Kamis, 03 November 2016

TEKNIK PEMETAAN POLITIK LOKAL




Oleh : Reinhard Hutapea
Disampaikan dalam pelatihan Laboratorium Sosiologi FISIP UNSRI, 26 Maret 2012

Tema tulisan ini terdiri dari dua variable, yakni (a) teknik pemetaan, dan (b) politik lokal. Sebelum sampai kepada apa yang diinginkan dalam penulisan ini, ada baiknya diuraikan dulu apa yang dimaksud dengan variable-variabel tersebut, beserta ilustrasi-ilustrasi atau contoh-contohnya, sehingga pesan yang diharapkan dapat terpenuhi.
Teknik Pemetaan
Secara harfiah pengertian teknik pemetaan adalah cara, metode atau pola untuk melakukan pemetaan. Bagaimana membuat peta itulah pengertian sederhananya. Peta yang bagaimana?. Disinilah problem awalnya.
Pengertian peta yang umum diketahui adalah peta wilayah, kawasan atau daerah tertentu, sebagaimana digambarkan dalam ilmu bumi, atau ilmu geografi. Dalam peta tersebut kita dapat melihat daerah-daerah, kota-kota, kecamatan-kecamatan, kelurahan-kelurahan hingga ke RT-RT. Dari mulai yang paling luas (dunia) hingga hingga yang terkecil (RT) dapat kita lihat tanpa perlu mengunjungi daerah, tempat atau lokasi tersebut
Dengan adanya peta yang digambarkan atau dilukiskan secara sederhana demikian, kita menjadi tahu dimana letak atau tempat yang digambarkan. Dengan tuntunannya , jika kita mau bepergian ke suatu tempat tertentu yang belum pernah kita ketahui, tinggal memesan peta, sebagai petunjuk atau kompas supaya kita dapat sampai ditujuan dengan mudah
Tujuannya jelas, peta adalah instrument yang diciptakan manusia untuk memudahkan kehidupannya. Ia sama dengan penemuan-penemuan manusia lainnya yang membuat kehidupan lebih efektif, efisien atau lebih bermutu, sehingga kehidupannya lebih sejahtera
Bagaimana membuat peta, sudah sama-sama kita pelajari sejak duduk dibangku sekolah dasar, sekolah menengah hingga di perguruan tinggi. Saat ini Institusi atau lembaga yang paling kompeten/canggih melakukan pemetaan wilayah adalah Badan Koordinasi Survey Pemetaan Nasional, BAKOSURTANAL, yang bermarkas di Cibinong Jawa Barat.
Adapun ilmu yang mendasari pemetaan dikenal sebagai ilmu ukur (geometri). Ilmu yang sudah diajarkan sejak SD, dan bagi mereka yang mengambil IPA di SLTA, ilmu ini lebih diperdalam, ketimbang mereka yang mengambil IPS. Atau lebih jauh lagi , perguruan tinggi sudah ada yang memperdalam masalah pemetaan hingga tingkat pasca sarjana.
Suatu fakta betapa peta memang sangat penting. Dengan perkembangan zaman yang terus berubah fungsi peta semakin vital. Tidak lagi sekedar pemetaan wilayah, namun meluas kepada seluruh sendi-sendi kehidupan. Dengan ditemukannya metode “statistic”, seluruh unsur-unsur kehidupan dapat kita ketahui dengan mudah. Dengan statistic, unsur-unsur kehidupan yang sering rumit menjadi sederhana. Bagaimana hasil-hasil statistic yang dikeluarkan oleh BPS, telah sama-sama kita nikmati bersama. Termasuk yang ada diruangan ini .
Bagaimana membuat peta atau statistic, atau tekniknya. Kata kuncinya adalah “riset, penelitian atau survey”. Dengan riset yang baik, kita akan dapat melakukan pemetaan yang baik. Pola atau caranya adalah seperti apa yang diberikan dalam rumus-rumus penelitian

Politik Lokal
Sebelum sampai kepada teknik-teknik atau cara maupun metode pemetaan politik lokal. Yang pertama-tama diartikan lebih dulu adalah apa yang dimaksud dengan politik lokal . Gerangan apa itu yang disebut dengan politik lokal. Adakah definisi/konsep bakunya?.
 Sudah dapat diduga, tidak ada definisi yang tunggal.  Sebagaimana ilmu-ilmu sosial pada umumnya, pendekatan yang muncul tidak ada yang padu. Masing-masing pihak, kalangan atau aliran, akan memberi pengertian menurut versi, disiplin atau pendekatannya sendiri
Secara umum pengertian politik lokal adalah politik yang berlaku di tingkat lokal. Artinya bukan politik di level nasional. Sebagai derivasi dari pengertian ini adalah bahwa segala aktivitas politik yang berlangsung ditingkat lokal, itulah yang dikategorikan sebagai politik lokal.
Pengertian lain yang mungkin lebih mengarah kepada apa yang disebut politik local adalah adanya “kekhususan atau kekhasan”. Dalam suatu daerah, wilayah atau kawasan tertentu ada kekhasan yang tidak dimiliki oleh daerah, wilayah atau kawasan lain.
 Politik, pemerintahan, kekuasaan (sebagai unsur-unsur politik) di daerah A mungkin berbeda dengan politik, pemerintahan, kekuasaan di kawasan B, C,D,E dan seterusnya. Begitu pula unsur-unsur politik yang lain, seperti ideology, partai politik, kekuatan politik,kelompok penekan, elit-elit politik, pemilihan umum, parlemen dan sebagainya
Dalam konteks kekhasan inilah kita melihat  “otonomi daerah” yang diterapkan di Indonesia pada 2001 sebagai bentuk politik lokal yang (paling) real saat ini. Dengan diberlakukannya otonomi daerah pola, bentuk atau model pemerintahan, politik, atau kekuasaan mengalami perubahan yang significan di tiap daerah.
Perubahan yang paling significan adalah bentuk pemerintahan. Dari sebelumnya sentralistik menjadi desentralistik. Tiap daerah tidak lagi hanya menjalankan apa yang menjadi perintah pusat, melainkan diberikan keleluasaan mengatur daerahnya masing-masing sesuai dengan konstitusi
Dengan adanya atau diberikannya kewenangan  kepada masing-masing daerah otonomnya, tiap daerah akan punya kekhususan dalam pengelolaan pemerintahan, politik maupun kekuasaan. Begitu pula unsur-unsur politik yang lain, seperti,  partai-partai politik, kekuatan politik, pressure group, aktor-aktor/elit-elit politik, tiap daerah akan punya karakter sendiri
Demikianlah pengertian politik lokal yang mungkin berkembang di Indonesia saat ini

Bentuk, dan Contoh Pemetaan
Untuk lebih mengetahui atau bagaimana kongkritnya politik lokal itu dipraktekkan sehingga petanya jelas, kita lihat beberapa kasus di daerah. Aceh yang diberikan otonomi khusus pasca perjanjian Helsinki telah menunjukkan pola politik dan pemerintahan yang berbeda dengan daerah/provinsi lain. Aceh memiliki Partai Politik Lokal daan Qanun, yang di daerah/propinsi lain tidak ada, Papua punya Majelis Rakyat Papua, yang di daerah/provinsi lain juga tidak ada.
 Saat ini yang paling kontroversial hingga  krusial adalah tekad Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menempuh “penetapan” dalam mendudukkan kepala daerahnya. Artinya penentuan Gubernur di DIY tidak melalui pemilihan umum. Sebagai Sultan Yogyakarta, otomatis ia ditetapkan sebagai Gubernur,  sementara di daerah lain semua dilakukan dengan “pemilihan umum”
Dari tiga kasus tersebut, petanya jelas. Ada daerah yang punya Partai Lokal dan Qanun yang ditempat lain tidak ada. Ada yang punya Majelis Rakyat Papua (MRP), yang berlaku hanya di Papua. Kalau terealisasi, Yogyakarta akan tetap mempraktekkan penetapan dalam penentuan kepala daerah, yang di tempat lain semua melalui electoral.
Contoh yang paling sederhana (gamblang) atau paling mudah diketahui pemetaannya adalah posisi “partai politik atau pemimpin”  dalam suatu kawasan tertentu . Lembaga-lembaga survey yang melakukan penelitian dalam satu daerah pemilihan, membuat laporan penelitiannya dalam bentuk peta-peta, skema-skema, chart-chart atau statistik-statistik. Di kelurahan,kecamatan, kabupaten, propinsi ini unggul partai…….di kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi ini unggul calon……
Dalam laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU), jika kita baca dengan seksama, peta-peta politik tersebut cukup jelas,konseptual dan komprehenif. Dengan melihat peta, bagan, skema, chart, statistic yang digambarkan, kita cepat mengetahui, partai apa, calon yang mana, yang unggul pada sautu daerah/kawasan tertentu. Atau sebaliknya partai mana, calon mana yang kalah dalam suatu tempat.Tinggal kita memilih , mau melihat daerah/wilayah yang mana.
Herbeth Feith yang meneliti aliran-aliran politik Indonesia beberapa decade yang lalu, telah memetakan atau mengklasifikasikan aliran-aliran politik di Indonesia kedalam 5 (lima) bagian, yakni “Nasionalis, Ultra Nasionalis, Islam, Sosialis dan Marxist”.
Partai mana, kekuatan mana, daerah mana yang masuk dalam peta-peta tersebut telah diuraikan Feith dengan cukup jelas, sederhana dan konseptual. PNI dipetakan kedalam aliran nasionalis radikal, Masyumi dan NU kedalam partai Islam, PSI ke dalam Sosialis, PKI ke dalam Marxist. Meski tidak persis sama, peta ini masih sering dipakai sebagai rujukan hingga era ini.
Jauh sebelum Feith membuat peta demikian, Soekarno telah membuat peta politik Indonesia berdasarkan tiga aliran, yakni Nasionalis, Islam, dan Marxist. Peta politik ini ditulis dalam bukunya “Dibawah Bendera Revolusi”. Setelah ia menjadi Presiden, sekitar akhir limapuluhan, atau awal 60-an ia membuat peta baru, yang jargonnya adalah “Nasakom”
Pakar-pakar lain yang membuat peta-peta politik di Indonesia adalah Clifford Geertz. Ia membuat tiga aliran social-politik, yakni “Santri, Abangan dan Priyayi”. Dalam bidang hukum dulu, (kalau tidak salah namanya) Van Vallenhoven membagi atau memeta hukum adat Indonesia dalam 26 daerah.  
Sebagai ilustrasi tentang peta politik local (?), ideal kita diskusikan pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (DKI_JAYA). Pertanyaannya adalah siapa yang bakal menang.
Teknik Pemetaan Politik Lokal
Uraian demikian masih dapat kita deskripsikan sekian panjang lagi. Namun karena waktu yang terbatas kita sudahi sampai sini, dan sebagai kesimpulan bagaimana caranya melakukan pemetaan, adalah sebagai berikut:
1.      Tentukan apa yang mau dipetakan
2.      Lakukan study literature
3.      Lakukan survey
4.      Laporkan hasilnya.
Demikianlah makalah ini semoga ada faedahnya. Terima kasih

                                                                                                             Indralaya, 26 Maret 2012



                                                                                                             Indralaya, 26 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar