Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Esa, saya coba untuk memenuhi permintaan Saudaraku Juliaman
Saragih, untuk memberikan komentar Singkat (endorsement) atas buku yang akan
diterbitkan Nation and Character Building Institute (NCBI) mengenai IMPLIKASI
UTANG LUAR NEGERI BAGI PEMBANGUNAN NASIONAL: PEMUTIHAN BAGI INDONESIA, yang di tulis oleh Reinhard Hutapea
Setelah saya baca buku yang akan diterbitkan tersebut
saya menghargai apa yang dibahas dan dikemukakan sangat berguna dan berarti
bagi kita semua. Semoga kita makin sadar betapa kondisi negara kita yang dililit
utang ini. Adilkah bila utang tersebut dibebankan pada rakyat yang kenyataannya
tidak menikmatinya. Apalagi Pemerintah menetapkan gross utang untuk tahun 2012
sebesar Rp 296 triliun. Siapa pemerintah sekarang dan untuk apa utang
tersebut?. Bagaimana pertanggungan- jawabnya, apa peran Dewan Perwakilan
Rakyat?
Bicara mengenai utang luar negeri Indonesia timbul pertanyaan sejak kapan Indonesia
mulai berutang, dipergunakan untuk apa utang tersebut dan bagaimana bunyi
perjanjian utang piutang dimaksud. Pada waktu Bung Karno menjadi presiden tidak
mau sumber daya alam Indonesia
yang kaya raya ini disentuh oleh tangan asing, dan akan dioptimalkan dikelola
dengan kemampuan berdiri sendiri. Freeport mau di kelola dengan mulai 1 mesin
menjadi 2 mesin dan seterusnya begitu pula SDM nya 2 banding 2, kemudian 2
banding 1 akhirnya tenaga Indonesia yang berperan, tapi apa yang terjadi
setelah beliau tiada? Langsung tahun 1967 presiden penerusnya mengadakan
perjanjian dengan pihak Amerika, Freeport
dibangun dengan sangat wah dengan nama Kontrak Karya . Apa arti kontrak karya
bila dibahas berarti kita bossnya dan asing kita karyakan. Apa yang digali, apa
ada berita acara apa saja yang digali? Siapa yang mengawasi? Bagaimana bunyi
kontrak yang sebenarnya? Siapa yang tahu? Berapa besar utang Indonesia untuk membangun Freeport. Dalam catatan yang kami peroleh
utang meningkat terus pada tahun 1970 menjadi US$ 3,7 Milyar, Tahun 2002 US$
78,9 Milyar, Tahun 2004 utang Negara Rp 1.294 Triliun, Tahun 2010 Rp 1.700
Triliun, dan untuk Tahun 2012 Pemerintah memposisikan utang Negara Rp 296
Triliun.
Apa implikasi utang luar negeri pada kenyataan
pembangunan nasional Indonesia?
Sudah berapa pabrik yang sudah jadi milik dan dikuasai serta menyerap tenaga Indonesia.
Adakah daftar macam-macam pembangunan yang sudah dilaksanakan dari utang
negara, apa saja manfaat bagi Kesejahteraan Rakyat? Melihat utang dibayar
dengan APBN dari pungutan pajak yang dikenakan pada Rakyat antara lain PBB yang
tiap tahun nilainya naik tanpa memperdulikan kondisi rakyat, begitu juga apakah
DPR tahu bahwa pajak atas tanah dan bangunan/PBB tiap tahun naik, seharusnya
untuk bangunan rumah dikurangi penyusutan, tapi kenyataan malah tiap tahun
walau bangunan sudah tua di nilai harganya naik terus. Mungkin DPR sengaja tidak
mau tahu karena mereka juga menikmatinya. Apalagi Nilai Jual Obyek Pajak
dijadikan patokan perhitungan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), antara lain
bagi mereka yang mendapat warisan tanah berikut bangunan rumah diatasnya
dikenakan 5% dari nilai jual. Sebagai contoh ada rumah di daerah Menteng
diajukan balik nama kepada ahli waris kena PNBP yang cukup besar sampai ratusan
juta rupiah. Sedangkan ahli waris adalah janda Pegawai Negeri yang pensiunannya
tidak lebih dari 4 juta rupiah. Adilkah ini. Memang utang negara dibayar
cicilan dan bunganya antara lain dari hasil pengumpulan pajak yang dikenakan
pada rakyat.
Dapatkah utang diputihkan? Bunga utang, jangka waktu
pengembalian, jumlah cicilan dan lain-lain seyogianya dapat ditinjau ulang,
tentunya sebaiknya dibicarakan sebelum perjanjian utang piutang ditandatangani.
Apa betul ada perjanjian utang-piutang/Kontraknya? Apa saja di atur dalam
kontrak tersebut, bisakah rakyat atau wakil rakyat membahasnya baik yang sudah
ada maupun yang akan datang? Pemutihan piutang dalam negeri memang ada
peraturannya bagaimana utang luar negeri. Pemberi piutanglah IMF, ADB, Bank
Dunia yang berhak meutihkannya. Bagaimana pendekatan yang telah dilakukan?
Pendapat selanjutnya sangat kami setujui yaitu:
Bank Dunia dan ADB sepanjang periode 1991-2006.
kenyataan telah membentuk struktur ekonomi nasional yang timpang dan melahirkan
ketidakadilan ekonomi di tengah rakyat.
Contoh paling baru menjadi bukti yang relevan untuk
ditampilkan. Bagaimana lembaga-lembaga internasional terlibat dalam proses
liberalisasi sektor energi (Migas dan listrik) di Indonesia. Terkuaknya bukti-bukti
keterlibatan IMF, USAID, Bank Dunia, dan ADB dalam mendorong kebijakan
restrukturisasi sektor energi dengan membuat regulasi baru di sektor migas (UU
Migas Nomor 22/2001) dan listrik (UU Ketenagalistrikan No 20/2002)
UU Migas Nomor 22 tahun 2001 jelas menjadi acuan bagi
praktek liberalisasi sektor migas di Indonesia. Pemain asing, seperti
Chevron, Shell, Ptronas, dll yang telah lama menguasai cadangan minyak
nasional, bermaksud memperkuat legitimasinya dengan ikut berbisnis di sektor
hilir dengan cara mendorong liberalisasi harga migas. Selain juga memberi
landasan penting bagi keberlanjutan ekspor migas nasional bagi kepentingan
negara-negara maju. Sementara di dalam negeri rakyat dan sektor industri
menanggung beban berat akibat kelangkaan energi.
Di sektor air yang melayani hajat hidup orang banyak ini
kondisinya tidak jauh berbeda. Kehadiran swasta asing lewat pembuatan UU Sumber
Daya Air Nomor 7 Tahun 2004 menyebabkan tarif air bersih menjadi komersial
karena mengikuti hukum full cost recovery
sesuai hukum pasar. Kondisi ini menyebabkan rakyat kecil harus membayar air
bersih lebih mahal dari pendapatannya yang juga semakin tergerus. Selain itu,
UU ini juga memungkinkan penguasaan sektor swasta asing terhadap
cadangan-cadangan air dan Daerah Aliran Sungai bagi kepentingan komersial. Pada
hal, praktek ini menyebabkan sawah pertanian menjadi kering karena tidak
mendapat aliran air.
Praktek neokolonialisme yang paling akhir adalah
penetapan Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 tahun 2007. Undang-Undang ini
dibuat untuk memfasilitasi masuknya modal asing di hampir semua sektor
strategis dan penting bagi negara. Undang-uandang tersebut diikuti dengan
penerbitan Peraturan Presiden Nomor 76/2007 tentang Kriteria dan Persyaratan
Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
persyaratan di bidang Penanaman Modal
Lahirnya dua Peraturan Presiden tersebut sungguh telah
membuka mata banyak orang di negeri ini. Betapa tidak, dalam peraturan inilah
UU Penanaman Modal menunjukkan watak aslinya. Mendorong dominasi kepemilikan
asing terhadap sektor-sektor produksi nasional serta mengabaikan aspek
kedaulatan ekonomi Indonesia
sebagai bangsa. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang
Pelayaran yang memberi kesempatan Pelabuhan Utama dimasuki modal asing.
Ketiga, bertambahnya jumlah utang luar negeri berakibat
pada beban anggaran negara untuk pembayaran cicilan poko dan bunga utang. Jika
di hitung rata-rata, setiap tahun pemerintah mengalokasikan Rp. 100 triliun
dalam APBN untuk pembayaran utang. Menampuknua beban kewajiban pembayaran utang
menyebabkan pemerintah gagal dalam memenuhi alokasi kebutuhan hak dasar rakyat
yang diamanatkan dalam konstitusi. Bahkan, untuk memenuhinya, pemerintah rela
memotong anggaran subsidi bagi rakyat dan menjual perusahaan negara. Tiadanya
kemandirian dalam pengelolaan anggaran negara menjadikan pemerintah kerap
mengambil jalan pintas. Yaitu menyerahkan masalah kemiskinan dan pengangguran
kepada kebaikan investor di Indonesia.
Tingakat akumulasi utang luar negeri terus mengalami
peningkatan. Pada akhir tahun 1999, posisi utang luar negeri Indonesia berada pada angka US $
61,897 juta dollar. Turun menjadi US $ 60,770 juta dollar di akhir tahun 2000
dan di akhir tahun 2001 utang hanya US $ 58,791 juta dollar. Peningkatan stok
utang mulai terjadi sejak tahun 2002 menjadi US $ 63,763 juta dollar, meningkat
menjadi US $ 68,914 juta dollar (2003), selanjutnya sebesar US $ 68,575 juta
dollar (2004), US $ 63,094 juta dollar (2005), US $ 62,021 juta dollar (2006),
US $ 62,253 juta dollar (2007) dan menjadi US $ 65,446 akhir 2008 (Kementerian
Keuangan RI)
Persoalan pentingnya sekarang adalah, apa respon
kebijakan yang sudah diambil untuk mengatasi masalah ini. Sejauh yang kami
amati, belum ada kebijakan progresif yang di ambil untuk menghentikan praktek
neoliberalisasi ekonomi lewat utang ini. Bahkan kreatifitas pemerintah untuk
keluar dari ketergantungan utang dan mencari sumber-sumber pendapatan
alternatif di luar utang semakin buruk dari tahun ke tahun. Pilihan kebijakan
yang diambil cenderung memfasilitasi keinginan kreditor dengan menumpuk utang
baru. Bahkan opsi yang banyak ditawarkan mengenai penghapuasan utang cenderung
dianggap berlawanan dengan iman ekonomi neoliberal yang dianut para menteri
ekonomi.
Padahal jika sungguh-sungguh ingin menjalankan agenda
ekonomi kerakyatan, diperlukan langkah tegas dan kongkrit terhadap masalah
utang ini. Terdapat beberapa agenda yang harus dilakukan:
Pertama, Pemerintah yang ada sekarang mempertanggung
jawabkan utang yang telah di buat dengan merincinya secara terbuka, dan harus
menegosiasikan utang-utang yang telah diperbuat termasuk penghapusan
utang-utang haram dan tidak sah yang telah merugikan rakyat kepada pihak
kreditor. Inisiatif penghapusan utang sudah lama bergulir di tingkat lembaga
pemberi utang atau negara-negara industri maju untuk mengatasi masalah ekonomi
di negara-negara miskin dan berkembang. Dengan landasan ini, beberapa negara
bahkan menyatakan secara sepihak tidak membayar utang-utangnya yang dianggap
tidak menimbulkan manfaat ekonomi bangi negaranya. Pernyataan ini dihasilkan
dari berbagai proses yang dilakukan, termasuk melakukan audit terhadap proyek-proyek
utang yang telah dikorupsi oleh rezim diktator dan terhadap
perjanjian-perjanjian utang yang melanggar hukum dan mencederai kedaulatan
ekonomi dan politik sebuah negara.
Kedua, sejalan dengan tuntutan penghapusan utang,
pemerintah ke depan harus mengakhiri praktek intervensi terhadap kebijakan
ekonomi yang dilakukan oleh lembaga keuangan internasional. Praktek intervensi
ini biasanya dilakukan melalui berbagai persyaratan utang maupun hibah (Letter
of Intent, Structural Adjustment Program dll) yang membuat agenda-agenda
pelaksanaan kebijakan ekonomi neoliberal. Tindakan ini termasuk di dalamnya
adalah melakukan review terhadap berbagai produk undang-undang sektoral yang
merupakan paket kebijakan utang saat ini.kehadiran undang-undang tersebut
merupakan hambatan terbesar dari terwujudnya ekonomi kerakyatan di Indonesia
Berbagai regulasi yang harus di tinjau kembali antara
lain: Undang-Undang Sumber Daya Air, Undang-Undang Minyak dan Gas,
Undang-undang BUMN, Undang-undang Mineral dan Batubara, Undang-Undang
Perkebunan, Undang-Undang Penanaman Modal, Undang-Undang Ketenagakerjaan,
Undang-Undang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , dsb
Ketiga, menghentikan pembuatan utang baru
Demikian komentar dari kami semoga dapat diterima dan
menjadikan pemikiran bagi Saudaraku yang kreatif ini
Jakarta, 13 Januari 2012
Dr Chandra Motik, SH, MSc (Ketua Umum ILUNI FH-UI, Senior Konsultan Hukum, Pengamat Hukum
Maritim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar