Rabu, 21 Juni 2017

TANTANGAN DAN PELUANG TERKINI, MARHAENISME DAN PANCASILA SEBAGAI WARISAN BUNG KARNO




TANTANGAN DAN PELUANG TERKINI, MARHAENISME DAN PANCASILA
SEBAGAI WARISAN BUNG KARNO
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIPOL UDA, Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI
Disampaikan pada peringatan Haul Bung Karno ke 47, GMNI Kota Medan
 pada tanggal 21 Juni 2017 di Jl Kejaksaan no 6 Medan

Prolog

Judul diksusi haul Bung Karno ini diberikan Samuel JA. Hutagaol kepada saya beberapa waktu lalu. Beliau menanyakan apa sudah klop judul tsb. Saya jawab...sudah.....tinggal mau sedalam apa kira-kira analisis/pembahasannya....atau mungkin mau dilihat dari persfektif mana...etc-etc.
Selanjutnya Samuel menimpali....maunya dibedah terutama soal kondisi kebangsaan akhir-akhir ini, dimana kaum-kaum garis keras katakanlah ekstrimis kanan semakin solid sementara kita kaum marhaenis masih terpecah-pecah dalam berjuang.....
Saya jawab....tidak ada yang baru....dulupun sudah begitu....sejarah kembali berulang....buka lembaran-lembaran yang dulu...sudah terjadi itu semua. Kacaunya kotak pandora itu dilesatkan akhir-akhir ini. Gampang itu kita tutup lagi[1].
Samuel kembali menanggapi..itu yang salah satunya perlu dibahas juga, bagaimana caranya? Sekaligus penekanan kepada adik-adik komisariat supaya lebih progres dalam menyebar paham Marhaenisme dan Pancasila...Berarti abang yang buat TORnya, nanti kalau sudah siap kirim aja ke aku biar kita print.
Saya jawab.....Hipotesis saya anak-anak GMNI sekarang sudah jumbo pragmatis[2]...malas membaca...ogah diskusi serius...dulu Gie ngejek  “...buku, pesta, dan cinta”. Mengagumi Bung Karno tapi tidak memaknainya[3]....
Dijawab Samuel....Keren itu bang, memang itulah realitanya yang terjadi saat ini.
Saya jawab....Masih ada waktu....perlu persamaan persepsi....minimal hal-hal yang elemeter...biar dikusi tidak bias. Tidak sekedar seremoni-seremonian sebagaimana yang empirik selama ini.

Pengulangan sejarah
Sebagai ilmuwan/akademisi/cendekiawan/intelektual.....kaum-kaum terpelajar lazimnya jika membahas suatu/berbagai masalah selalu memakai pendekatan, persfektif, konsep, atau teori tertentu. Sayapun mencoba mendekatai persoalan ini dari persfektif sejarah.
Sebagaimana kalangan sejarawan biasanya akan ngomong bahwa tak ada yang baru di dunia ini. Semua yang fenomenologis itu sudah pernah terjadi pada era-era sebelumnya.... atau seperti kata sebuah adagium terkenal  “tidak ada yang baru di bawah matahari”
Masalah kalangan kanan, atau vulgarnya ekstrim kanan yang disinggung Samuel JA Hutagaol tersebut bukan cerita baru dalam kancah socio-politik-cultural kita. Mari kita buka lembaran sejarah negeri ini, khususnya pada waktu pembentukan dasar negara. Pada waktu itu sangat kuat keinginan satu kalangan untuk membuat dasar negara ini atas aqidah agama tertentu.
 Namun sebagaimana faktanya telah sama-sama kita buktikan bahwa pada tanggal 1 Juni 1945, yakni pada rapat BPUPKI, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsju Zyumbi Tjoosakai), Bung Karno dengan argumentasi yang sangat rasional, brilian, dan memukau berhasil mematahkan ide “negara teokrasi” itu, dan semua peserta sidang menerima dengan bulat ide yang ditawarkannya, yakni Pancasila sebagai dasar negara.
Supaya lebih jelas, objectif, dan tidak katanya-katanya kita kutip sebagian pidato Bung Karno yang monumental itu ;....
Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya; Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada saatu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama Kaum Kebangsaan yang disini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918...ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan. Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia. Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Saudara-saudara Islam lain, maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan ini”! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara, janganlah Saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat (Negara nasional, dalam bahasa Belanda-ed), seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu Kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia[4]
Apakah karena merasa tidak tepat/tertipu, tidak puas, atau ada faktor-faktor lain, beberapa waktu kemudian, seperti pada tanggal 22 Juni 1945, muncul lagi ide itu. Kalangan kanan ingin membuat sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan tambahan 7 kata. Namun sebagaimana realitanya ide itu pun kandas. Pada tanggal 18 Agustus 1945, yakni waktu menetapkan UUD 1945, 7 kata tambahan itu di anulir.
Dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1956-1959 keinginan sektarian tersebut kembali mengemuka. Kalangan-kalangan yang sebelumnya memperjuangkannya dalam sidang BPUPKI plus, tetap ingin agar dasar negara ini adalah agama. Namun sebagaimana kenyataannya, kita sama-sama mengetahui akhirnya sidang itu dead lock, dan Bung Karno memutuskan “Dekrit” pada tanggal 5 Juli 1959”, yakni kembali ke UUD 1945. Artinya tetap mempertahankan Pancasila.
Ketika Bung Karno dijatuhkan dari singgasana kekuasaan medio 60-an oleh rezim Soeharto/Orde Baru, keinginan membentuk atau kembali ke negara agama/teokrasi tetap hidup, namun tidak muncul kepermukaan. Rezim Soeharto nan otoriter lepas dari plus minusnya berhasil meredam vested interest tersebut.
Akan tetapi pasca terjerembabnya Soeharto, yakni dengan tampilnya era reformasi, keinginan primordial/sektarian/sempit itu sempat/kembali mencuat kepermukaan. Beberapa pihak, khususnya partai-partai Islam pada waktu pembahasan amandemen UUD 1945 (sejak tahun 1999-2002) kembali mengumandangkan ide sektarian tersebut.
 Dalam rapat-rapat di DPR pihak-pihak tersebut sebagaimana yang pernah berlangsung pada rapat-rapat BPUPKI, Sidang Konstituante dahulu, terus berupaya agar tujuh kata keramat itu dimasukkan kedalam Sila pertama.
 Namun sebagaimana fakta-empiriknya, via musyawarah-mufakat nan hikmatis, yang menjadi ciri khas, atau senjata ampuh/pamungkas demokrasi negeri ini, ide teokrasi itu kembali mental. Mayoritas anggota DPR RI yang terlibat dalam amandemen tidak menyetujui penambahan tujuh kata dibelakang sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
 Amandemen dengan gemilang pada akhirnya tidak merubah sama sekali satu titik, atau koma dalam  bidang agama (Prof Dr Denny Indrayana, Kompas 22 Mei 2017). 

Beberapa Pandangan
Yang menarik dari konstatasi demikian adalah setiap ada kesempatan tertentu, ide teokrasi tersebut selalu muncul meski  selalu di tolak dan dianggap sudah tidak relevan. Termasuk saat-saat ini. Mengapa terjadi seperti itu?. Kelihatan atau kecenderungannya (hipotesis saya) ada yang belum tuntas dalam masalah dasar negara ini. Inilah mungkin yang perlu kita diskusikan dalam acara haul ini.
Akan tetapi sebelum sampai kepada masalah yang sensitif[5] itu, baiklah kita pinjam pendapat beberapa tokoh/intelektual menanggapi kejadian-kejadian akhir-akhir ini, seperti Syamsuddin Haris, Denny Indrayana, Indra Tranggono, Syafii Maarif, Franz Magnis Suseno untuk mengawali pembahasannya.
Menurut Syamsuddin Haris (kompas, 12 Juni 2017), problematik primordialisme itu muncul karena tiga faktor. Pertama, ambivalensi negara dalam menyikapi bangkitnya gerakan-gerakan radikal agama, dan tumbuhnya berbagai “aliran sempalan agama”, sehingga yang tampak secara publik adalah tak adanya konsistensi negara dalam penegakan hukum. Terkait maraknya aliran agama misalnya, di satu pihak negara diamanatkan konstitusi melindungi hak dan kebebasan setiap warga negara, termasuk kebebasan beragama dan menganut kepercayaan. Namun di pihak lain negara dan institusi representasi negara, seperti “pemda, kodim, polres, koramil, dan seterusnya”, cenderung membiarkan dan bahkan acapkali memfasilitasi penindasan dan represi suatu kelompok masyarakat atas kelompok lain (kasus Ahmadiyah dan jemaah Syiah).
Kedua, kegagalan pemerintah-pemerintah sejak Indonesia merdeka mengelola keindonesiaan yang berbasiskan keragaman. Hampir tidak ada keseriusan memperkuat fondasi kebangsaan. Bhinneka Tunggal Ika berhenti sebagai semboyan belaka. Selama lebih dari 70 tahun merdeka tak pernah ada upaya serius bagaimana keberagaman secara agama, ras, etnik, dan daerah dikonversi, dikelola, dan dikapitalisasi sebagai aset dalam mewujudkan Indonesia yang kokoh, adil, makmur, dan sejahtera (terlalu condong hanya ke pertumbuhan ekonomi)
Ketiga, meskipun era reformasi telah berlangsung hampir dua dekade, sulit dimungkiri bahwa bangsa kita hingga hari ini tidak pernah bisa benar-benar hijrah dan menarik garis batas yang jelas dari rezim otoriter Orde Baru. Cara pandang Orde Baru yang cenderung melembagakan suasana saling tak percaya diantara berbagai elemen bangsa terus direproduksi dan dipelihara, bukan oleh negara, melainkan oleh “para operator profesional yang berskongkol dengan para “pebisnis hitam, politisi busuk, dan para radikalis agama”. Hal ini tampak dari dari upaya mempertentangkan pribumi dan non pribumi, peruncingan sentimen berbasis SARA, khususnya antara yang Muslim dan kafir, begitupun penciptaan fobia terhadap bahaya kebangkitan PKI dan komunisme, yang semuanya adalah replika otentik dari politik rezim Soeharto
Berbeda dengan Syamsudin Haris, Denny Indrayana mengutarakan bahwa godaan terbesar dibukanya kembali kotak pandora itu adalah “perebutan kekuasaan dan kontestasi pemilu” yang memainkan issu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) bukan hanya kehadapan pemilih, melainkan ke seluruh insan Indonesia. Artinya inti persoalan adalah “kemaruk berkuasa”, tidak dalam rangka mengubah dasar negara. Kontestasinya dapat kita lihat pada pemilu 2014 yang memunculkan Jokowi turunan Tionghoa, dan dilanjutkan dengan membahana pada pilkada Gubernur DKI Jaya 2017 yang lalu. Selain issu etnis, juga dilesatkan issu agama, dan gaya bertutur Ahok yang kasar dan temperamental (Kompas, 22 Mei 2017)[6]
Di sisi lain, Indra Tranggono berpendapat bahwa kenyataan demikian tidak lepas dari penguatan liberalisme yang membonceng dan bertopeng demokrasi. Liberalisme memberikan peluang kepada setiap individu dan kelompok untuk mendapatkan serta menggunakan kebebasan tanpa batas (Kompas, 8 April 2017)[7].
 Syafii Maarif, pemikir-cendekiawan-tokoh Islam moderat menengarai terjadinya hal-hal yang tidak Pancasilais akhir-akhir ini adalah akibat tidak terwujudnya sila ke lima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, meski sudah 72 tahun merdeka. Menurut Syafii Maarif disItu sentral masalahnya, termasuk merebaknya radikalisme dan terorisme adalah akibat kesenjangan sosial/ekonomi yang semakin hari semakin jomplang (Kompas, 8 Juni 2017)
Sinyalemen demikian dapat di lihat dari laporan OXFAM dan INFID pada tanggal 23 February 2017 yang lalu. Kedua lembaga ini mensitir betapa kesenjangan (gap) antara segelintir orang terkaya dan mayoritas penduduk masih lebar. Tercatat bagaimana kekayaan empat orang terkaya setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Dalam angka lain survey Credit Suisse, Januari 2017 menemukan bahwa 1% (satu persen) orang terkaya Indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional. Mirisnya lagi adalah bahwa kelompok milyarder ini meraup 2/3 kekayaannya adalah dari bisnis di sektor kroni, yang dimungkinkan kedekatannya dengan kekuasaan.
Argumen lain namun tetap berhubungan dengan dalih di atas dikemukakan Franz Magnis Suseno. Magnis melihat mengapa masalah-masalah primordial-radikal-intoleran yang tak jarang berujung pemaksaan itu muncul karena tiga hal, yakni pertama, pengamalan Pancasila yang tidak utuh atau hanya berdasarkan salah satu sila[8], kedua, kehadiran ideologi asing yang eksklusif untuk menonjolkan etnis atau agama tertentu, ketiga, kelompok minoritas yang terpinggirkan (Kompas, 8 Juni 2017).

Ideologi Asing/Khilafah
Dari tiga dalih Magnis, yang paling penting kita telaah mendalam adalah dalih kedua, yakni kehadiran ideologi asing yang eksklusif, khususnya ideologi yang berbau agama. Meski saya tidak mendalami lebih detil apa yang dimaksud dengan ideologi-ideologi tersebut, penulis yakin bahwa yang dimaksud dengan ideologi-ideologi asing tersebut adalah apa yang populer saat ini dengan sebutan , (antara lain), ajaran Ikwanul Muslimin (IM) yang konon katanya menjadi ideologi salah satu partai politik di negeri ini, aliran ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah), dan atau khususnya “Khilafah”, yang kecondongannya ingin mengganti sistim, bentuk, dan tata pemerintahan atau  dasar negara Pancasila
Luar biasa, fantastik/hebat, bagaimana ideologi yang datang dari luar, yang ingin merubah dasar negara Pancasila bisa hidup subur di negeri ini. Aneh bin ajaib....kok bisa. Anehnya lagi justru besar dan berkembang biaknya di kampus-kampus. Bagaimana ajaran Abdul Qadim Zallum dalam bukunya “Manhaj Hizb at-Tahr Ir Fi TaghyIr[9] yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistim kafir yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Islam, dan oleh karena itu, haram bagi ummat Islam untuk mengadopsi dan menerapkan, bahkan sekedar mempropagandakan, bisa berkembang di kampus-kampus dan masyarakat pada umumnya sungguh suatu yang tak mustahak dan tak lazim (un common)  kok bisa.... .....tapi itulah faktanya[10].
Dalam kerangka demikianlah yakni membiasnya fenomena kampus dari fungsi dan tujuan mulianya, urgen kita renungkan tulisan Prof Dr Sulistowati Irianto yang berjudul “Matinya Universitas” (Kompas, 23 Mei 2017). Beliau galau melihat bagaimana gerakan politik praktis sektarian marak di kampus-kampus sungguh ahistoris dan anomali yang patut dipersoalkan karena menodai marwah universitas dan meresahkan masyarakat luas.
Universitas sebagaimana hakikinya adalah pelembaga atau penginternalisasi dasar negara, yakni menjadikan Pancasila sebagai prinsip tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, dan merujuk konstitusi sebagai pedoman utama berperilaku. Tidak seperti yang terjadi/booming saat ini di kampus-kampus, yaitu seakan-akan universitas (atau memang demikian) melakukan pembiaran terhadap adanya ikhtiar merongrong dasar negara, yakni dengan membiarkan gerakan-gerakan sektarian-radikal yang tidak sesuai dengan Pancasila menjamur di kampus.
Kongkrit atau singkatnya ada tekanan mengganti sistim Pancasila dengan sistim Khilafah. Para pendukung Khilafah berkampanye bahwa sistim negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan (lihat keterangan Syafii Maarif di atas). Oleh karena itu maka sistim negara Pancasila harus diganti dengan sistim Khilafah..........apa yang salah dengan Pancasila kok muncul ide menggantinya? Tidakkah itu sudah konsensus luhur bangsa ini? jika kesejahteraan dan keadilan yang tidak terwujud tidakkah itu masalah implementasi saja?
