Jumat, 01 Mei 2020

BS II, REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK



BS II, REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
KULIAH II
JURUSAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA
PENGASUH; REINHARD HUTAPEA
PATOLOGI BIROKRASI
Pada kuliah pertama telah dijelaskan apa itu Administrasi Publik. Telah diuraikan pendapat Dwight Waldo, M. Pfifners & Robert V. Presthus. Juga definisi Albrow tentang birokrasi, dan  secara aktual dan popular diilustrasikan melalui tulisan/tajuk rencana Kompas yang bertema “Birokrasi Andal Lawan Covid”. Tulisan yang sedikit banyak memudahkan mahasiswa memahami apa yang dimaksud dengan Administrasi Publik atau Birokrasi.  Begitu pula akan peran dan tantangannya telah terurai sehingga gampang dicerna. Pada kuliah kedua ini, selanjutnya akan diteruskan kepada penyakit-penyakit Adminstrasi Publik/Birokrasi dengan tema “Patologi Birokrasi”. Bahan-bahannya diambil dari tulisan-tulisan saya sendiri, Eko Prasodjo, dan atau khususnya dari bukunya Agus Dwiyanto “Reformasi Birokrasi”
¥
Penyakit birokrasi di Indonesia sudah lama berlangsung. Sudah berlangsung sejak negeri ini merdeka dan mengadopsi model administrasi atau pemerintahan dari negara-negara luar, yakni dari Barat/Amerika Serikat. Prinsip-prinsip birokrasi sebagaimana dititahkan Max Weber dengan “legal-rasionalnya” (melayani masyarakat), yakni;
·         Hierarkhis
·         Pembagian kerja
·         Prosedur tertulis
·         Impersonalitas, dan
·         Meritokratis
Tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masyarakat belum terlayani sebagaimana tujuan birokrasi itu dibuat. Hal ini dapat kita ketahui dari istilah-istilah, atau mungkin ejekan-ejekan di bawah ini;
1.      Berbelit-belit. Pelayanan di kantor-kantor pemerintah lambat, tidak lugas, dan melalui banyak meja.
2.      Kalau bisa diperlama mengapa dipercepat…kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah….yakni cemohan, umpatan, atau ejekan yang sering dilontarkan masyarakat kepada pelayanan pemerintah dari level RT-RW, kelurahan/desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga pemerintah pusat.
3.      Keranjang Sampah…..istilah yang dilontarkan Megawati sewaktu ia menjabat Presiden. Ia kesal melihat administrasi-birokrasi yang tidak melayani, menindas, dan korup. Megawati dengan kesal menyatakan….menteri bias saya pegang…..tapi sekjen-dirjen ke bawah mana bisa…….
4.      ABS, Asal Bapak Senang. Ejekan yang dilemparkan kepada pegawai-pegawai birokrasi, PNS/ASN yang hanya melayani atasan, bukan rakyat.
5.      Dll…masih banyak.
Pernyataan-pernyaan yang punya dasar, bukan sekedar ejekan yang emosional, namun menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Keadaan yang carut marut, amburadul, atau (bahasa pasarnya) berantakan bin kacau-balau.  Di putar ke kanan, diputar ke kiri, keatas, kebawah ,memang seperti itulah adanya. Itulah empiric-praksisnya sebagaimana ditulis Prof Eko Prasodjo, mantan Wakil Menteri PAN/RB dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, dibawah ini :
Ø  Kultur birokrasi yang tidak berintegritas.
Ø  Tumpeng tindih peraturan perundang-undangan.
Ø  Struktur organisasi yang gemuk dan boros.
Ø  Proses bisnis pemerintahan yang lemah.
Ø  Sumber daya manusia (SDM) yang tak kompeten dan tak professional.
Ø  Penyakit Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Ø  Pelayanan publik yang tak responsif dan tak akuntabel.
Sinyalemen yang juga diakui dunia luar, sebagaimana penilaian Lembaga Internasional, PERC, WEF, IT dan lain-lain;
1.      Index Efisien Pemerintahan Indonesia menurut Political Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2012  8,37  (skor 1 terbaik dan 10 terburuk)
2.      Index keefektifan Pemerintahan di Indonesia menurut World Economic Forum (WEF) tahun 2013  42   (1 terburuk dan 100 terbaik)
3.      Index Persepsi Korupsi Indonesia menurut International Transparancy (IT) pada tahun 2013      32   (1 terburuk dan 100 terbaik)
4.      Kemudahan berbisnis di Indonesia pada tahun 2014 menurut World Bank (WB) berada pada peringkat 120.
Cat:
Mahasiswa supaya menyesuaikan data, angka, atau index demikian dengan tahun-tahun terakhir (2020). Bias di unggah – di browsing dari internet/google
Mengapa birokrasi Indonesia mengalami patologis?
Agus Dwiyanto menelaahnya dari segi internal, yakni dari prinsip-prinsip birokrasi itu sendiri, seperti aspek “hierarkhi” dan aspek eksternal, yakni “budaya paternalistik”. Untuk lebih jelasnya akan dikutif dibawah ini;
……….Suatu variable struktur birokrasi dapat menghasilkan penyakit birokrasi jika intensitas dari variable itu sudah menjadi berlebihan. Hubungan antara berbagai variable dalam struktur birokrasi seperti;
·         Hierarkhi
·         Spesialisasi
·         Formalisasi
·         Prosedur, dan
·         Kinerja
Seringkali tidak bersifat linier. Contohnya adalah hierarkhi. Pada tingkat tertentu, keberadaan hierarkhi dalam suatu organisasi sangat bermanfaat karena hierarkhi membantu pimpinan melakukan supervise dan control di luar kapasitas individualnya. Hierarkhi juga bias membuat arus perintah dan informasi  menjadi lebih jelas sehingga mempermudah koordinasi. Namun, ketika hierarkhi menjadi semakin Panjang maka berbagai persoalan dalam organisasi akan muncul. Hierarkhi yang Panjang menyebabkan arus perintah dan informasi menjadi semakin Panjang dan cenderung mengalami distorsi. Proses pengambilan keputusan menjadi semakin lamban dan terkotak-kotak (fragmented). Bahkan hierarkhi juga dapat memperbesar ketergantungan bawahan terhadap atasan. Akibatnya, seringkali muncul perilaku para pejabat birokrasi yang menjilat atasan, memberikan informasi seperti laporan kerja yang ABS (Asal Bapak Senang), dan menunjukkan loyalitas secara berlebihan pada atasan.
            Kelemahan internal birokrasi akan menjadi semakin parah apabila birokrasi beroperasi pada lingkungan tertentu. Lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan birokrasi tersebut adalah;
·        budaya paternalistis masyarakat yang berpotensi membentuk dampak negative dari struktur birokrasi.
·        Sistim politik yang tidak demokratis sehingga sumber daya kekuasaan terkonsentrasi pada pemerntah dan birokrasinya, serta
·        Kapasitas masyarakat madani seperti media dan NGO yang masih lemah dalam mengontrol pemerintahan.
Apabila berinteraksi dengan berbagai kondisi tersebut maka kelemahan internal birokrasi akan menjadi semakin parah sehingga menyebabkan birokrasi gagal menjalankan perannya sebagai institusi penyelenggara layanan publik.
            Birokrasi publik di Indonesia yang memiliki hierarkhi ketat, panjang, dan cenderung mendorong para pejabatnya untuk mengembangkan perilaku ABS memperoleh justifikasi dari lingkungannya karena budaya masyarakat yang paternalistis tidak bias menjadi sensor bagi perilaku negative yang muncul dari hierarkhi yang berlebihan. Sebaliknya budaya paternalistis itu justru mengajarkan kepada para pegawai untuk memberikan perlakuan istimewa kepada pimpinan. Budaya paternalistis mengajarkan mengenai suatu pola hubungan tertentu antara rakyat dan penguasa, serta antara bawahan dan atasan. Dalam budaya paternalistis, bawahan harus memberikan pelayanan kepada atasan. Mereka harus menunjukkan dedikasi dan loyalitas kepada atasannya. Bahkan, dedikasi dan loyalitas itu cenderung mereka tunjukkan secara berlebihan, dengan maksud agar atasannya memberikan keistimewaan tertentu. Mereka meyakini bahwa yang menentukan nasib mereka dalam berkarir adalah atasan. Hal inilah yang menyebabkan para pejabat birokrasi memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada atasan. Perilaku ABS dikalangan pejabat birokrasi ini terbentuk sebagai hasil interaksi antara budaya paternalistis yang hidup mengakar dalam masyarakat dan struktur birokrasi Weberian yang selanjutnya menghasilkan penyakit birokrasi.
            Celakanya, dalam sistim politik yang tidak demokratis, penyakit birokrasi tidak mudah untuk dicegah karena kekuasaan terkonsentrasi pada pemerintah dan birokrasi. Masyarakat tidak memiliki sumber daya cukup untuk mengontrol perilaku birokrasi. Karena itu masyarakat tidak dapat berbuat banyak ketika para pejabat birokrasi public hanya memikirkan kepentingan birokrasi, atasan, dan dirinya sendiri, serta mengabaikan kebutuhan dan kepentingan public. Pengguna layanan birokrasi berada pada posisi yang sangat lemah ketika berhadapan dengan dengan birokrasi dan pejabatnya. Apalagi jika kapasitas dari unsur dan komponen masyarakat madani, seperti media, NGO, dan kelompok-kelompok madani lainnya, masih sangat lemah maka control terhadap erilaku birokrasi menjadi sangat tidak efektif sehingga penyakit birokrasi terus tumbuh dengan sangat subur.
            Sedangkan pada masyarakat Barat yang sangat rasional serta memiliki tradisi demokrasi dan kelompok masyarakat madani yang kuat, struktur birokrasi yang hierarkhis tidak melahirkan penyakit birokrasi sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Hal itu dapat dijelaskan dengan mudah karena budaya masyarakat yang rasional, seperti yang berkembang pada negara-negara Barat, mengajarkan kepada mereka untuk memperlakukan orang atas dasar prestasi, bukan atas dasar keturunan, loyalitas, dan hubungan subjektif yang lain. Hal itu sangat berlawanan dengan budaya paternalistis yang mengajarkan untuk memberlakukan orang atas dasar keturunan dan loyalitas. Pada lingkungan budaya yang rasional, para pejabat birokrasi baik atasan maupun bawahan yang ingin melakukan tindakan ABS, mencari muka, atau memperlakukan bawahan secara tidak fair akan memperoleh koreksi dari system dan nilai-nilai budayanya. System nilai yang berkembang dalam budaya rasional dapat berperan sebagai sensor terhadap perilaku pejabat birokrasi yang menyimpang tersebut. Demikian pula dengan system politik yang demokratis. Sistim politik yang demokratis mampu menciptakan keseimbangan distribusi kekuasaan sehingga dominasi pemerintah dan birokrasi dalam kehidupan public dapat dicegah dan control terhadap perilaku pemerintah dan birokrasi dapat dilakukan secara efektif. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila birokrasi Weberian di Barat relative tidak menghasilkan penyakit birokrasi yang kronis sepert di Indonesia.
·        Budaya Barat yang rasional,
·        sistim politik yang demokratis, dan
·        masyarakat sipil yang kuat
dapat menjadi sensor yang efektif terhadap berkembangnya perilaku aparatur birokrasi yang paternalistis.
Penutup
Dengan demikian, penyakit/patologi birokrasi adalah hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variable-variabel ligkungan yang salah. Struktur birokrasi yang hierarkhis berinteraksi dengan budaya masyarakat yang paternalistis; sistim politik yang tidak demokratis, dan ketidak  berdayaan kelompok masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku birokrasi paternalistis yang merugikan kepentingan masyarakat (public) (Agus Dwiyanto, 2011)
Cat;
·         Para mahasiswa agar membadingkan pendapat Agus Dwiyanto ini dengan pakar-pakar administrasi publik lain (Miftach Thoha, Sofian Effendi, Eko Prasodjo, Irfan Ridwan Maksum, Djohermansyah Djohan dan lain-lain, masih banyak
·         Analisis atau bandingkan tulisan demikian dengan ide Jokowi yang memangkas eselon, kalau bisa hanya dua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar