Minggu, 26 April 2020

BK VI, KOMUNIKASI INTERNASIONAL



BK VI, KOMUNIKASI INTERNASIONAL
KULIAH KE -6, 27 April 2020, jam 10.30 sd 12.30
JURUSAN KOMUNIKASI, FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DOMINASI BARAT ATAS ISI MEDIA
Pada kuliah ke-5 telah diuraikan ”Kesenjangan Komunikasi Internasional”. Kesenjangan yang terjadi akibat adanya jarak yang timpang antara negara-negara Barat dan negara-negara non Barat. Jarak ini dapat di lihat dari instrument-instrument komunikasi modern, seperti TV, Internet, Radio, kantor-kantor berita raksasa, seperti CNN, VOA, BBC, AFP, Reuters, media-media cetak, seperti Time, Washington Post, Der Spiegel, serta MTV, ABC TV dan lain-lain, yang menjadi sumber informasi bagi negara-negara non Barat, termasuk Indonesia.
Secara konseptual mengapa terjadi kesenjangan itu telah dijabarkan dengan teori “Ketergantungan , atau Dependencia”. Ketergantungan yang terus terjadi antara negara-negara Barat dengan non barat, bak imperialis-kolonialis yang terjadi sebelumnya, meski era itu sudah lewat.
Untuk melengkapinya (sebelum sampai pada kuliah ke-6) ini ada baiknya kita baca pendapat salah satu tokoh Ketergantungan, yakni. Johan Galtung dalam bukunya “A Structural Theory of Imperialism”, yang disarikan Teguh Kresno, Dosen Komunikasi Fisip Untag Jakarta.
Beliau (Galtung) menyatakan bahwa penyebaran informasi dari negara maju (Barat) ke negara-negara berkembang dan miskin (non Barat) berpola interaksi “f e o d a l[1]  yang menguntungkan pihak pertama. Dalam konteks komunikasi internasional manifestasinya berupa imperialism media yang tidak lain berupa peluberan informasi yang tidak berimbang antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang dan miskin. Ini mencakup tiga aspek, politik informasi (political aspect of information), hukum informasi (legal aspect of information), Teknik dan keuangan informasi (tecnico-financial aspect of information)
Dengan kata lain, negara-negara berkembang dan miskin cenderung menjadi konsumen dari pada produsen informasi internasional. Bisa dicermati di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Berita dari negara-negara berkembang dan miskin yang biasanya terletak di Asia, Afrika, dan Amerika Latin biasanya di dominasi informasi sekitar kemiskinan, keterbelakangan,, pengangguran, bencana alam, kudeta militer dan lain-lain.
Sebaliknya informasi dari negara-negara maju, seperti AS dan sekutu Eropanya, biasanya berupa informasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan lain-lain. Dalam konteks politik konflik Palestina versus Israel dapat dijadikan ilustrasi yang menarik. Dengan dukungan finansial dan lobby politik Yahudi di AS mereka mampu mempengaruhi opini dunia via media massa yang mereka kuasai untuk menciptakan stereotype bahwa Arab umumnya, dan Palestina khususnya sebagai teroris. Terlebih pasca peristiwa black September 9/11 tahun 2001. Serta menjadikan Osama Bin Laden dengan Al Qaedanya sebagai terdakwa utama.
Berbagai usaha untuk memperbaiki kondisi ini pernah dijalankan. Diantaranya ide membentuk Tatanan Informasi Internasional Baru (The New World Information Order) dari pihak Barat pun terkesan bermakna ideologis (pamrih). Ini dicetuskan oleh manajer eksekutif AssociatedPres, Kent Cooper meniru Reuter Inggris yang menggunakan teknologi kabel laut yang mendapat dukungan Federal Communication Commision. Pasca PD II didukung lagi oleh American Society of Newspaper Editor. Selanjutnya pada bulan februray  1945 di Mexico City gagasan ini diterima oleh Inter-American Conference on Problem of war and Peace. Kemudian dipraktekkan di negara-negara Amerika Latin, dan berdasarkan Resolusi no 59 tanggal 14 Desember 1945 di terima oleh UNESCO-PBB sebagai hak atas informasi, adalah hak fundamental manusia. Tahun 1948 di Jenewa Swis berlangsung konferensi PBB tentang kebebasan informasi dengan hasil: 30 setuju; 5 abstain (Cekoslowakia, Ukraina, Belarusia, Yugoslavia, dan USSR); 1 tidak setuju (Polandia). Inilah kemudian yang mendasari Declaration of Human Right pasal 19 yang berbunyi” Hak kebebasan memegang keyakinan dan ide melalui media tidak mengenal perbatasan.
Disisi lain negara-negara berkembang dan miskin pun tidak tinggal diam mengatasi ketimpangan yang makin menganga dengan negara-negara maju. Sebab sebenarnya yang mereka butuhkan adalah tatanan kebebasan dan keseimbangan arus informasi ( free flow and balance of information order). Ini mencakup beberapa faktor sebagai berikut; hukum internasional, politik internasional; teknologi komunikasi, hegemoni, dan dominasi budaya. Dalam KTT Non Blok di Peru tahun 1975 muncul NANAP (Non Aligned News-Agency’s Pool) dan BONAC (Broadcasting Organisation of Non Aligned Countries) di Sarajevo-Yugoslavia pada bulan Oktober 1977 yang mengajukan usulan A New World Economic Order dan A New International Information and Communication Order. Setahun sebelumnya dalam KTT Non Blok diadakan Symposium on Information di Tunisia tahun 1976 muncul IGC (Intergovernmental Council for the Coordination of Information and Mass Communication) yang menghasilkan free flow of news, cultural, imperialism, information order, technology transfer yang diajukan ke PBB dalam IPDC  (International Programme  for the Development of Communication). Masalahnya , ini tidak menguntungkan negara-negara berkembang dan miskin. Dalam konteks negara-negara Amerika Latin ada ECLA (Economic Commision for Latin America). Pakar teori ketergantungan, Andre Gunder Frank dalam karyanya “Capitalism and Underdevelopment in Latin Amerika” telah lama mengatakan hal ini. Ini diperkuat rekannya Theotonio Dos Santos, yang mengidentifikasikan dua jenis ketergantungan; “colonial dan finansial-industrial”. Data dari Bank Dunia menyatakan bahwa sekitar 19% negara-negara maju memiliki 64,5% GNP dunia. Sebaliknya 32,6% sisanya bagi bagi negara-negara berkembang dan miskin yang hanya berkisar 4,4% GNP dunia.  Ironisnya disini bermukim sekitar 1,5 milyar manusia. Sementara UNESCO melalui “International Commision for the Study of Communication Problem” mencatat dua hal. Pertama ketimpangan sistem informasi internasional, 2/3 di dominasi oleh negara-negara-maju. Sementara hanya ¼ untuk negara-negara berkembang dan miskin. Kedua, informasi seputar negara-negara berkembang dan miskin pun di dominasi oleh berita negatif. Kondisi ini diperparah dengan merajalelanya paham “neo-liberalisme” yang berlindung di balik konsep globalisasi[2] dengan pemain utamanya MNCs. Mengutif Marthin Albrow, “Globalization refers to all those process by which the people of the world are incorporated into a single world society, global society to borderless world.
Timbul pertanyaan;
·        Mengapa bisa seperti itu?
·        Apa yang dimaksud dengan neo-liberalisme?
·        Apa itu MNCs[3]?
Jawabannya tidak hitam putih, tidak singkat, dan tak mungkin terulas dalam topik kuliah hari ini. Oleh karena itu agar mudah dipahami, mengapa kesenjangan itu semakin dalam pada era neo-liberalisme, akan diteruskan dalam tulisan Yasraf Amir Piliang dibawah ini. Temanya adalah
“Globalisasi Informasi dan Virus Sosial”
Di dalam era globalisasi ekonomi dan informasi dewasa ini orang berbicara mengenai lenyapnya batas-batas territorial, batas-batas negara dan bangsa, batas-batas kesukuan dan kepercayaan, batas-batas politik dan kebudayaan, yang pada waktu lalu dianggap sebagai hambatan dalam interaksi global. Akan tetapi, di dalam era tersebut tidak banyak orang berbicara mengenai lenyapnya batas sosiologis antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa, misalnya batas-batas ontologis antara citra dab realitas, batas filosofis antara kebenaran dan kepalsuan, batas psikologis antara normalitas dan abnormalitas, batas politis antara penguasa dan teroris (sebab kini penguasa menciptakan simulasi teroris), batas ekonomis antara bencana ekonomi dan sukses ekonomi (sebab kini ada simulasi bencana ekonomi)
Globalisasi ekonomi, informasi, kebudayaan telah menawarkan berbagai keterbukaan dan kebebasan; ekonomi pasar bebas, komunikasi bebas (internet), seks bebas. Keterbukaan telah mendorong perkembangbiakan, pelipatgandaan, dan penganekaragaman produk, informasi, tanda dan kesenangan yang tanpa batas dalam skala global, yang menawarkan pula hutan rimba pilihan.
Setelah semua batas-batas tersebut di atas lenyap, yang kemudian terbentuk adalah jaringan-jaringan transparan global dalam berbagai diskursus: jaringan transparansi informasi, transparansi komunikasi, transparansi ekonomi, transparansi seksual. Di dalam jaringan transparansi informasi (disket, video) orang membaca, mendengar, melihat, menonton, merekam, mengkopi apa saja yang sebelumnya dianggap tabu. Di dalam jaringan transparansi komunikasi (televisi, computer, internet) orang memperlihatkan, mempertontonkan, membicarakan, memamerkan apa saja yang sebelumnya dianggap  immoral. Di dalam jaringan transparansi seksual (prostitusi, striptease, peepshow) orang menyaksikan, menonton, melakukan hubungan seksual tanpa batas gender, adat, umur. Di dalam jaringan transparansi ekonomi (hiperkomoditi) orang memproduksi, memperjualbelikan dan mengkonsumsi apa saja, termasuk libido.
Dalam kelimparuahan informasi, dalam hipersirkuit komunikasi, dalam hutan rimba citraan yang bersifat transparan, apa yang diperoleh oleh ummat manusia justru bukan peningkatan kualitas kemampuan dan spiritualitas, sebaliknya ironi kemanusiaan dan spiritual. Orang digairahkan dengan ekstasi memandang, menonton, mendengar (televisi, video, fashion show), akan tetapi, apa yang ditawarkan lebih banyak berupa kekosongan, kehampaan. Orang disuguhkan dengan aneka ragam bujukan, rayuan,kesenangan, kepuasan, akan tetapi apa yang  diperoleh tak lebih dari rasa ketidak puasan abadi
Jaringan informasi, ekonomi, politik, dan social menjadi bersifat transparan, tatkala batas di antara unsur-unsurnya menjadi tidakkelihatan lagi, tatkala batas-batas di antara unsur-unsurnya dan unsur lain lenyap, tatkala tidak ada lagi batas-batas komunitas yang membentuknya, tatkala tidak ada lagi kategori-kategori moral yang mengikatnya. Ketika segala sesuatunya menjadi transparan dan berputar dalam sirkuit global, maka hokum yang mengatur masyarakat global kita bukan lagi hokum kemajuan-sebab kemajuan berarti juga ekspansi territorial-melainkan apa yang dikatakan Jean Baudrillard, hokum orbit. Kini, segala sesuatu berputar secara orbital dan global, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu territorial ke territorial lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain.
Ada orbit televisi, yang melaluinya, informasi, tontonan, hiburan, kesenangan berputar dari satu stasiun ke stasiun lainnya, dari satu kelompok social ke kelompok social lainnya. Ada orbit ekonomi, yang melaluinya kapital, barang, bunga, utang luar negeri berputar dari satu negara ke negara lain, dari satu bank ke bank lain. Ada orbit politik, yang melaluinya terror, kekerasan, intimidasi berpindah dari satu bangsa ke  bangsa lain, dari satu mafia ke mafia lainnya. Ada orbit ecstasy, yang melaluinya fantasi, halusinasi, ilusi, berpindah dari satu sub kultur ke sub kultur lainnya, dari satu diskotik ke diskotik lainnya. Ada orbit seksual, yang melaluinya kecabulan, kegairahan, pornografi menjalar dari satu pusat hiburan ke pusat hiburan lainnya, dari satu lokalisasi ke lokalisasi lainnya, dari satu video ke video lainnya.

DOMINASI NEO-LIBERALISME - MNCS; MELEWATI BARAT
►►►Terang sudah….kesenjangan itu semakin lama bukan semakin berkurang, malah sebaliknya semakin dalam, seiring dengan sistim ekonomi-politik dunia yang semakin liberal. Kalau pasca perang dunia II saja ketimpangan itu sudah dalam, dimana negara (state) masih menjadi acktor utama, maka pada era neo-liberalisme, dimana pasar, dengan MNCs-MNCs menjadi aktor utamanya, maka ketimpangan itu sudah pada puncaknya. Yang menentukan kehidupan ekonomi-politik , khususnya informasi-berita, tidak lagi negara (state), melainkan pasar, dengan aktor utamanya adalah korporasi.
►►► Kantor-kantor berita, atau media-media komunikasi lainnya, praktis telah menjadi milik perusahaan-perusahaan swasta (MNCs/TNCs) yang 95% berasal dari Barat, khususnya dari Amerika Serikat.
►►►Konten berita-informasi sudah pasti yang berhubungan dengan kepentingan mereka, yakni kepentingan kapital. Bagaimana mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya adalah tujuan utama. Tidak untuk beramal…..tidak untuk menjalankan fungsi jurnalistik sebagaimana yang kita kenal selama ini, yakni;
·         Fungsi informasi
·         Fungsi Pendidikan, dan
·         Fungsi hiburan
Bukan itu, tetapi keuntungan kapital

PERTANYAAN
1.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan liberal dan neo liberal.
2.      Sebutkan TV-TV di Indonesia yang orientasinya sudah lebih dominan ke bisnis, ketimbang fungsi sosialnya.
3.      Tuliskan hal-hal yang tidak dipahami via WA……via WA……


[1] Lihat kuliah III, Paradigma Sistim Internasional. Feodal ini sama dengan the hierarchical. Hubungan dari atas ke bawah, hubungan vertical, atau hubungan asimetris. Hubungan antara raja dan rakyatnya, dimana raja tidak pernah salah.
[2] Joseph Stiglitz dalam bukunya Globalisation in Discontext menyatakan…secara mendasar, globalisasi adalah penyatuan yang semakin dekat antara negara-negara dan masyarakat-masyarakat di dunia yang disebabkan oleh pengurangan biaya transportasi dan komunikasi yang begitu besar, dan meruntuhkan berbagai penghalang artifisial bagi arus barang, jasa, modal, pengetahuan, dan (dalam jumlah yang sedikit) orang-orang di perbatasan.
[3] Joseph Stiglitz dalam bukunya Making Globalization Work, menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan trans nasional, selain memiliki kelebihan, juga adalah kelemahannya, yakni telah banyak menimbulkan masalah di negara-negara yang dimasukinya…..Bagi banyak orang, perusahaan multinasional menjadi symbol segala keburukan dari globalisasi (2007: hal 276)…..Jika hanya ada satu atau dua contoh perilaku merugikan dari perusahaan, mungkin itu bias dimaafkan, tetapi persoalannya jelas bersifat sistemik. jika terjadi masalah yang bersifat sistemik, para ahli ekonomi mencari penyebab sistemik. persoalan utamanya sudah jelas; perusahaan berkiblat pada bisnis yang berorientasi untuk mencari uang sebanyak-banyaknya, bukan menyediakan amal…….Namun mereka acapkali terdorong untuk melakukan hal yang keliru….(2007: hal 278)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar