Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP
UNTAG Jakarta
Published Harian
Terbit, 5 Juli 1993
Pada tanggal 1 Januari 1993 lalu resmilah Pasar Tunggal Eropa
(PTE) dilaksanakan. Banyak pihak, kalangan dan atau khususnya para
pejabat-pejabat tinggi suatu negara melakukan antisipasi sejauh mana orientasi,
kegunaan atau dampak dari PTE tersebut. berbagai pendapat sudah mencuat
kepermukaan diskusi-diskusi. Baik itu yang dilakukan ditempat-tempat
terbatas/tertutup, hingga yang umum, seperti di media-media atau pers.
Ada yang optimis, ada yang pesimis dan ada juga yang “wait
and see” (menunggu) dengan PTE tersebut. yang optimis berpendapat bahwa pasar
itu merupakan lahan yang besar untuk memasok barang-barang ekspor. 328 juta
manusia menjadi konsumen yang menggerakkan memasarkan produk-produk atau
komoditi-komoditi yang lain. Kalangan yang berpendapat seperti ini boleh
dikatakan tidak banyak (umumnya para Eurocrat yang berpusat di Brussles)
Sebaliknya kelompok yang pesimis (kalau boleh disebut
demikian) dimana jumlahnya sangat banyak memprediksikan bahwa PTE merupakan
“benteng Eropa” (fortress Europe).
Mereka melihat organisasi tersebut merupakan proyek ambisius yang cenderung
proteksionis terhadap kepentingan diri sendiri dan bercirikan sebagai satu blok
perdagangan yang tertutup (referensi utama di Amerika Serikat dan Jepang)
Tulisan ini tidak akan mengulas konteks tersebut lebih jauh,
sebab terlalu luas. Di sisi lain PTE ini masih mengalami hambatan internal dari
dua negara yaitu Denmark dan Inggeris. Oleh karena itu penulis hanya mengulas
secara sederhana dampaknya bagi ASEAN dan atau khususnya terhadap Indonesia
Pengertian dan historis PTE
Secara teoritis PTE merupakan suatu pasar di mana tidak
dikenal adanya pembatasan negara-negara anggota, sehingga barang-barang, jasa
dan buruh dapat bergerak dengan bebas melintasi tapal batas tanpa adanya
hambatan teknis fiscal dan fisik (Badan Pengembangan Ekspor Nasional Departemen
Perdagangan, makalah hal 27)
Dalam bahasa/uraian singkat Ikrar Nusa Bakti yang mengutip
buku putih Komisi Eropa yang berjudul “Completing
the internal market” melihat penciptaan PTE mencakup penghapusan terhadap
tiga rangkaian hambatan yaitu hambatan-hambatan fisik, teknis dan fiscal.
Rintangan-rintangan fisik yang dimaksud adalah pos pabean, pengawasan imigrasi,
paspor dan pemeriksaan terhadap barang-barang bawaan pribadi. Sedangkan
rintangan teknis adalah hambatan-hambatan yang disebabkan oleh sistim pengenaan
pajak, antara lain pajak pertambahan nilai (value
added tax) dan pengenaan pajak (excise)
tak langsung maupun langsung.
Ide ini sesungguhnya telah dicetuskan 35 tahun yang lalu,
yakni melalui apa yang di kenal dengan “Perjanjian Roma”. Masyarakat Ekonomi
Eropa, ditandatangani di Roma pada tahun 1957 dan sudah mencakup
sasaran-sasaran pembentukan suatu pasar bersama dan penyatuan berangsur-angsur
dari kebijaksanaan ekonomi dan moneter negara-negara anggotanya. Sudah pada
waktu itu para pendiri menentukan apa yang disebut ke empat kebebasan Eropa ; lalu
lintas barang-barang, jasa, manusia dan modal.
Persetujuan Roma memang sejak semula jelas-jelas bertujuan
untuk membangun suatu pasar tunggal yang terintegrasi, yang bebas dari
rintangan-rintangan yang menghambat lalu lintas barang, orang, jasa, dan modal
yang bebas, melembagakan suatu sistem yang menjamin bahwa persaingan dalam
pasar bersama tidak terkacaukan, mengharmonisasi produk-produk hukum yang
diperlukan untuk berfungsinya pasar bersama dengan baik, serta mengharmonisasi
sistem perpajakan tidak langsung bagi kepentingan pasar bersama.
Uni pabean dari produk-produk industri hanya merupakan
langkah pertama dalam perjalanan ini, suatu langkah yang diselesaikan dengan
cepat, delapan belas bulan lebih awal dari tanggal yang ditentukan (Perjanjian
Roma menentukan 31 Desember 1969)
Sesudah tercapainya uni pabean itu, momentum Masyarakat Eropa
pupus. Hampir tidak ada gerak ke arah perwujudan pasar bersama itu lagi. Dalam
segemen pasar tertentu itu tidak ada tanda-tanda perdagangan intra Eropa sama
sekali. Liberalisasi pasar keuntungan terhenti sudah pada permulaan tahun
1960-an dan sektor jasa sebagian besar dikecualikan dari usaha-usaha integrasi.
Akhirnya pasar pertanian bersama hanya berfungsi dengan dukungan harga-harga
administratif atau subsidi dan lain-lain intervensi yang besar dan mahal.
Penjelasan kehilangan momentum itu terletak di krisis
internasional di tahun-tahun 1970-an, dikurangi kepercayaan pada kemampuan
sendiri, kurangnya pandangan yang jauh ke depan, serta pada perluasan Eropa -6
(Benelux, Italia, Jerman, dan Perancis) menjadi Eropa -9 (tambah Spanyol dan
Yunani) yang tidak terserapkan dalam usaha integrasi pasar itu (Cat: untuk
lebih rinci dapat dibaca pada tulisan CPF Luhulima yang berjudul “Eropa 1992
Sebagai Model Integrasi Ekonomi, PAUIS-UI, 1992)
ASEAN dan Indonesia
Dari sekilas uraian-uraian di depan dapat kita sumsikan bahwa
motivasi pembentukan Pasar Tunggal Eropa dilandasi oleh “Politik dan Ekonomi”.
Oleh karena itu (disamping masih baru terbentuk) masih sulit memperkirakan arah
orientasi dan realisasi PTE tersebut secara tepat. Setelah terbentuk Pasar
Tunggal, terdapat kemungkinan bahwa masyarakat Eropa akan lebih bersikap
introvert, atau lebih mementingkan hubungan ke dalam. Sekalipun secara resmi,
telah dinyatakan bahwa masyarakat Eropa tidak akan menjadi “fortress Europe”,
namun masih perlu di uji kebenarannya terutama apabila terjadi resesi ekonomi
(Paian Nainggolan, Indonesia dan pembentukan PTE- PAUIS UI, 1992)
Menurut Ikra Nusa Bakti Asean amat kawatir jika PTE ini
mengakibatkan perang dagang antara negara-negara besar, seperti antara
Masyarakat Eropa (ME) dan Jepang serta antara ME dan AS. Jika hal itu
berlangsung terus menerus, maka akan
menimbulkan dampak negatif kepada negara-negara Asean, karena bagaimanapun
Ekonomi Asean amat tergantung kepada ketiga kekuatan ekonomi dan politik
tersebut.
Asean juga amat kawatir dengan perkembangan di Eropa Timur
pasca perang dingin ini. wilayah tersebut secara geografis dekat dengan ME dan
fasilitas industri serta sumber daya manusianya juga tersedia. Dari segi
kedekatan fisik, sosial dan ekonomi ini, tentunya ME akan lebih memperhatikan
negara-negara Eropa Timur ketimbang Asean. Ini berarti arus barang, jasa dan
modal antara ME – Asean juga akan terkena dampak negatifnya
Kekawatiran lainnya, jika kuota impor, MEA, anti dumping,
persyaratan negara asal dan standar industri amat ketat dijalankan, maka ekspor
ASEAN ke ME juga akan terkena. Asean juga tampaknya menjadi tempat ajang
pertarungan ekonomi dan perdagangan antara ME dan Jepang. Investasi Jepang dan
ME di Asean tidak jarang terkait dengan upaya kedua kekuatan tersebut untuk
bisa memasuki pasaran satu dengan lainnya
Hal penting lainnya, ME saat ini mengaitkan masalah-masalah
lingkungan hidup dan hak-hak asasi manusia dengan kerjasama ekonomi ME-Asean.
Hal ini tentunya akan berdampak negatif pula bagi hubungan perdagangan dan
investasi antara kedua organisasi regional tersebut.
Khususnya bagi Indonesia realisasi PTE ini akan mempunyai
dampak terhadap ekspor. Jika di dalam pelaksnaannya nanti PTE akan mengarah ke inward looking, maka akan memberikan
dampak yang negatif bagi perekonomian Indonesia, khususnya bagi ekspor non
migas. Mudah-mudahan tidak seperti itu.
Kalau kita mengikuti analisis-analis para pakar di Global Research, ME sebenarnya adalah alat kelompok-kelompok elit global, non-pemerintah, untuk menguasai Eropa. Kasus Yunani sudah menunjukkan, betapa kelompok elit pengendali ME berhasil menundukkan Yunani sebagai negara dan memprivatisasi kekayaan negara itu dan melelangnya ke pihak swasta untuk dikuasai hingga 90 tahun. ME tidak didirikan untuk kepentingan rakyat banyak di Eropa, tetapi untuk kekuasaan para elit transnasional. Silahkan dibaca di Global Research, Lae..
BalasHapus