanpa menanggung kerugian besar.
Suara sumbang
Apakah News Showcase dan News Tab benar-benar menguntungkan penerbit? Apakah keduanya akan menghasilkan keuntungan yang memadai untuk daya hidup penerbit? Optimisme bersanding dengan pesimisme disini. News Showcase sebenarnya merupakan kamuflase Google untuk menyembunyikan cengkeraman massif atas pasar periklanan digital dan monopoli atas distribusi konten secara de fakto, kata Southtern.
Facebook dan Google melunak setelah menghadapi tekanan politik di Eropa, Inggris, Perancis, dan Australia. Negosiasi tentang publisher right dijalankan setelah pada sisi lain, Google mengumumkan akan menerapkan fee untuk teknologi penunjang periklanan pada ekosistem Google yang dimanfaatkan penerbit. Google jangan-jangan sedang memberikan suatu hal dengan mengambil hal yang lain dari penerbit. Memberikan insentif sambil memberlakukan disentif?
Keputusan Google menerapkan fee teknologi perikanan digital menjadi masalah serius di AS. Google dituduh menggunakan monopolinya atas distribusi konten dan periklanan digital untuk menerapkan kebijakan yang sepihak kepada penerbit di negeri Paman Sam.
News Showcase sepertinya merupakan gagasan untuk mendukung penerbit melalui konten berlisensi. Namun, proyek ini berpotensi merusak keragaman media. Googe akan mengontrol bagaimana penerbit menyajikan dan menyebarkan berita. Sebuah perusahaan yang begitu dominan, dengan penguasaan pasar 98 persen di Jerman, semestinya tidak dibiarkan memiliki kekuasaan sebesar itu,demikian pernyataan pimpinan Axel Springer, dikutif Southern.
Pertanyaan berikutnya, ketika penerbit berpartisipasi dalam News Showcase, siapa yang selanjutnya mengendalikan penyajian dan distribusi konten milik penerbit? Apakah pembaca benar-benar diarhkan mengakses situs web penerbit?
Atau sebaliknya, jangan-jangan algoritma News Showcase akan menggeser lokus readership dari situs web penerbit ke mesin pencarian Google? Angela Mils-Wade, Direktur eksekutif the European Publishers Council, menegaskan, penerbit memiliki pengalaman negative daam hal ini. Pada proyek Accelerated mobile Pages, Google memang membantu mempercepat akses atas situs web penerbit. Namun, proyek ini ternyata lebih operasional sebagai eksperimen untuk mendukung pengembangan platform penyebaran konten yang dimiiki Googe sendiri.
Suara sumbang juga mengemuka tentang Newstab. Frederick Filloux dalam artikel “Google vs EU Pubs and Facebook’s New Trick” (mondaynote.com, 28/10/2020) menyatakan, News Tab merupakan permainan politik Facebook untuk memanfaatkan perseteruan antara Google dan penerbit, Facebook mencoba mengambil momentum untuk menarik simpati penerbit yang bersitegang dengan Google terkait publisher right. Facebook menawarkan persis apa yang sedang di kejar penerbit; kompensasi untuk konten jurnalistik yang dimanfaatkan platform digital.
Sejauh mana penerbit di Indonesia mengikuti perdebatan dan pelembagaan publisher right yang sangat menentukan masa depan media massa itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar