BK VI, KOMUNIKASI
INTERNASIONAL
KULIAH KE -6, 27 April
2020, jam 10.30 sd 12.30
JURUSAN KOMUNIKASI,
FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD
HUTAPEA
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
∏
DOMINASI BARAT ATAS ISI
MEDIA
Pada kuliah ke-5 telah diuraikan ”Kesenjangan
Komunikasi Internasional”. Kesenjangan yang terjadi akibat adanya jarak yang
timpang antara negara-negara Barat dan negara-negara non Barat. Jarak ini dapat
di lihat dari instrument-instrument komunikasi modern, seperti TV, Internet,
Radio, kantor-kantor berita raksasa, seperti CNN, VOA, BBC, AFP, Reuters, media-media
cetak, seperti Time, Washington Post, Der Spiegel, serta MTV, ABC TV dan
lain-lain, yang menjadi sumber informasi bagi negara-negara non Barat, termasuk
Indonesia.
Secara konseptual mengapa terjadi
kesenjangan itu telah dijabarkan dengan teori “Ketergantungan , atau
Dependencia”. Ketergantungan yang terus terjadi antara negara-negara Barat
dengan non barat, bak imperialis-kolonialis yang terjadi sebelumnya, meski era
itu sudah lewat.
Untuk melengkapinya (sebelum sampai
pada kuliah ke-6) ini ada baiknya kita baca pendapat salah satu tokoh
Ketergantungan, yakni. Johan Galtung
dalam bukunya “A Structural Theory of
Imperialism”, yang disarikan Teguh Kresno, Dosen Komunikasi Fisip Untag Jakarta.
Beliau
(Galtung) menyatakan bahwa penyebaran
informasi dari negara maju (Barat) ke negara-negara berkembang dan miskin (non
Barat) berpola interaksi “f e o d a l[1]” yang menguntungkan pihak pertama. Dalam
konteks komunikasi internasional manifestasinya berupa imperialism media yang
tidak lain berupa peluberan informasi yang tidak berimbang antara negara-negara
maju dengan negara-negara berkembang dan miskin. Ini mencakup tiga aspek,
politik informasi (political aspect of
information), hukum informasi (legal
aspect of information), Teknik dan keuangan informasi (tecnico-financial aspect of information)
Dengan
kata lain, negara-negara berkembang dan miskin cenderung menjadi konsumen dari pada
produsen informasi internasional. Bisa dicermati di berbagai media baik cetak
maupun elektronik. Berita dari negara-negara berkembang dan miskin yang
biasanya terletak di Asia, Afrika, dan Amerika Latin biasanya di dominasi
informasi sekitar kemiskinan, keterbelakangan,, pengangguran, bencana alam,
kudeta militer dan lain-lain.
Sebaliknya
informasi dari negara-negara maju, seperti AS dan sekutu Eropanya, biasanya
berupa informasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan lain-lain. Dalam
konteks politik konflik Palestina versus Israel dapat dijadikan ilustrasi yang
menarik. Dengan dukungan finansial dan lobby politik Yahudi di AS mereka mampu mempengaruhi opini dunia via media massa
yang mereka kuasai untuk menciptakan stereotype
bahwa Arab umumnya, dan Palestina khususnya sebagai teroris. Terlebih pasca
peristiwa black September 9/11 tahun
2001. Serta menjadikan Osama Bin Laden
dengan Al Qaedanya sebagai terdakwa utama.
Berbagai
usaha untuk memperbaiki kondisi ini pernah dijalankan. Diantaranya ide
membentuk Tatanan Informasi Internasional Baru (The New World Information Order) dari pihak Barat pun terkesan
bermakna ideologis (pamrih). Ini dicetuskan oleh manajer eksekutif AssociatedPres, Kent Cooper meniru Reuter Inggris yang menggunakan
teknologi kabel laut yang mendapat dukungan Federal
Communication Commision. Pasca PD II didukung lagi oleh American Society of Newspaper Editor.
Selanjutnya pada bulan februray 1945 di Mexico City gagasan ini diterima oleh Inter-American Conference on Problem of war
and Peace. Kemudian dipraktekkan di negara-negara Amerika Latin, dan
berdasarkan Resolusi no 59 tanggal 14 Desember 1945 di terima oleh UNESCO-PBB sebagai hak atas informasi,
adalah hak fundamental manusia. Tahun 1948 di Jenewa Swis berlangsung
konferensi PBB tentang kebebasan informasi dengan hasil: 30 setuju; 5 abstain
(Cekoslowakia, Ukraina, Belarusia, Yugoslavia, dan USSR); 1 tidak setuju
(Polandia). Inilah kemudian yang mendasari Declaration of Human Right pasal 19
yang berbunyi” Hak kebebasan memegang keyakinan dan ide melalui media tidak
mengenal perbatasan.
Disisi
lain negara-negara berkembang dan miskin pun tidak tinggal diam mengatasi
ketimpangan yang makin menganga dengan negara-negara maju. Sebab sebenarnya
yang mereka butuhkan adalah tatanan kebebasan dan keseimbangan arus informasi ( free flow and balance of information order).
Ini mencakup beberapa faktor sebagai berikut; hukum internasional, politik
internasional; teknologi komunikasi, hegemoni, dan dominasi budaya. Dalam KTT
Non Blok di Peru tahun 1975 muncul NANAP (Non Aligned News-Agency’s Pool)
dan BONAC (Broadcasting Organisation of
Non Aligned Countries) di Sarajevo-Yugoslavia
pada bulan Oktober 1977 yang mengajukan usulan A New World Economic Order dan A New International Information and
Communication Order. Setahun sebelumnya dalam KTT Non Blok diadakan Symposium on Information di Tunisia tahun 1976 muncul IGC (Intergovernmental Council for the
Coordination of Information and Mass Communication) yang menghasilkan free
flow of news, cultural, imperialism, information order, technology transfer
yang diajukan ke PBB dalam IPDC (International Programme for the Development of Communication). Masalahnya
, ini tidak menguntungkan negara-negara berkembang dan miskin. Dalam konteks
negara-negara Amerika Latin ada ECLA
(Economic Commision for Latin America). Pakar teori ketergantungan, Andre
Gunder Frank dalam karyanya “Capitalism
and Underdevelopment in Latin Amerika” telah lama mengatakan hal ini. Ini
diperkuat rekannya Theotonio Dos Santos, yang
mengidentifikasikan dua jenis ketergantungan; “colonial dan finansial-industrial”.
Data dari Bank Dunia menyatakan bahwa sekitar 19% negara-negara maju memiliki
64,5% GNP dunia. Sebaliknya 32,6% sisanya bagi bagi negara-negara berkembang
dan miskin yang hanya berkisar 4,4% GNP dunia.
Ironisnya disini bermukim sekitar 1,5 milyar manusia. Sementara UNESCO melalui “International Commision for the Study of Communication Problem” mencatat
dua hal. Pertama ketimpangan sistem informasi internasional, 2/3 di dominasi
oleh negara-negara-maju. Sementara hanya ¼ untuk negara-negara berkembang dan
miskin. Kedua, informasi seputar negara-negara berkembang dan miskin pun di
dominasi oleh berita negatif. Kondisi ini diperparah dengan merajalelanya paham
“neo-liberalisme” yang berlindung di balik konsep globalisasi[2] dengan pemain utamanya MNCs. Mengutif Marthin Albrow, “Globalization refers to all those process by which
the people of the world are incorporated into a single world society, global
society to borderless world.
∏
Timbul pertanyaan;
·
Mengapa
bisa seperti itu?
·
Apa
yang dimaksud dengan neo-liberalisme?
·
Apa
itu MNCs[3]?
Jawabannya tidak hitam putih, tidak
singkat, dan tak mungkin terulas dalam topik kuliah hari ini. Oleh karena itu
agar mudah dipahami, mengapa kesenjangan itu semakin dalam pada era neo-liberalisme,
akan diteruskan dalam tulisan Yasraf Amir Piliang dibawah ini. Temanya adalah
⌂
“Globalisasi Informasi dan Virus Sosial”
Di dalam era globalisasi ekonomi dan
informasi dewasa ini orang berbicara mengenai lenyapnya batas-batas
territorial, batas-batas negara dan bangsa, batas-batas kesukuan dan
kepercayaan, batas-batas politik dan kebudayaan, yang pada waktu lalu dianggap
sebagai hambatan dalam interaksi global. Akan tetapi, di dalam era tersebut
tidak banyak orang berbicara mengenai lenyapnya batas sosiologis antara dunia
anak-anak dan dunia orang dewasa, misalnya batas-batas ontologis antara citra
dab realitas, batas filosofis antara kebenaran dan kepalsuan, batas psikologis
antara normalitas dan abnormalitas, batas politis antara penguasa dan teroris
(sebab kini penguasa menciptakan simulasi teroris), batas ekonomis antara
bencana ekonomi dan sukses ekonomi (sebab kini ada simulasi bencana ekonomi)
Globalisasi ekonomi, informasi,
kebudayaan telah menawarkan berbagai keterbukaan dan kebebasan; ekonomi pasar
bebas, komunikasi bebas (internet), seks bebas. Keterbukaan telah mendorong
perkembangbiakan, pelipatgandaan, dan penganekaragaman produk, informasi, tanda
dan kesenangan yang tanpa batas dalam skala global, yang menawarkan pula hutan
rimba pilihan.
Setelah semua batas-batas tersebut di
atas lenyap, yang kemudian terbentuk adalah jaringan-jaringan transparan global
dalam berbagai diskursus: jaringan transparansi informasi, transparansi
komunikasi, transparansi ekonomi, transparansi seksual. Di dalam jaringan
transparansi informasi (disket, video) orang membaca, mendengar, melihat,
menonton, merekam, mengkopi apa saja yang sebelumnya dianggap tabu. Di dalam
jaringan transparansi komunikasi (televisi, computer, internet) orang memperlihatkan,
mempertontonkan, membicarakan, memamerkan apa saja yang sebelumnya
dianggap immoral. Di dalam jaringan
transparansi seksual (prostitusi, striptease, peepshow) orang menyaksikan,
menonton, melakukan hubungan seksual tanpa batas gender, adat, umur. Di dalam
jaringan transparansi ekonomi (hiperkomoditi) orang memproduksi,
memperjualbelikan dan mengkonsumsi apa saja, termasuk libido.
Dalam kelimparuahan informasi, dalam
hipersirkuit komunikasi, dalam hutan rimba citraan yang bersifat transparan, apa
yang diperoleh oleh ummat manusia justru bukan peningkatan kualitas kemampuan
dan spiritualitas, sebaliknya ironi kemanusiaan dan spiritual. Orang
digairahkan dengan ekstasi memandang, menonton, mendengar (televisi, video,
fashion show), akan tetapi, apa yang ditawarkan lebih banyak berupa kekosongan,
kehampaan. Orang disuguhkan dengan aneka ragam bujukan, rayuan,kesenangan,
kepuasan, akan tetapi apa yang diperoleh
tak lebih dari rasa ketidak puasan abadi
Jaringan informasi, ekonomi, politik,
dan social menjadi bersifat transparan, tatkala batas di antara unsur-unsurnya
menjadi tidakkelihatan lagi, tatkala batas-batas di antara unsur-unsurnya dan
unsur lain lenyap, tatkala tidak ada lagi batas-batas komunitas yang
membentuknya, tatkala tidak ada lagi kategori-kategori moral yang mengikatnya.
Ketika segala sesuatunya menjadi transparan dan berputar dalam sirkuit global,
maka hokum yang mengatur masyarakat global kita bukan lagi hokum kemajuan-sebab
kemajuan berarti juga ekspansi territorial-melainkan apa yang dikatakan Jean
Baudrillard, hokum orbit. Kini, segala sesuatu berputar secara orbital dan
global, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu territorial ke
territorial lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu kebudayaan
ke kebudayaan lain.
Ada orbit televisi, yang melaluinya,
informasi, tontonan, hiburan, kesenangan berputar dari satu stasiun ke stasiun
lainnya, dari satu kelompok social ke kelompok social lainnya. Ada orbit
ekonomi, yang melaluinya kapital, barang, bunga, utang luar negeri berputar
dari satu negara ke negara lain, dari satu bank ke bank lain. Ada orbit
politik, yang melaluinya terror, kekerasan, intimidasi berpindah dari satu
bangsa ke bangsa lain, dari satu mafia
ke mafia lainnya. Ada orbit ecstasy, yang melaluinya fantasi, halusinasi,
ilusi, berpindah dari satu sub kultur ke sub kultur lainnya, dari satu diskotik
ke diskotik lainnya. Ada orbit seksual, yang melaluinya kecabulan, kegairahan,
pornografi menjalar dari satu pusat hiburan ke pusat hiburan lainnya, dari satu
lokalisasi ke lokalisasi lainnya, dari satu video ke video lainnya.
DOMINASI NEO-LIBERALISME - MNCS; MELEWATI
BARAT
►►►Terang sudah….kesenjangan itu semakin
lama bukan semakin berkurang, malah sebaliknya semakin dalam, seiring dengan sistim
ekonomi-politik dunia yang semakin liberal. Kalau pasca perang dunia II saja
ketimpangan itu sudah dalam, dimana negara (state) masih menjadi acktor utama,
maka pada era neo-liberalisme, dimana pasar, dengan MNCs-MNCs menjadi aktor
utamanya, maka ketimpangan itu sudah pada puncaknya. Yang menentukan kehidupan
ekonomi-politik , khususnya informasi-berita, tidak lagi negara (state),
melainkan pasar, dengan aktor utamanya adalah korporasi.
►►► Kantor-kantor berita, atau
media-media komunikasi lainnya, praktis telah menjadi milik perusahaan-perusahaan
swasta (MNCs/TNCs) yang 95% berasal dari Barat, khususnya dari Amerika Serikat.
►►►Konten berita-informasi sudah pasti
yang berhubungan dengan kepentingan mereka, yakni kepentingan kapital.
Bagaimana mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya adalah tujuan utama. Tidak
untuk beramal…..tidak untuk menjalankan fungsi jurnalistik sebagaimana yang
kita kenal selama ini, yakni;
·
Fungsi
informasi
·
Fungsi
Pendidikan, dan
·
Fungsi
hiburan
Bukan itu, tetapi keuntungan kapital
PERTANYAAN
1. Jelaskan
apa yang dimaksud dengan liberal dan neo liberal.
2. Sebutkan
TV-TV di Indonesia yang orientasinya sudah lebih dominan ke bisnis, ketimbang
fungsi sosialnya.
3. Tuliskan
hal-hal yang tidak dipahami via WA……via WA……
[1] Lihat
kuliah III, Paradigma Sistim Internasional. Feodal ini sama dengan the hierarchical. Hubungan dari atas ke
bawah, hubungan vertical, atau hubungan asimetris. Hubungan antara raja dan
rakyatnya, dimana raja tidak pernah salah.
[2]
Joseph Stiglitz dalam bukunya Globalisation
in Discontext menyatakan…secara mendasar, globalisasi adalah penyatuan yang
semakin dekat antara negara-negara dan masyarakat-masyarakat di dunia yang
disebabkan oleh pengurangan biaya transportasi dan komunikasi yang begitu
besar, dan meruntuhkan berbagai penghalang artifisial bagi arus barang, jasa,
modal, pengetahuan, dan (dalam jumlah yang sedikit) orang-orang di perbatasan.
[3]
Joseph Stiglitz dalam bukunya Making
Globalization Work, menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan trans nasional,
selain memiliki kelebihan, juga adalah kelemahannya, yakni telah banyak
menimbulkan masalah di negara-negara yang dimasukinya…..Bagi banyak orang,
perusahaan multinasional menjadi symbol segala keburukan dari globalisasi (2007:
hal 276)…..Jika hanya ada satu atau dua contoh perilaku merugikan dari
perusahaan, mungkin itu bias dimaafkan, tetapi persoalannya jelas bersifat
sistemik. jika terjadi masalah yang bersifat sistemik, para ahli ekonomi
mencari penyebab sistemik. persoalan utamanya sudah jelas; perusahaan berkiblat
pada bisnis yang berorientasi untuk mencari uang sebanyak-banyaknya, bukan
menyediakan amal…….Namun mereka acapkali terdorong untuk melakukan hal yang
keliru….(2007: hal 278)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar