Senin, 26 September 2016

POLITIK KITA, ANTARA MORAL DAN KEPENTINGAN



Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UNTAG Jakarta
Published, Merdeka, 1 Desember 1992

Anggota DPR/MPR peride 1992/1997 telah usai dilantik. Mereka untuk lima tahun ke depan, merupakan wakil dari 180 juta lebih masyarakat Indonesia. Namun sebagaimana rahasia umum, peranan mereka dianggap masih jauh dari sasaran. Bahkan dengan ekstrim Warno Hardjo (ketika itu wakil ketua FKP DPR) mensinyalir bahwa senator-senator rakyat  ini telah mengalami fenomena erosi solidaritas dan erosi moral. Lebih rincinya Warno menyatakan bahwa politisi tersebut cepat menghindar, cari selamat atau membuang badan kalau keputusan yang diambil lembaga, instansi atau jajaran di mana dia berada mendapat reaksi keras dari masyarakat.
Sinyalemen itu mendapat tanggapan yang sangat anthusias dari masyarakat. Hal ini terbukti dari hampir semua media memarakkannya pada awal Agustus 1992. Berbagai pendapat, tanggapan, prediksi, asumsi dan komentar dari para pakar atau public figure bermunculan ibarat cendawan di musim hujan. Teori-teori, pendekatan atau filsafat politik yang ada di buku-buku atau di area kampus tanpa diundang meramaikan kolom-kolom pers Indonesia. Sayang seribu sayang konstalasi ini hanya berlangsung dua minggu. Setelah unek-unek dikeluarkan, maka suasananya mirip kembang yang dipetik dari taman rendezvous layu sebelum berkembang
Artikel singkat ini mencoba mengangkat isu itu kembali, sebab nilainya dianggap tetap strategis, substansial, klasik sekaligus aktual. Sebagai pembahasan pertama, akan dianalisis perbedaan antara politisi dan kaum moralis. Kedua , akan diuraikan sistim dan budaya politik negeri ini, dan yang terakhir atau ketiga adalah hakekat dari politik itu sendiri
Politisi dan Moralis
Dalam dunia ide, seorang mahluk yang berpredikat politisi dan moralis tidak ada pemilahan. Namun dalam alam nyata, kedua mahluk itu merasa perlu dipilah-pilahkan. Bahkan sejalan dengan era yang terus melaju, hakekat keduanya telah pula dengan sangat ekstrim dibedakan
Para moralis, seperti  intelektual, pendeta, ulama, begawan/resi barangkali juga para nabi adalah insan yang dari waktu ke waktu terus berupaya mencari dan mempertahankan kebenaran nan universal demi kemaslahatan, kemakmuran, kejayaan atau keadilan ummat manusia di jagad raya
Sebaliknya, seorang politisi yang populer dengan sebutan praktisi adalah mahluk yang menggunakan “kebenaran” (moral) an sich sebagai instrumen (tools) untuk mencapai kepentingannya. Para praktisi ini bila perlu memanipulasi, memutarbalikkan fakta asal tujuannya tercapai. Knopfelmacher mendefinisikan mereka sebagi berikut:  the man for whom ideas are instrumentalities and blueprints for shifting, shunting and manipulation of men and things
Kriteria yang dilemparkan Knopfelmacher ini idealnya jangan diyakini sebagi paradigma yang hitam atu putih, melainkan dianggap sebagai realtipitas-probabilitas, sebab tidak ada yang abadi di jagad raya. Dalam artian, cukuplah digunakan sebagai semacam pisau analisa untuk membedah problem yang lebih tematikal
Disisi lain, bila dalil tersebut dipakai sebagai absolutisme, tidak tertutup kemungkinan insan yang berpredikat politisi atau yang berminat dalam bidang tersebut dilegitimasi begitu saja sebagai “amoral”. Mudah-mudahan tidak seperti itu.
Negara maupun masyarakat mustahil tanpa politik. Negara adalah politik, juga adalah organisasi kekuasaan. Maurice Duverger berpesan bagaimana memandang kekuasaan ke arah integrasi itulah causa primanya. Masalah terjadi penyalahgunaan, distorsi atau keanehan-keanehan, itu urusan lain
Ada tendensi terjadinya penyalahgunaan, karena ada situasi yang menginjinkan untuk konteks tersebut. hal ini sejak dulu kala telah klasik sekaligus up to date, hingga menjelang tahun 2000 ini. Power tends to corrupt, ujar Lord Acton beberapa abad yang lalu
Untuk memprediksikan mengapa terjadi peluang tidak sehat tersebut dalam panggung politik, lebih relevan bila dikaitkan dengan sistem dan ataukhususnya budaya politik yang sedang dipentaskan.
Orientasi Vertikal
Menurut Dr Riswanda Imawan, sistem rekrutmen politik di Indonesia sungguh salah, sebab para wakil rakyat yang seharusnya memilih patokan norma, moral dan demokrasi dari grassroot (rakyat bawah) tidak muncul sebagaimana diharapkan. Yang terjadi justru elit politik ini nyantol ke atas. Akibatnya, mereka tidak bisa bertanggung jawab ke bawah, tetapi cenderung loyal ke atasan.
Selanjutnya dia mensinyalir bahwa status sosial-ekonomi justru diterapkan, sehingga berkonotasi nepotisme, karena para istri gubernur, bupati atau anak-anak mereka ikut dicalonkan menjadi wakil rakyat. Sedangkan OPP tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan yang lain, sehingga sosialisasi politik mereka akan terhambat
Di lain pihak, praktek politik telah menyebabkan munculnya pemimpin-pemimpin karbitan atau orang-orang yang berposisi seperti petasan yang muncul tiba-tiba, tanpa kita tahu bagaimana perjalanan politik dan atau apa saja yang pernah dibuat oleh orang-orang yang mendadak terpilih tersebut
Mengapa konteks yang penyakitan itu terjadi ?. jawabannya sudah pasti abstrak dan memerlukan pendekatan multi dimensional. Secara politik out put nya telah sangat jelas, yakni distortif. Secara hukum barangkali problematikanya tendensius kepada penyalah gunaan aturan yang telah disepakati dan sekian pendekatan yang lain. Namun untuk konstalasi ini yang kiranya mendekati kebenaran adalah pendekatan sejarah kebudayaan sebagaimana yang disinyalir Koentjaraningrat (1974).
Menurut dia, budaya kita masih tertawan pada orientasi vertikal, yakni nilai-nilai budaya yang terlampau banyak berorientasi kepada vertikal terhadap orang-orang tua serta para senior.
Nilai-nilai yang terlampau nyantol ke atasan ini selanjutnya akan mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri, berusaha sendiri, dan akan menyebabkan timbul sikap tak percaya kepada diri sendiri. Hal ini juga akan menghambat tumbuhnya rasa disiplin pribadi yang murni, karena orang hanya akan taat kalau ada pengawasan dari atas. Yang juga tak kalah pentingnya adalah mematikan rasa tanggung jawab sendiri
Tragis memang, apabila teori ini benar-benar berlangsung pada panggung sebenarnya. Oleh karena itu, sejauhmana validitas ataupun reliabilitasnya, mungkin pembaca lebih berhak memberi interpretasi. Tulisan ini selanjutnya akan kita teruskan kepada hakekat daripada politik itu sendiri
Hakekat Politik
Hakekat politik sebagaimana disinggung di depan, yaitu tentang perbedaan kaum moralis dan praktisi bukan masalah “salah atau benar”, melainkan penting atau tidak (interest faktor). Walaupun salah bila dianggap penting, akhirnya bermuara kepadakebenaran (kebenaran politik). Sebaliknya, apabila dianggap benar namun mengganggu kepentingan akan dilegitimasi sebagai suatu kesalahan. Keedua nilai ini jarang sekali dapat dipersatukan. Seorang pemimpin yang berhasil memadukan kedua diktum tersebut lazimnya dikenal sebagai negarawan atau bangsawan
Disisi lain, dari perihal politik adalah ketidakrasionalannya. Politik tidak selalu masuk akal sehat, karena perasaan memainkan peranan penting disana, urai Maswadi Rauf ketika mengantar buku tulisan April Carter yang berjudul “Otoritas dan demokrasi”
Carter berpendapat, kepatuhan terhadap penguasa politik tidaklah selamanya didasarkan tas pertimbangan rasional. Pertimbangan emosional dapat memainkan peranan dalam memberikan dukungan terhadap penguasa politik, baik dalam pengertian pejabatnya maupun jabatannya. Sudah tahu salah tetapi terus diikuti
Di atas itu semua, masalah politik adalah “kekuasaan” seperti yang dititahkan hukum besi “siapa yang kuat maka dia yang akan berkuasa”. Paradigma ini sudah postulatis dalam artian tak perlu lagi diperdebatkan, sebab memang demikianlah faktanya. Pertanyaan yang penting dikemukakan dalam situasi ini adalah, apakah kekuasaan yang dimiliki itu sudah benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat ? Apakah moral telah menjadi basis bagi kekuasaannya ?
Setelah diuraikan dengan sedikit berputar-putar perbedaan antara politisi dan kaum moralis, sistem dan budaya politik serta hakekat dari politik itu sendiri, maka masalah yang perlu direnungkan adalah bahwa pola politik kita masih dominan berorientasi ke atas. Ekses selanjutnya berakibat negatip bagi politisi tingkat bawah dan menengah, yaitu tidak berani berinisiatip dan bertanggung jawab sendiri.
Solusinya mungkin hanyalah political will dari para pemimpin-pemimpin puncak politik dalam memberikan contoh, teladan, wewenang dan lain-lain nilai demokratis ke tingkat yang lebih bawah. Kelak apabila konteks ini terealisir maka akan tercapai keseimbangan dalam sistem politik, khususnya antara moral dan kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar