4 KUTUB
IDEOLOGI VERSI GMNI
Suatu Pendekatan
populer
Oleh :
Reinhard Hutapea
Kompartemen
Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI
Disampaikan pada KTD GMNI Komisariat
FIB USU,
10 September 2017, Solagratia, Pancur Batu
Pengantar
Diskusi
Sebagai
pembuka perbincangan kita hari ini baiklah sama-sama kita baca lebih dulu sillabus
materi/bahan yang telah disediakan Presidium GMNI. Sillabus ini, sebagaimana
sillabus setiap mata kuliah pada umumnya adalah “dasar, arah, dan muatan”
minimal yang harus diberikan supaya para peserta/kader/audience dapat
memahaminya.
Dari sillabus tersebut yang
dimaksud dengan 4 kutub ideologi tersebut adalah;
·
Marhaenisme
·
Komunisme
·
Kapitalisme dan
·
Pan Islamisme
Secara umum sesungguhnya
kutub ideologi hanya dua, yakni;
·
Liberal-Kapitalisme dan
·
Sosialisme-Komunisme
Mengapa
GMNI membuat pola demikian, mungkin (menurut saya) disesuaikan dengan keadaan
Indonesia. Di negeri ini barangkali ke empat ideologi itulah yang dominan (?).
paling tidak kalau kita baca media, khususnya media-media sosial (pacebok, weo,
nistagrum, twattar, dan entah apa lagi itu), jargon-jargon, konsep-konsep, atau
sekian istilah lain, itulah yang mewarnai.
Belum
lama kita sering mendengar kata-kata, kalimat, istilah seperti “penista agama
(kasus Ahok yang dramatis), atau celotehan HRS tentang Pancasila. HRS
mengatakan bahwa dalam Pancasilanya Bung Karno, Ketuhanan di buat di pantat. Begitu
pula perjuangan Hizbuh Tahrir yang akan
mengusung “Khilafah” dalam tatanan sosial Indonesia (HTI), melesatnya pengaruh
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang pengikutnya konon sudah banyak di
negeri ini, serta kasus pengungsi Rohingya yang begitu dramatis adalah fakta
bahwa Ideologi atau Kekuatan Islam.......
Begitu
pula ideologi dan kekuatan Komunis. Dalam media sering kita baca istilah, kata,
kalimat, verba “Komunis”. Yang paling sering adalah tudingan akan bangkitnya
komunisme....komunisme sudah menyusup jauh dalam masyarakat, sudah kemana-mana,
dan atau khususnya dalam pemerintahan...Tidak tanggung-tanggung, Jokowi
sekalipun oleh kalangan tertentu (?) sering dituding sebagai komunis (ingat
tabloid Obor ketika kampanye Presiden 2014). Belum lama PDIP oleh petinggi
Gerindra dituding sebagai partai yang menghimpun kekuatan Komunis, meski beliau
sudah minta maaf. Idem dengan ex ketua
HMI Surabaya yang menuduh GMNI sebagai Komunis, juga sudah minta maaf.
Komunis...komunis....komunis. Masih banyak ilustrasi-ilustrasinya......
Walau
tidak senyaring/sevulgar “Komunis dan Islam”, istilah, kalimat, atau jargon tentang
ideologi Kapitalis juga tetap menghiasi media-media. Kata-kata seperti “Neolib[1]” mungkin adalah istilah
yang paling banyak dilesatkan. Paling populer. Ingat ketika Boediono, mantan Wapres
SBY banyak di bully di medsos sebagai neo lib, dan sekarang Sri Mulyani
Indrawati yang menjadi Menteri Keuangan. Secara umum FEUI adalah dedengkotnya.
Kampus perjuangan Orde Baru yang sering dijuluki sebagai Mafia Berkeley. Begitu
pula konsep-konsep lain, seperti “pasar bebas (free market), pro pasar,
persaingan bebas (competition), konsumtif, efisien-efektif, maraknya mall/hypermart dikota-kota, hingga
penetrasi Alfa-Indomart ke desa-desa , perilaku pragmatis masyarakat/khususnya
mahasiswa , atau dalam konsep pemerintahan yang disebut dengan “good governace”
adalah fakta bahwa ideologi ini tetap dan dominan hadir.
Bagaimana
dengan ideologi Marhaenisme ?, meski jarang muncul istilah/kata/verba
Marhaenisme, namun tetap hadir/marak dengan istilah-istilah yang lain. Terbukti
dengan istilah-istilah berikut “nasionalisme, kebangsaan, kemajemukan,
pluralisme, dan lain-lain istilah yang
tidak langsung menyinggung Marhaenisme, namun substansinya adalah kesana (ke
Marhaenisme tersebut). Mengapa istilah ini jarang diucapkan karena sejak
Soeharto naik panggung, seluruh yang berbau-bau Bung Karno memang diredam.
Dikhtiarkan supaya tidak muncul ke permukaan. Konstalasi ini masih terasa
hingga detik ini. Kita-kita, khususnya yang mengalami tragedi di era Orde Baru
masih alergi dengan kata Marhaenisme tersebut. Begitu pula intelektualnya
jarang yang terus terang mengakui bahwa ia Marhaenis
Lamp 1
Silabus
4 kutub
Materi 4 kutub ideologi yang akan diketengahkan ialah;
Marhaenisme, Komunisme, Kapitalisme, Islamisme (Pan Islamisme). Mengkaji
kerangka dasar berpikir dari setiap ideologi dan sejarah terbentuknya ideologi
tersebut dan dinamisasinya pada konteks hari ini, dari setiap ideologi yang di
bahas harapannya kader GMNI dapat memahami keterkaitan antar empat ideologi
tersebut dan perbedaannya dalam percaturan politik, ekonomi, dan peradaban
dunia.
Pengkajian Ideologi Marhaenisme pada materi ini, sebagai
lanjutan dari materi PPAB, agar kader GMNI memahami betul paradigma Marhaenisme
di tengah pertarungan ideologi lain yang
menjadi dasar pemikiran negara-negara di dunia, serta mampu menempatkan dasar
ideologi Marhaenisme sebagai pisau analisa dalam berpikir dan berjuang menuju
bangsa Indonesia yang adil dan sejahtera.
Marhaenisme[2]
·
Sejarah Marhaenisme tentang substansi roh
perjuangan bangsa Indonesia yang digagas Bung Karno
·
Materialisme Dialektika Historis serta teori
dan konsep perjuangan dalam Marhaenisme sebagai antitesa sistem Kapitalisme
·
Telaah tentang keterkaitan Marhaenisme dengan
Komunisme
·
Telaah tentang keterkaitan Marhaenisme dengan
Islamisme.
Kapitalisme[3]
·
Dasar pokok pikiran Adam Smith (wealth of
nations)
·
Sejarah tentang masyarakat dunia dengan skema
globalisasi yang mengkedepankan asas modal sebagai alat penindasan
·
Proses lahirnya Kapitalisme
·
Telaah pengenaan dasar tentang Kolonialisme
dan Imperialisme serta liberalisme
Komunisme[4]
·
Sejarah lahirnya komunisme yang digagas Karl
Marx
·
Dasar-dasar pokok kerangka pemikiran
komunisme; Lenin, Trotsky, Gramschi, Rosa Luxemburg, Kautsky, Eduard Bernstein,
Mao Tse Tung, Otto Bauer
·
Materialisme Dialektika Historis serta teori
dan konsep dalam Marxisme
·
Sejarah perkembangan Komunisme dalam kancah
peradaban dunia
Pan Islamisme
·
Sejarah perkembangan Islam di dunia
·
Sejarah lahirnya Pan Islamisme
·
Jamaluddin Al Afgani dengan pemikiran
pembaharuannya supaya ummat Islam kembali pada ajaran agama Islam yang murni,
kepemimpinan otokrasi diubah menjadi demokrasi
·
Sejarah perkembangan Islam dalam konteks Pan
Islamisme persfektif Bung Karno
·
Pengaruh Pan Islamisme terhadap sejarah
bangsa Indonesia
Lamp 2.
Mengapa
sosialisme dan Komunisme Tidak Sesuai Dengan Ajaran Kristiani ?
Sosialisme dan
Komunisme adalah suatu gerakan atau sistem ekonomi yang berdasarkan atas
kepemilikan secara publik, baik dalam hal sarana produksi maupun perencanaannya
secara sentral. Sosialisme timbul sebagai reaksi terhadap kapitalisme,
sedangkan Komunisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari Sosialisme, yang
bertujuan menghapus adanya perbedaan kelas/kelompok ekonomi di dalam
masyarakat. Mungkin ada orang menyangka bahwa sosialisme dan komunisme adalah
sistem yang baik untuk menyelamatkan nasib para pekerja dari kekuatan para
pemilik modal. Namun walaupun sepertinya baik, sistem tersebut tidak sesuai
dengan ajaran Kristiani. Untuk memahami hal ini, mari kita melihat kepada fakta
sejarah, dan ajaran gereja Katolik, yang jelas dinyatakan, terutama oleh Paus
Leo XIII – dalam surat ensikliknya Rerum Novarum (RN), dan Paus Yohannes Paulus
II, dalam surat ensikliknya Centessimus Annus (CA), Sollicitudo Rei Socialis
(SRS), dan Laborem Exercens (LE)
Sosialisme timbul
setelah zaman industri (di akhir abad ke-18) yang membagi dunia menjadi dua
kelas, yaitu kelompok pemilik modal dan kelompok pekerja/buruh. Sosialisme yang
diprakarsai oleh Karl Marx di akhir abad ke-19 adalah semcam upaya untuk
menghilangkan jurang yang besar diantara kedua kelompok tersebut (See Karl
Marx, Communist Manifesto, Penguin (2002) and “Socialism”, Encyclopaedia
Britannica Online. Karl Marx posited that socialism would be achieved via class
struggle and a proletarian revolution, and would represent a transitional stage
between capitalism and communism). Prinsip utama dari gerakan ini adalah, apa
yang disebut sebagai “milik bersama” (RN 15), yang artinya kepemilikan pribadi
ditolak, dijadikan milik bersama di bawah kontrol dari sejumlah orang dari
pemerintah (RN 4). Namun walaupun sekilas prinsip ini terlihat baik, Paus Leo
XIII mengecamnya, karena prinsip Sosialisme secara mendasar keliru dalam
memahami kodrat manusia, yaitu karena sistim tersebut; (1) menempatkan “milik
bersama” dan “milik pribadi” sebagai dua hal yang bertentangan sehingga seolah
perseorangan dianggap sebagai ancaman bagi komunitas dan bukan sebagai
pendukung komunitas, (2) menentang hukum kodrat dengan menghapuskan hak pribadi
untuk memiliki sesuatu, dan dengan melimpahkan tanggung jawab orang tua dalam
keluarga kepada negara, (3) negara tidak lagi berperan sebagai penjaga yang
melindungi namun sebagai pengatur yang merampas hak warganya, (4) menyebabkan
kehancuran masyarakat terutama para pekerja/buruh sendiri; (5) mengabaikan
Tuhan, mengabaikan kebebasan manusia dan mengabaikan kebahagiaan kekal dengan
memusatkan perhatian kepada perolehan kesenangan materi.
Pertama, dengan
mempertentangkan “milik bersama” dengan “milik pribadi”, kaum sosialis gagal
melihat keuntungan bahwa milik pribadi sesungguhnya dapat mendukung dan
melayani kepemilikan bersama. Seseorang dapat memberikan sebagian miliknya
untuk mendukung kebutuhan komunitas, dan hal ini dapat mempengaruhi orang lain
melakukan yang sama, ataupun mendorong orang lain yang turut menikmati keuntungannya
untuk mendukung komunitas dengan menyumbangkan sesuatu yang ada padanya – jika
tidak dalam bentuk materi, dapat pula dalam bentuk lain, seperti jasa ataupun
pelayanan. Dengan demikian, keberagaman kelompok dalam komunitas diarahkan
untuk saling mendukung dan melengkapi di dalam komunitas. Hal ini diabaikan
dalam sistim Sosilaisme, yang ingin mereduksi masyarakat menjadi satu kelas (RN
17). Ini bertentangan dengan rencana Allah, sebab meskipun martabat manusia itu
sama, namun manusia diciptakan dengan bermacam kemampuan dan talenta, supaya
mereka dapat saling bekerja sama dan saling mendukung demi kebaikan bersama.
Paus Leo XIII dalam RN 19 berkata “Setiap (golongan) memerlukan (golongan) yang
lain. Pemilik modal tak dapat berbuat sendiri tanpa pekerja, demikian pula
pekerja pekerja tanpa tanpa pemilik modal. Perjanjian timbal balik menghasilkan
cantiknya keteraturan yang baik, sedangkan konflik yang tak berkesudahan
menghasilkan kebingungan dan suasana barbar yang liar). Prinsip keberagaman
yang saling mendukung juga terjadi di dalam tubuh manusia, keluarga, dan tempat
kerja. Tubuh terdiri dari banyak anggota tubuh, dan tiap anggota tubuh
mempunyai sifatnya sendiri-sendiri, tetapi semua bekerja sama mendukung satu
sama lain. Dengan cara ini kebaikan satu anggota menjadi penyebab dari kebaikan
seluruh tubuh. Maka usaha-usaha untuk menyeragamkan semua anggota (misalnya
tubuh hanya terdiri atas tangan-tangan) bukan saja tidak alami, tetapi juga
mustahil, sebab seandainya dilakukan-pun akan menghasilkan tuubuh yang tidak
lengkap dan tidak seimbang.
Selain itu,
mempertentangkan milik bersama dengan milik perorangan dapat mengakibatkan
timbulny anggapan bahwa perorangan adalah ancaman bagi komunitas, sehingga
keadaan ini memupuk persaaingan yang tidak sehat dan kebencian antar anggota.
Oleh karena itu, Paus Leo XIII mengatakan bahwa kita tidak dapat menepis
kemiskinan dengan menghapuskan kelas/tingkatan kelompok dalam masyarakat. Usaha
apapun untuk menghapuskan kelompok-kelompok tersebut hanya akan mengarah kepada
kebencian dan kekerasan. Paus Yohannes Paulus II menghubungkan masalah ini,
bersamaan dengan berbagai masalah ketidakadilan yang terjadi di tingkat
internasional maupun nasional, sebagai penyebab terjadinya Perang Dunia pertama
dan kedua (CA 17), dan berbagai perang revolusi yang terjadi di seluruh dunia.
Maka, klaim para
sosialis, bahwa gagasan kolektivism diambil dari kehidupan jemaat perdana juga
tidak tepat. Sebab praktek kepemilikan bersama dalam gereja awal dilakukan
secara sukarela, dan tidak dipaksakan oleh pihak tertentu (Lihat Kis 4;34,
sebagaimana dijelaskan oleh Paus Leo XIII dalam RN 29; bagaimana para Rasul
membagikan derma kepada jemaat yang lebih miskin, yang diberikan secara
sukarela. Tertulian, dalam Apologia secunda, 39 (Apologeticus, cap. 39; PL 1,
533A) menyebut hal ini sebagai perbendaharaan kesalehan, yaitu ketika jemaat
memberi makan kepada yang membutuhkan, menguburkan yang wafat dan mendukung
para yatim piatu dan para janda...) Maka ide untuk memaksakan konsep
kepemilikan bersama oleh negara itu tidak sesuai dengan ajaran Kitab suci. Kaum
sosialis juga gagal melihat, bahwa “kebaikan bersama” yang harus dilindungi
oleh pihak otoritas harus berarti “kebaikan untuk semua orang”. Maksudnya,
kebaikan bersama ini harus menjadi kebaikan untuk setiap orang, setiap
keluarga, komunitas, dan negara. Maka aturan dasarnya harusnya adalah; apa yang
diusahakan harus mendatangkan kebaikan, baik untuk komunitas, maupun untuk
perorangan. (St Thomas Aquinas dalam Summa Theology (St Iia – II ae, q. LXL, a
1, ad 2) mengajarkan, “karena suatu bagian maupun keseluruhan dalam arti
tertentu adalah sama, maka apa yang menjadi milik kesetu luruhan juga menjadi
bagian tersebut”). Hanya dengan memusatkan perhatian kepada kepentingan
komunitas saja namun mengabaikan kepentingan perorangan, itu bukan kebaikan
bersama. Demikian pula, jika tugas perorangan sebagai orang tua untuk mendukung
keluarga diambil alih oleh pemerintah, itu juga pada gilirannya akan mengganggu
hubungan kodrati antara orang tua dan anak dalam keluarga. Pada hal seharusnya
sebuah keluarga adalah “sel pokok kehidupan sosial” (KGK 2207) sehingga jika
orang bekerja untuk kebaikan keluarganya, artinya ia juga bekerja untuk
kebaikan bersama di dalam masyarakat.
Kedua, prinsip utama
sosialisme, yaitu kepemilikan bersama – adalah bertentangan dengan hukum kodrat
dan hanya menyebaabkan ketidakadilan kepada manusia dan keluarganya; karena
prinsip tersebut menyerang martabat manusia. Sebab setiap manusia di ciptakan
menurut gambar Tuhan dan diperintahkan agar berkembang biak dan menguasai bumi
(Kej 1; 26,28), maka kelangsungan hidup manusia itu sendiri dimungkinkan oleh
adanya kepemilikan pribadi/perorangan. Sebab, bagaimana mungkin manusia dapat
mempunyai motivasi untuk menguasai hal-hal di bumi jika ia tidak diperbolehkan
untuk memilikinya? Oleh karena itu penolakan atas hak perorangan untuk memiliki
sesuatu sebagai hasil jerih payahnya dan membuat segala sesuatu menjadi milik
bersama, sesungguhnya bertentangan dengan kodrat (RN 9, 13, 47). Menurut Paus
Leo XIII, penolakan atas hak seseorang untuk memiliki properti adalah tidak
adil bagi orang yang bekerja tersebut (RN 10), sebab orang ber hak untuk
mempunyai kepemilikan terhadap hasil buah karyanya untuk mendukung keluarganya.
Tanpa hak untuk memiliki, maka orang akan bekerja seperti robot, tanpa tujuan
dan harapan, tanpa kebebasan untuk mengatur penggunaan gajinya, tidak punya hak
apapun untk memelihara diri sendiri dan keluarganya untuk perbaikan kehidupan
mereka (RN 5), ataupun merencanakan masa
depan mereka. Dengan sistem sosialisme, semua ini diatur oleh negara, negara
ditempatkan di atas manusia. Pada hal sebenarnya manusialah yang mengatasi
negara; artinya, manusia ada lebih dahulu dari negara (RN 7), dan negara
terbentuk untuk melayani kesejahteraan manusia.
Selanjutny, dengan
negara mengambil alih tugas kewajiban bapa/orang tua terhadap anak-anak mereka,
negara seolah meniadakan peran dan keberadaan keluarga, dengan demikian,
meniadakan konsep bahwa bapa bertugas untuk menghidupi keluarganya (RN 12-14).
Pada hal bapa dan ibu adalah tanda sakramental akan kasih Tuhan kepada
anak-anak mereka, sebagaimana terlihat dalam hal prokreasi dan pendidikan
anak-anak (KGK 1652 dan Ekshortasi Apostolik Paus Yohannes Paulus II,
Familiaris Consortio, 14). Tidak mengherankan, jika negara menggantikan peran
orang tua dalam keluarga, maka negara sesungguhnya mengancam keberadaan
keluarga itu sendiri. Sebab bagaimanapun juga negara tidak dapat menggantikan
peran orang tua dalam hal mengasihi anak-anak mereka, apalagi menggantikan
peran orang tua sebagai tanda yang kelihatan akan kasih Tuhan yang memberikan
dirinya kepada anak-anak mereka.
Jelaslah, dengan bertujuan untuk menghapuskan adanya
kelas dalam masyarakat dan mengendalikan kehidupan keluarga warga negaranya,
negara gagal untuk menerapkan keadilan, dalam hal ini adalah keadilan distributif, yaitu keadilan
untuk memberikan apa yang layak kepada setiap warga negara menurut kontribusi
dan kebutuhannya (KGK 2411). Sebab kenyataannya, setiap keluarga mempunyai kebutuhan
dan kontribusi yang khusus sendiri-sendiri, sehingga upaya apapun untuk
menggeneralisasi aspek-aspek ini atas nama sistem sosial, menjadi tidak adil.
Contohnya, keluarga yang memiliki lima orang anak, pasti mempunyai kebutuhan
finansial yang lebih besar daripada keluarga lain yang hanya mempunyai satu
orang anak. Maka permasalahan akan muncul ketika negara harus menentukan
kepemilikan bersama yang cocok untuk kedua kasus tersebut. sebagai akibatnya,
hal ini dapat membuka jalan bagi keterlibatan negara yang lebih besar, yaitu
dengan mengatur jumlah anak di dalam keluarga, sebagaimana kini yang terjadi di
Cina, dengan kebijakan hanya satu anak saja (one child policy) uuntuk setiap
keluarga.
Ketiga, dengan membuat
semua kepemilikan sebagai milik bersama, negara menyerap semua perorangan dan
keluarga (RN 35), dan dengan demikian merampas hak-hak mereka, bukannya
melindungi dan menguatkannya. Lihatlah bahwa salah satu perintah Allah adalah
“Janganlah mengingini rumah sesaamamu....atau apapun yang dipunyai sesamamu
(Kel 20;17). Dengan demikian pelimpahan kepemilikan perorangan kepada
pemerintah, merupakan pelanggaran terhadap perintah ini, sebab negara menjadi
pihak yang mengingini milik perorangan. Ini bagaikan wasit yang seharusnya
memimpin pertandingan, malah bermain sendiri sebagai pemain. Dengan sistem ini,
negara dapat terlibat terlalu jauh dalam kehidupan keluarga warganya. Sebagai
contoh, kebijakan “satu anak saja” dalam keluarga, sesungguhnya negara telah
melanggar hak setiap pasangan suami istri untuk secara alami merencanakan
jumlah anak dalam keluarga mereka. Kebijakan ini bahkan dapat mendorong
pasangan melakukan aborsi, sesuatu yang mungkin tidak perlu terjadi jika
kebijakan satu anak itu tidak ada.
Keempat, sistim
sosialisme dapat mengarah kepada kehancuran masyarakat, terutama para
pekerja/buruh yang menjadi tujuan prinsip ini diterapkan. Sebab dengan
diterapkannya sistem ini maka manusia dilihat tidak lagi sebagai pribadi,
tetapi sebagai elemen ekonomi tertentu, yang dipergunakan untuk mencapai
kebutuhan materi. Tak mengherankan, dengan menerapkan prinsip ini, manusia
diarahkan kepada “atheisme dan kebencian terhadap pribadi manusia (CA 14),
sebab sesama manusia lebih dipandang sebagai alat dan saingan untuk mencapai
kebutuhan materi, dan bukan sebagai pribadi untuk dikasihi dan didukung untuk
mencapai kebahagiaannya. Paus Benediktus XVI menyamakan prinsip materialisme
dengan prinsip yang menyamakan manusia sebagai “semata-mata produk keadaan
ekonomi”(Spe Salvi 21). Ini bertentangan dengan kebenaran tentang manusia,
yaitu bahwa keberadaan manusia lebih penting daripada harta miliknya, being is
more important than having. Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa “Seperti
kegiatan manusia itu berasal dari manusia maka di atur demi (kebaikan) manusia.
Sebab ketika manusia bekerja, ia tak hanya mengubah benda-benda dan masyarakat,
namun ia juga mengembangkan dirinya juga...Seorang manusia lebih berharga dari
dirinya sendiri daripada dari apa yang dimilikinya”. (Konsili Vatican II,
Gaudium et Spes, 35. Lihat juga surat ensiklik Paus Yohannes Paulus II, Laborem
Exercens 9” Melalui pekerjaan, manusia tidak hanya mengubah alam dan
menyesuaikannya menurut kebutuhannya, tetapi ia juga mencapai pemenuhannya
sebagai manusia dan....menjadi semakin manusiawi
Selanjutnya penghapusan
kelas dalam masyarakat dapat memimpin kepada masalah lainnya. Sebab kepemilikan
bersama dapat memberikan keuntungan bukan kepada semua masyarakat, tetapi hanya
kepada sejumlah orang-orang tertentu, dengan kepentingan golongan (CA 14), yang
bertindak sebagai administrator yang bertindak atas nama negara. Maka ini
hampir sama dengan menciptakan sistem tuan tanah secara nasional. Jika ini yang
terjadi ,maka kaum miskin yang harusnya memperoleh keuntungan,malah menjadi
korban yang pertama. Dengan demikian jelaslah bahwa upaya apapun untuk
menghapus dua kelompok masyarakat
(pemilik modal dan pekerja/buruh) adalah upaya yang bertentangan dengan kodrat,
karena kedua kelompok itu memang dimaksudkan untuk saling mendukung satu sama
lain (RN 19), dan usaha untuk menghapuskannya hanya akan mengakibatkan
konflik-konflik lainnya. Maka hal yang perlu diusahakan adalah sinergi antara
keduanya, hubungan yang saling mendukung satu sama lain, atas dasar
penghormatan akan martabat manusia.
Akhirnya , upaya kaum
sosialis untuk mencapai keadaan impian tanpa Tuhan adalah sesuatu yang tidak
mungkin, dan karena itu tidak mungkin tercapai (RN 16). Pengingkaran akan
keberadaan Tuhan, yang menjadi titik awal prinsip kaum sosialis, tidak akan
membawa manusia kepada keadaan yang baik. Dengan menerapkan prinsip sosialisme,
maka manusia tidak diarahkan untuk menaati hukum Tuhan, namun diarahkan untuk
menempatkan ideologi mereka di atas manusia. Pada hal manusia tidak akan pernah
lebih adil dari Tuhan. Hukum Tuhan yang sempurna mengatasi manusia. Maka
penolakan akan Tuhan akan mengarahkan manusia kepada kehancuran. Inilah mengapa
sosialisme menghantam kebutuhan manusia yang paling hakiki, yaitu untuk
bertindak sesuai dengan kodratnya. Jika manusia menolak untuk taat kepada hukum
Tuhan, maka “alam berontak melawan manusia dan tidak lagi mengenali manusia
sebagai tuannya” (SRS 30). Hidup menjadi sulit,manusia akan menderita dan jatuh
kedalam bentuk perbudakan benda-benda materi. Dengan demikian, tujuan utama untuk
menghilangkan penderitaan yang disebabkan oleh orang-orang kaya, tidak
terwujud, tetapi hanya diubah menjadi jenis penderitaan yang berbeda. Contohnya
di Cina, upaya menghindari kemiskinan material menghasilkan kemiskinan rohani,
yang mengakibatkan keputusasaan, ketiadaan harapan atau bahkan tingkat bunuh
diri yang tinggi (Menurut Association for Asian Research, as on http://www.asian
research.org/articles/16 tingkat bunuh diri di Cina termasuk yang tertinggi 2.3
lebih tinggi dari angka rata-rata bunuh diri dunia.
Sesungguhnya, upaya
manusia untuk menghapuskan penderitaan sama sekali, nampaknya tidak akan pernah
tercapai, sebab manusia pada dasarnya pasti akan mengalami penderitaan walaupun
kadarnya berbeda-beda pada tiap orang. Manusia memang perlu terus berjuang di
dalam kehidupan ini. Gereja sadar bahwa penderitaan dan kesulitan tidak akan
pernah berakhir di dunia (RN 18), sehingga manusia harus menghadapinya, dan
bukan berpura-pura bhwa penderitaan itu tidak ada. Sebaliknya , manusia perlu
mencari jalan keluarnya, dan untuk melakukan itu manusia dari kedua golongan
kelas (baik pemilik modal maupun pekerja) perlu bekerjasama dan saling
membantu. Baik Paus Leo XIII maupun Yohannes Paulus II kemudian mengusulkan
diadakannya kerjasama berdasarkan kasih antara pemilik modal dan pekerja untuk
memajukan lapangan kerja yangmenguntungkan, dengan mengadakan keuntungan
melalui pelatihan dan berbagai bentuk assosiasi, koperasi kredit, pendidikan
umum, pelatihan profesional, berbagai bentuk partisipasi di dalam kehidupan di
lingkungan kerja maupun masyarakat pada umumnya (RN 55, CA 16). Dengan demikian
jurang pemisah antara yang kaya dan miskin dapat dijembatani dengan keadilan
dan cinta kasih, dan bukan dengan pertarungan antar golongan dan penghapusan
kelas/kelompok.
Maka kesimpulannya,
kesalahan utama Sosialisme adalah karena gerakan tersebut; (1) mengabaikan
martabat manusia, karena manusia dianggap
semata-mata hanya bagian dari sistem (AC 13); 2) menentang hak-hak kodrati
manusia, yang terlihat jelas di dalam hal penghapusan kepemilikan perorangan,
sehingga mengakibatkan efek negatif terhadap keluarga dan masyarakat, (3)
mengusahakan tercapainya keadaan ideal tetapi tanpa melibatkan Tuhan dan
prinsip-prinsip Kristiani, dan upaya ini terbukti tidak berhasil. Menanggapi
masalah ini, Paus Leo XIII menggaris bawahi ajaran sosial Gereja untuk
mempengaruhi pikiran dan hati manusia agar mau tunduk kepada prinsip-prinsip
Tuhan. Yang pertama dari prinsip ini adalah mempertahakan kepemilikan
perorangan yang selanjutnya harus diikuti dengan penggunaan kepemilikan ini
demi perbaikan/peningkatan perorangan maupun komunitas (RN 15). Prinsip kedua
adalah pentingnya untuk menerapkan prinsip Injil, yaitu keadilan dan kasih.
Pemilik modal dan pekerja harus menerima apa yang menjadi hak mereka; dan
selanjutnya, mereka yang dipercaya banyak harus memberi lebih banyak. Juga,
setiap orang harus mau berkorban demi orang lain, terutama demi mereka yang
miskin. Keberpihakan gereja kepada kaum miskin mengambil dasar dari teladan
Yesus dan perintahnya. Yesus sendiri merangkul kemiskinan dan penderitaan
ketika hidup di dunia, maka kita akan menemukan dia di dalam wajah kaum miskin.
Hanya dengan kedua prinsip ini, yaitu keadilan dan kasih, kita dapat menemukan jalan
untuk memperbaiki masyarakat, sambil menantikan tercapainya masyarakat yang
sempurna, yaitu dalam kerajaan Allah di Surga.
Lamp 3
PB NU : Ada Lima Alasan PKI Tidak
Boleh Ada di Indonesia
Ada lima alasan
komunisme dan Partai Kmunis Indonesia (PKI) tidak boleeh kembali muncul di
Indonesia. Dari segala aspek teologi, ideologi, sosial, politik, dan sejarah
yang diajarkan paham ini sangat bertentangan dengan ajaran Indonesia sebagai
negara demokrasi dan berideologi Pancasila.
Hal tersebut dikatakan oleh,
Sekjen PBNU Abdul Munim DZ dalam diskusi-semnar dan dialog lintas generasi
menyelamatkan generasi muda Indonesia dari bahaya komunisme di gedung juang 45
Selasa (31/5/2016).
Ia mengatakan, dari
segi teologi, komunisme telah melawan prinsip ketuhanan. Hal ini karena
komunisme tidak mengenal adanya Tuhan. Sedangkan di Indonesia, dalam sila
pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu, dari segi
ideologi, komunisme tentu sangat berlainan dengan paham Pancasila. Perbedaan
itu tertanam jelas dari butir Pancasila.
Dari segi sosial, kata
Abdul Munim, komunisme mengajarkan pertentangan kelas. Misalnya pertentangan
antara buruh dan majikan, kaya dan miskin, tuan dan bawahan. Pada hal prinsip
tersebut akan terus mengadu domba antara pihak yang merasa tertindas, sehingga
tidak tercipta suasana yang harmonis
Indonesia tidak
menanamkan prinsip itu, tidak ada pertentangan kelas. Kalau terus
memperdebatkan kelas tidak akan selesai masalahnya dan akan ada terus
ketegangan, ujar Abdul Munim.
Abdul Muniim juga
mengatakan, dari segi politis, komunisme jelas mengajarkan bagaimana melakukan
agitasi dan propaganda kepada lawan politik. Sedangkan hal tersebut tidak
dibenarkan. Pasalnya , Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai kebenaran dan
jujur termasuk dalam berpolitik
Dari nilai sejarah,
pemberontakan yang dilakukan PKI di Indonesia tidak hanya sekali. Menurut dia
pemberontakan PKI dimulai sejak tahun 1926, 1945, 1958, 1950, dan terakhir
tahun 1965.
Peristiwa 1965 dikenal
sebagai pemberontakan PKI yang paling besar karena memakan banyak korban baik
dari para jenderal TNI, masyarakat sipil, hingga anggota PKI
Pemberontakan yang
dilakukan jelas tidak membawa keuntungan dan muslihat yang baik bagi bangsa.
Karena itu PKI tidak boleh ada kembali di Indonesia, kata Abdul Munim.(Kompas,
com)
Medan, 10 September 2017
[1] Baca
tulisan HS Dillon di Kompas, 7 September 2017.....kemiskinan struktural menahun
dan ketimpangan yang lebar merupakan akibat diturutinya Konsensus Washington
yang memaksakan globalisasi, perkembangan teknologi tak terkendali, dan
reformasi pro pasar, merevitalisasi kelembagaan ekstraktif warisan
feodal-kolonial. Sebagai akibat pertumbuhan menyengsarakan (immiserizing
growth), para petani, pelaku UKM, dan anggota koperasi tidak dapat menabung
untuk membentuk modal – bik materi maupun pendidikan berkualitas – yang
dibutuhkan untuk naik kelas menapak keluar dari kemiskinan
[2][2][2]
Pengertian Marhaenisme itu cukup beragam. Kalau diperdebatkan apa itu yang
disebut Marhaenisme, mungkin sampai ke langit ketujuhpun tidak akan selesai
mendefinisikannya. Oleh karena itu saya pilih satu pendapat dari figur yang
sesungguhnya bukan seorang Marhaenis, dan belum lama begitu ramai polemiknya,
yakni Ahok. Menurut beliau Marhaenisme adalah “paham yang menentang penindasan
terhadap rakyat kecil”. Ajaran yang disebut Bung Karno pada pidato pendirian
PNI 1927. Sementara itu Bupati Purwakarta, yang menjabat Ketua Golkar Jawa
Barat dalam Musda 14 September 2016 ngomong begini;....meski saya ketua Golkar Jawa Barat, saya ini adalah seorang Marhaenisme.
Saya menjalankannya langsung dalam pola aplikatif, baik sebagai ketua Golkar
maupun sebagai Bupati Purwajarta. Sedangkan definisi yang lebih seksama
saya kutif dari hasil kongres GMNI tahun 1959 di Kaliurang. Pada kongres ini
Bung Karno mengatakan Marhaen adalah (1) asas yang menghendaki susunan
masyarakat yang dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen, (2) Marhaen
adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada
umumnya, (3) marhaen adalah asas dan cara perjuangan menuju hilangnya
“KAPITALISME, IMPERIALISME, DAN KOLONIALISME” . Sedangkan Partindo
merumuskannya sebagai berikut; (1)sosio nasionalisme dan sosio demokrasi, (2)
yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum
melarat Indonesia yang lain, (3) pakai kata marhaen, bukan proletar, sebab
proletar sudah termaktub dalam marhaen, (4) adalah azas yang menghendaki
susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan
marhaen, (5) adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan
susunan negeri yang demikian itu, yang karenanya harus perjuangan revolusioner,
(6) oleh karena itu marhaen adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki
hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme, (7) marhaenis adalah
tiap-tiap orang bangsa indonesia yang menyelamatkan maarhaen.
[3][3]
Arti, sejarah, dan prinsip-prinsip kapitalisme tidak lagi diuraikan karena
dianggap sudah diberikan di PPAB, melainkan ke dosa-dosanya sebagai ditulis J.
Verkuyl; (1) dimana-mana kapitalisme-liberalistis berkuasa, disana ada bahaya,
bahwa u a n g menjadi ukuran untuk segala-galanya, (2) pemusatan kekuasaan
dalam tangan beberapa orang saja, yaitu para pemimpin industri besar, yang
mengakibatkan timbulnya persaingan, (3) cenderung mementingkan untung
orang-orang yang berkuasa di lapangan ekonomi lebih daripada mencukupi kebutuhan
dan permintaan masyarakat awam, (4) tidak menjadi soal apa yang diproduksikan,
yang penting dapat untung, (5) anonimiteit, (6) pencemaran kerja, upah dianggap
sebagai faktor ongkos-ongkos saja dalam anggaran belanja, (7) sistem itu selalu
disertai kegoncangan dan krisis, yang sebentar menimbulkan pengangguran yang
sangat luas dengan segala akibat-akibatnya,
[4] Khusus
tentang Komunisme ini akan saya sertakan artikel yang ditulis dalam www.katolisitas.org. Tidak berarti saya
menyetujuinya, namun untuk memudahkan pembahasan bagi peserta KTD.
Menurut ku masyarakat Tanpa kelas ini sebuah cita cita yang memang harus tercapai dimana tidak akan ada tendensi lagi akan suatu kelas. Dan jika kita lihat Komunisme bukan berarti tidak percaya Tuhan. Toh karl Marx pun pernah bilang Agama adalah Opium maksud Karl Marx disini adalah manusia jangan terlalu berserah diri terhadap Tuhan tanpa ada usaha tanpa ada mau melakukan perubahan. Dan aku kritisi tentang memang bagaimana determinasi bangsa ini akan gotong royong. Karena menurut ku bentuk gotong royong ini sudah tertanam tidak perlu secara sukarela karena memang gotong royong ini pasti sudah suka rela. Tiktok kelas ini memang tidak kan terhindar tapi apakah kita tidak mau bagaiama masyarakat tanpa kelas? Bukan kah marhaenisme ini menghilangkan penghisapan manusia atas manusia lain?
BalasHapusTerimah kasih sudah menjelaskan mengenai 4 kutub ideologi versi GMNI
BalasHapus