PLAGIARISM; PENJIPLAK DI SARANG AKADEMIK
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA
Published, Waspada, 23 Januari 2021
Plagiat yang dilakukan atas karya sendiri, namun dipublikasikan berulang-ulang dalam berbagai moda, seperti daur ulang, publikasi jamak, memecah topik ke berbagai tulisan, dan lain-lain sejenisnya, namun substansinya itu-itu juga
Plagiarism alias penjiplak karya ilmiah pihak lain, yang di daku sebagai karya sendiri, menjadi isu utama pasca pemilihan rektor USU awal Desember 2020 lalu . Rektor terpilih, Muryanto Amin ditengarai terjebak penjiplakan karya ilmiah dengan tipe self plagiarism, yakni menjipak – memplagiasi karya sendiri.
Plagiat yang dilakukan atas karya sendiri, namun dipublikasikan berulang-ulang dalam berbagai moda, seperti daur ulang, publikasi jamak, memecah topik ke berbagai tulisan, dan lain-lain sejenisnya, namun substansinya itu-itu juga.
Bak gayung bersambut, beberapa waktu/minggu kemudian, tampil tuduhan plagiat ke pihak lain, yakni pada rektor dan jajarannya. Rektor, pembantunya, beberapa dosen, termasuk alumninya yang bekerja di salah satu Pemerintahan Daerah, dituding terlibat perbuatan tak jujur itu.
Sebagai derivasi atau konsekwensinya tampillah saling balas, serang, dan hujat. Hal-hal yang seharusnya tak layak dilakukan, bahkan dianggap haram dalam dunia akademik, kini menjadi pergunjingan/konsumsi publik, karena di blow up media-media Medan secara besar-besaran.
Dadang Darmawan Pasaribu, mantan dosen USU, yang dimintai pendapatnya oleh Waspada.co.id pada tanggal 13 januari 2021, menyatakan bahwa rumors plagiat itu adalah “politik praktis yang dibungkus isu plagiat”. Politik praktis yang inti utamanya adalah konflik-konflik kepentingan (vested interest) yang bersiliweran dan berbenturan di dalamnya, yakni adanya segolongan kalangan yang kecenderungannya tidak dapat menerima kemenangan Muryanto Amin sebagai rektor. Itu sentral masalahnya
Modus Plagiarism.
Terlepas apakah rumors itu politik praktis atau bukan, konflik kepentingan atau sebaliknya, konservatisme versus moderasi, sebagaimana diakui Dadang, biarlah urusan internal USU. Yang pasti isu plagiat sudah mencuat kepermukaan secara telanjang atau kasat mata.
Masyarakat telah melihat, membaca, dan menilainya dengan bebas. Soal seperti apa penilaian, atau mungkin pergunjingannya, biarlah waktu yang menjawabnya. Yang jelas perbuatan yang diharamkan itu, ternyata berlangsung terus. Analog dengan kasus korupsi dalam ranah ekonomi-politik birokrasi pemerintahan, yang ditetapkan sebagai bahaya laten, namun jalan terus.
Jalan terus dengan kemunafikan yang terus terlembaga, meski pelarangan-pelarangan terhadapnya sudah lebih dari cukup. Dari sejak (masuk) S1 hingga S3, dengan nyaring telah dikumandangkan bahwa plagiarism itu haram, najis, dan tidak boleh dilakukan, namun tetap saja melesat bak jet membelah langit.
Membelah langit, karena yang mengumandangkan dan mengkhotbahkannya juga melakukan hal yang sama. Semua pihak di area kampus, maupun lembaga-lembaga penelitian (yang katanya) profesional di luar kampus, setali tiga uang permanen (juga) mempraksiskannya.
Plagiarism sudah melekat pada setiap perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian professional, karena ia (perbutan tercela ini), telah sistemik dalam tatanan kelembagaan yang ada, urai Tamrin Amal Tomagola (Kompas, 9 Juni 2008)
Dengan menarik, beliau (Tamrin Amal Tomagola) mengkategorikan pelacur ilmiah ini dalam dua kategori. Kategori pertama adalah kelas teri. Pelaku atau aktornya adalah mahasiswa dan dosen muda yang baru lulus. Modusnya beragam, mulai dari nyontek dalam ujian tertulis di kelas, atau penjokian saat ujian akhir semester. Modus yang banyak terjadi adalah pencurian karya ilmiah orang lain dalam pembuatan makalah akhir semester, atau meminta teman membuatkan makalah.
Modus lainnya adalah beramai-ramai mendatangi seorang dosen pembimbing tesis dan disertasi, lalu beramai-ramai pula menulis sejumlah tesis atau disertasi dalam ranah permasalahan yang sama, dengan metode analisis wacana. Metode ilmiah yang sukar ditegakkan akurasinya.
Termasuk juga misalnya, tesis dan disertasi, yang tahun penelitinnya saja berbeda, studinya telah berakhir (cuci gudang), alias faktor kasihan. Jadilah tesis-tesisan dan disertasi-disertasian. Tujuan menghasilkan pembaharuan (novelty) sebagaimana dipersyaratkan, tinggal sebatas angan-angan di langit ketujuh.
Kategori kedua adalah plagiarism (pencoleng) kelas kakap. Aktornya adalah dosen senior yang kesohor pada masanya dan disegani dalam bidangnya. Modusnya antara lain adalah mengambil karya ilmiah pihak lain dan diterbitkan untuk mendatangkan keuntungan finansil. Modus selanjutnya adalah dengan mendaku karya pihak lain sebagai karya orisinil sendiri dan memasukkkannya ke dalam sistim birokrasi kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Kategori ketiga adalah mencuri karya pihak lain dan memasukkan, baik sebagai proposal penelitian, maupun sebagai laporan penelitian ganda untuk beberapa pemberi dana. Modus yang dilakukan para professional, yang tak jarang dengan gelar-gelar besar, seperti doctor, professor, atau ahli peneliti utama, untuk kebutuhan finansial.
Sosok-sosok yang melakukan pencolegan demikian, sebagaimana disebut di atas, telah merata dari kelas teri (bawah), sampai kelas kakap (ilmuwan kesohor dan disegani). Beberapa figure yang menggemparkan antara lain adalah; perampokan karya ilmiah yang dilakukan mantan Menteri Pendidikan Nasional di era Gus Dur, penangkapan dua makalah jiplakan seorang anggota Kabinet Indonesia Bersatu yang disajikan dalam seminar internasional, pencopotan gelar doktor alumnus UGM yang ketahuan mencuri karya ilmiah sejawatnya, pencopotan guru besar Lemhannas (Tamrin Amal Tomagola,K 9 Juni 2008)
Selain sosok-sosok demikian, yang tak kurang gemparnya adalah penjiplakan yang dilakukan Guru Besar Unpar, yakni Anak Agung Banyu Perwita. Artikelnya di Jakarta Post, 16 Nopember 2009, yang berjudul RI as a New Middle Power?, mencoleng karya tulis Carl Ungerer, The midde power Concept n Australian Foreign Policy di Australia Journal of Politics and History; Vol 53 Number 4, 2007.
Dosen ITB, Dr M. Zuliansyah. Makalahnya 3D Tupological Relations for 3D Spatial Analysis (15 April 2010), menjiplak makalah Siyka Zlatanova, On 3D Tupological Relationship, yang dimuat Jurnal IEEE. Guru Besar UNRI, Prof Dr Isjoni Ishaq MSi, bukunya “Sejarah Maritim, 2011”, adalah jiplakan dari bukunya Jend (marinir) Joko Pramono, 2005.
Tanggal 17 April 2012, UNILA memecat calon guru besarnya dari FKIP dengan initsial BS karena terlibat plagiat, setelah tim verifikasi membuktikannya. 4 Maret 2012, senat akademik UPI Bandung menjatuhkan sanksi penurunan jabatan dan golongan bagi 3 calon guru besarnya, karena terbukti melakukan plagiarism. Dr Cecep Darmawan (Direktur Kemahasiswaan UPI dan Rektor UNU Subang), Dr B Lena Nuryanti (dosen FPIPS UPI), dan Dr Ayi Suherman (dosen UPI kampus Sumedang)
Tanggal 7 Februari 2014, Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Maranatha, memberhentikan Rektornya, Dr dr Felix Kasim MKes, karena melakukan plagiarism terhadap sejumlah karya ilmiah mahasiswanya. Yang juga sangat menggoncangkan , karena selama ini, ia dianggap sosok berintegritas adalah plagiarism yang dilakukan Anggito Abimanyu. Artikelnya di Kompas, Asuransi Bencana,, menjiplak artikelnya Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan dengan judul “Menggagas Asuransi Bencana”.
Sebatas Penjiplak
Masih dalam tahun yang sama, yakni 2014, Purek II Unhas, Dr dr Wardihan A. Sinrang MS di duga menerbitkan hasil penelitian orang lain dengan judu Effect Isolated Active Compound (BV103) of Bohmeria Virgata (Forst) Guil Leaves an Anti Proliferation in Human Servix HelaCells Through Activation of Caspase 3 dan p 53 Protein, yang dimuat di jurna Tropical Medicine & Surgery (TMS) Vol 1. Issue 3, 2013. Artikel ini memiliki kesamaan dengan judul yang dimuat di majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol 16, No 3 Nopember 2012, hal 115 – 120, 2012.
Ilustrasi kelas kakap demikian masih dapat diuraikan sekian Panjang dan banyak lagi, seperti pemecatan Rektor UNJ, Prof Djaali pada tahun 2017, yang ditengarai melegalkan plagiarism, sebab yang bersangkutan, membimbing dan meluluskan 118 doktor hanya dalam kurun waktu satu tahun. Bagaimana bila dihubungkan dengan plagiarism yang dilakukan kelas teri, yang tentu lebih banyak lagi?
Silakan pembaca menjawab sendiri. Yang pasti, meski tidak diakui dan sangat memprihatinkan, itulah cerminan perguruan tinggi kita. Lembaga yang seharusnya melahirkan intelektual, inteligensia, atau cendekiawan sebagai innovator atau agent of change, faktanya baru sebatas penjiplak, yakni penjiplak di sarang akademik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar