Kamis, 01 September 2016

Sambutan Prof Dr Sri Edi Swasono untuk buku Implikasi Utang Luar Negeri Bagi Pembangunan Nasional




SAMBUTAN PROF DR SRI EDI SWASONO UNTUK BUKU
 “IMPLIKASI UTANG LUAR NEGERI BAGI PEMBANGUNAN NASIONAL; PEMUTIHAN BAGI INDONESIA,  OLEH: REINHARD HUTAPEA

Ada baiknya pada kesempatan ini kita berkilas-balik
Ketelitian sejarah tidak pernah mengungkap bahwa kejayaan Indonesia di masa lampau terkait dengan utang luar negeri. Sriwijaya dan Majapahit menjadi kerajaan-kerajaan besar dan berjaya bukan karena utang luar negeri. Keruntuhan dua kerajaan besar ini pun bukan karena utang luar negeri. Candi-candi monumental yang berdiri sejak lebih dari 10 abad yang lalu telah diakui sebagai world heritage, toh dibangun tanpa utang luar negeri. Kemandirian dan kedigdayaan nasional ini mestinya dapat merupakan warisan budaya dalam kehidupan bernegara kita saat ini.
Globalisasi telah berjalan sejak lama beriringan dengan penyebaran budaya-budaya unggul dan agama-agama ke penjuru-penjuru dunia sejak berabad-abad yang lalu, baik secara damai maupun melalui penaklukan-penaklukan. Saat ini globalisasi memperoleh bentuk canggihnya in optima forma berkat teknologi, komunikasi, transportasi dan ide globalisme. Pinjaman luar negeri, utang-piutang ntuk pembangunan, baik bagi negara-negara kaya maupun bagi negara-negara miskin, telah menjadi kewajaran mondial dalam berkehidupan antar bangsa dan antar negara. Negara-negara maju, bahkan negara adidaya seperti Amerika Serikat dan lain-lain pun, juga memiliki beban utang luar negeri dalam jumlah besar yang menakjubkan. Gagal bayar pun menjadi fenomena global
Saya menyambut dengan gembira terbitnya buku yang ditulis oleh Sdr Reinhard Hutapea, Implikasi utang Luar Negeri Bagi Pembangunan Nasional: Pemutihan Bagi Indonesia
Meskipun Sdr Reinhard Hutapea tidak secara eksplisit menyinggung Doktrin Kebangsaan dan Doktrin KerakyatanÁ sebagai norma-norma derivatif dari pengurusan negara berdasar Pancasila dan UUD 1945, tapi pola pikir dan semangat ekspresifnya adalah demikian. Berarti ia seorang nasionalis dan sekaligus berpaham kerakyatan. Kiranya ia dengan benar mengemban adagium maintaining the sovereignty of the State
Bagi Reinhard, sikap Pemerintah yang penuh pencitraan terhadap utang luar negeri ini telah memicu tekadnya untuk menulis buku ini. Ia tidak sekedar menegaskan perlunya moratorium, tetapi bahkan juga pemutihan (hair cut) terhadap utang luar negeri kita. Ia mencatat dengan teliti sikap para pejabat negara yang mengatakan dengan absurdnya “tidak perlu pemutihan utang luar negeri, “pemutihan membuat kita dikucilkan”, “pemerintah tidak mau minta (penghapusan utang) kecuali diberi”, tak terkecuali sikap sebagai a good boy yang cari muka” pemerintah akan tetap membayar pokok dan bunga tepat waktu”. Pada hal kesempatan ada, momentum pun terbuka untuk secara adil dan bermartabat meringankan beban utang luar negeri kita. Argentina, Meksiko, Brasil memenangkan diplomasi dengan gagahnya perihal ini, bahkan Nigeria berhasil mengurangi 67% utangnya
Bagi penulis buku ini, sikap para pejabat itu tidak saja tak rasional, tapi ia juga menyimpulkan bahwa Pemerintah cenderung lebih mementingkan kepentingan kreditur asing ketimbang kepentingan nasional dan kepentingan rakyat Indonesia

Utang luar negeri telah menjadi beban bagi negara-negara berkembang. Kenyataan ini mestinya telah harus disadari sejak awal. Para ekonomi di negara-negara berkembang, apalagi yang meraih gelar-gelar akademisnya di AS dan Eropa, telah sangat familiar dengan Fisher Paradox yang berujung pada kalimat the more the debtors pay, the more they owe. Juga mestinya telah jelas terang benderang bahwa utang luar negeri yang disalurkan ke negara-negara berkembang oleh negara-negara maju tidak terlepas dari alasan pengejaran kepentingan dan rente ekonomi, bahkan tidak terlepas dari kepentingan politik-hegemoniknya
Itulah sebabnya, salah satu jawaban terhadap beban berat negara-negara pengutang adalah pemutihan filantropis. Jan Tinbergen (ekonom pertama yang memenagkan Nobel Ekonomi) mengatakan kepada saya (1991) bahwa negara-negara maju harus menyisihkan 0,5% GDP mereka untuk pembebasan utang-utang dari negara-negara berkembang, yang dalam jangka panjang akan menghindarkan konflik antar bangsa dan sekaligus akan menguntungkan negara-negara maju sendiri dalam kancah ekonomi global yang berkemitraan antar bangsa. Saran Tinbergen ini didukung banyak kalangan, namun tidak pernah terlaksanakan, karena kemitraan dalam berekonomi bukanlah karakter negara-negara kapitalis yang predatorik-imperialistik. Ketergantungan negara-negara berkembang mereka pertahankan melalui utang, ketergantungan adalah keterdiktean dan keterkuklututan, ketergantungan dipertahankan untuk melanggengkan dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang

Dominasi dan cengkeraman negara-negara pemberi utang terhadap negara-negara pengutang tidak berkurang dengan upaya-upaya ilusif seperti mengkaitkan besarnya utang luar negeri terhadap GDP, sebagaimana Reinhard Hutapea paparkan dalam bukunya ini. Makin mengecilnya rasio utang terhadap GDP hanyalah kembang-kembang analisis, sekedar presentasi statistika yang bukan capaian strategis ekonomika. Besarnya bunga dan cicilan utang luar negeri tetap menjadi beban berat APBN dan menghambat terbukanya kesempatan-kesempatan lain untuk memperkembangkan pembangunan nasional dan keadilan sosial
Ikatan ekonomi dan politik (bahkan psikologis) selalu inheren dengan utang luar negeri. Utang luar negeri tetap merupakan sumber keterdiktean dan ketertundukan mental. Globalisasi neoliberalistik dan pasar bebas bawaannya meningkatkan intensitas inherensi itu. Dari sini terbentuk kompradorisme dan kaki tangan domestik yang menjadi corong kepentingan negara-negara donor dalam putaran Konsensus Washington. Di sini pengelolaan utang luar negeri sesuai selera dan kepentingan negara-negara pemberi utang bermula. Di sini pula pengelolaan utang yang tidak efisien berkelanjutan menjadi beban
Di mana Indonesia harus menempatkan diri? Jawabnya: back to basics , bahwa pernyataan Kemerdekaan Indonesia adalah pernyataan Kemandirian. Kemandirian adalah sikap tegas untuk menentukan sendiri apa yang terbaik bagi diri kita sendiri. Kemandirian adalah kedaulatan atau sovereignty. Kita boleh utang luar negeri, kita tidak anti asing, kita tidak xenophobic, tapi dengan sovereignty sebagai modal dasar kemerdekaan, kita menolak posisi terdominasi dan tersubordinasi oleh kekuatan asing manapun, kita menolak ketergantungan – menolak afhankelijheid, kita tidak mau kekuatan ekonomi asing mendominasi atau overheersen ekonoi nasional Indonesia.
Mestinya kita berprinsip lebih baik mati berkalang tanah daripada kita menandatangani LoI (Letter of Intent) yang dibikinkan dan diidktekan sendiri oleh IMF. Tidak boleh terjadi lagi MSAA (Master Settlement of Acquisition Agreement) dibuatkan dan dipaksakan kepada kita oleh kekuasaan para financial tycoons luar negeri, bodohnya kita terima dengan senang hati. Tidak boleh lagi kekuasaan asing mendikte kita untuk meliberalkan UUD 1945 dan menerapkan Konsensus Washington dalam proses penyusunan RUU-RUU kita, yang akibatnya merubah Indonesia Merdeka menjadi negara anak bawang. Bukankah di depan pengadilan di Den Haag (1928) Mohammad Hatta sambil berdiri telah menegaskan cita-cita nasional Indonesia “lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…?
Kita boleh melakukan utang luar negeri, disamping harus mampu dengan cerdas dan penuh siasat mengelolanya dengan sebaik-baiknya, namun lebih penting dari itu adalah menjaga utuhnya kedaulatan – sovereignty, tidak minder, tidak menjadi dungu, tetap menjaga kedigdayaan dan tidak kehilangan atau mengorbankan harga-diri, mengenyahkan underdog mentality
Namun kadang-kadang saya sendiri tidak mengerti sikap teman-teman saya di dalam birokrasi. Benarkah mereka masih mengidap ke-inlander-an, servile dan lemah mental dalam menghadapi negara-negara donor?
Oleh karena itu kita harus kembali pada prinsip dasar yang digariskan oleh GBHN (yang barang berkaitan dengan sikap Bung Hatta yang dikemukakan pada awal Orde Baru), bahwa pinjaman luar negeri bersifat pelengkap dan sementara. Prinsip dasar ini tercantum [pada GBHN 1973 sampai GBHN 1988, tahu-tahun terhapuskan pada GBHN 1993 karena kompradorisme
Buku karangan Sdr Reinhard Hutapea ini perlu di baca, agar kita memperoleh dasar pemikiran yang tepat dan tegas untuk berani meninjau ulang utang luar negeri, baik menjadwal ulang ataupun memutuihkan utang-utang luar negeri yang mengandung kenajisan dan ketidakadilan

                                                                                     Jakarta, 22 Desember 2011
                                                                                                      Sri-Edi Swasono
                                             Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia



Á doktrin kebangsaan memangku tugas persatuan bangsa yang disatukan oleh “rasa bersama” dalam idiom-idiom nation-state berikut nasionalisme yang terkandung di dalamnya, suatu tekad untuk menjadi Tuan di Negeri Sendiri”. Dengan demikian kepentingan nasional adalah utama dan diutamakan, tanpa mengabaikan tanggung jawab global

Doktrin kerakyatan berkaiatan dengan pengutamaan “Daulat Rakyat” bahwa kepentingan rakyat adalah primus, bahwa pemerintah negara dijalankan atas kehendak dan kepentingan rakyat, bahwa Tahta adalah untuk Rakyat”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar