Rabu, 28 September 2016

PARTISIPASI GERAKAN MAHASISWA DALAM SISTIM POLITIK




Oleh : Reinhard Hutapea
Staf Pengajar FISIP UNTAG Jakarta
Published, Mimbar Umum, 14 Desember 1992

Tema ini telah sering, bahkan terlalu sering diperbincangkan para khalayak dalam pergaulan masyarakat sehari-hari. Baik itu dalam bentuk seminar, panel diskusi, dan lain-lain bentuk pertemuan formal. Begitu pula dalam bentuk tulisan dimedia-media massa, seperti surat kabar, majalah, dan lain-lain penerbitan
Para pakar, tokoh atau kalangan yang berminat dalam masalah tersebut saling silang-menyilang argumen, dalih, pendapat atau tanggapan sesuai dan sebatas disiplin atau kemampuan yang dimiliki. Mereka begitu anthusias mempertahankan pendapat yang umumnya selalu berbenturan karena sudut pandang yang saling berbeda.
Suatu yang lumrah bahwa seorang ilmuwan yang berkutat dengan alam teori berbenturan pendapat dengan seorang praktisi. Di pihak lain dalam disiplin ilmu sendiri titik pertemuan sukar dipenuhi karena pendekatan yang tidak sama. Akibatnya yang mencuat dan menonjol kepermukaan adalah primat perbedaan pendapat. Kalaupun terjadi kesepakatan adalah sepakat untuk tidak sepakat.
Perbedaan pendapat memang tidak mungkin dihindari, kecuali barangkali kalau langit dan bumi bertemu. Mereka yang arif tentunya sudah maklum, dalam artian tiada masalah. Perbedaan pendapat adalah ilmiah dan juga suatu bukti bahwa romantika, dinamika dan dialektika masih hidup. Demikian urai Bung Karno ketika masih mentas dipanggung kekuasaan beberapa dekade yang lalu
Namun ada trend bahwa perbedaan pendapat yang merupakan komponen scientisme dan demokrasi itu dianggap sebagai tidak ilmiah dan tidak demokratis. bahkan dianggap sebagai melawan dan makar apabila direlasikan dengan masalah-masalah kekuasaan. Bagaimana posisi mahasiswa, khususnya gerakan mahasiswa dalam situasi tersebut menjadi tujuan pembahasan artikel singkat ini
Mahasiswa dan Kekuasaan
Ciri tersendiri dari penguasa adalah naluri untuk mempertahankan kekuasaannya. Penguasa ini dengan segala metode, cara, all out berupaya mempertahankan predikat tersebut agar tetap di tangan. Suatu hal yang lumrah bagi setiap manusia sebagaimana yang banyak dikupas para pakar sosial dari dulu hingga abad informasi ini.
Yang klasik dan aktual menjadi masalah adalah bagaimana kekuasaan itu digunakan. Adakah itu misalnya sungguh-sungguh demi kepentingan mayoritas, bukankah hanya untuk  segelintir elit? Dan segudang pertanyaan yang lain
Jawabannya mungkin tidak terlalu sukar. Pertama, bila sistim yang berlangsung sudah demokratis maka kekuasaan yang diemban biasanya demi kepentingan orang banyak. Kedua/sebaliknya, apabila sistimnya tidak demokratis, seperti diktator, absolut dan totaliter, maka dapat dibayangkan bahwa kekuasaan itu hanya demi kepentingan sang diktator atau totalitarian tersebut
Bagi negara-negara yang sudah maju biasanya sistim sosial dan kebudayaannya telah demokratis. sebaliknya bagi negeri-negeri yang diklasifikasikan sedang berkembang, antara sistim yang satu dan sistim yang lain belum seiring. Sistim ekonominya barangkali sudah menyerupai negara maju, tapi sistim-sistim yang lain mengalami stagnasi, kepincangan atau dekadensi.
Ketimpangan tersebut khasak mata kita temukan khususnya bagi setiap perguruan tinggi di negeri yang dikategorikan under developed tadi. Karena umumnya mantan jajahan maka universitas yang dipentaskan an sich masih warisan kolonial Barat. Kaidah-kaidah, norma-norma, atau tradisi yang dipakai mayoritas (kalau tidak semua) masih paradigma mereka.
Oleh karena itu tidak berlebihan kalau ada sinyalemen yang menyatakan bahwa perguruan tinggi kita berjalan bak jet membelah langit (sangat cepat), sementara masyarakatnya masih merangkak-rangkak (sangat lambat). Karenanya Bung Hatta pagi-pagi sudah berpesan bahwa kaum terpelajar kita (intelektual, cendekiawan) adalah orang Barat di Timur.
Mahasiswa sebagai calon-calon cendekia sesuai dengan labelnya nan kritis dan usianya yang masih muda , dengan cepat dan sensitip melihat suasana sekeliling (lingkungan) yang umumnya sukar dipertanggungjawabkan karena terdapatnya kemiskinan, ketidakadilan sistim dan norma sosial yang belum mantap, administrasi negara yang kacau dan penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang.
Tema-tema kepincangan tersebut menjadi rona diskusi-diskusi atau dialog para mahasiswa. Dengan kekritisannya mereka ingin berbuat dengan cepat (revolusioner) suatu perubahan sosial-politik (political and social change) ke arah pembaharuan yang lebih baik (inovasi-inovasi). Metode ini sebagaimana di singgung di depan akan berhadapan dengan pelaksana organisasi negara, yaitu para penguasa (the rulling class, power establishment)
Para mahasiswa yang kritis dan sensitip terebut biasanya akan menyampaikan segala buah pikiran atau unek-uneknya melalui saluran yang sudah disediakan penguasa (saluran resmi). Hl seperti ini tentu tidak ada masalah, sebab dianggap melalui jalur. Namun apabila disampaikan melalui saluran sebaliknya (tidak resmi alias keluar rel) maka problematikanya akan marak. Marak dalam artian terjadi benturan antara dua visi yang saling kontradiktip antara moral dan kepentingan
Gerakan Mahasiswa
Mahasiswa yang terjuan dalam dunia gerakan adalah insan-insan politik. Hal ini lebih jauh dapat ditelusuri dari setting historis maupun kiprah-kiprah sosialnya. Organisasi-organisasi mahasiswa ekstra universiter, seperti HMI, PMKRI, GMKI, GMNI dan PMII terlahir karena kesadaran mereka terhadap peranan bangsa yang dicintainya.
Kelompok ini pada awal kemerdekaan telah sadar bahwa tidak mungkin ilai-nilai warisan kolonial, seperti “materialisme dan sekularisme” diajarkan diperguruan-perguruan tinggi kita. Bertolak dari sinyaliran ini GMNI mencanagkan pentingnya “nasionalisme” disosialisasikan bagi seluruh masyarakat, terlebih-lebih bagi kader-kadernya. Lafran Pane (salah satu pendiri HMI) mengakui adagium tersebut. Makanya beliau pernah mengatakan bahwa latar belakang kelahiran HMI adalah “nasionalisme”. Kalau HMI mengambil motto “Ulama Cendekiawan-Cendekiawan Ulama”, maka GMNI “Pejuang Pemikir-Pemikir Pejuang”. Walaupun  secara kata per kata/kalimat berbeda, namun tujuannya tetap sama, yakni mengisi kemerdekaan dengan kesadaran kebangsaan.
Motto ini selanjutnya diimplementasikan dalam rangka kepedualian mereka terhadap masalah-masalah berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tidak cukup hanya berkutat dalam buku atau teori di kampus, melainkan perlu diaplikasikan dalam pentas sebenarnya, yaitu panggung politik dengan segala jurus persilatannya.
Kiprah-kiprah mereka sebagaimana fakta sejarahnya tidak ada yang membantah. Mungkin apabila bulan dapat bersuara akan mengakui hal itu. kritik-kritik sosial yang mereka tembakkan kesasaran turut mempengaruhi sistim politik. Olh karena itulah walau tidak tercatat sebagai “kelompok penekan”, namun secara fungsional mereka lebih menggigit ketimbang pressure group yang ada.
Betapa dahsyatnya tekanan-tekanan politik yang disodokkan pada sasaran-sasarannya membuat the rulling class seperti cacing kepanasan. Kepanasan karena memang terjadi kekeliruan, kesalahan, maupun pembiasan sehingga terus dicecar. Sebagai counter attack the rulling clash ini dipaksa untuk menciptakan organisasi pengimbang (kekuatan versus kekuatan). Implementasinya dapat dilihat ketika rezim Soekarno pada awal dekade 60-an memberi angin segar bagi organisasi mahasiswa intra universiter memancangkan bendera lebar-lebar yang terkenal dengan sebutan “dewan mahasiswa” (dema). Dema ini selanjutnya turut andil meramaikan persilatan politik mahasiswa. Namun suatu bukti bahwa Dema pun ternyata tetap dikendalikan oleh kelompok organisasi ekstra universiter tadi.
Setting-setting politik yang dilakonkan tak pernah lenyap dari layar pertunjukan kekuasaan. Baik itu melalui statement-statement, petisi, kritik sosial hingga ke pola yang lebih dahsyat seperti aksi turun ke jalan, demonstrasi dan lain-lain peringkat protes keras.
Kritik-kritik tajam dan pedas bagai cabe rawit ini, terlebih-lebih gerakan yang diformatkan dalam bentuk demonstrasi disebut-sebut sebagai tidak sesuai dengan sifat kebangsaan kita. Cara-cara seperti itu dianggap kurang ajar alias tidak sopan. Anehnya perguruan tinggi kita secara tidak sadar mengajarkan konteks seperti itu. ilmu adalah linier, kritis dan liberal. Otomatis aplikasinya pun seperti itu.
Demikianlah kontradiksinya, yakni pertentangan antara hakikat dari dunia kecendekiaan versus sistim kemasyarakatan yang belum ilmiah. Konstatasi ini mau tak mau, senang atau tidak, dapat diterima apa sebaliknya bermuara kepada siapa yang menentukan atau yang punya kekuatan. Jawabannya adalah penguasa.
Kemudian dalil yang menonjol adalah “penting atau tidak”, mengganggu atau aman. Logika ini lazim dikenal sebagai tool/instrumen politik. Gerakan mahasiswa yang mempunyai dua sisi yang tidak selalu sejalan, yakni kecendekiaan yang berprimat moral dan dunia politik yang mengutamakan kepentingan harus dilihat dalam konteks ini.
Karena primat penguasa adalah kepentingan (interest) maka alur pikirannyapun selalu berada dalam lingkaran tersebut. Bisa saja mereka menyatakan bahwa mahasiswa masih kurang dewasa, hanya menjadi sumber instabilitas politik dan lain-lain tuduhan yang mendiskteditkan, namun dibalik itu tersirat maksud ada bahaya di balik gerakan (sejenis udang dibalik kepiting).
Gaya-gaya seperti itu telah lumrah dalam permainan politik. Ngomong begini, sasarannya begitu. Tembak kiri, yang dilirik kanan (mirip main pimpong atau karambol). Kaum yang polos, lugu dan atau tidak biasa main sandiwara seperti itu biasanya akan ngomong “kok jadi gini”
Mahasiswa yang dimaksudkan untuk menjadi golongan intelektual sering berpendapat seperti itu. (suatu hal yang lumrah karena belum punya pengalaman)
Disisi lain mahasiswa dituntut jeli. Tidak tertutup kemungkinan gerakan politiknya ditunggangi kelompok tertentu yang vested interest. Banyak pakar/ilmuwan melihat bahwa gerakan mahasiswa hanya an sich sebagai avant garde (ujung tombak).
Contoh yang tetap aktual dan klasik adalah revolusi mahasiswa perancis 1968. Aksi ini dimulai dari larangan mahasiswa pria yang bertandang (pacaran) ke asrama putri dilanjutkan dengan protes kepada otoritas perguruan tingginya (Sorbonne University) dan berakhir dengan tuntutan De Gaulle (Presiden) turun dari takhta kekuasaan. Selidik punya selidik mahasiswa ditunggangi pihak komunis, sebagaimana yang diakui mascotnya, Daniel Cohn Bendit kepada wartawan yang mewawancarainya. Bendit tak lebih tak kurang hanya bisa menggerakkan massa.
Sementara itu di Jepang ada teori yang populer dengan sebutan “lingkaran sepuluh tahun gerakan mahasiswa”, yang mana juga ditunggangi kelompok lain. Menurut teori ini universitas-universitas Jepang ditandai dengan adanya puncak keresahan mahasiswa setiap siklus sepuluh tahun.
Tahun 1950 malapetaka terjadi ketika meletus perang Korea. Mahasiswa menentang pembersihan Kaum Merah yang diprakarsai partai Komunis. Tahun 1960 pada waktu terjadi revisi perjanjian keamanan antara Amerika Serikat dengan jepang, mahasiswa menentang revisi tersebut. pemrakarsanya adalah Bund (Kyosan-Do, serikat komunis) dan tahun 1970 mahasiswa menentang perpanjangan perjanjian keamanan yang dimotori oleh New Left (Zenkyoto)
Partisipasi
Dari uraian di atas terlihat bahwa mahasiswa dapat berperan dalam setiap sistim politik. Hal ini sesuai dengan sifat-sifat (Fremerey M, 1976) ataupun strata sosialnya (Lipset SM & Altbach PG, 1969). Konteks ini semakin jelas bagi mereka yang masuk dalam dunia gerakan, yang dalam bahasa lain dapat diartikan sebagai mahasiswa yang berpolitik. Masalah sekarang adalah sejauh mana partisipasi politik tersebut?. Ketika perdebatan sampai disini maka jawabannya tak pernah tuntas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar