BK SPI VIII, SISTIM PEMERINTAHAN INDONESIA
KULIAH TERAKHIR, SABTU, 23 JANUARI 2021, JAM 08.30 SD 10.30
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Catatan: Dalam kuliah terakhir ini tidak ada pertanyaan-pertanyaan, melainkan membuat makalah atau artikel, yang syarat dan judulnya ada dibagian akhir materi
KENDALA-KENDALA DALAM HUBUNGAN
PEMERINTAH PUSAT - DAERAH
Sampailah kita pada kuliah terakhir, kuliah penutup di semester ini. Sebagaimana kita pahami bersama sistim pemerintahan kita terdiri dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua-duanya telah di atur dalam UUD 1945. Lebih detailnya diatur dalam Undang-Undang (UU), dan peraturan-peraturan lainnya.
Artinya bagaimana, seperti apa, atau bagaimana pemerintahan itu dijalankan untuk mencapai tujuannya, sudah di atur dengan sangat jelas. Tujuan pemerintahan itu, seperti kita ketahui ditulis dalam Pembukaan UUD 1945, Alinea ke empat, yaitu;
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
Pertanyaannya: Sudah sejauh mana tujuan itu diwujudkan setelah merdeka 76 tahun?
Jawabannya tidak hitam putih…cukup beragam. Kalau ditanya pemerintah, jawabannya biasanya sudah mendekati, namun apabila rakyat ditanya, jawabannya masih sangat jauh. Kayaknya masih dilangit ketujuh…. Apalagi masyarakat yang terpinggirkan atau termarjinalisasi, akan mengatakan bahwa pemerintah itu tidak pernah hadir. Mbah, atau kakek Marx pernah bertitah bahwa pemerintah itu adalah penindas…..dan lain-lain plesetan skeptis..
Plesetan demikian, ternyata bukan isapan jempol. Pakar ilmu pemerintahan, yakni Prof Dr Ryaas Rasjid (mantan Menteri Otonomi Daerah, Rektor IPDN, anggota DPR RI, Ketua Partai), dalam suatu kesempatan, nyerocos bahwa pengelolaan pemerintahan kita masih “kampungan” ….mungkin juga pemerintahan primitif
Pembahasan demikian,bukan tujuan penulisan ini, sebab sudah masuk ranah filsafat politik/pemerintahan, melainkan sekitar “praktek, empirik atau acting” dari mesin pemerintahan itu. Sudah jalankah sebagaimana layaknya kenderaan yang mulus?, atau justru masih sering macet-macet, seperti kata lagu tahun 70-an, yang diantunkan Titik Sandora …mogok lagi…mogok lagi. Untuk ilustrasi tersebut, yakni apakah sudah mulus atau sering macet, bacalah tulisan di bawah ini.
HUBUNGAN PUSAT-DAERAH DI ERA CORONA
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 28 Maret 2020
Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat penanggulangan corona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat, bukan derah
Bila ingin mengetahui, memahami, atau membuktikan, apakah pemerintah tanggap, handal, atau responsif terhadap persoalan masyarakatnya adalah keadaan saat ini. Yakni melesatnya suasana kekelaman, dimana serangan penyakit/virus mematikan yang belum ditemukan obatnya, sedang menerjang dengan membabi buta.
Nyaris hampir tiada ada tempat, negara, atau bangsa, yang luput dari terjangannya. Ia sungguh-sungguh mengerikan karena sangat ganas. Ibarat setan, maut, atau tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), virus ini setiap saat siap menerkam mangsanya. Bagaimana otoritas, yakni pemerintah mengendalikannya? Responsif, biasa-biasa saja, atau lambankah? Secara umum dapat dikatakan kurang responsif (masih nanggung kata Jusuf Kalla dalam cara mata Najwa di Trans TV/Haris Azhar dari KMS di ILC). Terkesan belum siap, alias gagap.
Kegagapan pertama dapat dilihat, ketika pemerintah (pusat) hingga beberapa waktu mengatakan dengan sangat percaya diri bahwa tidak ada kasus corona, sementara beberapa pakar, negara atau lembaga kredibel lain (seperti Harvard) menengarai bahwa corona sudah sampai di Indonesia.
Kegagapan kedua, penyampaian informasi, pesan, atau berita yang kurang akurat, simpang siur, dan kurang komunikatif dari elit-elit pemerintah. Suasana yang sempat meletupkan kegamangan ditengah-tengah publik, sebelum/akhirnya Ahmad Yurianto ditunjuk sebagai satu-satunya jubir pemerintah terkait virus maut tersebut
Kegagapan ketiga adalah penentuan opsi yang kurang tepat. Pemerintah kelihatannya tidak berpikir panjang ketika memutuskan suatu opsi sebagai eksekusi (keputusan), seperti pengkarantinaan WNI asal Wuhan di pulau Natuna, yang mendapat protes keras dari masyarakat setempat. Penduduk Natuna keberatan daerahnya dijadikan lokasi isolasi, karena takut terjangkit.
Ekses Otonomi Daerah
Kegagapan-kegagapan demikian semakin membuncah, dramatis, dan tereskalasi karena kaki-kaki pemerintah pusat di akar rumput, yakni pemerintah-pemerintah daerah yang seharusnya segera mengimplementasikannya, nyaris tak berbuat sebagaimana mestinya.
Mereka (pemda-pemda tersebut) meski sudah diberi otonomi sejak tahun 2001, yang seyogianya harus lebih pro aktif (kecuali beberapa Gubernur, Walikota, seperti Anis Baswedan, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Risma yang cukup responsif) kenyataannya masih jauh dari harapan (praktis tanpa terobosan sama sekali). Meminjam pendapat Mahfud MD, pemda-pemda masih menganggap enteng masalah yang sudah serius.
Kecenderungannya (KDH-KDH tersebut) masih wait and see, meski pandemik sudah di depan hidung. Mengapa terjadi seperti itu, yakni hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak serasi, selaras, dan seimbang? Apa yang salah (something wrong)? Apakah mereka tidak punya kapasitas sebagai pemimpin atau kepala daerah? Atau ada struktur/kultur laten yang menghambat?
Jawabannya tidak sederhana, tidak hitam-putih, dan atau tidak gamblang/tidak ringkas. Tergantung dari sudut atau persfektif mana mendekatinya. Menurut Siti Zuhro (2018), pakar otonomi daerah dari LIPI, ketidak harmonisan itu terjadi karena lima hal, yakni; pertama, kurangnya konsistensi pemerintah dalam bidang hukum atau pembuatan peraturan, dan sulitnya melakukan harmonisasi antara UU Pemerintahan Daerah dengan UU terkait.
Kedua, persepsi sepihak daerah mengenai kewenangannya yang acapkali lebih mementingkan daerah sendiri tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks lebih luas. Masalah yang sesungguhnya tidak hanya monopoli daerah, melainkan dan terutama adalah perilaku pusat, yang selalu menonjolkan ego sehingga menghambat daerah berkembang dan menyempitkan makna kerjasama antar daerah.
Ketiga, kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antar daerah, karena belum diatur secara rinci dan detil (regulasinya mirip gelang karet, yang dapat dilonggar-keraskan). Dan, ke empat, terjadinya konspirasi, persekongkolan, atau kongkalikong antara elit dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi diri dan kroninya, tanpa mempedulikan kemaslahatan umum dan kesehatan lingkungan.
Kelima, terjeratnya elit-elit lokal dalam pola atau hubungan nan oligarkhis, yakni tata kelola kekuasaan yang hanya dipraksiskan segelintir orang di daerah tersebut. Tidak sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi, dan atau khususnya dalam UU Pemilu/Pilkada yang harus berdasarkan aspirasi/kepentingan masyarakat (konstituen)
Dengan kata lain tidak ada demokrasi disitu, meski prinsip, pola, atau regulasi/UU yang berlangsung demokratis. DPRD yang seharusnya menjadi lembaga legislatif/pengawas eksekutif berubah bulu menjadi institusi yang malah melakukan perselingkuhan/kong kali kong dengan eksekutif untuk kepentingan diri dan partainya.Tatanan yang akhirnya mencuatkan pemerintahan yang buruk.
Pemerintahan yang mal-admistratif, legal-irrasional (meminjam Weber), dan atau (alias) disfungsional. Model ahistoris (kalau bukan pola jahanam), yang sesungguhnya sudah berlangsung lama (sejak Orde Baru), namun kasat mata pada era reformasi, seiring ditempuhnya otonomi daerah pada tahun 2001.
Semakin Tak Harmonis
Otonomi yang selain melahirkan ekses sebagaimana disinyalir Siti Zuhro di atas, adalah semakin lama semakin tidak harmonisnya hubungan antara pusat dan daerah. Masing-masing pihak (pusat maupun daerah) menganggap “wewenang, kekuasaan, atau kebijakannya” paling benar
Sebagai implementasinya tampillah apa yang popular dengan istilah anarkhisme atau konfliktual. Banyaknya peraturan daerah (Perda) yang dibatalkan pusat, urusan-urusan/tugas-tugas, seperti pengelolaan SDA yang sebelumnya dikelola Kabupaten/Kota, kemudian dialihkan ke Provinsi adalah sebagian ilustrasi atau faktanya.
saat-saat penanggulangan korona saat ini. Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat penanggulangan korona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat, bukan daerah.
Sebaliknya Anis ngeles bahwa tindakannya berdasar UU Pemerintahan DKI Jaya. Mana yang benar, mana yang keliru, bukan pembahasan tulisan ini. Yang pasti telah terjadi relasi yang tidak harmonis, yang dalam derivasi atau implementasinya akan meletupkan ekses, yang seharusnya tidak perlu jika saja pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki good and political will untuk itu.
∏
……..realita demikian, yakni kurang harmonisnya hubungan tersebut dapat dibaca dalam laporan Kompas, 28 Juni 2020 yang mewawancarai Jokowi tentang masalah normal baru. Normal baru yang disarankan pusat, belum seluruhnya dijalankan daerah, bahkan ada yang tak menjalankan…..kita kutif pernyataan Jokowi dibawah ini:
……tetapi ada daerah-daerah yang mau dan tidak mau karena ada wilayah politiknya. Saya kira dimanapun, di Amerika juga ada. Ya biasalah, walikota, bupati, gubernur kadang berbeda-beda. Tidak apa-apa, tetapi harus dengan sebuah argumentasi data yang benar. Kalau argumennya hanya argument politik, ini yang disayangkan. Kita memiliki 514 kota/kabupaten, 34 provinsi. Kita pasti mengingatkan.
Jelas dan terang…..ada masalah dalam pemerintahan kita.
Masalah-masalah demikian, sedikit banyak sudah diulas dalam artikel di atas, khususnya oleh R.Siti Zuhro.
Untuk lebih mendalaminya, kembali akan dimajukan argumen R Siti Zuhro, dalam tulisannya dalam Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol 13, No 2 Desember 2016 dengan judul “Otoda Dalam UU Pemda Baru: Masalah dan Tantangan Hubungan Pusat dan Daerah.
Sesuai dengan tema tulisannya, R Siti Zuhro, mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan Otonomi Daerah. Kelebihannya, adalah kehidupan politik lebih dinamis – demokratis, ketimbang dalam era sebelumnya yang “sentralistis”, yang satu arah, atau, yang hanya “top down”, menjadi dua arah, atau “bottom up” (desentralistis)
Kelemahannya adalah, meski sistim, atau mesin pemerintahan/politiknya, sudah dibuat lebih demokratis, ternyata tujuan pemerintahan itu sendiri masih jauh dari harapan. Kehidupan rakyat yang sebelumnya, masih jauh dari rasa aman, jauh dari sejahtera/miskin, dan jauh dari kecerdasan, sebagaimana diamanatkan Alinea ke empat Pembukaan UUD 1945.
Jangankan tidak tercapai atau jauhnya tujuan/goal demikian, ternyata sistim atau mesin pemerintahan masih jauh dari fungsional. Meski mesinnya terus diperbarui, seperti dari UU No 32 Tahun 2004, ke Undang-Undang baru, UU No 23 Tahun 2014 tentang “Pemerintahan Daerah”, mesin itu sering mogok – macet. Kemacetan ini paling tidak karena dua hal, yakni”
· Isu Pemekaran Daerah yang kebablasan
· Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung yang sarat politik uang.
Daerah-daerah terus meminta pemekaran daerah, sementara pemerintah pusat semakin megetatkan persyaratannya, bahkan menempuh moratorium. Demikian pula akan pemilihan kepala daerah secara langsung, yang disemarakkan dengan politik uang, membuat kepala daerah yang tampil tidak kredibel, sebab, kepentingan pribadi dan komplotannya ebih menonjol, ketimbang tugas utamanya sebagai kepala daerah
Tidak cukup disitu, R Siti Zuhro selanjutnya menguraikan kelemahan demikian lebih detil, yakni:
1. Silang sengkarutnya hubungan pusat dan daerah dan lemahnya koordinasi, pengawasan, dan bimbingan antar jenjang pemerintahan.
2. Masalah dalam pengelolaan anggaran dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK)
3. Pola relasi antara Kepala Daerah dan DPRD yang kurang harmonis.
4. Kekawatiran terhadap isu kriminalisasi administrasi.
5. Minimnya kerjasama antar daerah yang bermanfaat bagi pembangunan daerah.
6. Minimnya komitmen dan konsistensi dalam menjalankan peraturan.
7. Persepsi sepihak daerah tentang kewenangannya yang membuat penonjolan isu kedaerahan dan keIndonesiaan kurang berimbang.
8. Kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antar daerah.
9. Kolaborasi elit dan pengusaha dalam meng-eksploitasi sumber daya alam daerah untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa mempedulikan implikasinya terhadap masyarakat dan kesehatan lingkungan/ekologi politik
Kalau seperti itu konstalasinya, sampai kapanpun tidak akan pernah sampai ke tujuan. Pemerintahan yang ada hanya sibuk, dan berputar-putar pada diri atau tempatnya sendiri. Dari, oleh, dan untuk pemerintah…bukan untuk masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan Karl D Jackson, tentang pemerintahan Soeharto, pada tahun 1980-an, adalah pemerintahan yang terapung di atas masyarakatnya……terapung dengan bergelimang KKN, sementara rakyatnya bergelimang kesengsaraan.
Suasana yang tidak jauh berbeda, sebab, meski Soeharto lengser, dan tampil pemerintahan yang lebih demokratis, yang desentralisir, namun tujuan pemerintahannya untuk mensejahterakan masyarakat, masih jauh panggang dari api.
Bagaimana mungkin mesin pemerintahan jalan, kalau dalam pemerintahan itu sendiri hanya;
Silang sengkarut
hubungan/relasi/interaksinya
Tidak jujur dalam pengelolaan keuangan
Relasi eksekutif dan legislatif yang tidak
harmonis
Gamang terhadap kriminalisasi administrasi
Minim kerjasama antar daerah
Minim komitmen
Egoism daerah
Hubungan kewenangan yang rumit
Tata Kelola SDA yang tidak memperdulikan
masyarakat dan lingkungan
Lalu? Sebagaimana sebelum-sebelumnya jika ada masaah…..revisi lagi Undang-Undang…..bikin lagi UU baru…revisi lagi…..bikin lagi UU baru……begitu seterusnya…..
Bukan….bukan disitu masalahnya. Masalahnya adalah tidak dilaksanakannya hakiki otonomi, yakni kedaulatan rakyat…..Wujudkan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan ecek-ecek, kedaulatan lawak-lawakan ,seperti yang berlangsung saat ini. Kapan rakyat diikutkan dalam proses pemerintahan…..
Untuk memperkuat pandangan demikian, yakni bahwa hakikat otonomi itu adalah kedaulatan rakyat, bacalah tulisan Dr I Nyoman Sumaryadi, MSi, mantan Rektor STPDN, di bawah ini
…..karena itu, tujuan kebijakan otonomi daerah sesungguhnya adalah memberikan keleluasaan yang luas kepada masyarakat untuk berkreasi membangun daerahnya di bawah koordinasi dan fasilitas pemerintah daerah……artinya, posisi pemerintah adalah pemegang kewenangan subsidiaritas, yang hanya membantu memfasilitasi, memberi subsidi, dan menciptakan iklim yang kondusif bagi berperannya masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan daerah. sedangkan masyarakat yang berotonomi itu memegang kewenangan totalitaritas, sebagai subjek dalam otonomi daerah.(2005:115)
Statement demikian, juga diamini tiga pendekar pakar otonomi daerah, yakni Dr Oentarto S.M, Dr I Made Suwandi, dan Drs Dodi Riyadmadji dalam bukunya “Format Otonomi Daerah Masa Depan”, hal 181……prinsip otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab yang seharusnya dilaksanakan oleh masyarakat, sejauh ini dalam implementasinya masih didominasi oleh Pemda dan DPRD, yang seringkali melupakan aspek filosofi dari penyelenggaraan otonomi daerah. sehingga yang terjadi hanya ada pergeseran tempat sentralisasi, yang semula berada di instansi pusat, bergeser ke instansi daerah
Kedaulatan rakyat……demokrasi……bebas, setara, dan toleransi…itulah kata kuncinya. Selama itu tidak diimplementasikan, pemerintahan itu akan terus bermasalah…..Merdeka
TUGAS
Buatlah makalah atau artikel, dengan jumlah kata 500 sampai 600 kata, satu setengah spasi. Dikumpul atau di kirimkan ke e mail saya dalam waktu seminggu (paling lambat, hari Sabtu, 29 Januari 2021) Tema dapat dipilih dari judul-judul di bawah ini:
1. Menakar kompetensi Bobby Nasution memimpin pemerintahan Kota Medan
2. Kendala-Kendala Dalam Relasi Gubernur dengan Bupati-Walikota
3. Mendorong RT, RW, Lingkungan lebih fungsional
4. Mewujudkan Pemerintahan Desa Yang Melayani.
5. Menakar Bupati – Walikota Ditunjuk Presiden
Tidak ada komentar:
Posting Komentar