BS II, REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
KULIAH II
JURUSAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA
PENGASUH; REINHARD HUTAPEA
∏
PATOLOGI BIROKRASI
Pada kuliah pertama telah
dijelaskan apa itu Administrasi Publik. Telah diuraikan pendapat Dwight Waldo, M. Pfifners & Robert V.
Presthus. Juga definisi Albrow
tentang birokrasi, dan secara aktual dan
popular diilustrasikan melalui tulisan/tajuk rencana Kompas yang bertema
“Birokrasi Andal Lawan Covid”. Tulisan yang sedikit banyak memudahkan mahasiswa
memahami apa yang dimaksud dengan Administrasi Publik atau Birokrasi. Begitu pula akan peran dan tantangannya telah
terurai sehingga gampang dicerna. Pada kuliah kedua ini, selanjutnya akan
diteruskan kepada penyakit-penyakit Adminstrasi Publik/Birokrasi dengan tema
“Patologi Birokrasi”. Bahan-bahannya diambil dari tulisan-tulisan saya sendiri,
Eko Prasodjo, dan atau khususnya dari bukunya Agus Dwiyanto “Reformasi
Birokrasi”
¥
Penyakit birokrasi di Indonesia sudah
lama berlangsung. Sudah berlangsung sejak negeri ini merdeka dan mengadopsi
model administrasi atau pemerintahan dari negara-negara luar, yakni dari
Barat/Amerika Serikat. Prinsip-prinsip birokrasi sebagaimana dititahkan Max
Weber dengan “legal-rasionalnya”
(melayani masyarakat), yakni;
·
Hierarkhis
·
Pembagian
kerja
·
Prosedur
tertulis
·
Impersonalitas,
dan
·
Meritokratis
Tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masyarakat belum
terlayani sebagaimana tujuan birokrasi itu dibuat. Hal ini dapat kita ketahui
dari istilah-istilah, atau mungkin ejekan-ejekan di bawah ini;
1.
Berbelit-belit. Pelayanan di kantor-kantor
pemerintah lambat, tidak lugas, dan melalui banyak meja.
2.
Kalau bisa diperlama mengapa
dipercepat…kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah….yakni cemohan, umpatan, atau ejekan
yang sering dilontarkan masyarakat kepada pelayanan pemerintah dari level
RT-RW, kelurahan/desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga pemerintah
pusat.
3.
Keranjang Sampah…..istilah yang dilontarkan Megawati
sewaktu ia menjabat Presiden. Ia kesal melihat administrasi-birokrasi yang
tidak melayani, menindas, dan korup. Megawati dengan kesal menyatakan….menteri
bias saya pegang…..tapi sekjen-dirjen ke bawah mana bisa…….
4.
ABS, Asal Bapak Senang. Ejekan yang dilemparkan kepada
pegawai-pegawai birokrasi, PNS/ASN yang hanya melayani atasan, bukan rakyat.
5.
Dll…masih
banyak.
Pernyataan-pernyaan yang punya dasar, bukan sekedar ejekan
yang emosional, namun menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Keadaan yang
carut marut, amburadul, atau (bahasa pasarnya) berantakan bin kacau-balau. Di putar ke kanan, diputar ke kiri, keatas,
kebawah ,memang seperti itulah adanya. Itulah empiric-praksisnya sebagaimana
ditulis Prof Eko Prasodjo, mantan Wakil Menteri PAN/RB dan Dekan Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Indonesia, dibawah ini :
Ø Kultur birokrasi yang tidak
berintegritas.
Ø Tumpeng tindih peraturan
perundang-undangan.
Ø Struktur organisasi yang gemuk dan
boros.
Ø Proses bisnis pemerintahan yang
lemah.
Ø Sumber daya manusia (SDM) yang tak
kompeten dan tak professional.
Ø Penyakit Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN).
Ø Pelayanan publik yang tak responsif
dan tak akuntabel.
Sinyalemen yang juga diakui dunia luar, sebagaimana penilaian
Lembaga Internasional, PERC, WEF, IT dan lain-lain;
1.
Index
Efisien Pemerintahan Indonesia menurut Political Economic Risk Consultancy
(PERC) tahun 2012 ► 8,37
(skor 1 terbaik dan 10 terburuk)
2.
Index
keefektifan Pemerintahan di Indonesia menurut World Economic Forum (WEF) tahun
2013 ► 42
(1 terburuk dan 100 terbaik)
3.
Index
Persepsi Korupsi Indonesia menurut International Transparancy (IT) pada tahun
2013 ►
32 (1 terburuk dan 100 terbaik)
4.
Kemudahan
berbisnis di Indonesia pada tahun 2014 menurut World Bank (WB) berada pada
peringkat 120.
Cat:
Mahasiswa
supaya menyesuaikan data, angka, atau index demikian dengan tahun-tahun
terakhir (2020). Bias di unggah – di browsing dari internet/google
∏
Mengapa birokrasi Indonesia mengalami patologis?
Agus Dwiyanto menelaahnya dari segi
internal, yakni dari prinsip-prinsip birokrasi itu sendiri, seperti aspek
“hierarkhi” dan aspek eksternal, yakni “budaya paternalistik”. Untuk lebih
jelasnya akan dikutif dibawah ini;
……….Suatu variable struktur birokrasi
dapat menghasilkan penyakit birokrasi jika intensitas dari variable itu sudah
menjadi berlebihan. Hubungan antara berbagai variable dalam struktur birokrasi
seperti;
·
Hierarkhi
·
Spesialisasi
·
Formalisasi
·
Prosedur,
dan
·
Kinerja
Seringkali tidak bersifat linier. Contohnya adalah hierarkhi.
Pada tingkat tertentu, keberadaan hierarkhi dalam suatu organisasi sangat
bermanfaat karena hierarkhi membantu pimpinan melakukan supervise dan control
di luar kapasitas individualnya. Hierarkhi juga bias membuat arus perintah dan
informasi menjadi lebih jelas sehingga
mempermudah koordinasi. Namun, ketika hierarkhi menjadi semakin Panjang maka berbagai
persoalan dalam organisasi akan muncul. Hierarkhi yang Panjang menyebabkan arus
perintah dan informasi menjadi semakin Panjang dan cenderung mengalami
distorsi. Proses pengambilan keputusan menjadi semakin lamban dan
terkotak-kotak (fragmented). Bahkan hierarkhi juga dapat memperbesar
ketergantungan bawahan terhadap atasan. Akibatnya, seringkali muncul perilaku
para pejabat birokrasi yang menjilat atasan, memberikan informasi seperti
laporan kerja yang ABS (Asal Bapak Senang), dan menunjukkan loyalitas secara
berlebihan pada atasan.
Kelemahan
internal birokrasi akan menjadi semakin parah apabila birokrasi beroperasi pada
lingkungan tertentu. Lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan birokrasi
tersebut adalah;
·
budaya paternalistis masyarakat yang
berpotensi membentuk dampak negative dari struktur birokrasi.
·
Sistim politik yang tidak demokratis
sehingga sumber daya kekuasaan terkonsentrasi pada pemerntah dan birokrasinya,
serta
·
Kapasitas masyarakat madani seperti
media dan NGO yang masih lemah dalam mengontrol pemerintahan.
Apabila berinteraksi dengan berbagai kondisi tersebut maka
kelemahan internal birokrasi akan menjadi semakin parah sehingga menyebabkan
birokrasi gagal menjalankan perannya sebagai institusi penyelenggara layanan
publik.
Birokrasi
publik di Indonesia yang memiliki hierarkhi ketat, panjang, dan cenderung
mendorong para pejabatnya untuk mengembangkan perilaku ABS memperoleh
justifikasi dari lingkungannya karena budaya masyarakat yang paternalistis
tidak bias menjadi sensor bagi perilaku negative yang muncul dari hierarkhi
yang berlebihan. Sebaliknya budaya paternalistis itu justru mengajarkan kepada
para pegawai untuk memberikan perlakuan istimewa kepada pimpinan. Budaya
paternalistis mengajarkan mengenai suatu pola hubungan tertentu antara rakyat
dan penguasa, serta antara bawahan dan atasan. Dalam budaya paternalistis,
bawahan harus memberikan pelayanan kepada atasan. Mereka harus menunjukkan
dedikasi dan loyalitas kepada atasannya. Bahkan, dedikasi dan loyalitas itu
cenderung mereka tunjukkan secara berlebihan, dengan maksud agar atasannya
memberikan keistimewaan tertentu. Mereka meyakini bahwa yang menentukan nasib
mereka dalam berkarir adalah atasan. Hal inilah yang menyebabkan para pejabat
birokrasi memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada atasan. Perilaku
ABS dikalangan pejabat birokrasi ini terbentuk sebagai hasil interaksi antara
budaya paternalistis yang hidup mengakar dalam masyarakat dan struktur
birokrasi Weberian yang selanjutnya menghasilkan penyakit birokrasi.
Celakanya,
dalam sistim politik yang tidak demokratis, penyakit birokrasi tidak mudah
untuk dicegah karena kekuasaan terkonsentrasi pada pemerintah dan birokrasi.
Masyarakat tidak memiliki sumber daya cukup untuk mengontrol perilaku birokrasi.
Karena itu masyarakat tidak dapat berbuat banyak ketika para pejabat birokrasi
public hanya memikirkan kepentingan birokrasi, atasan, dan dirinya sendiri,
serta mengabaikan kebutuhan dan kepentingan public. Pengguna layanan birokrasi
berada pada posisi yang sangat lemah ketika berhadapan dengan dengan birokrasi
dan pejabatnya. Apalagi jika kapasitas dari unsur dan komponen masyarakat
madani, seperti media, NGO, dan kelompok-kelompok madani lainnya, masih sangat
lemah maka control terhadap erilaku birokrasi menjadi sangat tidak efektif
sehingga penyakit birokrasi terus tumbuh dengan sangat subur.
Sedangkan
pada masyarakat Barat yang sangat rasional serta memiliki tradisi demokrasi dan
kelompok masyarakat madani yang kuat, struktur birokrasi yang hierarkhis tidak
melahirkan penyakit birokrasi sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Hal itu
dapat dijelaskan dengan mudah karena budaya masyarakat yang rasional, seperti
yang berkembang pada negara-negara Barat, mengajarkan kepada mereka untuk
memperlakukan orang atas dasar prestasi, bukan atas dasar keturunan, loyalitas,
dan hubungan subjektif yang lain. Hal itu sangat berlawanan dengan budaya
paternalistis yang mengajarkan untuk memberlakukan orang atas dasar keturunan
dan loyalitas. Pada lingkungan budaya yang rasional, para pejabat birokrasi
baik atasan maupun bawahan yang ingin melakukan tindakan ABS, mencari muka,
atau memperlakukan bawahan secara tidak fair akan memperoleh koreksi dari
system dan nilai-nilai budayanya. System nilai yang berkembang dalam budaya
rasional dapat berperan sebagai sensor terhadap perilaku pejabat birokrasi yang
menyimpang tersebut. Demikian pula dengan system politik yang demokratis.
Sistim politik yang demokratis mampu menciptakan keseimbangan distribusi
kekuasaan sehingga dominasi pemerintah dan birokrasi dalam kehidupan public
dapat dicegah dan control terhadap perilaku pemerintah dan birokrasi dapat
dilakukan secara efektif. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila birokrasi
Weberian di Barat relative tidak menghasilkan penyakit birokrasi yang kronis
sepert di Indonesia.
·
Budaya Barat yang rasional,
·
sistim politik yang demokratis, dan
·
masyarakat sipil yang kuat
dapat menjadi sensor yang efektif terhadap berkembangnya
perilaku aparatur birokrasi yang paternalistis.
Penutup
Dengan
demikian, penyakit/patologi birokrasi adalah hasil interaksi antara struktur
birokrasi yang salah dan variable-variabel ligkungan yang salah. Struktur
birokrasi yang hierarkhis berinteraksi dengan budaya masyarakat yang
paternalistis; sistim politik yang tidak demokratis, dan ketidak berdayaan kelompok masyarakat madani
cenderung melahirkan perilaku birokrasi paternalistis yang merugikan
kepentingan masyarakat (public) (Agus Dwiyanto, 2011)
Cat;
·
Para mahasiswa agar membadingkan pendapat
Agus Dwiyanto ini dengan pakar-pakar administrasi publik lain (Miftach Thoha,
Sofian Effendi, Eko Prasodjo, Irfan Ridwan Maksum, Djohermansyah Djohan dan
lain-lain, masih banyak
·
Analisis atau bandingkan tulisan demikian
dengan ide Jokowi yang memangkas eselon, kalau bisa hanya dua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar