“IMPLIKASI UTANG LUAR NEGERI BAGI PEMBANGUNAN
NASIONAL; PEMUTIHAN BAGI INDONESIA, OLEH: REINHARD HUTAPEA
Ada baiknya pada kesempatan ini kita berkilas-balik
Ketelitian sejarah tidak pernah mengungkap bahwa kejayaan
Indonesia
di masa lampau terkait dengan utang luar negeri. Sriwijaya dan Majapahit
menjadi kerajaan-kerajaan besar dan berjaya bukan karena utang luar negeri.
Keruntuhan dua kerajaan besar ini pun bukan karena utang luar negeri.
Candi-candi monumental yang berdiri sejak lebih dari 10 abad yang lalu telah
diakui sebagai world heritage, toh
dibangun tanpa utang luar negeri. Kemandirian dan kedigdayaan nasional ini
mestinya dapat merupakan warisan budaya dalam kehidupan bernegara kita saat
ini.
Globalisasi telah berjalan sejak lama beriringan dengan
penyebaran budaya-budaya unggul dan agama-agama ke penjuru-penjuru dunia sejak
berabad-abad yang lalu, baik secara damai maupun melalui penaklukan-penaklukan.
Saat ini globalisasi memperoleh bentuk canggihnya in optima forma berkat
teknologi, komunikasi, transportasi dan ide globalisme. Pinjaman luar negeri,
utang-piutang ntuk pembangunan, baik bagi negara-negara kaya maupun bagi
negara-negara miskin, telah menjadi kewajaran mondial dalam berkehidupan antar
bangsa dan antar negara. Negara-negara maju, bahkan negara adidaya seperti
Amerika Serikat dan lain-lain pun, juga memiliki beban utang luar negeri dalam
jumlah besar yang menakjubkan. Gagal bayar pun menjadi fenomena global
Saya menyambut dengan gembira terbitnya buku yang
ditulis oleh Sdr Reinhard Hutapea, Implikasi utang Luar Negeri Bagi Pembangunan
Nasional: Pemutihan Bagi Indonesia
Meskipun Sdr Reinhard Hutapea tidak secara eksplisit
menyinggung Doktrin Kebangsaan dan Doktrin KerakyatanÁ sebagai norma-norma derivatif dari pengurusan negara berdasar
Pancasila dan UUD 1945, tapi pola pikir dan semangat ekspresifnya adalah
demikian. Berarti ia seorang nasionalis dan sekaligus berpaham kerakyatan.
Kiranya ia dengan benar mengemban adagium maintaining the sovereignty of the
State
Bagi Reinhard, sikap Pemerintah yang penuh pencitraan
terhadap utang luar negeri ini telah memicu tekadnya untuk menulis buku ini. Ia
tidak sekedar menegaskan perlunya moratorium, tetapi bahkan juga pemutihan
(hair cut) terhadap utang luar negeri kita. Ia mencatat dengan teliti sikap
para pejabat negara yang mengatakan dengan absurdnya “tidak perlu pemutihan
utang luar negeri, “pemutihan membuat kita dikucilkan”, “pemerintah tidak mau
minta (penghapusan utang) kecuali diberi”, tak terkecuali sikap sebagai a good
boy yang cari muka” pemerintah akan tetap membayar pokok dan bunga tepat
waktu”. Pada hal kesempatan ada, momentum pun terbuka untuk secara adil dan
bermartabat meringankan beban utang luar negeri kita. Argentina, Meksiko, Brasil memenangkan diplomasi
dengan gagahnya perihal ini, bahkan Nigeria berhasil mengurangi 67%
utangnya
Bagi penulis buku ini, sikap para pejabat itu tidak saja
tak rasional, tapi ia juga menyimpulkan bahwa Pemerintah cenderung lebih
mementingkan kepentingan kreditur asing ketimbang kepentingan nasional dan
kepentingan rakyat Indonesia
Utang luar negeri telah menjadi beban bagi negara-negara
berkembang. Kenyataan ini mestinya telah harus disadari sejak awal. Para ekonomi di negara-negara berkembang, apalagi yang
meraih gelar-gelar akademisnya di AS dan Eropa, telah sangat familiar dengan Fisher Paradox yang berujung pada
kalimat the more the debtors pay, the
more they owe. Juga mestinya telah jelas terang benderang bahwa utang luar
negeri yang disalurkan ke negara-negara berkembang oleh negara-negara maju
tidak terlepas dari alasan pengejaran kepentingan dan rente ekonomi, bahkan
tidak terlepas dari kepentingan politik-hegemoniknya
Itulah sebabnya, salah satu jawaban terhadap beban berat
negara-negara pengutang adalah pemutihan filantropis. Jan Tinbergen (ekonom
pertama yang memenagkan Nobel Ekonomi) mengatakan kepada saya (1991) bahwa
negara-negara maju harus menyisihkan 0,5% GDP mereka untuk pembebasan
utang-utang dari negara-negara berkembang, yang dalam jangka panjang akan
menghindarkan konflik antar bangsa dan sekaligus akan menguntungkan
negara-negara maju sendiri dalam kancah ekonomi global yang berkemitraan antar
bangsa. Saran Tinbergen ini didukung banyak kalangan, namun tidak pernah
terlaksanakan, karena kemitraan dalam berekonomi bukanlah karakter
negara-negara kapitalis yang predatorik-imperialistik. Ketergantungan
negara-negara berkembang mereka pertahankan melalui utang, ketergantungan
adalah keterdiktean dan keterkuklututan, ketergantungan dipertahankan untuk
melanggengkan dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang
Dominasi dan cengkeraman negara-negara pemberi utang
terhadap negara-negara pengutang tidak berkurang dengan upaya-upaya ilusif
seperti mengkaitkan besarnya utang luar negeri terhadap GDP, sebagaimana
Reinhard Hutapea paparkan dalam bukunya ini. Makin mengecilnya rasio utang
terhadap GDP hanyalah kembang-kembang analisis, sekedar presentasi statistika
yang bukan capaian strategis ekonomika. Besarnya bunga dan cicilan utang luar
negeri tetap menjadi beban berat APBN dan menghambat terbukanya
kesempatan-kesempatan lain untuk memperkembangkan pembangunan nasional dan
keadilan sosial
Ikatan ekonomi dan politik (bahkan psikologis) selalu
inheren dengan utang luar negeri. Utang luar negeri tetap merupakan sumber
keterdiktean dan ketertundukan mental. Globalisasi neoliberalistik dan pasar
bebas bawaannya meningkatkan intensitas inherensi itu. Dari sini terbentuk
kompradorisme dan kaki tangan domestik yang menjadi corong kepentingan
negara-negara donor dalam putaran Konsensus Washington. Di sini pengelolaan utang luar
negeri sesuai selera dan kepentingan negara-negara pemberi utang bermula. Di
sini pula pengelolaan utang yang tidak efisien berkelanjutan menjadi beban
Di mana Indonesia
harus menempatkan diri? Jawabnya: back to basics , bahwa pernyataan Kemerdekaan
Indonesia
adalah pernyataan Kemandirian. Kemandirian adalah sikap tegas untuk menentukan
sendiri apa yang terbaik bagi diri kita sendiri. Kemandirian adalah kedaulatan
atau sovereignty. Kita boleh utang luar negeri, kita tidak anti asing, kita
tidak xenophobic, tapi dengan sovereignty sebagai modal dasar kemerdekaan, kita
menolak posisi terdominasi dan tersubordinasi oleh kekuatan asing manapun, kita
menolak ketergantungan – menolak afhankelijheid, kita tidak mau kekuatan
ekonomi asing mendominasi atau overheersen ekonoi nasional Indonesia.
Mestinya kita berprinsip lebih baik mati berkalang tanah
daripada kita menandatangani LoI (Letter of Intent) yang dibikinkan dan
diidktekan sendiri oleh IMF. Tidak boleh terjadi lagi MSAA (Master Settlement
of Acquisition Agreement) dibuatkan dan dipaksakan kepada kita oleh kekuasaan
para financial tycoons luar negeri, bodohnya kita terima dengan senang hati.
Tidak boleh lagi kekuasaan asing mendikte kita untuk meliberalkan UUD 1945 dan
menerapkan Konsensus Washington
dalam proses penyusunan RUU-RUU kita, yang akibatnya merubah Indonesia Merdeka
menjadi negara anak bawang. Bukankah di depan pengadilan di Den Haag (1928)
Mohammad Hatta sambil berdiri telah menegaskan cita-cita nasional Indonesia “lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan
daripada menjadi embel-embel bangsa lain…?
Kita boleh melakukan utang luar negeri, disamping harus
mampu dengan cerdas dan penuh siasat mengelolanya dengan sebaik-baiknya, namun
lebih penting dari itu adalah menjaga utuhnya kedaulatan – sovereignty, tidak
minder, tidak menjadi dungu, tetap menjaga kedigdayaan dan tidak kehilangan
atau mengorbankan harga-diri, mengenyahkan underdog mentality
Namun kadang-kadang saya sendiri tidak mengerti sikap
teman-teman saya di dalam birokrasi. Benarkah mereka masih mengidap
ke-inlander-an, servile dan lemah mental dalam menghadapi negara-negara donor?
Oleh karena itu kita harus kembali pada prinsip dasar
yang digariskan oleh GBHN (yang barang berkaitan dengan sikap Bung Hatta yang
dikemukakan pada awal Orde Baru), bahwa pinjaman luar negeri bersifat pelengkap
dan sementara. Prinsip dasar ini tercantum [pada GBHN 1973 sampai GBHN 1988,
tahu-tahun terhapuskan pada GBHN 1993 karena kompradorisme
Buku karangan Sdr Reinhard Hutapea ini perlu di baca,
agar kita memperoleh dasar pemikiran yang tepat dan tegas untuk berani meninjau
ulang utang luar negeri, baik menjadwal ulang ataupun memutuihkan utang-utang
luar negeri yang mengandung kenajisan dan ketidakadilan
Jakarta,
22 Desember 2011
Sri-Edi Swasono
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Á doktrin kebangsaan memangku tugas persatuan bangsa yang disatukan
oleh “rasa bersama” dalam idiom-idiom nation-state berikut nasionalisme yang
terkandung di dalamnya, suatu tekad untuk menjadi Tuan di Negeri Sendiri”.
Dengan demikian kepentingan nasional adalah utama dan diutamakan, tanpa
mengabaikan tanggung jawab global
Doktrin kerakyatan berkaiatan dengan
pengutamaan “Daulat Rakyat” bahwa kepentingan rakyat adalah primus, bahwa
pemerintah negara dijalankan atas kehendak dan kepentingan rakyat, bahwa Tahta
adalah untuk Rakyat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar