Oleh :
Reinhard Hutapea
Staf
Pengajar FISIP UNTAG Jakarta
Published, Mimbar Umum,
14 Desember 1992
Tema ini telah sering, bahkan terlalu sering diperbincangkan
para khalayak dalam pergaulan masyarakat sehari-hari. Baik itu dalam bentuk
seminar, panel diskusi, dan lain-lain bentuk pertemuan formal. Begitu pula
dalam bentuk tulisan dimedia-media massa, seperti surat kabar, majalah, dan
lain-lain penerbitan
Para pakar, tokoh atau kalangan yang berminat dalam masalah
tersebut saling silang-menyilang argumen, dalih, pendapat atau tanggapan sesuai
dan sebatas disiplin atau kemampuan yang dimiliki. Mereka begitu anthusias
mempertahankan pendapat yang umumnya selalu berbenturan karena sudut pandang
yang saling berbeda.
Suatu yang lumrah bahwa seorang ilmuwan yang berkutat dengan
alam teori berbenturan pendapat dengan seorang praktisi. Di pihak lain dalam
disiplin ilmu sendiri titik pertemuan sukar dipenuhi karena pendekatan yang
tidak sama. Akibatnya yang mencuat dan menonjol kepermukaan adalah primat
perbedaan pendapat. Kalaupun terjadi kesepakatan adalah sepakat untuk tidak
sepakat.
Perbedaan pendapat memang tidak mungkin dihindari, kecuali
barangkali kalau langit dan bumi bertemu. Mereka yang arif tentunya sudah
maklum, dalam artian tiada masalah. Perbedaan pendapat adalah ilmiah dan juga
suatu bukti bahwa romantika, dinamika dan dialektika masih hidup. Demikian urai
Bung Karno ketika masih mentas dipanggung kekuasaan beberapa dekade yang lalu
Namun ada trend bahwa perbedaan pendapat yang merupakan
komponen scientisme dan demokrasi itu dianggap sebagai tidak ilmiah dan tidak
demokratis. bahkan dianggap sebagai melawan dan makar apabila direlasikan
dengan masalah-masalah kekuasaan. Bagaimana posisi mahasiswa, khususnya gerakan
mahasiswa dalam situasi tersebut menjadi tujuan pembahasan artikel singkat ini
Mahasiswa dan Kekuasaan
Ciri tersendiri dari penguasa adalah naluri untuk
mempertahankan kekuasaannya. Penguasa ini dengan segala metode, cara, all out
berupaya mempertahankan predikat tersebut agar tetap di tangan. Suatu hal yang
lumrah bagi setiap manusia sebagaimana yang banyak dikupas para pakar sosial
dari dulu hingga abad informasi ini.
Yang klasik dan aktual menjadi masalah adalah bagaimana
kekuasaan itu digunakan. Adakah itu misalnya sungguh-sungguh demi kepentingan
mayoritas, bukankah hanya untuk segelintir elit? Dan segudang pertanyaan yang
lain
Jawabannya mungkin tidak terlalu sukar. Pertama, bila sistim
yang berlangsung sudah demokratis maka kekuasaan yang diemban biasanya demi
kepentingan orang banyak. Kedua/sebaliknya, apabila sistimnya tidak demokratis,
seperti diktator, absolut dan totaliter, maka dapat dibayangkan bahwa kekuasaan
itu hanya demi kepentingan sang diktator atau totalitarian tersebut
Bagi negara-negara yang sudah maju biasanya sistim sosial dan
kebudayaannya telah demokratis. sebaliknya bagi negeri-negeri yang
diklasifikasikan sedang berkembang, antara sistim yang satu dan sistim yang
lain belum seiring. Sistim ekonominya barangkali sudah menyerupai negara maju,
tapi sistim-sistim yang lain mengalami stagnasi, kepincangan atau dekadensi.
Ketimpangan tersebut khasak mata kita temukan khususnya bagi
setiap perguruan tinggi di negeri yang dikategorikan under developed tadi. Karena umumnya mantan jajahan maka
universitas yang dipentaskan an sich
masih warisan kolonial Barat. Kaidah-kaidah, norma-norma, atau tradisi yang
dipakai mayoritas (kalau tidak semua) masih paradigma mereka.
Oleh karena itu tidak berlebihan kalau ada sinyalemen yang
menyatakan bahwa perguruan tinggi kita berjalan bak jet membelah langit (sangat
cepat), sementara masyarakatnya masih merangkak-rangkak (sangat lambat).
Karenanya Bung Hatta pagi-pagi sudah berpesan bahwa kaum terpelajar kita
(intelektual, cendekiawan) adalah orang Barat di Timur.
Mahasiswa sebagai calon-calon cendekia sesuai dengan labelnya
nan kritis dan usianya yang masih muda , dengan cepat dan sensitip melihat
suasana sekeliling (lingkungan) yang umumnya sukar dipertanggungjawabkan karena
terdapatnya kemiskinan, ketidakadilan sistim dan norma sosial yang belum
mantap, administrasi negara yang kacau dan penggunaan kekuasaan yang
sewenang-wenang.
Tema-tema kepincangan tersebut menjadi rona diskusi-diskusi
atau dialog para mahasiswa. Dengan kekritisannya mereka ingin berbuat dengan
cepat (revolusioner) suatu perubahan sosial-politik (political and social
change) ke arah pembaharuan yang lebih baik (inovasi-inovasi). Metode ini
sebagaimana di singgung di depan akan berhadapan dengan pelaksana organisasi
negara, yaitu para penguasa (the rulling class, power establishment)
Para mahasiswa yang kritis dan sensitip terebut biasanya akan
menyampaikan segala buah pikiran atau unek-uneknya melalui saluran yang sudah
disediakan penguasa (saluran resmi). Hl seperti ini tentu tidak ada masalah,
sebab dianggap melalui jalur. Namun apabila disampaikan melalui saluran
sebaliknya (tidak resmi alias keluar rel) maka problematikanya akan marak.
Marak dalam artian terjadi benturan antara dua visi yang saling kontradiktip
antara moral dan kepentingan
Gerakan Mahasiswa
Mahasiswa yang terjuan dalam dunia gerakan adalah insan-insan
politik. Hal ini lebih jauh dapat ditelusuri dari setting historis maupun
kiprah-kiprah sosialnya. Organisasi-organisasi mahasiswa ekstra universiter,
seperti HMI, PMKRI, GMKI, GMNI dan PMII terlahir karena kesadaran mereka
terhadap peranan bangsa yang dicintainya.
Kelompok ini pada awal kemerdekaan telah sadar bahwa tidak
mungkin ilai-nilai warisan kolonial, seperti “materialisme dan sekularisme”
diajarkan diperguruan-perguruan tinggi kita. Bertolak dari sinyaliran ini GMNI
mencanagkan pentingnya “nasionalisme” disosialisasikan bagi seluruh masyarakat,
terlebih-lebih bagi kader-kadernya. Lafran Pane (salah satu pendiri HMI)
mengakui adagium tersebut. Makanya beliau pernah mengatakan bahwa latar
belakang kelahiran HMI adalah “nasionalisme”. Kalau HMI mengambil motto “Ulama
Cendekiawan-Cendekiawan Ulama”, maka GMNI “Pejuang Pemikir-Pemikir Pejuang”.
Walaupun secara kata per kata/kalimat
berbeda, namun tujuannya tetap sama, yakni mengisi kemerdekaan dengan kesadaran
kebangsaan.
Motto ini selanjutnya diimplementasikan dalam rangka
kepedualian mereka terhadap masalah-masalah berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Tidak cukup hanya berkutat dalam buku atau teori di kampus,
melainkan perlu diaplikasikan dalam pentas sebenarnya, yaitu panggung politik
dengan segala jurus persilatannya.
Kiprah-kiprah mereka sebagaimana fakta sejarahnya tidak ada
yang membantah. Mungkin apabila bulan dapat bersuara akan mengakui hal itu. kritik-kritik
sosial yang mereka tembakkan kesasaran turut mempengaruhi sistim politik. Olh
karena itulah walau tidak tercatat sebagai “kelompok penekan”, namun secara
fungsional mereka lebih menggigit ketimbang pressure
group yang ada.
Betapa dahsyatnya tekanan-tekanan politik yang disodokkan
pada sasaran-sasarannya membuat the
rulling class seperti cacing kepanasan. Kepanasan karena memang terjadi
kekeliruan, kesalahan, maupun pembiasan sehingga terus dicecar. Sebagai counter attack the rulling clash ini dipaksa
untuk menciptakan organisasi pengimbang (kekuatan versus kekuatan).
Implementasinya dapat dilihat ketika rezim Soekarno pada awal dekade 60-an
memberi angin segar bagi organisasi mahasiswa intra universiter memancangkan
bendera lebar-lebar yang terkenal dengan sebutan “dewan mahasiswa” (dema). Dema
ini selanjutnya turut andil meramaikan persilatan politik mahasiswa. Namun
suatu bukti bahwa Dema pun ternyata tetap dikendalikan oleh kelompok organisasi
ekstra universiter tadi.
Setting-setting politik yang dilakonkan tak pernah lenyap
dari layar pertunjukan kekuasaan. Baik itu melalui statement-statement, petisi,
kritik sosial hingga ke pola yang lebih dahsyat seperti aksi turun ke jalan,
demonstrasi dan lain-lain peringkat protes keras.
Kritik-kritik tajam dan pedas bagai cabe rawit ini,
terlebih-lebih gerakan yang diformatkan dalam bentuk demonstrasi disebut-sebut
sebagai tidak sesuai dengan sifat kebangsaan kita. Cara-cara seperti itu
dianggap kurang ajar alias tidak sopan. Anehnya perguruan tinggi kita secara
tidak sadar mengajarkan konteks seperti itu. ilmu adalah linier, kritis dan
liberal. Otomatis aplikasinya pun seperti itu.
Demikianlah kontradiksinya, yakni pertentangan antara hakikat
dari dunia kecendekiaan versus sistim kemasyarakatan yang belum ilmiah.
Konstatasi ini mau tak mau, senang atau tidak, dapat diterima apa sebaliknya
bermuara kepada siapa yang menentukan atau yang punya kekuatan. Jawabannya
adalah penguasa.
Kemudian dalil yang menonjol adalah “penting atau tidak”,
mengganggu atau aman. Logika ini lazim dikenal sebagai tool/instrumen politik.
Gerakan mahasiswa yang mempunyai dua sisi yang tidak selalu sejalan, yakni
kecendekiaan yang berprimat moral dan dunia politik yang mengutamakan
kepentingan harus dilihat dalam konteks ini.
Karena primat penguasa adalah kepentingan (interest) maka
alur pikirannyapun selalu berada dalam lingkaran tersebut. Bisa saja mereka
menyatakan bahwa mahasiswa masih kurang dewasa, hanya menjadi sumber
instabilitas politik dan lain-lain tuduhan yang mendiskteditkan, namun dibalik
itu tersirat maksud ada bahaya di balik gerakan (sejenis udang dibalik
kepiting).
Gaya-gaya seperti itu telah lumrah dalam permainan politik.
Ngomong begini, sasarannya begitu. Tembak kiri, yang dilirik kanan (mirip main
pimpong atau karambol). Kaum yang polos, lugu dan atau tidak biasa main
sandiwara seperti itu biasanya akan ngomong “kok jadi gini”
Mahasiswa yang dimaksudkan untuk menjadi golongan intelektual
sering berpendapat seperti itu. (suatu hal yang lumrah karena belum punya pengalaman)
Disisi lain mahasiswa dituntut jeli. Tidak tertutup
kemungkinan gerakan politiknya ditunggangi kelompok tertentu yang vested
interest. Banyak pakar/ilmuwan melihat bahwa gerakan mahasiswa hanya an sich sebagai avant garde (ujung tombak).
Contoh yang tetap aktual dan klasik adalah revolusi mahasiswa
perancis 1968. Aksi ini dimulai dari larangan mahasiswa pria yang bertandang
(pacaran) ke asrama putri dilanjutkan dengan protes kepada otoritas perguruan
tingginya (Sorbonne University) dan berakhir dengan tuntutan De Gaulle
(Presiden) turun dari takhta kekuasaan. Selidik punya selidik mahasiswa
ditunggangi pihak komunis, sebagaimana yang diakui mascotnya, Daniel Cohn
Bendit kepada wartawan yang mewawancarainya. Bendit tak lebih tak kurang hanya
bisa menggerakkan massa.
Sementara itu di Jepang ada teori yang populer dengan sebutan
“lingkaran sepuluh tahun gerakan mahasiswa”, yang mana juga ditunggangi
kelompok lain. Menurut teori ini universitas-universitas Jepang ditandai dengan
adanya puncak keresahan mahasiswa setiap siklus sepuluh tahun.
Tahun 1950 malapetaka terjadi ketika meletus perang Korea.
Mahasiswa menentang pembersihan Kaum Merah yang diprakarsai partai Komunis.
Tahun 1960 pada waktu terjadi revisi perjanjian keamanan antara Amerika Serikat
dengan jepang, mahasiswa menentang revisi tersebut. pemrakarsanya adalah Bund
(Kyosan-Do, serikat komunis) dan tahun 1970 mahasiswa menentang perpanjangan
perjanjian keamanan yang dimotori oleh New Left (Zenkyoto)
Partisipasi
Dari uraian di atas terlihat bahwa mahasiswa dapat berperan
dalam setiap sistim politik. Hal ini sesuai dengan sifat-sifat (Fremerey M,
1976) ataupun strata sosialnya (Lipset SM & Altbach PG, 1969). Konteks ini
semakin jelas bagi mereka yang masuk dalam dunia gerakan, yang dalam bahasa lain
dapat diartikan sebagai mahasiswa yang berpolitik. Masalah sekarang adalah
sejauh mana partisipasi politik tersebut?. Ketika perdebatan sampai disini maka
jawabannya tak pernah tuntas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar