Oleh :
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar FISIP UNTAG Jakarta
Published, Merdeka, 1
Desember 1992
Anggota DPR/MPR peride 1992/1997 telah usai dilantik. Mereka
untuk lima tahun ke depan, merupakan wakil dari 180 juta lebih masyarakat
Indonesia. Namun sebagaimana rahasia umum, peranan mereka dianggap masih jauh
dari sasaran. Bahkan dengan ekstrim Warno Hardjo (ketika itu wakil ketua FKP
DPR) mensinyalir bahwa senator-senator rakyat ini telah mengalami fenomena erosi solidaritas
dan erosi moral. Lebih rincinya Warno menyatakan bahwa politisi tersebut cepat
menghindar, cari selamat atau membuang badan kalau keputusan yang diambil
lembaga, instansi atau jajaran di mana dia berada mendapat reaksi keras dari
masyarakat.
Sinyalemen itu mendapat tanggapan yang sangat anthusias dari
masyarakat. Hal ini terbukti dari hampir semua media memarakkannya pada awal
Agustus 1992. Berbagai pendapat, tanggapan, prediksi, asumsi dan komentar dari
para pakar atau public figure bermunculan ibarat cendawan di musim hujan.
Teori-teori, pendekatan atau filsafat politik yang ada di buku-buku atau di
area kampus tanpa diundang meramaikan kolom-kolom pers Indonesia. Sayang seribu
sayang konstalasi ini hanya berlangsung dua minggu. Setelah unek-unek
dikeluarkan, maka suasananya mirip kembang yang dipetik dari taman rendezvous layu sebelum berkembang
Artikel singkat ini mencoba mengangkat isu itu kembali, sebab
nilainya dianggap tetap strategis, substansial, klasik sekaligus aktual.
Sebagai pembahasan pertama, akan dianalisis perbedaan antara politisi dan kaum
moralis. Kedua , akan diuraikan sistim dan budaya politik negeri ini, dan yang
terakhir atau ketiga adalah hakekat dari politik itu sendiri
Politisi dan Moralis
Dalam dunia ide, seorang mahluk yang berpredikat politisi dan
moralis tidak ada pemilahan. Namun dalam alam nyata, kedua mahluk itu merasa
perlu dipilah-pilahkan. Bahkan sejalan dengan era yang terus melaju, hakekat
keduanya telah pula dengan sangat ekstrim dibedakan
Para moralis, seperti
intelektual, pendeta, ulama, begawan/resi barangkali juga para nabi
adalah insan yang dari waktu ke waktu terus berupaya mencari dan mempertahankan
kebenaran nan universal demi kemaslahatan, kemakmuran, kejayaan atau keadilan
ummat manusia di jagad raya
Sebaliknya, seorang politisi yang populer dengan sebutan
praktisi adalah mahluk yang menggunakan “kebenaran” (moral) an sich sebagai instrumen (tools) untuk mencapai kepentingannya.
Para praktisi ini bila perlu memanipulasi, memutarbalikkan fakta asal tujuannya
tercapai. Knopfelmacher
mendefinisikan mereka sebagi berikut: the man for whom ideas are instrumentalities
and blueprints for shifting, shunting and manipulation of men and things
Kriteria yang dilemparkan Knopfelmacher
ini idealnya jangan diyakini sebagi paradigma yang hitam atu putih, melainkan
dianggap sebagai realtipitas-probabilitas, sebab tidak ada yang abadi di jagad
raya. Dalam artian, cukuplah digunakan sebagai semacam pisau analisa untuk
membedah problem yang lebih tematikal
Disisi lain, bila dalil tersebut dipakai sebagai absolutisme,
tidak tertutup kemungkinan insan yang berpredikat politisi atau yang berminat
dalam bidang tersebut dilegitimasi begitu saja sebagai “amoral”. Mudah-mudahan
tidak seperti itu.
Negara maupun masyarakat mustahil tanpa politik. Negara
adalah politik, juga adalah organisasi kekuasaan. Maurice Duverger berpesan bagaimana memandang kekuasaan ke arah
integrasi itulah causa primanya. Masalah terjadi penyalahgunaan, distorsi atau
keanehan-keanehan, itu urusan lain
Ada tendensi terjadinya penyalahgunaan, karena ada situasi
yang menginjinkan untuk konteks tersebut. hal ini sejak dulu kala telah klasik
sekaligus up to date, hingga menjelang tahun 2000 ini. Power tends to corrupt, ujar Lord Acton beberapa abad yang lalu
Untuk memprediksikan mengapa terjadi peluang tidak sehat
tersebut dalam panggung politik, lebih relevan bila dikaitkan dengan sistem dan
ataukhususnya budaya politik yang sedang dipentaskan.
Orientasi Vertikal
Menurut Dr Riswanda Imawan, sistem rekrutmen politik di
Indonesia sungguh salah, sebab para wakil rakyat yang seharusnya memilih
patokan norma, moral dan demokrasi dari grassroot (rakyat bawah) tidak muncul
sebagaimana diharapkan. Yang terjadi justru elit politik ini nyantol ke atas.
Akibatnya, mereka tidak bisa bertanggung jawab ke bawah, tetapi cenderung loyal
ke atasan.
Selanjutnya dia mensinyalir bahwa status sosial-ekonomi
justru diterapkan, sehingga berkonotasi nepotisme, karena para istri gubernur,
bupati atau anak-anak mereka ikut dicalonkan menjadi wakil rakyat. Sedangkan
OPP tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan yang lain, sehingga sosialisasi
politik mereka akan terhambat
Di lain pihak, praktek politik telah menyebabkan munculnya
pemimpin-pemimpin karbitan atau orang-orang yang berposisi seperti petasan yang
muncul tiba-tiba, tanpa kita tahu bagaimana perjalanan politik dan atau apa
saja yang pernah dibuat oleh orang-orang yang mendadak terpilih tersebut
Mengapa konteks yang penyakitan itu terjadi ?. jawabannya
sudah pasti abstrak dan memerlukan pendekatan multi dimensional. Secara politik
out put nya telah sangat jelas, yakni
distortif. Secara hukum barangkali problematikanya tendensius kepada penyalah
gunaan aturan yang telah disepakati dan sekian pendekatan yang lain. Namun
untuk konstalasi ini yang kiranya mendekati kebenaran adalah pendekatan sejarah
kebudayaan sebagaimana yang disinyalir Koentjaraningrat (1974).
Menurut dia, budaya kita masih tertawan pada orientasi
vertikal, yakni nilai-nilai budaya yang terlampau banyak berorientasi kepada
vertikal terhadap orang-orang tua serta para senior.
Nilai-nilai yang terlampau nyantol ke atasan ini selanjutnya
akan mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri, berusaha sendiri, dan akan
menyebabkan timbul sikap tak percaya kepada diri sendiri. Hal ini juga akan
menghambat tumbuhnya rasa disiplin pribadi yang murni, karena orang hanya akan
taat kalau ada pengawasan dari atas. Yang juga tak kalah pentingnya adalah
mematikan rasa tanggung jawab sendiri
Tragis memang, apabila teori ini benar-benar berlangsung pada
panggung sebenarnya. Oleh karena itu, sejauhmana validitas ataupun
reliabilitasnya, mungkin pembaca lebih berhak memberi interpretasi. Tulisan ini
selanjutnya akan kita teruskan kepada hakekat daripada politik itu sendiri
Hakekat Politik
Hakekat politik sebagaimana disinggung di depan, yaitu
tentang perbedaan kaum moralis dan praktisi bukan masalah “salah atau benar”, melainkan
penting atau tidak (interest faktor). Walaupun salah bila dianggap penting,
akhirnya bermuara kepadakebenaran (kebenaran politik). Sebaliknya, apabila
dianggap benar namun mengganggu kepentingan akan dilegitimasi sebagai suatu
kesalahan. Keedua nilai ini jarang sekali dapat dipersatukan. Seorang pemimpin
yang berhasil memadukan kedua diktum tersebut lazimnya dikenal sebagai
negarawan atau bangsawan
Disisi lain, dari perihal politik adalah
ketidakrasionalannya. Politik tidak selalu masuk akal sehat, karena perasaan
memainkan peranan penting disana, urai Maswadi Rauf ketika mengantar buku
tulisan April Carter yang berjudul
“Otoritas dan demokrasi”
Carter berpendapat, kepatuhan terhadap penguasa politik
tidaklah selamanya didasarkan tas pertimbangan rasional. Pertimbangan emosional
dapat memainkan peranan dalam memberikan dukungan terhadap penguasa politik,
baik dalam pengertian pejabatnya maupun jabatannya. Sudah tahu salah tetapi
terus diikuti
Di atas itu semua, masalah politik adalah “kekuasaan” seperti
yang dititahkan hukum besi “siapa yang kuat maka dia yang akan berkuasa”.
Paradigma ini sudah postulatis dalam artian tak perlu lagi diperdebatkan, sebab
memang demikianlah faktanya. Pertanyaan yang penting dikemukakan dalam situasi
ini adalah, apakah kekuasaan yang dimiliki itu sudah benar-benar memperjuangkan
aspirasi rakyat ? Apakah moral telah menjadi basis bagi kekuasaannya ?
Setelah diuraikan dengan sedikit berputar-putar perbedaan
antara politisi dan kaum moralis, sistem dan budaya politik serta hakekat dari
politik itu sendiri, maka masalah yang perlu direnungkan adalah bahwa pola
politik kita masih dominan berorientasi ke atas. Ekses selanjutnya berakibat
negatip bagi politisi tingkat bawah dan menengah, yaitu tidak berani
berinisiatip dan bertanggung jawab sendiri.
Solusinya mungkin hanyalah political will dari para pemimpin-pemimpin puncak politik dalam
memberikan contoh, teladan, wewenang dan lain-lain nilai demokratis ke tingkat
yang lebih bawah. Kelak apabila konteks ini terealisir maka akan tercapai
keseimbangan dalam sistem politik, khususnya antara moral dan kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar