Jumat, 15 September 2017

4 KUTUB IDEOLOGI VERSI GMNI




4 KUTUB IDEOLOGI VERSI GMNI
Suatu Pendekatan populer
Oleh : Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI
Disampaikan pada KTD GMNI Komisariat FIB USU,
 10 September 2017, Solagratia, Pancur Batu

Pengantar Diskusi
Sebagai pembuka perbincangan kita hari ini baiklah sama-sama kita baca lebih dulu sillabus materi/bahan yang telah disediakan Presidium GMNI. Sillabus ini, sebagaimana sillabus setiap mata kuliah pada umumnya adalah “dasar, arah, dan muatan” minimal yang harus diberikan supaya para peserta/kader/audience dapat memahaminya.
Dari sillabus tersebut yang dimaksud dengan 4 kutub ideologi tersebut adalah;
·         Marhaenisme
·         Komunisme
·         Kapitalisme dan
·         Pan Islamisme
Secara umum sesungguhnya kutub ideologi hanya dua, yakni;
·         Liberal-Kapitalisme dan
·         Sosialisme-Komunisme
Mengapa GMNI membuat pola demikian, mungkin (menurut saya) disesuaikan dengan keadaan Indonesia. Di negeri ini barangkali ke empat ideologi itulah yang dominan (?). paling tidak kalau kita baca media, khususnya media-media sosial (pacebok, weo, nistagrum, twattar, dan entah apa lagi itu), jargon-jargon, konsep-konsep, atau sekian istilah lain, itulah yang mewarnai.
Belum lama kita sering mendengar kata-kata, kalimat, istilah seperti “penista agama (kasus Ahok yang dramatis), atau celotehan HRS tentang Pancasila. HRS mengatakan bahwa dalam Pancasilanya Bung Karno, Ketuhanan di buat di pantat. Begitu pula perjuangan  Hizbuh Tahrir yang akan mengusung “Khilafah” dalam tatanan sosial Indonesia (HTI), melesatnya pengaruh Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang pengikutnya konon sudah banyak di negeri ini, serta kasus pengungsi Rohingya yang begitu dramatis adalah fakta bahwa Ideologi atau Kekuatan Islam.......
Begitu pula ideologi dan kekuatan Komunis. Dalam media sering kita baca istilah, kata, kalimat, verba “Komunis”. Yang paling sering adalah tudingan akan bangkitnya komunisme....komunisme sudah menyusup jauh dalam masyarakat, sudah kemana-mana, dan atau khususnya dalam pemerintahan...Tidak tanggung-tanggung, Jokowi sekalipun oleh kalangan tertentu (?) sering dituding sebagai komunis (ingat tabloid Obor ketika kampanye Presiden 2014). Belum lama PDIP oleh petinggi Gerindra dituding sebagai partai yang menghimpun kekuatan Komunis, meski beliau sudah minta maaf.  Idem dengan ex ketua HMI Surabaya yang menuduh GMNI sebagai Komunis, juga sudah minta maaf. Komunis...komunis....komunis. Masih banyak ilustrasi-ilustrasinya......
Walau tidak senyaring/sevulgar “Komunis dan Islam”, istilah, kalimat, atau jargon tentang ideologi Kapitalis juga tetap menghiasi media-media. Kata-kata seperti “Neolib[1]” mungkin adalah istilah yang paling banyak dilesatkan. Paling populer. Ingat ketika Boediono, mantan Wapres SBY banyak di bully di medsos sebagai neo lib, dan sekarang Sri Mulyani Indrawati yang menjadi Menteri Keuangan. Secara umum FEUI adalah dedengkotnya. Kampus perjuangan Orde Baru yang sering dijuluki sebagai Mafia Berkeley. Begitu pula konsep-konsep lain, seperti “pasar bebas (free market), pro pasar, persaingan bebas (competition), konsumtif, efisien-efektif,   maraknya mall/hypermart dikota-kota, hingga penetrasi Alfa-Indomart ke desa-desa , perilaku pragmatis masyarakat/khususnya mahasiswa , atau dalam konsep pemerintahan yang disebut dengan “good governace” adalah fakta bahwa ideologi ini tetap dan dominan hadir.
Bagaimana dengan ideologi Marhaenisme ?, meski jarang muncul istilah/kata/verba Marhaenisme, namun tetap hadir/marak dengan istilah-istilah yang lain. Terbukti dengan istilah-istilah berikut “nasionalisme, kebangsaan, kemajemukan, pluralisme,  dan lain-lain istilah yang tidak langsung menyinggung Marhaenisme, namun substansinya adalah kesana (ke Marhaenisme tersebut). Mengapa istilah ini jarang diucapkan karena sejak Soeharto naik panggung, seluruh yang berbau-bau Bung Karno memang diredam. Dikhtiarkan supaya tidak muncul ke permukaan. Konstalasi ini masih terasa hingga detik ini. Kita-kita, khususnya yang mengalami tragedi di era Orde Baru masih alergi dengan kata Marhaenisme tersebut. Begitu pula intelektualnya jarang yang terus terang mengakui bahwa ia Marhaenis
Lamp 1  
Silabus 4 kutub
Materi 4 kutub ideologi yang akan diketengahkan ialah; Marhaenisme, Komunisme, Kapitalisme, Islamisme (Pan Islamisme). Mengkaji kerangka dasar berpikir dari setiap ideologi dan sejarah terbentuknya ideologi tersebut dan dinamisasinya pada konteks hari ini, dari setiap ideologi yang di bahas harapannya kader GMNI dapat memahami keterkaitan antar empat ideologi tersebut dan perbedaannya dalam percaturan politik, ekonomi, dan peradaban dunia.
Pengkajian Ideologi Marhaenisme pada materi ini, sebagai lanjutan dari materi PPAB, agar kader GMNI memahami betul paradigma Marhaenisme di tengah pertarungan ideologi lain  yang menjadi dasar pemikiran negara-negara di dunia, serta mampu menempatkan dasar ideologi Marhaenisme sebagai pisau analisa dalam berpikir dan berjuang menuju bangsa Indonesia yang adil dan sejahtera.
Marhaenisme[2]
·         Sejarah Marhaenisme tentang substansi roh perjuangan bangsa Indonesia yang digagas Bung Karno
·         Materialisme Dialektika Historis serta teori dan konsep perjuangan dalam Marhaenisme sebagai antitesa sistem Kapitalisme
·         Telaah tentang keterkaitan Marhaenisme dengan Komunisme
·         Telaah tentang keterkaitan Marhaenisme dengan Islamisme.
Kapitalisme[3]
·         Dasar pokok pikiran Adam Smith (wealth of nations)
·         Sejarah tentang masyarakat dunia dengan skema globalisasi yang mengkedepankan asas modal sebagai  alat penindasan
·         Proses lahirnya Kapitalisme
·         Telaah pengenaan dasar tentang Kolonialisme dan Imperialisme serta liberalisme
Komunisme[4]
·         Sejarah lahirnya komunisme yang digagas Karl Marx
·         Dasar-dasar pokok kerangka pemikiran komunisme; Lenin, Trotsky, Gramschi, Rosa Luxemburg, Kautsky, Eduard Bernstein, Mao Tse Tung, Otto Bauer
·         Materialisme Dialektika Historis serta teori dan konsep dalam Marxisme
·         Sejarah perkembangan Komunisme dalam kancah peradaban dunia
Pan Islamisme
·         Sejarah perkembangan Islam di dunia
·         Sejarah lahirnya Pan Islamisme
·         Jamaluddin Al Afgani dengan pemikiran pembaharuannya supaya ummat Islam kembali pada ajaran agama Islam yang murni, kepemimpinan otokrasi diubah menjadi demokrasi
·         Sejarah perkembangan Islam dalam konteks Pan Islamisme persfektif Bung Karno
·         Pengaruh Pan Islamisme terhadap sejarah bangsa Indonesia
Lamp 2.
Mengapa sosialisme dan Komunisme Tidak Sesuai Dengan Ajaran Kristiani ?
Sosialisme dan Komunisme adalah suatu gerakan atau sistem ekonomi yang berdasarkan atas kepemilikan secara publik, baik dalam hal sarana produksi maupun perencanaannya secara sentral. Sosialisme timbul sebagai reaksi terhadap kapitalisme, sedangkan Komunisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari Sosialisme, yang bertujuan menghapus adanya perbedaan kelas/kelompok ekonomi di dalam masyarakat. Mungkin ada orang menyangka bahwa sosialisme dan komunisme adalah sistem yang baik untuk menyelamatkan nasib para pekerja dari kekuatan para pemilik modal. Namun walaupun sepertinya baik, sistem tersebut tidak sesuai dengan ajaran Kristiani. Untuk memahami hal ini, mari kita melihat kepada fakta sejarah, dan ajaran gereja Katolik, yang jelas dinyatakan, terutama oleh Paus Leo XIII – dalam surat ensikliknya Rerum Novarum (RN), dan Paus Yohannes Paulus II, dalam surat ensikliknya Centessimus Annus (CA), Sollicitudo Rei Socialis (SRS), dan Laborem Exercens (LE)
Sosialisme timbul setelah zaman industri (di akhir abad ke-18) yang membagi dunia menjadi dua kelas, yaitu kelompok pemilik modal dan kelompok pekerja/buruh. Sosialisme yang diprakarsai oleh Karl Marx di akhir abad ke-19 adalah semcam upaya untuk menghilangkan jurang yang besar diantara kedua kelompok tersebut (See Karl Marx, Communist Manifesto, Penguin (2002) and “Socialism”, Encyclopaedia Britannica Online. Karl Marx posited that socialism would be achieved via class struggle and a proletarian revolution, and would represent a transitional stage between capitalism and communism). Prinsip utama dari gerakan ini adalah, apa yang disebut sebagai “milik bersama” (RN 15), yang artinya kepemilikan pribadi ditolak, dijadikan milik bersama di bawah kontrol dari sejumlah orang dari pemerintah (RN 4). Namun walaupun sekilas prinsip ini terlihat baik, Paus Leo XIII mengecamnya, karena prinsip Sosialisme secara mendasar keliru dalam memahami kodrat manusia, yaitu karena sistim tersebut; (1) menempatkan “milik bersama” dan “milik pribadi” sebagai dua hal yang bertentangan sehingga seolah perseorangan dianggap sebagai ancaman bagi komunitas dan bukan sebagai pendukung komunitas, (2) menentang hukum kodrat dengan menghapuskan hak pribadi untuk memiliki sesuatu, dan dengan melimpahkan tanggung jawab orang tua dalam keluarga kepada negara, (3) negara tidak lagi berperan sebagai penjaga yang melindungi namun sebagai pengatur yang merampas hak warganya, (4) menyebabkan kehancuran masyarakat terutama para pekerja/buruh sendiri; (5) mengabaikan Tuhan, mengabaikan kebebasan manusia dan mengabaikan kebahagiaan kekal dengan memusatkan perhatian kepada perolehan kesenangan materi.
Pertama, dengan mempertentangkan “milik bersama” dengan “milik pribadi”, kaum sosialis gagal melihat keuntungan bahwa milik pribadi sesungguhnya dapat mendukung dan melayani kepemilikan bersama. Seseorang dapat memberikan sebagian miliknya untuk mendukung kebutuhan komunitas, dan hal ini dapat mempengaruhi orang lain melakukan yang sama, ataupun mendorong orang lain yang turut menikmati keuntungannya untuk mendukung komunitas dengan menyumbangkan sesuatu yang ada padanya – jika tidak dalam bentuk materi, dapat pula dalam bentuk lain, seperti jasa ataupun pelayanan. Dengan demikian, keberagaman kelompok dalam komunitas diarahkan untuk saling mendukung dan melengkapi di dalam komunitas. Hal ini diabaikan dalam sistim Sosilaisme, yang ingin mereduksi masyarakat menjadi satu kelas (RN 17). Ini bertentangan dengan rencana Allah, sebab meskipun martabat manusia itu sama, namun manusia diciptakan dengan bermacam kemampuan dan talenta, supaya mereka dapat saling bekerja sama dan saling mendukung demi kebaikan bersama. Paus Leo XIII dalam RN 19 berkata “Setiap (golongan) memerlukan (golongan) yang lain. Pemilik modal tak dapat berbuat sendiri tanpa pekerja, demikian pula pekerja pekerja tanpa tanpa pemilik modal. Perjanjian timbal balik menghasilkan cantiknya keteraturan yang baik, sedangkan konflik yang tak berkesudahan menghasilkan kebingungan dan suasana barbar yang liar). Prinsip keberagaman yang saling mendukung juga terjadi di dalam tubuh manusia, keluarga, dan tempat kerja. Tubuh terdiri dari banyak anggota tubuh, dan tiap anggota tubuh mempunyai sifatnya sendiri-sendiri, tetapi semua bekerja sama mendukung satu sama lain. Dengan cara ini kebaikan satu anggota menjadi penyebab dari kebaikan seluruh tubuh. Maka usaha-usaha untuk menyeragamkan semua anggota (misalnya tubuh hanya terdiri atas tangan-tangan) bukan saja tidak alami, tetapi juga mustahil, sebab seandainya dilakukan-pun akan menghasilkan tuubuh yang tidak lengkap dan tidak seimbang.
Selain itu, mempertentangkan milik bersama dengan milik perorangan dapat mengakibatkan timbulny anggapan bahwa perorangan adalah ancaman bagi komunitas, sehingga keadaan ini memupuk persaaingan yang tidak sehat dan kebencian antar anggota. Oleh karena itu, Paus Leo XIII mengatakan bahwa kita tidak dapat menepis kemiskinan dengan menghapuskan kelas/tingkatan kelompok dalam masyarakat. Usaha apapun untuk menghapuskan kelompok-kelompok tersebut hanya akan mengarah kepada kebencian dan kekerasan. Paus Yohannes Paulus II menghubungkan masalah ini, bersamaan dengan berbagai masalah ketidakadilan yang terjadi di tingkat internasional maupun nasional, sebagai penyebab terjadinya Perang Dunia pertama dan kedua (CA 17), dan berbagai perang revolusi yang terjadi di seluruh dunia.
Maka, klaim para sosialis, bahwa gagasan kolektivism diambil dari kehidupan jemaat perdana juga tidak tepat. Sebab praktek kepemilikan bersama dalam gereja awal dilakukan secara sukarela, dan tidak dipaksakan oleh pihak tertentu (Lihat Kis 4;34, sebagaimana dijelaskan oleh Paus Leo XIII dalam RN 29; bagaimana para Rasul membagikan derma kepada jemaat yang lebih miskin, yang diberikan secara sukarela. Tertulian, dalam Apologia secunda, 39 (Apologeticus, cap. 39; PL 1, 533A) menyebut hal ini sebagai perbendaharaan kesalehan, yaitu ketika jemaat memberi makan kepada yang membutuhkan, menguburkan yang wafat dan mendukung para yatim piatu dan para janda...) Maka ide untuk memaksakan konsep kepemilikan bersama oleh negara itu tidak sesuai dengan ajaran Kitab suci. Kaum sosialis juga gagal melihat, bahwa “kebaikan bersama” yang harus dilindungi oleh pihak otoritas harus berarti “kebaikan untuk semua orang”. Maksudnya, kebaikan bersama ini harus menjadi kebaikan untuk setiap orang, setiap keluarga, komunitas, dan negara. Maka aturan dasarnya harusnya adalah; apa yang diusahakan harus mendatangkan kebaikan, baik untuk komunitas, maupun untuk perorangan. (St Thomas Aquinas dalam Summa Theology (St Iia – II ae, q. LXL, a 1, ad 2) mengajarkan, “karena suatu bagian maupun keseluruhan dalam arti tertentu adalah sama, maka apa yang menjadi milik kesetu luruhan juga menjadi bagian tersebut”). Hanya dengan memusatkan perhatian kepada kepentingan komunitas saja namun mengabaikan kepentingan perorangan, itu bukan kebaikan bersama. Demikian pula, jika tugas perorangan sebagai orang tua untuk mendukung keluarga diambil alih oleh pemerintah, itu juga pada gilirannya akan mengganggu hubungan kodrati antara orang tua dan anak dalam keluarga. Pada hal seharusnya sebuah keluarga adalah “sel pokok kehidupan sosial” (KGK 2207) sehingga jika orang bekerja untuk kebaikan keluarganya, artinya ia juga bekerja untuk kebaikan bersama di dalam masyarakat.
Kedua, prinsip utama sosialisme, yaitu kepemilikan bersama – adalah bertentangan dengan hukum kodrat dan hanya menyebaabkan ketidakadilan kepada manusia dan keluarganya; karena prinsip tersebut menyerang martabat manusia. Sebab setiap manusia di ciptakan menurut gambar Tuhan dan diperintahkan agar berkembang biak dan menguasai bumi (Kej 1; 26,28), maka kelangsungan hidup manusia itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kepemilikan pribadi/perorangan. Sebab, bagaimana mungkin manusia dapat mempunyai motivasi untuk menguasai hal-hal di bumi jika ia tidak diperbolehkan untuk memilikinya? Oleh karena itu penolakan atas hak perorangan untuk memiliki sesuatu sebagai hasil jerih payahnya dan membuat segala sesuatu menjadi milik bersama, sesungguhnya bertentangan dengan kodrat (RN 9, 13, 47). Menurut Paus Leo XIII, penolakan atas hak seseorang untuk memiliki properti adalah tidak adil bagi orang yang bekerja tersebut (RN 10), sebab orang ber hak untuk mempunyai kepemilikan terhadap hasil buah karyanya untuk mendukung keluarganya. Tanpa hak untuk memiliki, maka orang akan bekerja seperti robot, tanpa tujuan dan harapan, tanpa kebebasan untuk mengatur penggunaan gajinya, tidak punya hak apapun untk memelihara diri sendiri dan keluarganya untuk perbaikan kehidupan mereka (RN 5), ataupun merencanakan  masa depan mereka. Dengan sistem sosialisme, semua ini diatur oleh negara, negara ditempatkan di atas manusia. Pada hal sebenarnya manusialah yang mengatasi negara; artinya, manusia ada lebih dahulu dari negara (RN 7), dan negara terbentuk untuk melayani kesejahteraan manusia.
Selanjutny, dengan negara mengambil alih tugas kewajiban bapa/orang tua terhadap anak-anak mereka, negara seolah meniadakan peran dan keberadaan keluarga, dengan demikian, meniadakan konsep bahwa bapa bertugas untuk menghidupi keluarganya (RN 12-14). Pada hal bapa dan ibu adalah tanda sakramental akan kasih Tuhan kepada anak-anak mereka, sebagaimana terlihat dalam hal prokreasi dan pendidikan anak-anak (KGK 1652 dan Ekshortasi Apostolik Paus Yohannes Paulus II, Familiaris Consortio, 14). Tidak mengherankan, jika negara menggantikan peran orang tua dalam keluarga, maka negara sesungguhnya mengancam keberadaan keluarga itu sendiri. Sebab bagaimanapun juga negara tidak dapat menggantikan peran orang tua dalam hal mengasihi anak-anak mereka, apalagi menggantikan peran orang tua sebagai tanda yang kelihatan akan kasih Tuhan yang memberikan dirinya kepada anak-anak mereka.
Jelaslah, dengan bertujuan untuk menghapuskan adanya kelas dalam masyarakat dan mengendalikan kehidupan keluarga warga negaranya, negara gagal untuk menerapkan keadilan, dalam hal ini  adalah keadilan distributif, yaitu keadilan untuk memberikan apa yang layak kepada setiap warga negara menurut kontribusi dan kebutuhannya (KGK 2411). Sebab kenyataannya, setiap keluarga mempunyai kebutuhan dan kontribusi yang khusus sendiri-sendiri, sehingga upaya apapun untuk menggeneralisasi aspek-aspek ini atas nama sistem sosial, menjadi tidak adil. Contohnya, keluarga yang memiliki lima orang anak, pasti mempunyai kebutuhan finansial yang lebih besar daripada keluarga lain yang hanya mempunyai satu orang anak. Maka permasalahan akan muncul ketika negara harus menentukan kepemilikan bersama yang cocok untuk kedua kasus tersebut. sebagai akibatnya, hal ini dapat membuka jalan bagi keterlibatan negara yang lebih besar, yaitu dengan mengatur jumlah anak di dalam keluarga, sebagaimana kini yang terjadi di Cina, dengan kebijakan hanya satu anak saja (one child policy) uuntuk setiap keluarga.
Ketiga, dengan membuat semua kepemilikan sebagai milik bersama, negara menyerap semua perorangan dan keluarga (RN 35), dan dengan demikian merampas hak-hak mereka, bukannya melindungi dan menguatkannya. Lihatlah bahwa salah satu perintah Allah adalah “Janganlah mengingini rumah sesaamamu....atau apapun yang dipunyai sesamamu (Kel 20;17). Dengan demikian pelimpahan kepemilikan perorangan kepada pemerintah, merupakan pelanggaran terhadap perintah ini, sebab negara menjadi pihak yang mengingini milik perorangan. Ini bagaikan wasit yang seharusnya memimpin pertandingan, malah bermain sendiri sebagai pemain. Dengan sistem ini, negara dapat terlibat terlalu jauh dalam kehidupan keluarga warganya. Sebagai contoh, kebijakan “satu anak saja” dalam keluarga, sesungguhnya negara telah melanggar hak setiap pasangan suami istri untuk secara alami merencanakan jumlah anak dalam keluarga mereka. Kebijakan ini bahkan dapat mendorong pasangan melakukan aborsi, sesuatu yang mungkin tidak perlu terjadi jika kebijakan satu anak itu tidak ada.
Keempat, sistim sosialisme dapat mengarah kepada kehancuran masyarakat, terutama para pekerja/buruh yang menjadi tujuan prinsip ini diterapkan. Sebab dengan diterapkannya sistem ini maka manusia dilihat tidak lagi sebagai pribadi, tetapi sebagai elemen ekonomi tertentu, yang dipergunakan untuk mencapai kebutuhan materi. Tak mengherankan, dengan menerapkan prinsip ini, manusia diarahkan kepada “atheisme dan kebencian terhadap pribadi manusia (CA 14), sebab sesama manusia lebih dipandang sebagai alat dan saingan untuk mencapai kebutuhan materi, dan bukan sebagai pribadi untuk dikasihi dan didukung untuk mencapai kebahagiaannya. Paus Benediktus XVI menyamakan prinsip materialisme dengan prinsip yang menyamakan manusia sebagai “semata-mata produk keadaan ekonomi”(Spe Salvi 21). Ini bertentangan dengan kebenaran tentang manusia, yaitu bahwa keberadaan manusia lebih penting daripada harta miliknya, being is more important than having. Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa “Seperti kegiatan manusia itu berasal dari manusia maka di atur demi (kebaikan) manusia. Sebab ketika manusia bekerja, ia tak hanya mengubah benda-benda dan masyarakat, namun ia juga mengembangkan dirinya juga...Seorang manusia lebih berharga dari dirinya sendiri daripada dari apa yang dimilikinya”. (Konsili Vatican II, Gaudium et Spes, 35. Lihat juga surat ensiklik Paus Yohannes Paulus II, Laborem Exercens 9” Melalui pekerjaan, manusia tidak hanya mengubah alam dan menyesuaikannya menurut kebutuhannya, tetapi ia juga mencapai pemenuhannya sebagai manusia dan....menjadi semakin manusiawi
Selanjutnya penghapusan kelas dalam masyarakat dapat memimpin kepada masalah lainnya. Sebab kepemilikan bersama dapat memberikan keuntungan bukan kepada semua masyarakat, tetapi hanya kepada sejumlah orang-orang tertentu, dengan kepentingan golongan (CA 14), yang bertindak sebagai administrator yang bertindak atas nama negara. Maka ini hampir sama dengan menciptakan sistem tuan tanah secara nasional. Jika ini yang terjadi ,maka kaum miskin yang harusnya memperoleh keuntungan,malah menjadi korban yang pertama. Dengan demikian jelaslah bahwa upaya apapun untuk menghapus  dua kelompok masyarakat (pemilik modal dan pekerja/buruh) adalah upaya yang bertentangan dengan kodrat, karena kedua kelompok itu memang dimaksudkan untuk saling mendukung satu sama lain (RN 19), dan usaha untuk menghapuskannya hanya akan mengakibatkan konflik-konflik lainnya. Maka hal yang perlu diusahakan adalah sinergi antara keduanya, hubungan yang saling mendukung satu sama lain, atas dasar penghormatan akan martabat manusia.
Akhirnya , upaya kaum sosialis untuk mencapai keadaan impian tanpa Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin, dan karena itu tidak mungkin tercapai (RN 16). Pengingkaran akan keberadaan Tuhan, yang menjadi titik awal prinsip kaum sosialis, tidak akan membawa manusia kepada keadaan yang baik. Dengan menerapkan prinsip sosialisme, maka manusia tidak diarahkan untuk menaati hukum Tuhan, namun diarahkan untuk menempatkan ideologi mereka di atas manusia. Pada hal manusia tidak akan pernah lebih adil dari Tuhan. Hukum Tuhan yang sempurna mengatasi manusia. Maka penolakan akan Tuhan akan mengarahkan manusia kepada kehancuran. Inilah mengapa sosialisme menghantam kebutuhan manusia yang paling hakiki, yaitu untuk bertindak sesuai dengan kodratnya. Jika manusia menolak untuk taat kepada hukum Tuhan, maka “alam berontak melawan manusia dan tidak lagi mengenali manusia sebagai tuannya” (SRS 30). Hidup menjadi sulit,manusia akan menderita dan jatuh kedalam bentuk perbudakan benda-benda materi. Dengan demikian, tujuan utama untuk menghilangkan penderitaan yang disebabkan oleh orang-orang kaya, tidak terwujud, tetapi hanya diubah menjadi jenis penderitaan yang berbeda. Contohnya di Cina, upaya menghindari kemiskinan material menghasilkan kemiskinan rohani, yang mengakibatkan keputusasaan, ketiadaan harapan atau bahkan tingkat bunuh diri yang tinggi (Menurut Association for Asian Research, as on http://www.asian research.org/articles/16 tingkat bunuh diri di Cina termasuk yang tertinggi 2.3 lebih tinggi dari angka rata-rata bunuh diri dunia.
Sesungguhnya, upaya manusia untuk menghapuskan penderitaan sama sekali, nampaknya tidak akan pernah tercapai, sebab manusia pada dasarnya pasti akan mengalami penderitaan walaupun kadarnya berbeda-beda pada tiap orang. Manusia memang perlu terus berjuang di dalam kehidupan ini. Gereja sadar bahwa penderitaan dan kesulitan tidak akan pernah berakhir di dunia (RN 18), sehingga manusia harus menghadapinya, dan bukan berpura-pura bhwa penderitaan itu tidak ada. Sebaliknya , manusia perlu mencari jalan keluarnya, dan untuk melakukan itu manusia dari kedua golongan kelas (baik pemilik modal maupun pekerja) perlu bekerjasama dan saling membantu. Baik Paus Leo XIII maupun Yohannes Paulus II kemudian mengusulkan diadakannya kerjasama berdasarkan kasih antara pemilik modal dan pekerja untuk memajukan lapangan kerja yangmenguntungkan, dengan mengadakan keuntungan melalui pelatihan dan berbagai bentuk assosiasi, koperasi kredit, pendidikan umum, pelatihan profesional, berbagai bentuk partisipasi di dalam kehidupan di lingkungan kerja maupun masyarakat pada umumnya (RN 55, CA 16). Dengan demikian jurang pemisah antara yang kaya dan miskin dapat dijembatani dengan keadilan dan cinta kasih, dan bukan dengan pertarungan antar golongan dan penghapusan kelas/kelompok.
Maka kesimpulannya, kesalahan utama Sosialisme adalah karena gerakan tersebut; (1) mengabaikan martabat manusia, karena manusia  dianggap semata-mata hanya bagian dari sistem (AC 13); 2) menentang hak-hak kodrati manusia, yang terlihat jelas di dalam hal penghapusan kepemilikan perorangan, sehingga mengakibatkan efek negatif terhadap keluarga dan masyarakat, (3) mengusahakan tercapainya keadaan ideal tetapi tanpa melibatkan Tuhan dan prinsip-prinsip Kristiani, dan upaya ini terbukti tidak berhasil. Menanggapi masalah ini, Paus Leo XIII menggaris bawahi ajaran sosial Gereja untuk mempengaruhi pikiran dan hati manusia agar mau tunduk kepada prinsip-prinsip Tuhan. Yang pertama dari prinsip ini adalah mempertahakan kepemilikan perorangan yang selanjutnya harus diikuti dengan penggunaan kepemilikan ini demi perbaikan/peningkatan perorangan maupun komunitas (RN 15). Prinsip kedua adalah pentingnya untuk menerapkan prinsip Injil, yaitu keadilan dan kasih. Pemilik modal dan pekerja harus menerima apa yang menjadi hak mereka; dan selanjutnya, mereka yang dipercaya banyak harus memberi lebih banyak. Juga, setiap orang harus mau berkorban demi orang lain, terutama demi mereka yang miskin. Keberpihakan gereja kepada kaum miskin mengambil dasar dari teladan Yesus dan perintahnya. Yesus sendiri merangkul kemiskinan dan penderitaan ketika hidup di dunia, maka kita akan menemukan dia di dalam wajah kaum miskin. Hanya dengan kedua prinsip ini, yaitu keadilan dan kasih, kita dapat menemukan jalan untuk memperbaiki masyarakat, sambil menantikan tercapainya masyarakat yang sempurna, yaitu dalam kerajaan Allah di Surga.
Lamp 3
PB NU : Ada Lima Alasan PKI Tidak Boleh Ada di Indonesia
Ada lima alasan komunisme dan Partai Kmunis Indonesia (PKI) tidak boleeh kembali muncul di Indonesia. Dari segala aspek teologi, ideologi, sosial, politik, dan sejarah yang diajarkan paham ini sangat bertentangan dengan ajaran Indonesia sebagai negara demokrasi dan berideologi Pancasila.
Hal tersebut dikatakan oleh, Sekjen PBNU Abdul Munim DZ dalam diskusi-semnar dan dialog lintas generasi menyelamatkan generasi muda Indonesia dari bahaya komunisme di gedung juang 45 Selasa (31/5/2016).
Ia mengatakan, dari segi teologi, komunisme telah melawan prinsip ketuhanan. Hal ini karena komunisme tidak mengenal adanya Tuhan. Sedangkan di Indonesia, dalam sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu, dari segi ideologi, komunisme tentu sangat berlainan dengan paham Pancasila. Perbedaan itu tertanam jelas dari butir Pancasila.
Dari segi sosial, kata Abdul Munim, komunisme mengajarkan pertentangan kelas. Misalnya pertentangan antara buruh dan majikan, kaya dan miskin, tuan dan bawahan. Pada hal prinsip tersebut akan terus mengadu domba antara pihak yang merasa tertindas, sehingga tidak tercipta suasana yang harmonis
Indonesia tidak menanamkan prinsip itu, tidak ada pertentangan kelas. Kalau terus memperdebatkan kelas tidak akan selesai masalahnya dan akan ada terus ketegangan, ujar Abdul Munim.
Abdul Muniim juga mengatakan, dari segi politis, komunisme jelas mengajarkan bagaimana melakukan agitasi dan propaganda kepada lawan politik. Sedangkan hal tersebut tidak dibenarkan. Pasalnya , Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai kebenaran dan jujur termasuk dalam berpolitik
Dari nilai sejarah, pemberontakan yang dilakukan PKI di Indonesia tidak hanya sekali. Menurut dia pemberontakan PKI dimulai sejak tahun 1926, 1945, 1958, 1950, dan terakhir tahun 1965.
Peristiwa 1965 dikenal sebagai pemberontakan PKI yang paling besar karena memakan banyak korban baik dari para jenderal TNI, masyarakat sipil, hingga anggota PKI
Pemberontakan yang dilakukan jelas tidak membawa keuntungan dan muslihat yang baik bagi bangsa. Karena itu PKI tidak boleh ada kembali di Indonesia, kata Abdul Munim.(Kompas, com)

                                                                                   Medan, 10 September 2017


[1] Baca tulisan HS Dillon di Kompas, 7 September 2017.....kemiskinan struktural menahun dan ketimpangan yang lebar merupakan akibat diturutinya Konsensus Washington yang memaksakan globalisasi, perkembangan teknologi tak terkendali, dan reformasi pro pasar, merevitalisasi kelembagaan ekstraktif warisan feodal-kolonial. Sebagai akibat pertumbuhan menyengsarakan (immiserizing growth), para petani, pelaku UKM, dan anggota koperasi tidak dapat menabung untuk membentuk modal – bik materi maupun pendidikan berkualitas – yang dibutuhkan untuk naik kelas menapak keluar dari kemiskinan
[2][2][2] Pengertian Marhaenisme itu cukup beragam. Kalau diperdebatkan apa itu yang disebut Marhaenisme, mungkin sampai ke langit ketujuhpun tidak akan selesai mendefinisikannya. Oleh karena itu saya pilih satu pendapat dari figur yang sesungguhnya bukan seorang Marhaenis, dan belum lama begitu ramai polemiknya, yakni Ahok. Menurut beliau Marhaenisme adalah “paham yang menentang penindasan terhadap rakyat kecil”. Ajaran yang disebut Bung Karno pada pidato pendirian PNI 1927. Sementara itu Bupati Purwakarta, yang menjabat Ketua Golkar Jawa Barat dalam Musda 14 September 2016 ngomong begini;....meski saya ketua Golkar Jawa Barat, saya ini adalah seorang Marhaenisme. Saya menjalankannya langsung dalam pola aplikatif, baik sebagai ketua Golkar maupun sebagai Bupati Purwajarta. Sedangkan definisi yang lebih seksama saya kutif dari hasil kongres GMNI tahun 1959 di Kaliurang. Pada kongres ini Bung Karno mengatakan Marhaen adalah (1) asas yang menghendaki susunan masyarakat yang dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen, (2) Marhaen adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya, (3) marhaen adalah asas dan cara perjuangan menuju hilangnya “KAPITALISME, IMPERIALISME, DAN KOLONIALISME” . Sedangkan Partindo merumuskannya sebagai berikut; (1)sosio nasionalisme dan sosio demokrasi, (2) yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain, (3) pakai kata marhaen, bukan proletar, sebab proletar sudah termaktub dalam marhaen, (4) adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan marhaen, (5) adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang karenanya harus perjuangan revolusioner, (6) oleh karena itu marhaen adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme, (7) marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa indonesia yang menyelamatkan maarhaen.
[3][3] Arti, sejarah, dan prinsip-prinsip kapitalisme tidak lagi diuraikan karena dianggap sudah diberikan di PPAB, melainkan ke dosa-dosanya sebagai ditulis J. Verkuyl; (1) dimana-mana kapitalisme-liberalistis berkuasa, disana ada bahaya, bahwa u a n g menjadi ukuran untuk segala-galanya, (2) pemusatan kekuasaan dalam tangan beberapa orang saja, yaitu para pemimpin industri besar, yang mengakibatkan timbulnya persaingan, (3) cenderung mementingkan untung orang-orang yang berkuasa di lapangan ekonomi lebih daripada mencukupi kebutuhan dan permintaan masyarakat awam, (4) tidak menjadi soal apa yang diproduksikan, yang penting dapat untung, (5) anonimiteit, (6) pencemaran kerja, upah dianggap sebagai faktor ongkos-ongkos saja dalam anggaran belanja, (7) sistem itu selalu disertai kegoncangan dan krisis, yang sebentar menimbulkan pengangguran yang sangat luas dengan segala akibat-akibatnya,
[4] Khusus tentang Komunisme ini akan saya sertakan artikel yang ditulis dalam www.katolisitas.org. Tidak berarti saya menyetujuinya, namun untuk memudahkan pembahasan bagi peserta KTD.

2 komentar:

  1. Menurut ku masyarakat Tanpa kelas ini sebuah cita cita yang memang harus tercapai dimana tidak akan ada tendensi lagi akan suatu kelas. Dan jika kita lihat Komunisme bukan berarti tidak percaya Tuhan. Toh karl Marx pun pernah bilang Agama adalah Opium maksud Karl Marx disini adalah manusia jangan terlalu berserah diri terhadap Tuhan tanpa ada usaha tanpa ada mau melakukan perubahan. Dan aku kritisi tentang memang bagaimana determinasi bangsa ini akan gotong royong. Karena menurut ku bentuk gotong royong ini sudah tertanam tidak perlu secara sukarela karena memang gotong royong ini pasti sudah suka rela. Tiktok kelas ini memang tidak kan terhindar tapi apakah kita tidak mau bagaiama masyarakat tanpa kelas? Bukan kah marhaenisme ini menghilangkan penghisapan manusia atas manusia lain?

    BalasHapus
  2. Terimah kasih sudah menjelaskan mengenai 4 kutub ideologi versi GMNI

    BalasHapus