Kamis, 01 September 2016

Sambutan Dr Chandra Motik MHum untuk buku Implikasi Utang Luar Negeri Bagi Pembangunan Nasional





Dr Chandra Motik M Hum

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, saya coba untuk memenuhi permintaan Saudaraku Juliaman Saragih, untuk memberikan komentar Singkat (endorsement) atas buku yang akan diterbitkan Nation and Character Building Institute (NCBI) mengenai IMPLIKASI UTANG LUAR NEGERI BAGI PEMBANGUNAN NASIONAL: PEMUTIHAN BAGI INDONESIA, yang di tulis oleh Reinhard Hutapea
Setelah saya baca buku yang akan diterbitkan tersebut saya menghargai apa yang dibahas dan dikemukakan sangat berguna dan berarti bagi kita semua. Semoga kita makin sadar betapa kondisi negara kita yang dililit utang ini. Adilkah bila utang tersebut dibebankan pada rakyat yang kenyataannya tidak menikmatinya. Apalagi Pemerintah menetapkan gross utang untuk tahun 2012 sebesar Rp 296 triliun. Siapa pemerintah sekarang dan untuk apa utang tersebut?. Bagaimana pertanggungan- jawabnya, apa peran Dewan Perwakilan Rakyat?
Bicara mengenai utang luar negeri Indonesia timbul pertanyaan sejak kapan Indonesia mulai berutang, dipergunakan untuk apa utang tersebut dan bagaimana bunyi perjanjian utang piutang dimaksud. Pada waktu Bung Karno menjadi presiden tidak mau sumber daya alam Indonesia yang kaya raya ini disentuh oleh tangan asing, dan akan dioptimalkan dikelola dengan kemampuan berdiri sendiri. Freeport mau di kelola dengan mulai 1 mesin menjadi 2 mesin dan seterusnya begitu pula SDM nya 2 banding 2, kemudian 2 banding 1 akhirnya tenaga Indonesia yang berperan, tapi apa yang terjadi setelah beliau tiada? Langsung tahun 1967 presiden penerusnya mengadakan perjanjian dengan pihak Amerika, Freeport dibangun dengan sangat wah dengan nama Kontrak Karya . Apa arti kontrak karya bila dibahas berarti kita bossnya dan asing kita karyakan. Apa yang digali, apa ada berita acara apa saja yang digali? Siapa yang mengawasi? Bagaimana bunyi kontrak yang sebenarnya? Siapa yang tahu? Berapa besar utang Indonesia untuk membangun Freeport. Dalam catatan yang kami peroleh utang meningkat terus pada tahun 1970 menjadi US$ 3,7 Milyar, Tahun 2002 US$ 78,9 Milyar, Tahun 2004 utang Negara Rp 1.294 Triliun, Tahun 2010 Rp 1.700 Triliun, dan untuk Tahun 2012 Pemerintah memposisikan utang Negara Rp 296 Triliun.
Apa implikasi utang luar negeri pada kenyataan pembangunan nasional Indonesia? Sudah berapa pabrik yang sudah jadi milik dan dikuasai serta menyerap tenaga Indonesia. Adakah daftar macam-macam pembangunan yang sudah dilaksanakan dari utang negara, apa saja manfaat bagi Kesejahteraan Rakyat? Melihat utang dibayar dengan APBN dari pungutan pajak yang dikenakan pada Rakyat antara lain PBB yang tiap tahun nilainya naik tanpa memperdulikan kondisi rakyat, begitu juga apakah DPR tahu bahwa pajak atas tanah dan bangunan/PBB tiap tahun naik, seharusnya untuk bangunan rumah dikurangi penyusutan, tapi kenyataan malah tiap tahun walau bangunan sudah tua di nilai harganya naik terus. Mungkin DPR sengaja tidak mau tahu karena mereka juga menikmatinya. Apalagi Nilai Jual Obyek Pajak dijadikan patokan perhitungan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), antara lain bagi mereka yang mendapat warisan tanah berikut bangunan rumah diatasnya dikenakan 5% dari nilai jual. Sebagai contoh ada rumah di daerah Menteng diajukan balik nama kepada ahli waris kena PNBP yang cukup besar sampai ratusan juta rupiah. Sedangkan ahli waris adalah janda Pegawai Negeri yang pensiunannya tidak lebih dari 4 juta rupiah. Adilkah ini. Memang utang negara dibayar cicilan dan bunganya antara lain dari hasil pengumpulan pajak yang dikenakan pada rakyat.
Dapatkah utang diputihkan? Bunga utang, jangka waktu pengembalian, jumlah cicilan dan lain-lain seyogianya dapat ditinjau ulang, tentunya sebaiknya dibicarakan sebelum perjanjian utang piutang ditandatangani. Apa betul ada perjanjian utang-piutang/Kontraknya? Apa saja di atur dalam kontrak tersebut, bisakah rakyat atau wakil rakyat membahasnya baik yang sudah ada maupun yang akan datang? Pemutihan piutang dalam negeri memang ada peraturannya bagaimana utang luar negeri. Pemberi piutanglah IMF, ADB, Bank Dunia yang berhak meutihkannya. Bagaimana pendekatan yang telah dilakukan? Pendapat selanjutnya sangat kami setujui yaitu:
Bank Dunia dan ADB sepanjang periode 1991-2006. kenyataan telah membentuk struktur ekonomi nasional yang timpang dan melahirkan ketidakadilan ekonomi di tengah rakyat.
Contoh paling baru menjadi bukti yang relevan untuk ditampilkan. Bagaimana lembaga-lembaga internasional terlibat dalam proses liberalisasi sektor energi (Migas dan listrik) di Indonesia. Terkuaknya bukti-bukti keterlibatan IMF, USAID, Bank Dunia, dan ADB dalam mendorong kebijakan restrukturisasi sektor energi dengan membuat regulasi baru di sektor migas (UU Migas Nomor 22/2001) dan listrik (UU Ketenagalistrikan No 20/2002)
UU Migas Nomor 22 tahun 2001 jelas menjadi acuan bagi praktek liberalisasi sektor migas di Indonesia. Pemain asing, seperti Chevron, Shell, Ptronas, dll yang telah lama menguasai cadangan minyak nasional, bermaksud memperkuat legitimasinya dengan ikut berbisnis di sektor hilir dengan cara mendorong liberalisasi harga migas. Selain juga memberi landasan penting bagi keberlanjutan ekspor migas nasional bagi kepentingan negara-negara maju. Sementara di dalam negeri rakyat dan sektor industri menanggung beban berat akibat kelangkaan energi.
Di sektor air yang melayani hajat hidup orang banyak ini kondisinya tidak jauh berbeda. Kehadiran swasta asing lewat pembuatan UU Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004 menyebabkan tarif air bersih menjadi komersial karena mengikuti hukum full cost recovery sesuai hukum pasar. Kondisi ini menyebabkan rakyat kecil harus membayar air bersih lebih mahal dari pendapatannya yang juga semakin tergerus. Selain itu, UU ini juga memungkinkan penguasaan sektor swasta asing terhadap cadangan-cadangan air dan Daerah Aliran Sungai bagi kepentingan komersial. Pada hal, praktek ini menyebabkan sawah pertanian menjadi kering karena tidak mendapat aliran air.
Praktek neokolonialisme yang paling akhir adalah penetapan Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 tahun 2007. Undang-Undang ini dibuat untuk memfasilitasi masuknya modal asing di hampir semua sektor strategis dan penting bagi negara. Undang-uandang tersebut diikuti dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 76/2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan di bidang Penanaman Modal
Lahirnya dua Peraturan Presiden tersebut sungguh telah membuka mata banyak orang di negeri ini. Betapa tidak, dalam peraturan inilah UU Penanaman Modal menunjukkan watak aslinya. Mendorong dominasi kepemilikan asing terhadap sektor-sektor produksi nasional serta mengabaikan aspek kedaulatan ekonomi Indonesia sebagai bangsa. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang memberi kesempatan Pelabuhan Utama dimasuki modal asing.
Ketiga, bertambahnya jumlah utang luar negeri berakibat pada beban anggaran negara untuk pembayaran cicilan poko dan bunga utang. Jika di hitung rata-rata, setiap tahun pemerintah mengalokasikan Rp. 100 triliun dalam APBN untuk pembayaran utang. Menampuknua beban kewajiban pembayaran utang menyebabkan pemerintah gagal dalam memenuhi alokasi kebutuhan hak dasar rakyat yang diamanatkan dalam konstitusi. Bahkan, untuk memenuhinya, pemerintah rela memotong anggaran subsidi bagi rakyat dan menjual perusahaan negara. Tiadanya kemandirian dalam pengelolaan anggaran negara menjadikan pemerintah kerap mengambil jalan pintas. Yaitu menyerahkan masalah kemiskinan dan pengangguran kepada kebaikan investor di Indonesia.
Tingakat akumulasi utang luar negeri terus mengalami peningkatan. Pada akhir tahun 1999, posisi utang luar negeri Indonesia berada pada angka US $ 61,897 juta dollar. Turun menjadi US $ 60,770 juta dollar di akhir tahun 2000 dan di akhir tahun 2001 utang hanya US $ 58,791 juta dollar. Peningkatan stok utang mulai terjadi sejak tahun 2002 menjadi US $ 63,763 juta dollar, meningkat menjadi US $ 68,914 juta dollar (2003), selanjutnya sebesar US $ 68,575 juta dollar (2004), US $ 63,094 juta dollar (2005), US $ 62,021 juta dollar (2006), US $ 62,253 juta dollar (2007) dan menjadi US $ 65,446 akhir 2008 (Kementerian Keuangan RI)
Persoalan pentingnya sekarang adalah, apa respon kebijakan yang sudah diambil untuk mengatasi masalah ini. Sejauh yang kami amati, belum ada kebijakan progresif yang di ambil untuk menghentikan praktek neoliberalisasi ekonomi lewat utang ini. Bahkan kreatifitas pemerintah untuk keluar dari ketergantungan utang dan mencari sumber-sumber pendapatan alternatif di luar utang semakin buruk dari tahun ke tahun. Pilihan kebijakan yang diambil cenderung memfasilitasi keinginan kreditor dengan menumpuk utang baru. Bahkan opsi yang banyak ditawarkan mengenai penghapuasan utang cenderung dianggap berlawanan dengan iman ekonomi neoliberal yang dianut para menteri ekonomi.
Padahal jika sungguh-sungguh ingin menjalankan agenda ekonomi kerakyatan, diperlukan langkah tegas dan kongkrit terhadap masalah utang ini. Terdapat beberapa agenda yang harus dilakukan:
Pertama, Pemerintah yang ada sekarang mempertanggung jawabkan utang yang telah di buat dengan merincinya secara terbuka, dan harus menegosiasikan utang-utang yang telah diperbuat termasuk penghapusan utang-utang haram dan tidak sah yang telah merugikan rakyat kepada pihak kreditor. Inisiatif penghapusan utang sudah lama bergulir di tingkat lembaga pemberi utang atau negara-negara industri maju untuk mengatasi masalah ekonomi di negara-negara miskin dan berkembang. Dengan landasan ini, beberapa negara bahkan menyatakan secara sepihak tidak membayar utang-utangnya yang dianggap tidak menimbulkan manfaat ekonomi bangi negaranya. Pernyataan ini dihasilkan dari berbagai proses yang dilakukan, termasuk melakukan audit terhadap proyek-proyek utang yang telah dikorupsi oleh rezim diktator dan terhadap perjanjian-perjanjian utang yang melanggar hukum dan mencederai kedaulatan ekonomi dan politik sebuah negara.
Kedua, sejalan dengan tuntutan penghapusan utang, pemerintah ke depan harus mengakhiri praktek intervensi terhadap kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh lembaga keuangan internasional. Praktek intervensi ini biasanya dilakukan melalui berbagai persyaratan utang maupun hibah (Letter of Intent, Structural Adjustment Program dll) yang membuat agenda-agenda pelaksanaan kebijakan ekonomi neoliberal. Tindakan ini termasuk di dalamnya adalah melakukan review terhadap berbagai produk undang-undang sektoral yang merupakan paket kebijakan utang saat ini.kehadiran undang-undang tersebut merupakan hambatan terbesar dari terwujudnya ekonomi kerakyatan di Indonesia
Berbagai regulasi yang harus di tinjau kembali antara lain: Undang-Undang Sumber Daya Air, Undang-Undang Minyak dan Gas, Undang-undang BUMN, Undang-undang Mineral dan Batubara, Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang Penanaman Modal, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , dsb
Ketiga, menghentikan pembuatan utang baru
Demikian komentar dari kami semoga dapat diterima dan menjadikan pemikiran bagi Saudaraku yang kreatif ini

Jakarta, 13 Januari 2012

Dr Chandra Motik, SH, MSc (Ketua Umum ILUNI FH-UI, Senior Konsultan Hukum, Pengamat Hukum Maritim)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar