FILSAFAT VERSI GMNI
Oleh: Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi
& Kaderisasi DPP PA GmnI dan staf pengajar Fisipol UDA Medan
Disampaikan dalam KTD
GmnI Sibolga, 30 Nopember 2019
Artikel/tulisan/makalah ini hanya
sebatas pemantik untuk menggairahkan KTD GmnI Sibolga[1],
sebab membahas atau menguraikan filsafat adalah masalah yang sangat luas,
sangat dalam, yang tak habis-habis di bahas/diuraikan. Tak ada ukuran yang
pasti, yang matematis, atau yang paling benar tentang filsafat.
Sekian jenis, macam, atau mazhab tentangnya
tidak mungkin dapat dipahami/dipertemukan dalam waktu yang singkat, sehingga
ada semacam pengertian yang baku, yang simple, atau, yang bak hukum-hukum ilmu
eksak. Tidak ada itu. Dan sebaiknya ikhtiar untuk menggapai hal itu (kalau
memang ada) biarlah urusan di luar forum ini (di kampus/lembaga-lembaga filsafat)
Untuk pertemuan yang singkat ini,
mungkin lebih pas, jika kita mengarus utamakan pembahasan/diskursus tentang
pola berpikir GmnI. Pola berpikir seperti apa yang diharapkan dari seorang
kader GmnI yang berideologi Marhaenisme, yang popular dengan sebutan
“Nasionalis”. Metode, sistim, cara berpikir/bertindak minimal yang
membedakannya dengan mazhab-mazhab lain (seperti rekan-rekannya sesama Kelompok
Cipayung/HMI/GMKI/PMKRI/PMII)
Maksud saya/penulis, kita realistis
ajalah. Tidak usah kita ikuti sillabus yang dibuat Presidium yang sangat
(jumbo) luas itu. Yang sangat kabur, abstrak, susah, dan bertele-tele dan sukar
dipahami (Magnis Suseno, 2018). Betapa tidak? Seluruh filsafat yang ada di
dunia ini mau dibahas dalam pertemuan dua jam. Dari era Yunani (Socrates, Plato, Aristoteles), era
pertengahan (St Agustin, Thomas Aquinas),
era Renaissans (Marsilio Picino, Galileo
Galilei, Francis Bacon, Copernicus, I Newton), zaman Barok (Shakspeare, Rene Descates, Spinoza, Th
Hobbes), abad Pencerahan (Soren
Kierkegaard, F. Hegel, K Marx) hingga era post modernism (Derrida, Baudrillard, Habermas etc) mau dibahas
hanya dalam waktu (seperti disebut di atas) hanya dalam waktu dua jam. Belum
lagi jika dihubungkan dengan filsafat Timur atau filsafat agama.
Tak mungkin semua itu di bahas. 10
tahun sekali pun belum tentu selesai membahas itu. Walau dalam diskursus
(pertemuan KTD ini) hal-hal demikian secara sekilas akan tetap di singgung,
namun tidak seperti yang diinginkan filosof-filosof Presidium/DPP GmnI, yang
tak tertutup kemungkinan, jangan-jangan mereka sendiri pun sesungguhnya tak
paham apa yang diinginkan, atau ditulisnya. Mudah-mudahan tidak sekedar
gagah-gagahan.
Lalu apa yang kita usulkan secara
kongkrit dalam forum ini? Singkat saja jawabannya, yakni; →….”bacalah dengan seksama tulisan-tulisan
Bung Karno”….←. Itulah awal, itulah proses, dan
itulah tujuan berfilsafat.
Yang lain-lain, seperti pengertian-pengertian
filsafat yang ada di dunia ini (yang sangat luas dan tak berbatas itu), hanya
sebagai pelengkap, pembanding, instrument, atau alat saja untuk memperkuat
tentang pemikiran Bung Karno.
Bacalah dengan serius/seksama,
berulang-ulang, dan renungkan (hayati). Setelah itu, yakni setelah anda
memahaminya dengan mendalam, bandingkan dengan pemikiran, pengetahuan, atau
filsafat lain (Rudolf Carnaf, dalam
Yuyun Suriasumantri, 1999) Dengan kata lain anda “bernalar, mengulas, atau
menganalisis sampai ke akar-akarnya” (apa, dimana, kemana, kenapa, siapa, dan
bagaimana, meminjam teori komunikasi).
jika adik-adik serius mempraksiskan
pola itu dengan seksama, tekun, berulang-ulang, automaticly/dengan sendirinya adik-adik sudah berfilsafat (filsafat in action) dalam arti
sebenarnya. Sebab Filsafat sebagaimana arti atau definisinya adalah suatu cara
berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya (Yuyun Suriasumantri, 1999:4).
Sedalam-dalamnya, seluas-luasnya,
sebesar-besarnya. Untuk tidak mengatakan sekedar-sekedar sebagaimana yang
fenomenal (berlangsung) saat ini, yakni baru membaca sedikit sudah merasa tahu
(minum satu sloki, mabuk satu botol). Bahkan kiamatnya lagi, tidak pernah
membaca, hanya mendengar-dengar di warung kopi si Jaultop, si Jaullus, si
Suar-Sair, si Jengkol sudah merasa paham (termasuk mahasiswa-mahasiswa jaman now)[2].
Tak satu hal yang bagaimanapun kecilnya
terlepas dari pengamatan kefalsafahan. Tak ada satu pernyataan yang bagaimanpun
sederhananya yang kita terima begitu saja tanpa pengkajian yang seksama.
Falsafah menanyakan segala sesuatu dari kegiatan berpikir kita dari awal sampai
akhir seperti dinyatakan oleh Socrates,
bahwa tugas falsafah yang sebenarnya bukanlah menjawab pertanyaan kita, namun
mempersoalkan jawaban yang diberikan[3].
Kemajuan manusia dalam berfalsafah bukan saja diukur dari jawaban yang
diberikan namun juga dari pertanyaan yang diajukan[4].
Pertanyaan-pertanyaan pokok itu
antara lain adalah “masalah tentang apa yang ingin kita ketahui (Ontologi), bagaimana cara mendapatkan
pengetahuan tersebut (epistemologi),
dan apa nilai kegunaannya bagi kita (aksiologi)”
·
Ontologi ► ingin tahu
·
Epistemologi ► metode keilmuan
·
Aksiologi ►nilai-nilai
Bagaimana praksis kongkritnya? Seperti
ini:….. Ontologinya → apa yang ingin kita ketahui tentang/dari Bung
Karno serta ajaran-ajarannya (minat/keingintahuan). Epistemologinya → adalah bagaimana cara mendapatkan pengetauan tentang Bung
Karno dan ajaran-ajarannya. Pola, cara, atau metodenya adalah membaca referensi
atau buku-buku tentang Bung Karno. Baca sebanyak-banyaknya buku tentang pemimpin
besar revolusi itu
Buku-buku yang minimal adik-adik baca
untuk kepentingan tersebut, antara lain adalah:
1. Dibawah Bendera Revolusi
2. Mencapai Indonesia merdeka (dalam
DBR)
3. Indonesia menggugat
4. Pidato 1 juni 1945/lahirnya Pancasila
5. Manipol USDEK
6. Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi
(Tubapi)
7. To build world a new/pidato Bung Karno di PBB
8. Tahun Vivere Pericoloso/Tavip (Trisakti)
9. Etc….masih banyak
Idealnya buku-buku demikian sudah
dibaca sebelum datang kepertemuan ini. Sudah paham isinya meski belum mendalam.
Paling tidak garis besar, pointers-pointers, atau sentral pemikirannya sudah
tahu/dipahami. Setelah itu, yakni setelah tahu/paham barulah kita “persoalkan,
kita pertanyakan, kita ulas atau analisis kembali sedalam dalamnya”
(radikal/menyeluruh)
Sebagai ilustrasi/contoh mari kita
“ulas-analisis” tulisan pertama Bung Karno dalam Dibawah Bendera Revolusi,
yakni “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”.
Dari judul saja sudah kita lihat ada
tiga “konsep” besar, jika kita hubungkan dengan teori ilmiah, khususnya jika
mau menulis karangan ilmiah (makalah/skripsi/thesis/disertasi), yakni;
1. Nasionalisme
2. Islamisme dan
3. Marxisme
Dalam suatu penulisan lazimnya ketiga
konsep itu harus diartikan, didefinisikan, atau di deskripsikan secara jelas,
yakni secara logis dan sistematis (runtut). Apa itu Nasionalisme, Islamisme,
dan Marxisme harus diarti atau diuraikan secara akurat (valid and reliable) jelas dan terang. Ibarat hewan harus jelas
jenis kelaminnya, “burungkah, harimaukah, ularkah, monyetkah, anjingkah”. Atau
jika meminjam taksonomi/klasifikasi tumbuhan, harus jelas; “tomatkah, cabekah,
atau bawangkah”.
Akan tetapi karena pembahasan kita
yang hadir dalam KTD ini adalah pendekatan filsafat, maka ketiga konsep itu
adalah apa yang dikenal dengan istilah, aliran, paham, mazhab, dan atau
khususnya ideologi. Nasionalisme adalah ide. Begitu pula Islamisme dan Marxisme
adalah ide atau gagasan.
Ide atau gagasan yang ditelorkan para
pakar, pemikir, atau filsuf. Dalam pembahasan Nasionalisme, Bung Karno mengutif
Ernest Renan, Otto Bauer. Tentang
Islamisme mengutif Sheikh Mohammad Abdouh
(rektor sekolah tinggi Al Azhar) dan Seyid Jamaluddin El Afgani. Tentang
Marxisme mengutif Karl Marx.
Bila dihubungkan dengan terminologi
filsafat, maka filsuf-filsuf tersebut dapat digolongkan kedalam;
·
Filsafat
Barat
·
Filsafat
Islam/agama
Lalu apa rupanya yang diurai Bung Karno dalam artikel
tersebut? Supaya valid dan reliable
(akurat) seharusnya harus dibaca keseluruhan/semua. Namun sebagaimana tradisi
keilmuan yang berlaku, harus juga dapat diringkas secara singkat dan jelas.
Dalam khazanah penulisan sering
disebut sebagai “abstract”, atau “review”. Meringkas sekian halaman hanya
menjadi (kira-kira) ¼ halaman. Dari 23
halaman tulisan Bung Karno tersebut, Abstract/ringkasannya
berbunyi (kira-kira) seperti ini:
Ringkasan-abstract
Di
Indonesia/Hindia Belanda sejak lama telah terjadi kolonisasi (penjajahan).
Terjadi karena kerakusan pihak Barat mencari “rejeki”. Penduduk
Indonesia/Hindia Belanda yang sudah lama dalam cengkeraman kolonialisasi tersebut
sebagai konsekwensinya, mulai/telah sadar bahwa mereka ingin lepas/merdeka.
Akan tetapi, Keinginan demikian terhambat karena di Indonesia ada 3 aliran
masyarakat yang konfliktual/tak sejalan, bahkan saling bertentangan, yakni
antara kaum Nasionalis, kaum Islam, dan kaum Marxis. Supaya Indonesia dapat merdeka
ketiga aliran ini harus bersatu.
Kembali
seperti penguraian/pembahasan/deskripsi akan judul, dalam abstract/review ini pun, kita temukan beberapa konsep yang perlu penjelasan
lebih seksama. Konsep-konsep tersebut adalah:
v Kolonisasi
v Rejeki
v 3 aliran (Nasionalisme, Islamisme,
dan Marxisme)
v Persatuan
Konsep-konsep demikian dibaca secara
seksama, …..lalu renungkan. Setelah itu (setelah direnungkan) sampailah kepada “nilai”
(maksud, sasaran, atau tujuan) yang ingin diperjuangkan Bung Karno yakni nilai
“persatuan”.
Dalam Bahasa filsafat “p e r s a t u a
n” ini disebut dengan “Aksiologi”
P e r s a t u a n ►
Aksiologi
Bagian II
→ Setelah membaca bab 1 DBR,
selanjutnya akan kita bahas tulisan Bung Karno yang paling Panjang/luas (67
halaman) dalam DBR tersebut. Tulisan yang paling konseptual dan komprehensif, yang
di tulis di Pengalengan pada tahun 1933, yang terdiri dari 10 bab dan 67
halaman, yang diberi judul;
Mencapai Indonesia Merdeka
Bab pertama; Sebab-sebab Indonesia tidak merdeka. Intisarinya
adalah sebagai berikut:
·
Membantah
pendapat Prof Veth yang menyatakan
Indonesia sejak zaman kuno hingga era Belanda tidak pernah merdeka. Selalu
terjajah
·
Menurut
Bung Karno , dalam Zaman Hindu itu Indonesia merdeka….yang tidak merdeka adalah
rakyat jelata/proletar, atau Marhaennya, karena diperintah raja-raja yang
feodal[6].
·
Pada
zaman Belanda Indonesia terjajah penuh/tidak merdeka
·
Penjajahan
tersebut terjadi karena perkembangan tatanan sosial, ekonomi, politik atau
kebudayaan di Eropa pada Abad 16/17 di Eropa, yakni tumbangnya sistim feodalisme
yang digantikan oleh kaum, atau kelas pertukangan-perdagangan, kaum borjuis,
yang menurut Marx adalah para kapitalis, yang butuh daerah luar untuk pengembangan
usaha, perdagangan/kapitalnya.
·
Perluasan
kapitalisme inilah yang melahirkan penjajahan, kolonisasi, atau imperilaisme.
Bab kedua; Dari
Imperialisme kuno ke Imperialisme Modern
·
Imperialisme
adalah anak kapitalisme
·
Perbedaannya
adalah dalam besaran dan luasannya.
·
Imperalisme
kuno berskala kecil,
·
Imperialisme
modern besar
Bab ketiga, Indonesia
Tanah Yang Mulia
·
Melaratnya
kaum marhaen/rakyat jelata
·
Penghasilannya
paling kecil di dunia
·
Penghitungnya
Dr Huender
·
Dihitung
secara detil, jelas, dan kongkrit (betul-betul menyengsarakan)
Bab ke empat, Di Timur
Matahari Mulai Bercahya; Bangun dan Berdiri Kawan Semua
·
Akibat
penjajahan bukan hanya fisik yang rusak, juga bathin
·
Rakyat
sungguh-sungguh mirip kambing
·
Sebagai
implikasinya mulai muncul kesadaran
Bab ke lima, Gunanya Kehadiran
Partai
·
Kaum
Marhaen Ingin perbaikan nasib
·
Massa
aksi yang radikal
·
Partai
yang menggerakkannya, menuntun ke kemerdekaan
·
Partai
pelopor
Bab ke enam, Indonesia
Merdeka Suatu Jembatan
·
Menggugurkan
stelsel kapitalisme-imperialisme[7]
·
Harus
marhaen yang mendirikan dan menguasainya
·
Kesimpulannya
3, yakni, a) tujuan pergerakan marhaen haruslah masyarakat zonder kapitalisme
dan imperialism, b) jembatan kearah masyarakat itu adalah kemerdekaan negeri
Indonesia, c) di Indonesia merdeka itu, Marhaenlah yang menggemgam politieke macht (menggenggam
kekuasaan-pemerintahan)
Bab ke tujuh; Sana Mau
Kesana, Sini Mau Kesini
·
Metodenya….bagaimana
mencapai kesimpulan ad 6
·
Pertentangan →
tidak ada kompromi
·
Dialektika[8]
·
Antitese
·
Non
kooperasi
·
Self help → Sinn
Fein → kita sendiri
Bab ke delapan; Machtsvorming,
Radikalisme, Massa Aksi
·
Machtsvorming adalah vormingnya macht, pembikinan tenaga, pembikinn kuasa. Machtsvorming adalah jalan satu-satunya
untuk memaksa…….tunduk kepada kita.
·
Radikalisme
adalah azas machtsvorming Marhaen;
berjuang tidak setengah-setengahan tawar menawar tetapi terjun sampai ke
akar-akarnya kesengitan anti tese, tidak setengah-setengahan hanya mencari
untung ini hari sahaja tapi mau menjebol stelsel
kapitalisme-imperialisme sampai ke akar-akarnya, tidak setengah-setengahan mau
mengadakan perobahan-perobahan yang kecil-kecil sahaja tapi mau mendirikan masyarakat
baru sama sekali di atas akar-akar yang baru, - berjuang habis-habisan tenaga
membongkar pergaulan hidup sekarang ini sampai ke akar-akarnya untuk mendirikan
pergaulan hidup baru di atas akar-kar yang baru
·
Massa
aksi
Bab ke Sembilan; Diseberangnya
Jembatan Emas
Bab ini menceritakan keinginan Bung
Karno untuk membuat sistim pemerintahan demokrasi yang betul-betul sesuai
dengan keinginan kaum Marhaen, jika Indonesia merdeka. Bung Karno tidak setuju
dengan demokrasi-demokrasian yang diadopsi dari Barat, yang tidak mewujudkan
kehendak rakyat, melainkan hanya keinginan para pedagang, borjuasi, alias kapitalis.
Lebih jelasnya akan di tulis/kutif dibawah ini:
…..Ya, Inggris
kini mempunyai parlemen, Jerman kini mempunyai parlemen, negeri Belanda kini
mempunyai parlemen, negeri Amerika, negeri Belgia, negeri Denemarken, negeri
Zweden, negeri Suis, - semua negeri sopan kini mempunyai parlemen, semua negeri
sopan kini bersistim demokrasi….
Tetapi…disemua
negeri-negeri sopan itu kini hidup dan subur dan merajalela hantu kapitalisme!
Di semua negeri-negeri sopan itu kini rakyat jelata tertindas hidupnya, nasib
rakyat jelata , nasib kokoro, jumlahnya kaum penganggur yang kelaparan melebihi
bilangan manusia. Di semua negeri-negeri sopan itu rakyat jelata tidak selamat,
bahkan sengsara kelewat sengsara! Inikah hasil demokrasi yang mereka keramatkan
itu? Inikah kerakyatan yang dinegeri Perancis mereka beli dengan ribuan mereka
punya nyawa, dengan ribuan mereka punya bangkai, dengan ribuan pula kepalanya
raja dan kaum ningrat?
Ach, kaum Borjuis!
Kaum borjuis telah menipu mereka, memperkudakan mereka, mengabui mata mereka.
Demokrasi yang mereka rebut dengan harga nyawa yang begitu mahal itu, demokrasi
itu bukanlah demokrasi kerakyatan yang sejati, melainkan suatu demokrasi
borjuis belaka, - suatu burgerlijke demokrasi yang untuk kaum borjuis dan
menguntungkan kaum borjuis belaka. Ach, parlemen! Tiap-tiap kaum proletaar kini
namanya bisa ikut memilih wakil dan ikut dipilih jadi wakil ke dalam parlemen
itu, tiap-tiap kaum proletary kini namya bisa mengusir minister-minister,
menjatuhkan minister-minister jatuh terpelanting dari kursinya. Tetapi pada
saat yang ia Namanya bias menjadi raja di dalam parlemen itu pada saat itu juga
ia bias di usir dari pekerjaan dimana ia bekerja menjadi buruh dengan upah
kokoro, di usir dilemparkan di atas jalan-rajanya pengangguran, yang basah
karena air mata bini dan anak-anak yang kelaparan! Pada saat yang ia Namanya
bias menjadi raja di dalam parlemen, pada saat itu juga ia tak berkuasa
sedikitpun jua menuntut upah-perkulian yang agak pantas, tak berkuasa
sedikitpun menghalangi, yang stelsel kapitalisme menelan segenap ia punya badan
dan segenap ia punya nyawa.
Bahwasanya, kaum
rakyat jelata yang tadinya dipakai tenaganya oleh kaum borjuis untuk merebut
demokrasi, tetapi yang kemudian ternyata kecele telah mendatangkan demokrasinya
kapitalisme, kaum rakyat jelata itu kini pantas berbalik menolak demokrasi
palsu itu dengan perkataan-perkataan Jean
Jaures, pemimpin kaum buruh Perancis, yang berbunyi ”Kamu, kaum borjuis,
kamu mendirikan republik, dn itu adalah kehormatan yang besar. Kamu membikin
republik teguh dan kuat, tak boleh dirubah sedikit jua, tetapi justru karena
itu kamu telah mengadakan pertentangan antara susunan politik dn susunan
ekonomi. Karena algemeen kiesrecht,
karena pemilihn umum, kamu telah membikin semua penduduk bisa bersidang
mengadakan rapat yang seolah-olah rapat dari pada raja-raja. Mereka punya
kemauan adalah sumbernya tiap wet, tiap hukum, tiap pemerintahan; mereka
melepas mandataris, mereka melepas wetgever
dan minister. Tetapi pada saat yang
si buruh menjadi tuan di dalam urusan politik, pada saat itu juga ia adalah
budak belian di atas lapangan ekonomi. Pada saat yang ia menjatuhkan
minster-minister makai a sendiri bias di usir dari pekerjaan zonder ketentuan sedikit jua pun apa
yang esok harinya akan ia makan. Tenaga kerjanya hanyalah suatu barang belian,
yang bias dibeli atau ditampik semau maunya kaum majikan. Ia bisa di usir dari
bingkil, karena ia tak mempunyai hak ikut menentukan aturan-aturan bingkil,
yang saban hari, zonder dia tapi buat menindas dia, ditetapkan oleh kaum
majikan menurut semau-maunya sendiri.
Sekali lagi:
inikah demokrasi yang orang keramatkan itu? Bolehkah ini demokrasi menjadi
impian kita? Tidak, dan sekali lagi tidak! Ini tidak boleh menjadi demokrasi
yang harus kita tiru, tidak boleh menjadi demokrasi yang dengan aksara api
harus dituliskan di atas bendera-bendera partai-pelopornya massa aksi
Indonesia. Sebab, demokrasi yang begitu hanyalah demokrasi parlemen saja,
demokrasi politik saja. Demokrasi ekonomi, keRakyatan ekonomi, kesama
rasa-rataan ekonomi tidak ada, tidak ada bau-baunya sedikit juga.
Ya, demokrasi
politik itupun hanya bau-baunya saja! Bukan? Di negeri-negeri modern itu benar
ada parlemen, benar ada tempat perwakilan rakyat, benar rakyat Namanya boleh
ikut memerintah, tetapi ach, kaum borjuis lebih kaya daripada rakyat jelata,
mereka dengan harta kekayaannya, dengan surat-surat kabarnya, dengan
buku-bukunya, dengan madrasah-madrasahnya, dengan propaganda-propagandanya,
dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa
mempengaruhi semua akal fikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua jalannya
politik.
Kongkritnya demokrasi yang diinginkan
Bung Karno adalah d e m o k r a s i s o
s i a l – socio-demokrasi. Tidak demokrasi yang diimpor-impor dari Barat/Amerika,
tapi demokrasi khas Indonesia.
Bab ke sepuluh; Mencapai
Indonesia Merdeka
Bab ini adalah bab terakhir dari tulisan Bung Karno yang 67
halaman itu. Ia menyemangati, membakar semangat para Marhaenis untuk berjuang
secara nyata. Bagaimana persuasi, propaganda, agitasi, dan motivasinya akan
ditulis secara lengkap dibawah ini:
….Sekarang, kampiun-kampiun kemerdekaan, majulah
kemuka, susunlah pergerakanmu menurut garis-garis yang saya guratkan di dalam
risalah ini. Hebatkanlah partainya Marhaen, agar supaya menjadi partai
pelopornya massa. Hidupkanlah semua semangat yang ada di dalam dadamu,
hebatkanlah semua kecakapan mengorganisasi yang ada di dalam tubuhmu,
hebatkanlah semua keberanian banteng yang ada di dalam nyawamu, tumpahkanlah
semangat dan kecakapan mengorganisasi dan keberanian banteng itu ke dalam
tubuhnya partai, tumpahkanlah kelaki-lakian itu ke dalam badannya massa, agar
supaya massa seolah-olah ketitisan kembali oleh segala kelaki-lakiannya dari
zaman sediakala, ketitisan pula oleh kelaki-lakian baru daripada modern massa
aksi. Kamu kampiun-kampiunnya pena, gerakkanlah penamu setajam ujung
Jemparingnya Rama, kamu kampiun-kampiun organisator, susunlah bantengnya
harapan rakyat menjadi banteng yang menahan gempa, kamu kampiun-kampiunnya
mimbar, dengungkanlah suara bantengmu hingga menggetarkan udara. Tumpahkanlah
segenap jiwa ragamu, ke dalam partainya massa, tumpahkanlah segenap jasmani dan
rohanimu ke dalam perjuangannya massa, tumpahkanlah segenap nyawamu menjadi
api-kesadaran dan api kemauan massa. ….Hiduplah massa aksi, untuk mencapai
Indonesia merdeka
→ Singkatnya, bergeraklah,
berjuanglah…sekarang juga
Aksiologi →
Bergerak dan berjuang
Epistemologi →
bab 1 sampai bab 9
Untuk memahami, apakah epistemologi
Bung Karno demikian (telah) sesuai atau tidak kira-kira dengan suasana
kekinian, akan kita hubungkan dengan pendapat (epistemologi) Yudi Latif, mantan
ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Sosok yang dianggap tepat memberi penjelasan/deskripsi,
sebab beliau (Yudi Latif) adalah figur yang legitimasinya mendalami Pancasila, (ajaran
Bung Karno), telah diakui banyak kalangan.
Lebih jelasnya tulisan yang sangat
filosofis ini akan dilampirkan di bawah ini.
Lampiran
Meniti Jembatan Rawan
Oleh: Yudi Latif
Negara ini tidak bisa dikatakan
baik-baik saja. Ada gejolak kecemasan yang merambat di bawah selubung
pencitraan. Ke mana saja kita melangkah, sulit menemukan tumpuan yang kukuh.
Ekonomi melemas, impor menderas, kesenjangan meluas, demokrasi oligarchis, kepemimpinan
mediokritas, birokrasi nir integritas, Pendidikan tidak berkualitas, kohesi sosial
meretas, agama mengeras, rasa saling percaya meranggas, dan kebanggan nasional
terjun bebas.
Ada banyak inkonsistensi antara
wacana (voices) dan pilihan (choices). Yang dikeluhkan deficit neraca
perdagangan, pilihannya malah menjadikan hilir sebagai hulu dan hulu sebagai
hilir, lebih mengangungkan inovasi perangkat hilir penjualan (digital
marketing, platform) ketimbang pembenahan hulu sektor produktif. Yang didengungkan
penyehatan demokrasi, pilihannya pengukuhan oligarki dalam Lembaga perwakilan
dan kabinet. Yang diprihatinkan pemudaran nilai-nilai kewargaan dan karakter
bangsa, pilihannya malah rezim pendidikan pragmatis. Yang didambakan
pengembangan riset dan inovasi, pilihannya malah pemusatan riset pada negara
tanpa mendorong inisiatif riset-inovasi dunia usaha dalam kerangka transformasi
menuju knowledge economy.
Yang dikawatirkan adalah mengerasnya
radikalisme agama, pilihannya malah politisasi kampanye anti-radikalisme agama
dengan memproduksi stigma, yang dapat menguatkan identitas kelompok dan
menjadikannya sebagai simbol perlawanan politik. Yang diinginkan kohesi sosial,
pilihannya malah framing wacana yang
menciptakan pembelahan sosial. Yang diimpikan kemajuan bangsa, pilihannya malah
cenderung merayakan kedangkalan, menghindari kedalaman, kurang memberikan
insentif bagi para peneliti, penemu, pendidik, dan penulis yang menekuni
kedalaman di jalan sunyi.
Di berbagai kesempatan, para pejabat
negara menyerukan revitalisasi Pancasila sebagai panasea atas berbagai kemelut
kebangsaan. Namun, imajinasi terjauh dari pemasyarakatan Pancasila masih
semacam penataran. Pada hal, apabila Pancasila dikehendaki efektifitasnya, ia
harus di implementasikan tidak hanya dalam kerangka tata nilai, tetapi juga
dalam tata kelola negara dan tata sejahtera.
Pancasila itu dimulai dari sila yang
abstrak dan berakhir dengan yang konkrit. Makin konkrit, makin sulit
pembumiannya. Masalahnya, bilamana kita gagal mewujudkan yang konkrit, banyak
orang akan menguatkan pegangannya ke langit abstrak, sebagai mekanisme
pertahanan diri. Oleh karena itu, cara yang paling tepat merevitalisasi
Pancasila adalah dengan melakukan semacam rekayasa terbalik. Kita harus
menjadikan urusan keadilan sosial di posisi terdepan sebagai lokomotif untuk
menarik rangkaian gerbong aktualisasi sila-sila lainnya.
Sila Keadilan Sosial merupakan
perwujudan yang paling kongkrit dari prinsip-prinsip Pancasila. Prinsip
keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan,
simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial
harus mencerminkan imperatif etis ke empat sila lainnya. Di sisi lain,
otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa di takar dari perwujudan keadilan
sosial dalam peri kehidupan kebangsaan. Kesungguhan negara melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan persatuan bisa dinilai
dari usaha nyatanya dalam mewujudkan keadilan sosial.
Betapapun kuatnya jahitan persatuan
nasional, apabila ketidak adilan tak lagi tertahankan perlawanan dan
kecemburuan sosial akan meruyak dalam ragam ekspresi kekerasan dengan
menggunakan baju identitas sebagai legitimasi simboliknya. Fakta-fakta empiris
menunjukkan, daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan
kesenjangan sosial yang lebar merupakan ladang persemaian subur bibit-bibit
kekerasan. Meluasnya rasa ketidakadilan juga bukan wahana yang kondusif bagi
pengapresiasian gagasan inklusi sosial.
Tendensi perekonomian yang melandai
dibarengi kesenjangan sosial yang lebar menyimpan bom waktu bagi bentrokan sosial.
Rachel M Mc Cleary & Robert J Barro
dalam The Wealth of Religions (2019)
mengingatkan bahwa peningkatan tingkat pendidikan dalam kemunduran perekonomian
bisa melahirkan sumber daya yang tak termanfaatkan (under-Utilized human capital). Orang terdidik, dengan ekspektasi
mobilitas vertikal, mendapat peluang usaha dan kerja yang menyempit, bisa
berpaling pada kelompok keagamaan militant sebagai jangkar keyakinan, identitas,
dan jaminan sosial.
Lewat symptomatic reading, penguatan radikalisme agama harus dipandang
sebagai pertanda kelemahan tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera dalam
kehidupan bernegara. Pemerintahan yang bertanggung jawab akan menjadikan hal
itu sebagai sarana koreksi diri ketimbang sekadar menyalahkan atau
memperhadapkan sesama warganya.
Dalam meniti jembatan rawan ini,
tantangan terberatnya ialah memulihkan rasa saling percaya. Rasa saling percaya
bisa dirajut lewat penguatan inklusi sosial berbasis keadilan sosial. Negara
harus hadir memenuhi amanat pokok pikiran pertama Pembukaan UUD 1945; Negara-
begitu bunyinya-yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber: Kompas 14 November 2019
Diskursus: Perbandingan, Pertanyaan
Setelah membaca tulisan Yudi Latif
demikian lebih seksama, marilah kita dalami substansinya lebih jauh (lebih
filosofis). Untuk ini kita analisis lebih dulu alinea pertama (terjebak
pencitraan) yang berbunyi sebagai berikut :
Ø Ekonomi melemas[9]
Ø Kesenjangan meluas
Ø Demokrasi oligarchis
Ø Kepemimpinan mediokratis
Ø Birokrasi nir integritas
Ø Pendidikan tidak berkualitas
Ø Kohesi sosial meretas
Ø Agama mengeras
Ø Rasa percaya meranggas
Ø Kebanggaan nasional terjun bebas
Setelah itu alinea kedua (inkonsistensi) yang berbunyi
sebagai berikut:
§ Yang dikeluhkan defisit neraca
perdagangan, pilihannya malah menjadikan hilir sebagai hulu dan hulu sebagai
hilir[10]
§ Lebih mengagungkan inovasi perangkat
hilir penjualan (digital marketing,
platform) ketimbang pembenahan hulu sektor produktif[11]
§ Yang didengungkan penyehatan
demokrasi, pilihannya pengukuhan oligarkhi dalam lembaga perwakilan dan kabinet
§ Yang diprihatinkan pemudaran
nilai-nilai kewargaan dan karakter bangsa, pilihannya malah rezim pendidikan
pragmatis
§ Yang didambakan pengembangan riset
dan inovasi, pilihannya malah pemusatan riset pada negara tanpa mendorong
inisiatif riset-inovasi dunia usaha dalam kerangka transformasi menuju knowledge economy
§ Yang dikawatirkan adalah mengerasnya
radikalisme agama, pilihannya malah politisasi kampanye anti-radikalisme agama
dengan memproduksi stigma, yang dapat menguatkan identitas kelompok dan
menjadikannya sebagai simbol perlawanan politik
§ Yang diinginkan kohesi sosial,
pilihannya malah framing wacana yang
menciptakan pembelahan sosial.
§ Yang diimpikan kemajuan bangsa,
pilihannya malah cenderung merayakan kedangkalan, menghindari kedalaman, kurang
memberikan insentif bagi para peneliti, penemu, pendidik, dan penulis yang
menekuni kedalaman di jalan sunyi.
Pertanyaan
kemudian; … → dimana letak dan tempat “pemikiran, paradigma, atau konsep”
Bung Karno dalam konteks demikian? Adakah kedekatannya, atau malah (ibarat) antara
bumi dan langit, alias tak ada hubungannya sama sekali?
Mari sama-sama kita telaah/jawab. Kita telaah secara
mendalam, radikal, atau filosofis. Merdeka!
R E F E R E N S I
Budiardjo Miriam, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia,
Jakarta
Hartati, Sri Enny, 26 November 2019, Memitigasi Ancaman
Resesi, Kompas, Jakarta
Latif, Yudi, 2019, Meniti Jembatan Rawan, Kompas, Jakarta
Soekarno, 1963, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta
Suryasumantri, Yuyun, 1999, Ilmu Dalam Persfektif,……Jakarta.
[1] Meminjam
litani Bung Karno, agar dinamis, dialektis, dan romantik, sehingga tampil kader
yang revolusioner-nasionalistik, yakin dengan kekuatan sendiri (self help),
untuk mencapai masyarakat yang adil dan Makmur.
[2]
Mahfud MD menengarai mahasiswa saat ini hanya mau cepat lulus dan IP tinggi.
[3]
Ilustrasinya adalah peledakan bom di Mapolresta Medan. Pertanyaannya:…mengapa
terjadi peledakan bom di Mapolresta Medan. Setelah diusut sana-sini ternyata
“jawabannya” adalah karena pembom tersebut telah terpapar aliran “radikalisme”.
Seorang yang berfikir filsafati tidak akan puas dengan jawaban seperti itu. Ia
akan mempertanyakan lebih seksama apa itu radikalisme, mengapa bisa terjadi,
siapa yang mengajarkan aliran tersebut, dimana diajarkan, adakah hubungannya
dengan luar negeri, sudah banyakkah pengikutnya d Indonesia?, bagaimana
penanganan yang dilakukan pemerintah terhadapnya?, adakah sudah masuk juga ke
dunia kampus? Jangan-jangan di tetangga kita pun sudah banyak pengikutnya? Dan
sekian pertanyaan yang tak habis-habisnya…….begitulah berpikir filsafat.
[4]
Membuat pertanyaan yang bagus adalah tugas utama seorang calon-calon
terpelajar/intelektual/inteligensia/cendekiawan, seperti adik-adik yang hadir
dalam pertemuan ini. Sering mahasiswa yang akan menyusun karya tulis atau
berbicara dengan pihak lain tidak/kurang logis menyusun atau membicarakan
pertanyaannya. Kongkritnya tidak komunikatif.
[5]
Filsafat yang berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide.
Intinya adalah penekanan pada realitas ide, gagasan, pemikiran sebagai suatu
penekanan pada objek dan daya material. Kebalikannya adalah filsafat
pragmatism, yakni filsafat yang berpaham bahwa yang benar dengan melihat kepada
akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran
objektif dan pengetahuan yang penting, melainkan kegunaan pengetahuan tersebut.
Untuk melengkapi kedua jenis filsafat ini, sebaiknya dipelajari juga
filsafat-filsafat yang lain, seperti filsafat Realisme, Materialisme,
Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme, dan Esensialisme (Destry
Baiziah, https//id.scribd.com)
[6]
Raja-raja feodal yang dimaksud Bung Karno adalah sistim pemerintahan atau
kekuasaan oleh raja yang menjalankan pemerintahan atau kekuasaan secara
otoriter. Sejak era kuno/era Hindu hingga era penjajahan Belanda, kaum Marhaen
itu tak pernah merdeka….Marhaen Indonesia tak pernah merdeka. Marhaen Indonesia
sebagai rakyat Marhaen di seluruh dunia, sampai kini belum pernah merdeka!
Marhaen Indonesia itu di zaman Hindu, tatkala negeri Indonesia bernama merdeka
dari Hindustan, adalah diperintah raja-rajanya secara feodalisme: Mereka
hanyalah menjadi perkakas saja dari raja-raja itu dengan segala
bala-keningratannya, mereka tidak mempunya hak menentukan sendiri putih-hitam
nasibnya, mereka senantiasa di tindas oleh kaum atasan dari pada masyarakat
Indonesia itu, sebagaimana kaum marhaen dimana-mana negeri di muka bumi di
zaman feodalisme juga menderita nasib tertindas dan terkungkung (DBR, 1963:259)
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, feodalisme
diartikan sebagai berikut, (a) sistim sosial atau politik yang memberikan
kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan, (b) sistim sosial yang
mengagung-agungkan jabatan atau pangkat, dan bukan mengagung-agungkan prestasi
kerja, (c) sistim sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh
kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah
[7]
Menurut Bung Karno, kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari
cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme
timbul dari ini cara produksi yang oleh karenanya, menjadi sebabnya nilai lebih
tidak jatuh di dalam tangan kaum buruh, melainkan jatuh di dalam tangan kaum
majikan. Kapitalisme oleh karenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital,
konsentrasi kapital, sentralisasi kapital dan industri reserve-armee. Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung (memelaratkan kaum buruh)
(Soekarno, 1989, Indonesia Menggugat, hal 13-14)
Sedangkan Imperialisme (menurut Bung Karno) adalah
suatu nafsu, suatu sistem menguasai, atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau
negeri, suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain
(ibid hal 14)
[8]
Didasarkan kepada pemikirannya Hegel,seorang
guru besar filsafat di Universitas Berlin,
yang bermazhab idealism. Hegel menganalisa
bagaimana panca indera manusia yang terbatas kemampunnya berusaha untuk
menangkap kebenaran. Beliau berpendapat bahwa apa yang dianggap oleh manusia
sebagai kebenaran, sebenarnya hanya merupakan sebagian saja dari kebenaran itu.
Kebenaran dalam keseluruhannya hanya dapat ditangkap oleh pikiran manusia
melalui proses dialektik (proses dari tesis, melalui antithesis menuju ke
sintesis, kemudian mulai lagi dari permulaan dan begitu seterusnya) sampai
kebenaran yang sempurna tertangkap.
Dalam menjelaskan proses dialektik, Hegel mengatakan bahwa proses ini
dilandasi oleh dua gagasan; pertama, gagasan bahwa semua berkembang dan terus
menerus berubah; kedua, gagasan bahwa semua mempunyai hubungan satu sama lain.
Misalnya saja, suatu konsep A yang dianggap sebagai kebenaran pada hakikatnya
mengandung unsur-unsur yang benar, akan tetapi juga unsur-unsur yang tak benar.
Agar supaya pikiran manusia dapat menangkap konsep yang lebih dekat kepada
kebenaran yang sempurna, maka konsep A harus dihadapkan dengan konsep B. Konsep
B merupakan kebalikan dari konsep A sekalipun telah lahir dari konsep A
sendiri. Dari hasil konfrontasi antara konsep A dan konsep B timbullah konsep C
yang dinamakan sintesis dan merupakan hasil dari pergumulan antara tesis
(konsep A) dan antithesis (konsep B). Proses tesis, antithesis, dan sintesis
dinamakan gerak yang berdasarkan hukum dialektik (Miriam Budiardjo, 2013:141)
[9]
Artikel Enny Sri Hartati 26 November di harian Kompas dapat membantu betapa
perekonomian kita semakin terpuruk. Kita kutif sebagian:…tidak heran jika
selama Januari-Oktober 2019 defisit neraca perdagangan Indonesia menembus angka
1,787 milyat dollar AS. Ironisnya, deficit perdagangan tak hanya disebabkan
oleh penurunan ekspor (minus 7,8 persen), tetapi juga diikuti penurunan impor
yang lebih besar (minus 9,94 persen). Parahnya, impor bahan baku dan penolong
turun hingga 11,19 persen secara tahunan serta impor barang modal turun 4,94
persen. Utamanya bahan kimia organic yang anjlok 15,52 persen dan serealia yang
turun 14,18 persen. Dua komoditas ini merupakan bahan baku industry makanan dan
minuman yang porsinya hamper 30 persen dari industry non migas
Jika pada triwulan III-2019 industri pengolahan tumbuh
4,15 persen, dengan turunnya impor bahan baku, ke depan industri niscaya makin
anjlok. Terbukti, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Oktober 2019 turun
lagi ke level 47,7. PMI mencerminkan optimism pelaku sektor bisnis terhadap
prospek perekonomian ke depan. Angka PMI di atas 50 berarti manufaktur tengah
ekspansi atau tumbuh, tetapi jika di bawah 50, berarti mengalami kontraksi.
Sejak Juli 2019, PMI Indonesia ada di bawah 50, berturut-turut Juli (49,6),
Agustus (49), dan September (49,1)
[10]
Hubungkan dengan foot notes no 7
[11]
Ibid dengan foot notes no 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar