Minggu, 03 Mei 2020

MK VII, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH



MK VII, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH VII, 4 MEI 2020, jam 08.30 sd 10.15
JURUSAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA
PENGASUH; REINHARD HUTAPEA
MEWIRAUSAHAKAN PEMERINTAH DAERAH
Pada kuliah VI telah dijelaskan Pengelolaan Keuangan Pusat dan Daerah berdasarkan UU No 23 Tahun 2014, yakni pasal 293 dan pasal 330 dan PP No 12 Tahun 2019, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam perjalanan atau implementasinya, ternyata masih jauh panggang dari api. Masih jauh dari harapan, sebagaimana diutarakan Dr Oentarto SM, Dr I Made Suwandi, MSoc, SC, dan Drs Dodi Riyadmadji, MM (2004), pengelolaan keuangan itu masih penuh masalah, seperti;
1.      Konflik Penguasaan Kewenangan yang Menghasilkan Penerimaan.
2.      Keuangan Daerah yang Kurang Mencukupi.
3.      Kurangnya Kepatuhan pada Peraturan dan Lemahnya Penegakan Hukum.
4.      Overhead Cost Pemda yang Tinggi.
5.      Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyusunan APBD
6.      Kurangnya Kejelasan Sistem Pembiayaan Melalui dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
7.      Terbatasnya Pemanfaatan DAK.
8.      Kurangnya Manajemen Aset.
9.      Mekanisme Pinjaman yang belum jalan
10.  Kebijakan Investasi di Daerah
11.  Pemisahan Keuangan Eksekutif dengan Legislatif.
Secara khusus Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (2017), melukiskan masalah demikian sebagai berikut;
Ø  Daerah-Daerah masih terlambat menyusun APBD yang seharusnya bersamaan dengan APBN.
Ø  Mayoritas pembelanjaan APBD masih untuk gaji pegawai.
Ø  Belum ada standard program kegiatan dari APBD
Ø  Ada Daerah yang punya program over dosis, yakni punya program yang melebihi kesanggupan/keuangannya, sehingga dananya habis untuk panitis program.
Belum lagi bila dihubungkan dengan banyaknya kepala-kepala Daerah yang menjadi pencuri, yang ter OTT KPK, akan membuat masalah tersebut semakin kelam.
·        Mengapa terjadi semua itu?
·        Apakah ekses dari otonomi daerah?
·        Bagaimana dengan konsep “Reinventing Government yang digagas Osborne dan Gaebler ?
Akan kita telaah melalui persfektif ilmu Administrasi Publik, New Managemen Publik (NPM), dan akan dimulai dari pembedahan penyakit atau patologi pemerintahan
¥
Penyakit Pemerintahan/Birokrasi di Indonesia bukanlah hal baru. Ia sudah lama berlangsung. Sudah terjadi sejak negeri ini merdeka, yakni sejak mengadopsi model administrasi atau pemerintahan dari negara-negara luar, yakni dari Barat/Amerika Serikat. Model yang dikenal sebagai model Weberian, yang didasarkan kepada “legal-rasionalnya” Max Weber yakni;
·         Hierarkhis
·         Pembagian kerja
·         Prosedur tertulis
·         Impersonalitas, dan
·         Meritokratis
Dalam praksisnya ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintahan-Birokrasi yang diharapkan akan melayani masyarakat, berbalik, malah melayani pemerintah dan birokrasi itu sendiri. Hal ini dapat kita ketahui dari istilah-istilah, atau mungkin ejekan-ejekan yang dilontarkan masyarakat seperti di bawah ini;
1.      Berbelit-belit. Pelayanan di kantor-kantor pemerintah lambat, tidak lugas, dan melalui banyak meja.
2.      Kalau bisa diperlama mengapa dipercepat…kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah….yakni cemohan, umpatan, atau ejekan yang sering dilontarkan masyarakat kepada pelayanan pemerintah dari level RT-RW, kelurahan/desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga pemerintah pusat.
3.      Keranjang Sampah…..istilah yang dilontarkan Megawati sewaktu ia menjabat Presiden. Ia kesal melihat administrasi-birokrasi yang tidak melayani, menindas, dan korup. Megawati dengan kesal menyatakan….menteri bias saya pegang…..tapi sekjen-dirjen ke bawah mana bisa…….
4.      ABS, Asal Bapak Senang. Ejekan yang dilemparkan kepada pegawai-pegawai birokrasi, PNS/ASN yang hanya melayani atasan, bukan rakyat.
5.      Dll…masih banyak.
Pernyataan-pernyaan yang punya dasar, bukan sekedar ejekan yang emosional, namun menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Keadaan yang carut marut, amburadul, atau (bahasa pasarnya) berantakan bin kacau-balau.  Di putar ke kanan, diputar ke kiri, keatas, kebawah ,memang seperti itulah adanya. Itulah empirik-praksisnya sebagaimana ditulis Prof Eko Prasodjo, mantan Wakil Menteri PAN/RB, dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, dibawah ini :
Ø  Kultur birokrasi yang tidak berintegritas.
Ø  Tumpang tindih peraturan perundang-undangan.
Ø  Struktur organisasi yang gemuk dan boros.
Ø  Proses bisnis pemerintahan yang lemah.
Ø  Sumber daya manusia (SDM) yang tak kompeten dan tak professional.
Ø  Penyakit Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Ø  Pelayanan publik yang tak responsif dan tak akuntabel.
Sinyalemen yang juga diakui dunia luar, sebagaimana penilaian Lembaga Internasional, PERC, WEF, IT dan lain-lain;
1.      Index Efisien Pemerintahan Indonesia menurut Political Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2012  8,37  (skor 1 terbaik dan 10 terburuk)
2.      Index keefektifan Pemerintahan di Indonesia menurut World Economic Forum (WEF) tahun 2013  42   (1 terburuk dan 100 terbaik)
3.      Index Persepsi Korupsi Indonesia menurut International Transparancy (IT) pada tahun 2013      32   (1 terburuk dan 100 terbaik)
4.      Kemudahan berbisnis di Indonesia pada tahun 2014 menurut World Bank (WB) berada pada peringkat 120.
Cat:
Mahasiswa supaya menyesuaikan data, angka, atau index demikian dengan tahun-tahun terakhir (2020). Bisa di unggah – di browsing dari internet/google
Mengapa Pemerintahan/Birokrasi Indonesia patologis?
Agus Dwiyanto menelaahnya dari segi internal, yakni dari prinsip-prinsip birokrasi itu sendiri, seperti aspek “hierarkhi” dan dari segi eksternal, yakni “budaya paternalistik”. Untuk lebih jelasnya akan dikutif dibawah ini;
……….Suatu variable struktur birokrasi dapat menghasilkan penyakit birokrasi jika intensitas dari variable itu sudah menjadi berlebihan. Hubungan antara berbagai variable dalam struktur birokrasi seperti;
·         Hierarkhi
·         Spesialisasi
·         Formalisasi
·         Prosedur, dan
·         Kinerja
Seringkali tidak bersifat linier. Contohnya adalah hierarkhi. Pada tingkat tertentu, keberadaan hierarkhi dalam suatu organisasi sangat bermanfaat karena hierarkhi membantu pimpinan melakukan supervisi dan kontrol di luar kapasitas individualnya. Hierarkhi juga bisa membuat arus perintah dan informasi  menjadi lebih jelas sehingga mempermudah koordinasi. Namun, ketika hierarkhi menjadi semakin panjang maka berbagai persoalan dalam organisasi akan muncul. Hierarkhi yang panjang menyebabkan arus perintah dan informasi menjadi semakin panjang dan cenderung mengalami distorsi. Proses pengambilan keputusan menjadi semakin lamban dan terkotak-kotak (fragmented). Bahkan hierarkhi juga dapat memperbesar ketergantungan bawahan terhadap atasan. Akibatnya, seringkali muncul perilaku para pejabat birokrasi yang menjilat atasan, memberikan informasi seperti laporan kerja yang ABS (Asal Bapak Senang), dan menunjukkan loyalitas secara berlebihan pada atasan.
            Kelemahan internal birokrasi demikian akan menjadi semakin parah apabila birokrasi beroperasi pada lingkungan tertentu. Lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan birokrasi tersebut adalah;
·        budaya paternalistis masyarakat yang berpotensi membentuk dampak negatif dari struktur birokrasi.
·        Sistim politik yang tidak demokratis sehingga sumber daya kekuasaan terkonsentrasi pada pemerintah dan birokrasinya, serta
·        Kapasitas masyarakat madani seperti media dan NGO yang masih lemah dalam mengontrol pemerintahan.
Apabila saling interaksi dengan berbagai kondisi tersebut, maka kelemahan internal birokrasi akan menjadi semakin parah, sehingga menyebabkan birokrasi gagal menjalankan perannya sebagai institusi penyelenggara layanan publik.
            Birokrasi publik di Indonesia yang memiliki hierarkhi ketat, panjang, dan cenderung mendorong para pejabatnya untuk mengembangkan perilaku ABS memperoleh justifikasi dari lingkungannya karena budaya masyarakat yang paternalistis tidak bisa menjadi sensor bagi perilaku negatif yang muncul dari hierarkhi yang berlebihan. Sebaliknya budaya paternalistis itu justru mengajarkan kepada para pegawai untuk memberikan perlakuan istimewa kepada pimpinan. Budaya paternalistis mengajarkan mengenai suatu pola hubungan tertentu antara rakyat dan penguasa, serta antara bawahan dan atasan. Dalam budaya paternalistis, bawahan harus memberikan pelayanan kepada atasan. Mereka harus menunjukkan dedikasi dan loyalitas kepada atasannya. Bahkan, dedikasi dan loyalitas itu cenderung mereka tunjukkan secara berlebihan, dengan maksud agar atasannya memberikan keistimewaan tertentu. Mereka meyakini bahwa yang menentukan nasib mereka dalam berkarir adalah atasan. Hal inilah yang menyebabkan para pejabat birokrasi memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada atasan. Perilaku ABS dikalangan pejabat birokrasi ini terbentuk sebagai hasil interaksi antara budaya paternalistis yang hidup mengakar dalam masyarakat dan struktur birokrasi Weberian yang selanjutnya menghasilkan penyakit birokrasi.
            Celakanya, dalam sistim politik yang tidak demokratis, penyakit birokrasi tidak mudah untuk dicegah karena kekuasaan terkonsentrasi pada pemerintah dan birokrasi. Masyarakat tidak memiliki sumber daya cukup untuk mengontrol perilaku birokrasi. Karena itu masyarakat tidak dapat berbuat banyak ketika para pejabat birokrasi public hanya memikirkan kepentingan birokrasi, atasan, dan dirinya sendiri, serta mengabaikan kebutuhan dan kepentingan public. Pengguna layanan birokrasi berada pada posisi yang sangat lemah ketika berhadapan dengan dengan birokrasi dan pejabatnya. Apalagi jika kapasitas dari unsur dan komponen masyarakat madani, seperti media, NGO, dan kelompok-kelompok madani lainnya, masih sangat lemah maka control terhadap erilaku birokrasi menjadi sangat tidak efektif sehingga penyakit birokrasi terus tumbuh dengan sangat subur.
            Sedangkan pada masyarakat Barat yang sangat rasional serta memiliki tradisi demokrasi dan kelompok masyarakat madani yang kuat, struktur birokrasi yang hierarkhis tidak melahirkan penyakit birokrasi sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Hal itu dapat dijelaskan dengan mudah karena budaya masyarakat yang rasional, seperti yang berkembang pada negara-negara Barat, mengajarkan kepada mereka untuk memperlakukan orang atas dasar prestasi, bukan atas dasar keturunan, loyalitas, dan hubungan subjektif yang lain. Hal itu sangat berlawanan dengan budaya paternalistis yang mengajarkan untuk memberlakukan orang atas dasar keturunan dan loyalitas. Pada lingkungan budaya yang rasional, para pejabat birokrasi baik atasan maupun bawahan yang ingin melakukan tindakan ABS, mencari muka, atau memperlakukan bawahan secara tidak fair akan memperoleh koreksi dari system dan nilai-nilai budayanya. Sistem nilai yang berkembang dalam budaya rasional dapat berperan sebagai sensor terhadap perilaku pejabat birokrasi yang menyimpang tersebut. Demikian pula dengan sistem politik yang demokratis. Sistim politik yang demokratis mampu menciptakan keseimbangan distribusi kekuasaan sehingga dominasi pemerintah dan birokrasi dalam kehidupan publik dapat dicegah dan kontrol terhadap perilaku pemerintah dan birokrasi dapat dilakukan secara efektif. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila birokrasi Weberian di Barat relatif tidak menghasilkan penyakit birokrasi yang kronis seperti di Indonesia.
·        Budaya Barat yang rasional,
·        sistim politik yang demokratis, dan
·        masyarakat sipil yang kuat
dapat menjadi sensor yang efektif terhadap berkembangnya perilaku aparatur birokrasi yang paternalistis.
MEWIRAUSAHAKAN PEMERINTAH DAERAH
Bila seperti itu konstalasinya, kecenderungannya sampai kapanpun pemerintahan negeri ini tak akan baik-baik.
*      Kapan masyarakat rasional?
*      Kapan sistim politik demokratis?
*      Kapan muncul masyaraat sipil yang kuat?
Maka untuk sementara kita tunda dulu pembahasan terhadap hal yang sukar dibahas tersebut. Kita beralih ke buku yang ditulis David Osborne dan Ted Gaebler dengan judul
Reinventing Government:
How entrepreneurial Spirit’s Transforming the Public Sector
Kalau diterjemahkan, pengertiannya, mungkin kira-kira seperti ini….
mewirausahakan pemerintah;
bagaimana mentransformasikan semangat kewirausahaan ke sektor masyarakat
Buku yang menggagas agar pemerintahan efisien, gesit, responsif, dapat mengikuti perkembangan dunia yang globalistis. Tidak seperti yang diceritakan di atas (kaku, kultural, dan irrasional), yang tak berintegritas, yang tumpang tindih peraturan per UU annya, yang struktur organisasinya tambun, yang KKN, yang SDM nya tak kompeten, yang pelayanan masyarakatnya tak responsif (Eko Prasodjo). Metode yang ditawarkan adalah;
1.      Catalytic Government: Steering Rather Than Rowing
2.      Community Owned Government: Empowering Rather Than Serving
3.      Competitive Government: Injection Competition Into Service Delivering
4.      Mission Driven Government: Transforming Rules Driven Organization
5.      Result Oriented Government: Funding Outcomes, Not Inputs
6.      Costumer-Driven Government: Meeing The need of the Costumer, Not The Bureaucracy
7.      Entreprising Government: Earning Rather Than Spending
8.      Anticipatory Government: Preventions Rather Than Cure
9.      Decentralized Government: From Hierarchi to Participatory and Team Work
10.  Market Oriented Government: Leveraging Change Through the Market
Bagaimana pendapat para mahasiswa dengan konsep tersebut?
Tuliskan secara logis dan sistematis…di WA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar