MK VII, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH VII, 4 MEI 2020, jam 08.30 sd 10.15
JURUSAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA
PENGASUH; REINHARD HUTAPEA
∏
MEWIRAUSAHAKAN PEMERINTAH DAERAH
Pada kuliah VI telah
dijelaskan Pengelolaan Keuangan Pusat dan Daerah berdasarkan UU No 23 Tahun
2014, yakni pasal 293 dan pasal 330 dan PP No 12 Tahun 2019, tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam perjalanan atau implementasinya, ternyata
masih jauh panggang dari api. Masih jauh dari harapan, sebagaimana diutarakan
Dr Oentarto SM, Dr I Made Suwandi, MSoc, SC, dan Drs Dodi Riyadmadji, MM (2004),
pengelolaan keuangan itu masih penuh masalah, seperti;
1.
Konflik Penguasaan Kewenangan yang
Menghasilkan Penerimaan.
2.
Keuangan Daerah yang Kurang Mencukupi.
3.
Kurangnya Kepatuhan pada Peraturan dan
Lemahnya Penegakan Hukum.
4.
Overhead Cost Pemda yang Tinggi.
5.
Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas
dalam Penyusunan APBD
6.
Kurangnya Kejelasan Sistem Pembiayaan
Melalui dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
7.
Terbatasnya Pemanfaatan DAK.
8.
Kurangnya Manajemen Aset.
9.
Mekanisme Pinjaman yang belum jalan
10.
Kebijakan Investasi di Daerah
11.
Pemisahan Keuangan Eksekutif dengan
Legislatif.
Secara khusus Menteri
Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (2017), melukiskan masalah demikian sebagai
berikut;
Ø Daerah-Daerah
masih terlambat menyusun APBD yang seharusnya bersamaan dengan APBN.
Ø Mayoritas
pembelanjaan APBD masih untuk gaji pegawai.
Ø Belum
ada standard program kegiatan dari APBD
Ø Ada
Daerah yang punya program over dosis, yakni punya program yang melebihi
kesanggupan/keuangannya, sehingga dananya habis untuk panitis program.
Belum lagi bila
dihubungkan dengan banyaknya kepala-kepala Daerah yang menjadi pencuri, yang
ter OTT KPK, akan membuat masalah tersebut semakin kelam.
·
Mengapa
terjadi semua itu?
·
Apakah
ekses dari otonomi daerah?
·
Bagaimana
dengan konsep “Reinventing
Government
yang digagas Osborne dan Gaebler ?
Akan kita telaah melalui
persfektif ilmu Administrasi Publik, New Managemen Publik (NPM), dan akan
dimulai dari pembedahan penyakit atau patologi pemerintahan
¥
Penyakit Pemerintahan/Birokrasi di
Indonesia bukanlah hal baru. Ia sudah lama berlangsung. Sudah terjadi sejak
negeri ini merdeka, yakni sejak mengadopsi model administrasi atau pemerintahan
dari negara-negara luar, yakni dari Barat/Amerika Serikat. Model yang dikenal
sebagai model Weberian, yang
didasarkan kepada “legal-rasionalnya”
Max Weber yakni;
·
Hierarkhis
·
Pembagian
kerja
·
Prosedur
tertulis
·
Impersonalitas,
dan
·
Meritokratis
Dalam praksisnya ternyata tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Pemerintahan-Birokrasi yang diharapkan akan melayani masyarakat,
berbalik, malah melayani pemerintah dan birokrasi itu sendiri. Hal ini dapat
kita ketahui dari istilah-istilah, atau mungkin ejekan-ejekan yang dilontarkan
masyarakat seperti di bawah ini;
1.
Berbelit-belit. Pelayanan di kantor-kantor
pemerintah lambat, tidak lugas, dan melalui banyak meja.
2.
Kalau bisa diperlama mengapa
dipercepat…kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah….yakni cemohan, umpatan, atau ejekan
yang sering dilontarkan masyarakat kepada pelayanan pemerintah dari level
RT-RW, kelurahan/desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga pemerintah
pusat.
3.
Keranjang Sampah…..istilah yang dilontarkan Megawati
sewaktu ia menjabat Presiden. Ia kesal melihat administrasi-birokrasi yang
tidak melayani, menindas, dan korup. Megawati dengan kesal menyatakan….menteri
bias saya pegang…..tapi sekjen-dirjen ke bawah mana bisa…….
4.
ABS, Asal Bapak Senang. Ejekan yang dilemparkan kepada
pegawai-pegawai birokrasi, PNS/ASN yang hanya melayani atasan, bukan rakyat.
5.
Dll…masih
banyak.
Pernyataan-pernyaan yang punya dasar, bukan sekedar ejekan
yang emosional, namun menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Keadaan yang
carut marut, amburadul, atau (bahasa pasarnya) berantakan bin kacau-balau. Di putar ke kanan, diputar ke kiri, keatas,
kebawah ,memang seperti itulah adanya. Itulah empirik-praksisnya sebagaimana
ditulis Prof Eko Prasodjo, mantan Wakil Menteri PAN/RB, dan Dekan Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Indonesia, dibawah ini :
Ø Kultur birokrasi yang tidak
berintegritas.
Ø Tumpang tindih peraturan
perundang-undangan.
Ø Struktur organisasi yang gemuk dan
boros.
Ø Proses bisnis pemerintahan yang
lemah.
Ø Sumber daya manusia (SDM) yang tak
kompeten dan tak professional.
Ø Penyakit Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN).
Ø Pelayanan publik yang tak responsif
dan tak akuntabel.
Sinyalemen yang juga diakui dunia luar, sebagaimana penilaian
Lembaga Internasional, PERC, WEF, IT dan lain-lain;
1.
Index
Efisien Pemerintahan Indonesia menurut Political Economic Risk Consultancy
(PERC) tahun 2012 ► 8,37
(skor 1 terbaik dan 10 terburuk)
2.
Index
keefektifan Pemerintahan di Indonesia menurut World Economic Forum (WEF) tahun
2013 ► 42
(1 terburuk dan 100 terbaik)
3.
Index
Persepsi Korupsi Indonesia menurut International Transparancy (IT) pada tahun
2013 ►
32 (1 terburuk dan 100 terbaik)
4.
Kemudahan
berbisnis di Indonesia pada tahun 2014 menurut World Bank (WB) berada pada
peringkat 120.
Cat:
Mahasiswa
supaya menyesuaikan data, angka, atau index demikian dengan tahun-tahun
terakhir (2020). Bisa di unggah – di browsing dari internet/google
∏
Mengapa Pemerintahan/Birokrasi Indonesia patologis?
Agus Dwiyanto menelaahnya dari segi internal,
yakni dari prinsip-prinsip birokrasi itu sendiri, seperti aspek “hierarkhi” dan
dari segi eksternal, yakni “budaya paternalistik”. Untuk lebih jelasnya akan
dikutif dibawah ini;
……….Suatu variable struktur birokrasi
dapat menghasilkan penyakit birokrasi jika intensitas dari variable itu sudah
menjadi berlebihan. Hubungan antara berbagai variable dalam struktur birokrasi
seperti;
·
Hierarkhi
·
Spesialisasi
·
Formalisasi
·
Prosedur,
dan
·
Kinerja
Seringkali tidak bersifat linier. Contohnya adalah hierarkhi.
Pada tingkat tertentu, keberadaan hierarkhi dalam suatu organisasi sangat
bermanfaat karena hierarkhi membantu pimpinan melakukan supervisi dan kontrol
di luar kapasitas individualnya. Hierarkhi juga bisa membuat arus perintah dan
informasi menjadi lebih jelas sehingga
mempermudah koordinasi. Namun, ketika hierarkhi menjadi semakin panjang maka
berbagai persoalan dalam organisasi akan muncul. Hierarkhi yang panjang
menyebabkan arus perintah dan informasi menjadi semakin panjang dan cenderung
mengalami distorsi. Proses pengambilan keputusan menjadi semakin lamban dan
terkotak-kotak (fragmented). Bahkan
hierarkhi juga dapat memperbesar ketergantungan bawahan terhadap atasan.
Akibatnya, seringkali muncul perilaku para pejabat birokrasi yang menjilat
atasan, memberikan informasi seperti laporan kerja yang ABS (Asal Bapak
Senang), dan menunjukkan loyalitas secara berlebihan pada atasan.
Kelemahan
internal birokrasi demikian akan menjadi semakin parah apabila birokrasi
beroperasi pada lingkungan tertentu. Lingkungan yang berpengaruh terhadap
kehidupan birokrasi tersebut adalah;
·
budaya paternalistis masyarakat yang
berpotensi membentuk dampak negatif dari struktur birokrasi.
·
Sistim politik yang tidak demokratis
sehingga sumber daya kekuasaan terkonsentrasi pada pemerintah dan birokrasinya,
serta
·
Kapasitas masyarakat madani seperti
media dan NGO yang masih lemah dalam mengontrol pemerintahan.
Apabila saling interaksi dengan berbagai kondisi tersebut,
maka kelemahan internal birokrasi akan menjadi semakin parah, sehingga
menyebabkan birokrasi gagal menjalankan perannya sebagai institusi
penyelenggara layanan publik.
Birokrasi
publik di Indonesia yang memiliki hierarkhi ketat, panjang, dan cenderung
mendorong para pejabatnya untuk mengembangkan perilaku ABS memperoleh
justifikasi dari lingkungannya karena budaya masyarakat yang paternalistis
tidak bisa menjadi sensor bagi perilaku negatif yang muncul dari hierarkhi yang
berlebihan. Sebaliknya budaya paternalistis itu justru mengajarkan kepada para
pegawai untuk memberikan perlakuan istimewa kepada pimpinan. Budaya
paternalistis mengajarkan mengenai suatu pola hubungan tertentu antara rakyat
dan penguasa, serta antara bawahan dan atasan. Dalam budaya paternalistis, bawahan
harus memberikan pelayanan kepada atasan. Mereka harus menunjukkan dedikasi dan
loyalitas kepada atasannya. Bahkan, dedikasi dan loyalitas itu cenderung mereka
tunjukkan secara berlebihan, dengan maksud agar atasannya memberikan
keistimewaan tertentu. Mereka meyakini bahwa yang menentukan nasib mereka dalam
berkarir adalah atasan. Hal inilah yang menyebabkan para pejabat birokrasi
memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada atasan. Perilaku ABS
dikalangan pejabat birokrasi ini terbentuk sebagai hasil interaksi antara
budaya paternalistis yang hidup mengakar dalam masyarakat dan struktur
birokrasi Weberian yang selanjutnya menghasilkan penyakit birokrasi.
Celakanya,
dalam sistim politik yang tidak demokratis, penyakit birokrasi tidak mudah
untuk dicegah karena kekuasaan terkonsentrasi pada pemerintah dan birokrasi.
Masyarakat tidak memiliki sumber daya cukup untuk mengontrol perilaku
birokrasi. Karena itu masyarakat tidak dapat berbuat banyak ketika para pejabat
birokrasi public hanya memikirkan kepentingan birokrasi, atasan, dan dirinya
sendiri, serta mengabaikan kebutuhan dan kepentingan public. Pengguna layanan
birokrasi berada pada posisi yang sangat lemah ketika berhadapan dengan dengan
birokrasi dan pejabatnya. Apalagi jika kapasitas dari unsur dan komponen
masyarakat madani, seperti media, NGO, dan kelompok-kelompok madani lainnya,
masih sangat lemah maka control terhadap erilaku birokrasi menjadi sangat tidak
efektif sehingga penyakit birokrasi terus tumbuh dengan sangat subur.
Sedangkan
pada masyarakat Barat yang sangat rasional serta memiliki tradisi demokrasi dan
kelompok masyarakat madani yang kuat, struktur birokrasi yang hierarkhis tidak
melahirkan penyakit birokrasi sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Hal itu
dapat dijelaskan dengan mudah karena budaya masyarakat yang rasional, seperti
yang berkembang pada negara-negara Barat, mengajarkan kepada mereka untuk
memperlakukan orang atas dasar prestasi, bukan atas dasar keturunan, loyalitas,
dan hubungan subjektif yang lain. Hal itu sangat berlawanan dengan budaya
paternalistis yang mengajarkan untuk memberlakukan orang atas dasar keturunan
dan loyalitas. Pada lingkungan budaya yang rasional, para pejabat birokrasi
baik atasan maupun bawahan yang ingin melakukan tindakan ABS, mencari muka, atau
memperlakukan bawahan secara tidak fair akan memperoleh koreksi dari system dan
nilai-nilai budayanya. Sistem nilai yang berkembang dalam budaya rasional dapat
berperan sebagai sensor terhadap perilaku pejabat birokrasi yang menyimpang
tersebut. Demikian pula dengan sistem politik yang demokratis. Sistim politik
yang demokratis mampu menciptakan keseimbangan distribusi kekuasaan sehingga
dominasi pemerintah dan birokrasi dalam kehidupan publik dapat dicegah dan kontrol
terhadap perilaku pemerintah dan birokrasi dapat dilakukan secara efektif.
Karena itu, tidaklah mengherankan apabila birokrasi Weberian di Barat relatif tidak menghasilkan penyakit birokrasi
yang kronis seperti di Indonesia.
·
Budaya Barat yang rasional,
·
sistim politik yang demokratis, dan
·
masyarakat sipil yang kuat
dapat menjadi sensor yang efektif terhadap berkembangnya
perilaku aparatur birokrasi yang paternalistis.
MEWIRAUSAHAKAN PEMERINTAH DAERAH
Bila
seperti itu konstalasinya, kecenderungannya sampai kapanpun pemerintahan negeri
ini tak akan baik-baik.
Kapan masyarakat rasional?
Kapan sistim politik demokratis?
Kapan muncul masyaraat sipil yang kuat?
Maka untuk sementara kita
tunda dulu pembahasan terhadap hal yang sukar dibahas tersebut. Kita beralih ke
buku yang ditulis David Osborne dan Ted Gaebler dengan judul
Reinventing
Government:
How
entrepreneurial Spirit’s Transforming the Public Sector
Kalau diterjemahkan,
pengertiannya, mungkin kira-kira seperti ini….
mewirausahakan
pemerintah;
bagaimana
mentransformasikan semangat kewirausahaan ke sektor masyarakat
∏
Buku
yang menggagas agar pemerintahan efisien, gesit, responsif, dapat mengikuti
perkembangan dunia yang globalistis. Tidak seperti yang diceritakan di atas
(kaku, kultural, dan irrasional), yang tak berintegritas, yang tumpang tindih
peraturan per UU annya, yang struktur organisasinya tambun, yang KKN, yang SDM
nya tak kompeten, yang pelayanan masyarakatnya tak responsif (Eko Prasodjo).
Metode yang ditawarkan adalah;
1. Catalytic
Government: Steering Rather Than Rowing
2. Community
Owned Government: Empowering Rather Than Serving
3. Competitive
Government: Injection Competition Into Service Delivering
4. Mission
Driven Government: Transforming Rules Driven Organization
5. Result
Oriented Government: Funding Outcomes, Not Inputs
6. Costumer-Driven
Government: Meeing The need of the Costumer, Not The Bureaucracy
7. Entreprising
Government: Earning Rather Than Spending
8. Anticipatory
Government: Preventions Rather Than Cure
9. Decentralized
Government: From Hierarchi to Participatory and Team Work
10. Market
Oriented Government: Leveraging Change Through the Market
Bagaimana pendapat para mahasiswa
dengan konsep tersebut?
Tuliskan secara logis dan sistematis…di
WA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar