MS 12, SKP, SISTIM KEPARTAIAN DAN
PEMILU
KULIAH KE 12, 22 FEBRUARI 2022
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH:
REINHARD HUTAPEA
PENGANTAR
Pada kuliah ke
delapan, telah diuraikan kekuatan dan kelemahan sistim distrik dan sistim proporsional
(baca kembali). Karena kita menganut sistim proporsional, maka kelemahan
terbesarnya adalah sukar kerjasama, antara para pimpinannnya.
Jika para
pimpinan partainya mengalami perpecahan, maka mereka biasanya bikin partai
baru. Contohnya sudah banyak. Partai Gerindra, Nasdem, Demokrat, Hanura adalah
pecahan dari Golkar.
Saat inipun
terjadi hal yang sama, yakni mereka yang tidak setuju dengan dengan kebijakan
Partai Amanat Nasional (PAN), telah mendirikan partai baru. Sama dengan partai Demokrat,
partai PKS, PRD, dan lain-lain
Ini sudah
berlangsung dari pemilu ke pemilu era reformasi, yakni sejak pemilu 1999.
Nah,,,,mahasiswa
mahasiswa Fisipol UDA yang mempelajari mata kuliah ini, mungkin bisa cari
peruntungan, coba-coba, atau praktek politik langsung, dengan masuk
partai-partai baru tersebut…..siapa tahu jadi anggota DPR…..tak perlu lagi cari
pekerjaan setelah lulus…siapa tahu…..
Untuk lebih
jelasnya bacalah partai-partai baru tersebut dibawah ini.
Cat: kita UAS
mulai tanggal 28.
Partai-Partai Politik Baru di
Bursa Pemilu 2024
Jaminan kebebasan untuk berkumpul
dan berserikat pascareformasi berdampak pada munculnya partai-partai politik
baru setiap menjelang pemilihan umum. Tiga tahun menjelang Pemilu 2024 pun,
sejumlah parpol baru sudah berancang-ancang meraih mimpi untuk turut serta
dalam kontestasi untuk meraih kekuasaan.
Gelora mimpi itu antara lain
menyeruak dari Gedung Pusat Perfilman Umar Ismail, Jakarta, Selasa (1/6/2021)
malam. Bertepatan dengan peringatan hari lahir Pancasila, Partai Rakyat Adil
Makmur (PRIMA) dideklarasikan. Lagu ”Darah Juang” yang menjadi lagu perjuangan
mahasiswa saat Reformasi 1998 menggema di gedung itu.
Partai itu didirikan oleh para
aktivis mahasiswa yang pernah tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Mantan Ketua Umum PRD Agus Priyono yang lebih dikenal dengan panggilan Agus
Jabo didaulat menjadi Ketua Umum PRIMA.
Meski sudah mengantongi Surat
Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 29 September lalu, PRIMA
masih harus menyiapkan pengurus berikut kantor perwakilan dari pusat hingga
daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Untuk bisa mengikuti pemilu, parpol
harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/kota,
serta memiliki kepengurusan 50 persen kecamatan. Juga memiliki anggota
sekurang-kurangnya 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota.
Agus Jabo mengakui, pertarungan
untuk dapat menjadi peserta pemilu tidaklah mudah. ”Target terdekat kami ialah
lolos verifikasi faktual KPU dan menjadi peserta pemilu. Jaringan kami di
daerah sedang kami siapkan dan beruntung soal jaringan ini tidak terlalu sulit
untuk digerakkan,” katanya.
Bekal sebagai aktivis Reformasi dan
kebiasaan organisatoris yang dekat dengan massa buruh, tani, dan rakyat
kebanyakan, diakui Agus, memberi akses kepada PRIMA untuk menyiapkan
kepengurusan di daerah. Dananya berasal dari gotong royong atau crowdfunding.
Targetnya tak muluk- muluk, cukup lolos ambang batas parlemen 4 persen.
Siapkan infrastruktur
Selain PRIMA, ada pula Partai Gelora
Indonesia, yang juga disiapkan untuk bertarung dalam kontestasi politik 2024.
Partai yang dibidani oleh mantan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI), yakni Fahri Hamzah, Anis Matta, dan Mahfudz Siddiq, itu
disahkan Kemenkumham pada 19 Mei 2021.
Mahfudz, yang didaulat menjadi
Sekretaris Jenderal Partai Gelora, menuturkan, saat ini Partai Gelora masih
terus menyiapkan infrastruktur agar dapat lolos menjadi peserta Pemilu 2024.
Saat ini setidaknya Partai Gelora sudah punya pengurus di seluruh provinsi, 75
persen kabupaten/kota, dan 5.500 kecamatan. ”Nanti untuk tingkat kecamatan juga
akan dituntaskan sampai 100 persen, sedangkan untuk desa dan kelurahan sampai
2022 minimal 75 persen,” katanya.
Tak hanya itu Partai Gelora juga
terus merekrut anggota demi memenuhi target 1,2 juta pada akhir tahun
2021. “Rekrutmen dilakukan juga melalui daring, karena Covid-19. Saat
ini, ada 185.000 anggota yang terdaftar. Karena pertumbuhan anggota dalam 4 bulan
ini stabil 10-12 persen, kira-kira ada 2.500 orang yang mendaftar perharinya,
dengan pendekatan member get member,” katanya.
Partai pimpinan Anis Matta itu juga
sedang menyiapkan infrastruktur komunikasi. Sebab, tren komunikasi digital
dinilai sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Gelora antara lain membangun
Gelora TV yang dimulai sejak 2021. Media sosial (medsos) menjadi fokus untuk
menjangkau masyarakat lebih luas di tengah situasi pandemi.
“Kami menyadari Partai Gelora ini
lahir di situasi krisis dan pandemi, sehingga tidak mudah menarik orang untuk
terlibat ke dalam parpol atau politik. Kami menyadari itu, oleh karenanya kami
tidak ingin pembangunan infrastruktur partai ini berlarut-larut sampai
mendekati pemilu,” ujar Mahfudz.
Meski para petinggi Gelora
sebelumnya merupakan kader militan PKS, Mahfudz menegaskan, partainya punya
platform terbuka. Gelora tidak mempertentangkan kepentingan umat Islam dengan
kepentingan bangsa. Isu yang diusung adalah Indonesia, yang di dalamnya juga
terdapat kepentingan umat Islam.
“Politik pembelahan berdasarkan
aliran lebih banyak merugikan kepentingan umat Islam. Orientasi Partai Gelora
basis pertama ialah umat Islam, tetapi isu orientasinya ke tengah. Jadi, kepada
moderasi politik Islam. Agenda politik Islam memajukan kesejahteraan ekonomi,
menaikkan standar kehidupan rakyat yang notabene mayoritas Islam, bukan dengan
pendekatan representasi yang tergambar dalam politik aliran,” ucapnya. Dengan
memilih sebagai parpol terbuka, Gelora meyakini tak hanya bakal menjadi peserta
Pemilu 2024, tetapi juga lolos ambang batas parlemen 4 persen.
Partai alternatif
Ada pula Partai Ummat yang didirikan
oleh tokoh reformasi, Amien Rais. Partai ini lahir dari dorongan untuk
memanfaatkan ketidakpercayaan publik terhadap tatanan politik yang ada.
”Parpol-parpol di Senayan itu sudah kehilangan jati diri dan marwah untuk
menjadi juru bicara rakyat. Atas fakta-fakta itu, rakyat merindukan partai
alternatif. Kami optimistis partai ini bisa mengisi kekosongan dan kerinduan
umat terhadap partai yang bisa menjadi corong suara rakyat,” tutur Agung Mozin,
Wakil Ketua Umum Partai Ummat.
Partai Ummat didirikan oleh Amien
Rais, tokoh reformasi yang turut membidani lahirnya Partai Amanat Nasional
(PAN) tahun 1998. Karena itu, para anggota serta pengurus Partai Ummat pun
tidak sedikit yang sebelumnya berada di kapal PAN.
Tidak sedikit pula kader
persyarikatan Muhammadiyah bergabung dengan Partai Ummat. Amien yang juga
pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Muhammadiyah membuat Partai Ummat
terasa dekat secara ideologi dengan persyarikatan itu. Menurut
Agung, daya tarik Amien Rais bagi warga Muhammadiyah, yang dikombinasikan
dengan kekuatan jaringan di daerah menjadi kekuatan bagi partainya untuk bisa
bersaing di 2024.
Tiga hal yang kerap tidak dimiliki
oleh partai baru ialah jaringan, pendanaan atau logistik, dan tokoh kuat.
Namun, menurut Agung, Partai Ummat memiliki semuanya. “Soal pendanaan, kami
buat kantor tidak keluarkan uang sepeser pun. Orang-orang bersimpati membantu
kami, dan itu tidak terjadi kalau misalnya Pak Amien Rais, dan cita-cita Partai
Ummat ini tidak dipercaya publik,” katanya.
Karena itu, Partai Ummat
berani memasang target tinggi pada Pemilu 2024, yakni di atas 10 persen atau
double digit. Target itu dinilai realistis jika melihat kondisi saat ini, di
mana banyak orang merasa diperlakukan tidak adil, dizalimi, sehingga mereka
akan mencari kanal politik lain, atau partai alternatif untuk menyalurkan suara
mereka. “Tanpa kami rangkul, mereka akan datang ke kami,” ucapnya.
Faktor Amien Rais, menurut Agung,
masih kuat, karena kelompok ideologis akan banyak melihat figur Amien sebagai
tokoh Reformasi. Demikian halnya dengan warga Muhammadiyah, lantaran garis
perjuangan Partai Ummat diklaim seturut dengan perjuangan Muhammadiyah. Di sisi
lain, ketokohan Ketum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, yang masih muda, menunjukkan
salah satu fokus Partai Ummat untuk menggaet pemilih dari kalangan milenial.
Hal itu antara lain didasari oleh kesadaran pemilih 2024 akan didominasi oleh
anak-anak muda.
Meski merasa telah memiliki semua
prasyarat parpol baru, sampai saat ini pendirian Partai Ummat belum disahkan
oleh Kemenkumham. Agus memperkirakan, dua bulan ke depan, Kemenkumham sudah
menerbitkan SK pendirian Partai Ummat.
Pada saat bersamaan, seperti halnya partai
baru lainnya, Partai Ummat tengah berjuang keras untuk menyiapkan kepengurusan
di daerah agar bisa lolos verifikasi faktual. Jaringan kepengurusan di daerah
masih sedang dibangun.
Politik aliran
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno,
melihat, ada dua pemicu pendirian parpol baru, yakni representasi politik
aliran dan pecahan dari parpol lama. Lahirnya Partai Ummat dan Gelora dapat
dibaca sebagai bagian dari pecahan parpol lama, yakni PAN dan PKS. Adapun untuk
PRIMA dipandang sebagai representasi politik aliran. Keduanya sama-sama sah dan
tidak mengingkari sejarah parpol-parpol di Tanah Air.
”Itu pula yang menjelaskan kenapa
pada 1955 itu banyak partai, karena pasca-kemerdekaan itu muncul berbagai
mazhab atau aliran. Hanya melalui parpol, perjuangan itu dapat diejawantahkan,”
katanya.
Meski baru, potensi ketiga parpol
itu relatif besar. Ini karena baru 25 persen pemilih yang sudah menentukan
pilihannya, sementara 75 persen lainnya merupakan pemilih mengambang yang belum
menentukan parpol yang akan dipilih pada pemilu. Tingginya pemilih mengambang
ditengarai disebabkan rendahnya kemelekatan identifikasi pemilih dengan parpol
atau party id.
”Sebagian besar pemilih kita belum
merasa sebagai bagian dari parpol dan tidak tertarik dengan parpol. Survei yang
kami lakukan Desember 2020-Januari 2021, party id 26 persen,” kata Adi yang
juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia.
Pemilih mengambang itu tentu bisa
menjadi ceruk bagi parpol-parpol baru. Namun, problem yang acap kali muncul
adalah parpol-parpol baru kerap kesulitan lolos menjadi peserta pemilu.
Parpol-parpol baru gagal membentuk kepengurusan dan mendirikan kantor di
seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan. ”Partai
kerap gagal di situ karena bagaimana mau berkontestasi dalam pemilu jika
pengurus dan kantor saja tak punya,” ujarnya.
Jikapun lolos, biasanya perolehan
suara parpol baru tak memenuhi ambang batas parlemen yang telah ditentukan.
Lihat saja perolehan suara Pemilu 2019. Dari tujuh parpol peserta pemilu yang
tak lolos ambang batas parlemen 4 persen, empat di antaranya merupakan parpol
baru, antara lain Partai Solidaritas Indonesia yang meraih 1,89 persen suara
sah nasional, Partai Berkarya (2,09 persen), Partai Garuda (0,50 persen), dan
Partai Persatuan Indonesia atau Perindo (2,67 persen).
Karena itu, menurut Ardi, parpol
baru harus memperkuat diferensiasi dengan parpol lainnya. Jika parpol baru tak
mampu menjual program yang berbeda dengan parpol yang sudah ada, publik mungkin
tak akan tertarik karena dianggap sama saja dengan parpol lainnya. Faktor
jaringan, logistik atau pendanaan, dan kehadiran tokoh sentral yang kuat juga
menjadi hal penting bagi kultur politik di Indonesia.
Rupanya, bekal menjadi aktivis
reformasi dan ketokohan saja belum cukup untuk membangun parpol. Perlu
perjuangan dan modal untuk bisa lolos menjadi peserta pemilu dan merebut kuasa
di parlemen. Lalu, akankah parpol-parpol baru yang bersaing untuk Pemilu 2024 berhasil
merebut angka? Tentu, keputusan ada di tangan rakyat…