Konteks demikianlah yang saya sinyalir sebagai masalah sensitif, yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai kotak pandora. Dan karena saya bertepatan bukan beragama Islam, maka pembahasan/analisis yang saya kemukakan adalah mengikuti pendapat tokoh-tokoh Islam yang kredibel. Pertama-tama akan saya kutip pendapat Abdurrahman Wahid, Moh Mahfud MD, A Helmy Faishal Zaini dan lain-lain.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meski tidak langsung mengutip Bung Karno, namun dari/melihat dalih yang ia kemukakan adalah sama dengan argumen yang dikemukakan Bung Karno pada pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 dan kesempatan-kesempatan lain. Gus Dur mengutarakan bahwa nasionalisme yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk final dan konsensus nasional (muahadah wathoniyah) bangunan kebangsaan kita bukanlah merupakan sikap oportunisme politik. Sikap itu terlahir dari kesadaran sejati yang diaraskan pada realitas historis, budaya, tradisi bangsa, dan ajaran agama yang kita yakini (dalam A Helmy Faishal Zaini, Kompas, 2 Juni 2017)[11]
Jelas dan terang  bahwa hubungan agama dan negara dalam Pancasila sudah tidak ada masalah sejak lama. Tidak hanya Gus Dur, tokoh-tokoh Islam yang lain pun menyatakan hal yang sama. Sistim negara pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan keberagaman dari bangsa Indonesia (Moh Mahfud MD,26 Mei 2017)
Sedangkan tentang konsep Khilafah yang marak ditiup-tiupkan akhir-akhir ini, Moh Mahfud MD dengan tegas menolak. Adapun alasannya adalah bahwa di dalam Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW tidak ada ajaran sistim politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak di atur dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tempat dan zaman.
Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku.
Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai mietsaagon ghaliedzag atau kesepakatan luhur bangsa (idem Moh Mahfud MD)
Disisi lain perlu juga diketahui bahwa di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya juga berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik) dan sebagainya. Artinya di kalangan Muslimin sendiri implementasi sistem pemerintahan itu berbeda-beda sudahlah bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma sukuti (persetujuan tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar i (maqaashid al sya iy) (idem Moh Mahfud MD)
Jelas sudah. Meski hanya mengutif dua pakar, tokoh, cendekiawan Islam terkemuka, sistim khilafah tidak punya tempat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang majemuk (Bhinneka Tunggal Ika), dan didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Itu sudah final, mengutak-atik masalah itu tak lain tak bukan hanyalah kemunduran. Pertanyaan kemudian adalah kita, yakni kalangan nasionalis-marhaenis dan atau khususnya GMNI mau kemana?

Tantangan, Peluang, dan Post Truth Politics
Samuel JA Hutagaol dalam prolog di atas menyatakan bahwa kaum garis keras, ekstrimis kanan semakin solid, sementara kita kaum Marhaenis masih terpecah-pecah dalam berjuang. Saya pertanyakan kepada forum ini:...kapan kita berjuang? Apa memang kita pernah berjuang? Memperjuangkan apa? Dugaan (hipotesis) saya kita tidak pernah berjuang.
Jika kita berjuang sebagaimana ajaran yang kita anut, mungkin sudah sejahtera dan adil negeri ini. Kita ,( walau saya sangsi siapa yang disebut dengan kita itu) menurut hemat saya maksimal hanya sebagai pengagum dan penikmat Bung Karno dengan Marhaenismenya. Semacam follower.....pengikut-pengikut atau penggembira kecenderungannya tidak kurang tidak lebih kayaknya hanya sampai sebatas itu.
Sebagai fakta Lihat kronologis perjalanan sejarah negeri ini dengan seksama, yakni ketika Bung Karno berjuang, khususnya ketika ia dapat tekanan, kelompok atau kalangan mana yang lebih banyak mendukung atau pasang badan ? kalangan Nasionalis-Marhaeniskah? Kayaknya bukan. Ingat kejadian-kejadian sekitar medio 60-an siapa yang paling setia mendukung Bung Karno?
Begitu pula ketika orang nomor satu negeri ini sekarang adalah seorang Marhaenis apa yang kita buat mendukungnya? Hanya grusa-grusu, lobby sana-lobby sini supaya dapat posisi dan ternyata tidak ada yang dipakai dalam kabinet dan peran-peran strategis yang lain? Dan terkhir kepada “pejuang pemikir-pemkir pejuang” yang hadir dalam perayaan haul Bung Karno ke 47 ini masihkah tetap pada khittahnya?
 Masih banyak sesungguhnya ilustrasi-ilustrasi yang saya pertanyakan, betapa kita sesungguhnya tidak berbuat apa-apa sementara kelompok lain sudah berjalan bak jet membelah langit. Dan ini pula kegamangan saya di era post truth[12] yang fenomenal dewasa ini. Merdeka

R e f e r e n s i
Reinhard Hutapea, dalam Waspada, 31 Mei 2017, Nilai-Nilai Pancasila Semakin Ditinggalkan?
Radhar Panca Dahana, dalam Kompas 29 Mei 2017, Gerakan Elite
Moh Mahfud MD, dalam Kompas 26 Mei 2017, Menolak Ide Khilafah
Ignas Kleden, dalam Kompas 30 Mei 2017, Agama dan Negara
Yudi Latif, dalam Kompas, 31 Mei 2017, Memantapkan Pancasila
Julian Aldrin Pasha, dalam Kompas 22 Mei 2017, Bersama Dalam Kemajemukan
Denny Indrayana, dalam Kompas, 22 Mei 2017, Ahok, Pemilu, dan Kotak Pandora
Yonky Karman, dalam Kompas, 22 Mei 2017, Nasionalisme Kebangsaan
A Helmy Faishal Zaiini, dalam Kompas 2 Juni 2017, Negara Pancasila dan Khilafah
Agnes Theodora&Susi Ivvaty, Kompas, 8 Juni 2017, Simpang jalan gerakan mahasiswa
J Kristiadi, dalam Kompas, 6 Juni 2017, Negara (Pura-pura) Pancasila
Yonky Karman, dalam Kompas, 10 Juni 2017, Fundamentalisme Pancasila
Syamsuddin Haris, dalam Kompas, 12 Juni 2017, Mengapa Politik Keruh


[1] Meminjam Julian Aldrin Pasha.....Sejarah mencatat, tantangan berupa penolakan terhadap kemajemukan, kebersamaan, dan separatisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah ada sejak kita merdeka. Indonesia-a posteriori, telah teruji karena memiliki sikap toleran yang terpatri dalam setiap pola pikir (mindset) individu sebagai kearifan lokal (local wisdom), bukan akibat indoktrinasi dari rezim pemerintah (Kompas, 22 Mei 2017)
[2] Diamini Agnes Theodora/Susi Ivvaty......pekik semangat gerakan mahasiswa belakangan ini sudah meredup, tertutup apatisme dan pragmatisme. Pada hal, di tengah peliknya tantangan kehidupan bersama sebagai bangsa pada hari ini, idealisme kaum muda amat dibutuhkan (Kompas, 8 Juni 2017)
[3] Mereka kagum dengan Bung Karno, mereka paham bahwa Bung Karno adalah aktor sejarah dunia, dan secara general mereka pun paham idiom-idiom Bung Karno. Namun hanya sebatas itu....sebatas itu saja. Bagaimana proses, sepak terjang, dinamika, dialektika, dan romantika pemimpin besar revolusi tersebut berproses kalangan muda ini tidak mendalami, apalagi menghayatinya.
[4] Untuk memperkuat argumennya Bung Karno mengutip Ernest Renan dengan konsep kehendk bersatu, Otto Bauer dengan konsep kesatuan perangai, yang disempurnakan dengan teori geo politik. Silahkan baca lebih lanjut pidato tersebut.
[5] Masalah sensitif ini adalah hubungan antara agama dan negara. Masyarakat  masih banyak yang bingung  menghadapi hierokrasi dan demokrasi, kehendak Tuhan dan kehendak rakyat, vox Dei dan vox populi (Ignas Kleden, Kompas, 30 Mei 2017)
[6] Lebih gamblang dikemukakan J Kristiadi. Beliau menyatakan....penyebabnya multi kausa, tetapi penyebab utama semakin lama semakin kasat mata; para penguasa meskipun mulutnya berbuasa-busa mengamalkan Pancasila, tetapi ternyata sebatas bersimulakra. Mengolah, mengonstruksi, serta memanipulasi kata-kata sekedar untuk bersiasat mereguk, memelihara, dan mengumbar nafsu kuasa. Perilaku tercela dilakukan dengan sadar, sengaja, saksama, dan terencana, serta sistematika yang sempurna. Ringkasnya, negara pura-pura ber-Pancasila (Kompas, 6 Juni 2017)
[7][7] ....ketika roh liberalisme memasuki tubuh dan memberikan sifat pada demokrasi, demokrasi pun menjadi bebas se bebas-bebasnya....ketika merasuki ekonomi, ekonomi yang berlangsung cenderung ganas, dan bersemangat pertarungan, alias kompetisi anti keailan. Yang unggul hanya gerombolan pemilik modal besar, yang tidak memiliki perasaan/empathy terhadap kaum melarat.....ketika merasuki domain politik, yang tampil dan mendominasi adalah politik yang menyembah berhala-berhala kebebasan tanpa etika, dan kepentingan yang jauh dari tujuan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Kue kesejahteraan dibagai hanya untuk komplotan elite (Idem Indra Tranggono)
[8][8] Lihat footnotes no 4, yakni tanggapan J Kristiadi....bagaimana bisa utuh wong tak pernah diamalkan. Kapan pernah diamalkan? Omong kosong pengamalan, yang dipraksiskan sejak lama hanyalah   kepura-puraan..hanya bersimulakra. Mulutnya berbusa-busa ....euphemism....verbalism....retorika tentang keagungan Pancasila, namun aneh bin ajaib wujud yang tampil kemudian hanyalah kemaruk kekuasaan. Mabok/euforia kekuasaan...mirip kehidupan primitif/kuno. Hidup di era modern, namun kelakuannya tetap kampungan.
[9] Adalah salah satu buku wajib bagi pengusung khilafah (A Helmy Faishal Zaini, Kompas, 2 Juni 2017).
[10][10] Ini bukti nyata bahwa gerakan pengusung khilafah selalu menganggap demokrasi sebagai sistem yang harus diperangi. Ala kulli hal, pada munas NU tahun 2014 di Jakarta, dengan tegas diputuskan bahwa memperjuangkan tegaknya nilai-nilai substantif ajaran Islam dalam sebuah negara jauh lebih penting dibandingkan dengan memperjuangkan tegaknya simbol-simbol Islam semata. Barangkali kondisi kita hari ini persis dengan apa yang dianalogikan para kiai dalam sebuah pertanyaan cerdas “haruskah  kita membeli minyak unta cap babi atau minyak babi cap unta?”. Di hadapan dua pilihan itu, para kiai menganjurkan kepada kita untuk tentu saja memilih pilihan pertama. Itulah nasionalisme ala kiai yang paham betul arti hidup dalam kebhinekaan. (idem ,A Helmy Faishal Zaini)
[11] Jika kita cermati lebih dalam, diskusi soal huubungan Islam yang melahirkan nasionalisme telah intens dilakukan oleh tiga sepupu, yakni HOS Tjokroaminoto, Hadratusyaikh KH M Hasyim Asyari, dan KH Abdul Wahab Hasbullah. Ketiganya tercatat sejak tahun 1919 telah melakukan kajian-kajian mendalam lagi diskursif soal pandangan Islam ichwal nasionalisme. Jadi bukan oportunisme politik sebagaimana ada yang menudhnya (ibid A Helmy Faishal Zaini)
[12] Secara harfiah sering di artikan sebagai era pasca kebenaran. Prof Lahcen Haddad menyatakan bahwa dalam era pasca kebenaran, upaya-upaya pemutarbalikan, atau bahkan rekayasa fakta dianggap sah karena yang terpenting bukanlah kebenaran objectif, melainkan perasaan takut, marah, atau frustasi. Post Truth adalah kebenaran tanpa pakta; orang-orang meyakini kebenaran atas sesuatu karena secara emosional mereka yakin bahwa itulah yang benar. Dengan kata lain, di era post truth ini, kebenaran yang muncul dalam banyak wajah. Dan orang cenderung memiliki kebenaran yang sesuai dengan emosinya. Saat ini opini masyarakat lebih mudah dibentuk melalui emosi atau perasaan mereka terhadap sesuatu dibandingkan dengan fakta-fakta objectif (relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief, Oxford Dictionaries)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar