Oleh :
Reinhard Hutapea
Disampaikan dalam pelatihan Laboratorium
Sosiologi FISIP UNSRI, 26 Maret 2012
Tema tulisan ini terdiri
dari dua variable, yakni (a) teknik pemetaan, dan (b) politik lokal. Sebelum
sampai kepada apa yang diinginkan dalam penulisan ini, ada baiknya diuraikan
dulu apa yang dimaksud dengan variable-variabel tersebut, beserta
ilustrasi-ilustrasi atau contoh-contohnya, sehingga pesan yang diharapkan dapat
terpenuhi.
Teknik
Pemetaan
Secara harfiah pengertian
teknik pemetaan adalah cara, metode atau pola untuk melakukan pemetaan.
Bagaimana membuat peta itulah pengertian sederhananya. Peta yang bagaimana?.
Disinilah problem awalnya.
Pengertian peta yang umum
diketahui adalah peta wilayah, kawasan atau daerah tertentu, sebagaimana
digambarkan dalam ilmu bumi, atau ilmu geografi. Dalam peta tersebut kita dapat
melihat daerah-daerah, kota-kota, kecamatan-kecamatan, kelurahan-kelurahan
hingga ke RT-RT. Dari mulai yang paling luas (dunia) hingga hingga yang terkecil
(RT) dapat kita lihat tanpa perlu mengunjungi daerah, tempat atau lokasi
tersebut
Dengan adanya peta yang
digambarkan atau dilukiskan secara sederhana demikian, kita menjadi tahu dimana
letak atau tempat yang digambarkan. Dengan tuntunannya , jika kita mau
bepergian ke suatu tempat tertentu yang belum pernah kita ketahui, tinggal
memesan peta, sebagai petunjuk atau kompas supaya kita dapat sampai ditujuan
dengan mudah
Tujuannya jelas, peta
adalah instrument yang diciptakan manusia untuk memudahkan kehidupannya. Ia
sama dengan penemuan-penemuan manusia lainnya yang membuat kehidupan lebih
efektif, efisien atau lebih bermutu, sehingga kehidupannya lebih sejahtera
Bagaimana membuat peta,
sudah sama-sama kita pelajari sejak duduk dibangku sekolah dasar, sekolah
menengah hingga di perguruan tinggi. Saat ini Institusi atau lembaga yang
paling kompeten/canggih melakukan pemetaan wilayah adalah Badan Koordinasi
Survey Pemetaan Nasional, BAKOSURTANAL, yang bermarkas di Cibinong Jawa Barat.
Adapun ilmu yang mendasari
pemetaan dikenal sebagai ilmu ukur (geometri). Ilmu yang sudah diajarkan sejak
SD, dan bagi mereka yang mengambil IPA di SLTA, ilmu ini lebih diperdalam,
ketimbang mereka yang mengambil IPS. Atau lebih jauh lagi , perguruan tinggi
sudah ada yang memperdalam masalah pemetaan hingga tingkat pasca sarjana.
Suatu fakta betapa peta
memang sangat penting. Dengan perkembangan zaman yang terus berubah fungsi peta
semakin vital. Tidak lagi sekedar pemetaan wilayah, namun meluas kepada seluruh
sendi-sendi kehidupan. Dengan ditemukannya metode “statistic”, seluruh
unsur-unsur kehidupan dapat kita ketahui dengan mudah. Dengan statistic,
unsur-unsur kehidupan yang sering rumit menjadi sederhana. Bagaimana hasil-hasil
statistic yang dikeluarkan oleh BPS, telah sama-sama kita nikmati bersama.
Termasuk yang ada diruangan ini .
Bagaimana membuat peta
atau statistic, atau tekniknya. Kata kuncinya adalah “riset, penelitian atau
survey”. Dengan riset yang baik, kita akan dapat melakukan pemetaan yang baik. Pola
atau caranya adalah seperti apa yang diberikan dalam rumus-rumus penelitian
Politik
Lokal
Sebelum sampai kepada
teknik-teknik atau cara maupun metode pemetaan politik lokal. Yang pertama-tama
diartikan lebih dulu adalah apa yang dimaksud dengan politik lokal . Gerangan
apa itu yang disebut dengan politik lokal. Adakah definisi/konsep bakunya?.
Sudah dapat diduga, tidak ada definisi yang
tunggal. Sebagaimana ilmu-ilmu sosial
pada umumnya, pendekatan yang muncul tidak ada yang padu. Masing-masing pihak,
kalangan atau aliran, akan memberi pengertian menurut versi, disiplin atau
pendekatannya sendiri
Secara umum pengertian
politik lokal adalah politik yang berlaku di tingkat lokal. Artinya bukan politik
di level nasional. Sebagai derivasi dari pengertian ini adalah bahwa segala
aktivitas politik yang berlangsung ditingkat lokal, itulah yang dikategorikan
sebagai politik lokal.
Pengertian lain yang
mungkin lebih mengarah kepada apa yang disebut politik local adalah adanya “kekhususan
atau kekhasan”. Dalam suatu daerah, wilayah atau kawasan tertentu ada kekhasan
yang tidak dimiliki oleh daerah, wilayah atau kawasan lain.
Politik, pemerintahan, kekuasaan (sebagai
unsur-unsur politik) di daerah A mungkin berbeda dengan politik, pemerintahan, kekuasaan
di kawasan B, C,D,E dan seterusnya. Begitu pula unsur-unsur politik yang lain,
seperti ideology, partai politik, kekuatan politik,kelompok penekan, elit-elit
politik, pemilihan umum, parlemen dan sebagainya
Dalam konteks kekhasan inilah
kita melihat “otonomi daerah” yang
diterapkan di Indonesia pada 2001 sebagai bentuk politik lokal yang (paling) real
saat ini. Dengan diberlakukannya otonomi daerah pola, bentuk atau model
pemerintahan, politik, atau kekuasaan mengalami perubahan yang significan di
tiap daerah.
Perubahan yang paling
significan adalah bentuk pemerintahan. Dari sebelumnya sentralistik menjadi
desentralistik. Tiap daerah tidak lagi hanya menjalankan apa yang menjadi
perintah pusat, melainkan diberikan keleluasaan mengatur daerahnya masing-masing
sesuai dengan konstitusi
Dengan adanya atau
diberikannya kewenangan kepada
masing-masing daerah otonomnya, tiap daerah akan punya kekhususan dalam
pengelolaan pemerintahan, politik maupun kekuasaan. Begitu pula unsur-unsur
politik yang lain, seperti, partai-partai politik, kekuatan politik,
pressure group, aktor-aktor/elit-elit politik, tiap daerah akan punya karakter
sendiri
Demikianlah pengertian
politik lokal yang mungkin berkembang di Indonesia saat ini
Bentuk, dan Contoh
Pemetaan
Untuk lebih mengetahui
atau bagaimana kongkritnya politik lokal itu dipraktekkan sehingga petanya
jelas, kita lihat beberapa kasus di daerah. Aceh yang diberikan otonomi khusus
pasca perjanjian Helsinki telah menunjukkan pola politik dan pemerintahan yang
berbeda dengan daerah/provinsi lain. Aceh memiliki Partai Politik Lokal daan
Qanun, yang di daerah/propinsi lain tidak ada, Papua punya Majelis Rakyat
Papua, yang di daerah/provinsi lain juga tidak ada.
Saat ini yang paling kontroversial hingga krusial adalah tekad Daerah Istimewa
Yogyakarta untuk menempuh “penetapan” dalam mendudukkan kepala daerahnya.
Artinya penentuan Gubernur di DIY tidak melalui pemilihan umum. Sebagai Sultan
Yogyakarta, otomatis ia ditetapkan sebagai Gubernur, sementara di daerah lain semua dilakukan
dengan “pemilihan umum”
Dari tiga kasus tersebut,
petanya jelas. Ada daerah yang punya Partai Lokal dan Qanun yang ditempat lain
tidak ada. Ada yang punya Majelis Rakyat Papua (MRP), yang berlaku hanya di
Papua. Kalau terealisasi, Yogyakarta akan tetap mempraktekkan penetapan dalam
penentuan kepala daerah, yang di tempat lain semua melalui electoral.
Contoh yang paling
sederhana (gamblang) atau paling mudah diketahui pemetaannya adalah posisi
“partai politik atau pemimpin” dalam
suatu kawasan tertentu . Lembaga-lembaga survey yang melakukan penelitian dalam
satu daerah pemilihan, membuat laporan penelitiannya dalam bentuk peta-peta,
skema-skema, chart-chart atau statistik-statistik. Di kelurahan,kecamatan,
kabupaten, propinsi ini unggul partai…….di kelurahan, kecamatan, kabupaten,
propinsi ini unggul calon……
Dalam laporan Komisi
Pemilihan Umum (KPU), jika kita baca dengan seksama, peta-peta politik tersebut
cukup jelas,konseptual dan komprehenif. Dengan melihat peta, bagan, skema,
chart, statistic yang digambarkan, kita cepat mengetahui, partai apa, calon
yang mana, yang unggul pada sautu daerah/kawasan tertentu. Atau sebaliknya
partai mana, calon mana yang kalah dalam suatu tempat.Tinggal kita memilih ,
mau melihat daerah/wilayah yang mana.
Herbeth Feith yang
meneliti aliran-aliran politik Indonesia beberapa decade yang lalu, telah
memetakan atau mengklasifikasikan aliran-aliran politik di Indonesia kedalam 5
(lima) bagian, yakni “Nasionalis, Ultra Nasionalis, Islam, Sosialis dan Marxist”.
Partai mana, kekuatan
mana, daerah mana yang masuk dalam peta-peta tersebut telah diuraikan Feith
dengan cukup jelas, sederhana dan konseptual. PNI dipetakan kedalam aliran
nasionalis radikal, Masyumi dan NU kedalam partai Islam, PSI ke dalam Sosialis,
PKI ke dalam Marxist. Meski tidak persis sama, peta ini masih sering dipakai
sebagai rujukan hingga era ini.
Jauh sebelum Feith membuat
peta demikian, Soekarno telah membuat peta politik Indonesia berdasarkan tiga
aliran, yakni Nasionalis, Islam, dan Marxist. Peta politik ini ditulis dalam
bukunya “Dibawah Bendera Revolusi”. Setelah ia menjadi Presiden, sekitar akhir
limapuluhan, atau awal 60-an ia membuat peta baru, yang jargonnya adalah
“Nasakom”
Pakar-pakar lain yang
membuat peta-peta politik di Indonesia adalah Clifford Geertz. Ia membuat tiga
aliran social-politik, yakni “Santri, Abangan dan Priyayi”. Dalam bidang hukum
dulu, (kalau tidak salah namanya) Van Vallenhoven membagi atau memeta hukum
adat Indonesia dalam 26 daerah.
Sebagai ilustrasi tentang
peta politik local (?), ideal kita diskusikan pemilihan Gubernur Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Raya (DKI_JAYA). Pertanyaannya adalah siapa yang bakal menang.
Teknik
Pemetaan Politik Lokal
Uraian demikian masih
dapat kita deskripsikan sekian panjang lagi. Namun karena waktu yang terbatas
kita sudahi sampai sini, dan sebagai kesimpulan bagaimana caranya melakukan
pemetaan, adalah sebagai berikut:
1. Tentukan apa yang mau
dipetakan
2. Lakukan study literature
3. Lakukan survey
4. Laporkan hasilnya.
Demikianlah makalah ini
semoga ada faedahnya. Terima kasih
Indralaya, 26 Maret 2012
Indralaya, 26 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar