Biografi Politik, Aberson M Sihaloho
Oleh: Reinhard
Hutapea
Sebutan, gelar atau predikat sebagai wakil rakyat lintas
fraksi kami berikan kepada Aberson setelah melalui diskusi yang panjang antara
penasihat/pelindung penulisan biografi, keluarga dan kami sebagai penulis.
Adapun pertimbangan mengapa judulnya seperti itu didasarkan kepada perilaku
politik Aberson yang melewati sekat-sekat, batas-batas atau barangkali
ranjau-ranjau dalam apa yang disebut dengan “fraksi”, yakni suatu lembaga perpanjangan
partai di DPR. Aberson tidak begitu setuju dengan fraksi. Baginya setelah masuk
ke DPR harus sungguh-sungguh menjadi wakil rakyat, bukan wakil fraksi.
Kesetiaan yang sebelumnya diberikan kepada partai, harus ditinggalkan jika
sudah duduk di DPR Hal ini sesuai dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa anggota
DPR itu adalah wakil rakyat, bukan wakil partai atau wakil-wakil yang lain
diluar ketentuan konstitusi. Ia konsisten dengan prinsip itu. Ia sangat taat
asas , taat pada UUD 1945 kata Roy BB
Janis.
Ketaatannya kepada UUD 1945 membuat ia tidak selalu
sejalan dengan garis fraksi yang mempunyai agenda-agenda tertentu yang tidak
selalu selaras dengan UUD 1945. Karena tidak selalu sejalan dengan garis fraksi,
benturan antara dirinya dengan fraksi tidak dapat dihindarkan. Suatu perilaku
politik yang sejak lama dilakukannya, baik itu sewaktu masih di MPRS, di DPR
sejak era Suryadi hingga DPR era Megawati. Ia tidak pernah takut berbeda
pendapat menyuarakan pandangannya kata Pramono
Anung, yang menganggap Aberson bersama Sabam Sirait adalah idolanya (Media
Indonesia, 16 November 2001). Analog dengan pendapat Suryadi yang melihat Aberson adalah politisi pejuang yang kuat
pendirian dan hidup sederhana (Media Indonesia, 13 Oktober 2006). Dan sebagai
pamungkas mengapa kami memilih judul tersebut adalah pendapat Markus Wauran yang melihat Aberson
adalah seorang “negarawan” yang terbukti dari perannya yang lintas fraksi. Pandangan-pandangannya
yang luas dalam segala aspek, seperti hukum/konstitusi, politik, ekonomi, sosial
dan tentara membuat sosoknya diterima semua pihak, melewati pesan fraksinya
PDIP, sebagaimana diakui Eky Syahrudin sewaktu ia masih anggota DPR, bahwa
Aberson adalah milik kita semua, tidak hanya milik PDIP. Tidak hanya di DPR
peran lintas fraksi itu berlangsung, melainkan menyeruak ke pergaulannya yang
lain, seperti dilapangan tennis indoor senayan, dimana semua pesertanya terdiri
dari seluruh fraksi yang ada di DPR, dimana Aberson adalah pengelolanya. Sambil bermain tennis tiga kali
seminggu, yakni Senin, Rabu dan Jumat mereka diskusi tentang segala hal. Diatas
itu semua yang membuat sosoknya lintas fraksi adalah ketika anaknya yang
terbesar kawin, semua panitia adalah sahabat-sahabatnya dari seluruh fraksi. Ia
sungguh-sungguh lintas fraksi. Bagaimana peran tersebut dimanifestasikan lebih
seksama akan ditulis dalam sub-sub bab dibawah ini, yang diawali ketika ia
pertama kali berkiprah di Parlemen/MPRS. Selanjutnya Visi dan Misinya,
dukungannya kepada sistim bicameral, pemilihan presiden secara langsung,
prinsipnya sebagai wakil rakyat dan bukan wakil partai, mesra dan retaknya
dengan Megawati, serta hubungannya yang sangat dekat dengan wartawan.
MEMASUKI PARLEMEN.
Setelah Orde Baru berkuasa, tatanan politik Indonesia
berubah dengan drastis. Partai-partai politik yang diizinkan beraktipitas
adalah partai partai yang sudah dapat dikendalikan. Dalam istilah popular
dikenal dengan istilah “rekayasa”, yakni yang tunduk pada kemauan politik Orde
Baru. Tidak terkecuali PNI, yang kembali diizinkan naik ke pentas politik
adalah PNI yang sudah setuju dengan platform Orde Baru. PNI yang sebelumnya
sangat getol mendukung Bung Karno diklasifikasikan dalam dua kategori yakni PNI
ASU (Ali Sastroamidjoyo dan Ir Surachman) dan PNI Osa Usep (Osa Maliki dan Usep
Ranawijaya). PNI ASU adalah PNI yang habis-habisan membela Bung Karno dan
dituding berbau PKI, sebaliknya PNI Osa Usep adalah yang mendukung rezim Orde
Baru.
Aberson adalah PNI yang dikelompokkan dalam PNI Osa
Usep. PNI yang dikategorikan moderat oleh rezim baru. Mungkin atas dasar ini
(kemoderatan) dalam penyusunan anggota DPR GR – MPRS Aberson dipilih mewakili
PNI. Penyusunan anggota DPR GR – MPRS kala itu didasarkan pada hasil pemilu
1955, minus PSI , Masyumi dan PKI.
Dalam Sidang Umum MPRS yang digelar pada tahun 1967 , Aberson dipercaya menjadi jurubicara PNI. Dengan
gaya bicara
yang oratoris, vocal dan militant serta memukau, Aberson habis-habisan membela
Bung Karno dalam sidang ini. Ia menyatakan bahwa tuduhan-tuduhan yang
mendiskreditkan Bung Karno sebagaimana yang banyak dituduhkan adalah tidak
benar. Bung Karno tidak mungkin melakukan hal-hal yang merugikan diri, bangsa
maupun negaranya. Mana mungkin Bung Karno membunuih dirinya sendiri.
Karena ia begitu konsisten dan bersemangat membela Bung
Karno, ia pun diteriaki sebagai PNI ASU oleh para hadirin. Hadirin bergemuruh
mengejeknya, sebab dianggap irrasional karena arus utama pada waktu itu sudah
anti Bung Karno. Mengapa bisa demikian? Apakah suasana seperti itu disadari
atau tidak olehnya, atau ada tujuan-tujuan lain, menjadi tanda tanya besar.
Tanda tanya besar karena setelah Aberson selesai
berpidato beberapa waktu kemudian entah dengan pertimbangan apa juru bicara PNI
yang lain, yakni Hardi, induk semang, guru politiknya menyampaikan pandangan
atau pidato yang bertolak belakang sama sekali dengan pidato Aberson. Hardi . menyatakan bahwa tak seujung rambutpun PNI ada
niat membela Bung Karno.
Kontan suasana jadi geger. Dua pemimpin PNI yang berasal
dari satu kubu mempunyai pandangan yang bertolak belakang dengan keberadaan
Bung Karno. Bagaimana itu bisa terjadi mungkin banyak argumentasinya, maklum
masalah politik. Namun pengakuan Aberson sendiri , pembelaan itu ia lakukan
karena ia menyatakan yang sebenarnya . Ia mempunyai argumentasi kuat bahwa Bung
Karno tidak terlibat G 30 S/PKI.
Akan tetapi karena suasana memang bukan mencari yang
salah dan benar sebagaimana di dunia akademik, melainkan suasana yang sudah politis
yang direkayasa, pidato Aberson tidak
mendapat tempat. Ia diteriaki dan dicemohkan pada sidang MPRS tersebut. Ia
dituding sebagai PNI ASU yang dicap pro PKI. Tidak cukup disitu, yaitu hanya
diteriaki, melainkan lebih mengenaskan lagi, iapun didepak dari lembaga
tertinggi negara itu pada tahun 1967.
Tentang pidato Aberson yang berani habis-habisan membela
Bung Karno ditengah-tengah suasana politik yang anti Bung Karno memang sesuatu
yang kontroversial/bukan sesuatu hal yang taktis. Bagi orang, kalangan atau
partai yang paham akan suasana yang sedang berlangsung, pidato tersebut mungkin
tidak akan dilakukan, sebab akan berbenturan dengan rezim yang sedang unggul.
Lain hal mungkin kalau pidato tersebut dianggap
bisa membalikkan keadaan dan berbalik memperoleh keunggulan.
Namun apapun dalihnya Aberson adalah figure yang khas,
yang tidak sekedar berhitung politis jangka pendek, sesaat atau kekinian. Beliau
mempunyai prinsip yang tak bisa ditawar-tawar dan berani menyatakan prinsipnya
itu sampai kemanapun , meski ia harus mendapat ganjaran. Orang mungkin akan
menuduhnya sebagai tidak tepat, tidak taktis, tidak bisa membaca keadaan dan
lain-lain tuduhan nan praktis-pragmatis. Itu pendapat orang. Aberson punya kalkulasi sendiri. Dimanapun, kapanpun
kebenaran bagi beliau harus ditegakkan.
Beliau tidak pernah takut dengan berbagai ancaman, tekanan, bahkan pembunuhan
sekalipun . Suatu waktu ia pernah mengatakan bahwa,suatu saat,ia tidak
mustahil akan terkapar dijalanan. Itu
resiko sebagai politisi, sambungnya .
Adapun “kebenaran” yang dimaksud dalam konteks Aberson
adalah kebenaran yang bersumber atau dilandasi oleh konstitusi, yakni UUD 1945.
Ia selalu memulai dari situ. Apa sekalipun yang ia perbincangkan atau bahas
selalu dalam kerangka atau koridor UUD. Karena fanatiknya ia dengan UUD,
siapapun yang mengenalnya akan menyebutnya si UUD 1945. Luhut Pangaribuan yang pernah menjadi pengacaranya mengakui bahwa
Aberson adalah figure yang sangat paham dan hafal isi UUD 1945, melebihi orang-orang
yang seharusnya menguasainya, seperti sarjana-sarjana hukum misalnya.
Tidak hanya Luhut Pangaribuan, juga koleganya Sabam Sirait mengakui hal itu. Menurut
Sabam , Aberson adalah pendekar UUD 1945.Dengan bercanda Sabam Sirait menyebut
Aberson “si UUD 1945”. Tidak saja Aberson, termasuk staf DPR yang sehari-hari
bersama Aberson, Toto Rasmono, disebut Sabam sebagai, duplikat Aberson karena
sudah hafal pasal-pasal atau ayat-ayat UUD 1945. Kalau Aberson tidak ada , tanya
saja Toto, urai Sabam Sirait lebih lanjut.
Mungkin konsistensinya kepada UUD 1945 inilah yang
membuat sosok Aberson berbeda dari teman-temannya yang lain. Bagaimana ,
mengapa dan apa yang melatar belakangi beliau begitu gandrung kepada
konstitusi, menurut pengakuannya adalah karena konstitusilah yang menjadi
dasar, tujuan dan alat untuk berpolitik. Dalam berpolitik kita tidak boleh
keluar dari UUD , katanya setiap saat.
Ia berpendapat
bahwa jika kita sudah memiliki konstitusi, maka apa-apa yang diperintahkan dalam
UUD tersebut wajib harus dilaksanakan. Politik
yang benar adalah politik yang dilandasi dan dikoridori UUD. Politik yang
dijalankan oleh pemerintah tidak boleh keluar dari rel tersebut. Politik
berawal, berjalan dan berakhir dalam wadah UUD Dengan perkataan lain konstitusi
adalah kata akhir legitimasi. Melanggar konstitusi dalam praktek atau dalam
semangat berarti melampaui batas-batas mandat politik
Tentang bagaimana ia dapat menghayati UUD dengan baik, menurut
pengakuannya, ia belajar pertama sekali pada
Harry Chan Silalahi,seniornya di UI. Beliau
inilah (Harry Chan) yang menyatakan bagaimana pentingnya suatu UUD dalam suatu
Negara. Selanjutnya untuk memahami hal yang lebih teknis, rinci.dan mendetail
mengenai UUD 1945 Aberson belajar kepada Bambang
Haryanto. Rekannya sejak lama, baik sebagai mahasiswa di Universitas Indonesia,
maupun ketika sama-sama aktifis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.
Aberson belajar pada Bambang Haryanto adalah kebetulan,
tidak disengaja. Ketika itu beliau
mengikuti penataran P4 di Gedung Pancasila Jalan Pejambon. Penulispun pada
waktu itu juga ikut penataran. Bambang Haryanto bertepatan menjadi “manggala”
yang bertugas menatar materi UUD 1945. Karena memang sudah sejak lama komitmen
kepada konstitusi, Aberson pun memanfaatkan moment ini, yakni intens belajar
pada Bambang.
Namun yang cukup menarik dari ikutnya Aberson pada
penataran ini sesungguhnya bukan karena ia mau mengikuti doktrin-doktrin P4
tersebut, melainkan karena terpaksa. Aberson tidak bisa menjadi anggota DPR RI
kalau tidak ikut dan lulus penataran P4. Konon yang menyarankan dia kesana
adalah Suryadi. Suryadi bilang jika mau jadi anggota DPR harus ikut penataran.
Soal materi penataran itu mau diikutin atau tidak, benar atau sebaliknya, entah
mau diapakan,itu urusan lain.
Aberson belajar
kepada dua tokoh itu karena latar
belakang pendidikan yang berbeda. Harry maupun Bambang adalah mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) yang sudah barang tentu mempelajari
konstitusi/UUD secara mendalam. Lain hal Aberson yang berlatar belakang ilmu
ekonomi jurusan “akuntansi”, bidang yang sangat teknis, tidak mempelajari hal seperti itu (konstitusi)..
Posisi yang demikian itu, yakni penguasaannya yang
begitu intens akan UUD dan back groundnya ilmu akuntansi membuat sosoknya cukup
istimewa. Beliau politisi yang mempunyai nilai plus, yakni menguasai hal-hal
yang sangat teknis. Ia menguasai ilmu ekonomi dari tingkat makro hingga mikro meskipun
pada akhirnya ia tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Aberson memang
tidak lulus kuliah, hanya sampai tingkat doctoral, namun karena rajin belajar,
rakus membaca buku dan aktif berorganisasi, sebagaimana diakui Suryadi
keintelektualan ekonominya tidak perlu disangsikan. Ekwivalen dengan temannya
sesama angkatan 66, Sofyan Wanandi, meski juga tidak lulus, mempunyai
pengetahuan ekonomi yang tidak kalah dengan para pakar sekalipun..
Dengan posisi Aberson yang seperti itu, yakni
pengetahuan ekonominya yang tidak perlu diragukan lagi, Suryadi mendudukkan ia
pada jabatan wakil ketua GBHN di DPR pada periode 1987 – 1992. Kalau pada Budi
Hardjono, Suryadi masih menanyakan akan duduk dibidang mana, maka Aberson tidak
ditanya lagi, langsung ditunjuk untuk duduk di bidang yang sangat strategis
tersebut, yakni GBHN. Banyak sesungguhnya yang bisa didudukkan disitu. Namun
yang sungguh-sungguh menguasai adalah Aberson, yang lainnya adalah sekedar
“politisi” kata Suryadi.
.Hingga akhir pengabdiannya di DPR RI tahun
2004, kepiawaiannya dalam bidang APBN diakui seluruh koleganya sesama anggota
DPR. Tidak hanya anggota juga mitranya dari pemerintah seperti Menteri
Keuangan, Gubernur Bank Indonesia,
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas mengakui kemampuan
Aberson tersebut.
Dalam tradisi rapat-rapat Panitia Anggaran DPR RI,
Aberson biasanya selalu terakhir bicara, sebab ia akhirnya yang merangkum rapat
atau sidang tersebut dan semuanya meyakini dengan sejuk. Sejuk karena memang
itu tidak hanya mewakili suara pribadi, kelompok atau fraksi/partai, tapi
adalah pendapat semua pihak untuk mencapai satu tujuan yang sangat mulia
sebagaimana yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mewujudkan.kesejahteraan
rakyat.
APBN bagi Aberson adalah satu instrument bagaimana
mencapai kemakmuran rakyat. Dengan APBN yang sungguh-sungguh direncanakan dan dijalankan
dengan baik pasti akan memakmurkan rakyat. Seribu kali, sejuta kali, sekian n kali…Aberson tidak
bosan-bosannya mengutif tujuan Negara sebagaimana yang tertera pada Pembukaan
UUD beserta pasal atau ayat pendukungnya dalam batang tubuh, seperti, khususnya
pasal 33 apabila ia memberi pandangan dalam sidang-sidang APBN..
Untuk mengetahui lebih dalam apa sesungguhnya yang
menjadi impian, cita-cita atau orientasi Aberson akan diteruskan dibawah ini.
VISI DAN MISI ABERSON
Dari uraian-uraian diatas bila kita perhatikan/renungkan
dengan seksama ,(secara umum) orientasi, tujuan atau visi dan misinya sudah jelas
dan mungkin tidak ada yang baru. Intisarinya adalah “penegasan atau konsistensi” pola berpikir dan bertindak bagaimana melaksanakan
UUD 1945 secara murni dan konsekwen Suatu tema,jargon atau slogan yang ditabuh
rezim Orde Baru ketika mulai berkuasa. Siapapun yang mengikuti poerjalanan
sejarah bangsa ini tidak ada yang lupa dengan tema tersebut. Masalah bagaimana
akhirnya nasib tema ini, apakah dilaksanakan atau tidak, atau hanya sekedar
slogan untuk slogan, khalayak sudah memakluminya.Biarlah itu menjadi satu
setting histories bagi perjalanan bangsa Indonesia.
Kembali kepada Aberson, untuk mengetahui lebih jauh, rinci,
sistematis dan akurat tentang orientasi perjuangannya tertera dalam Visi dan
misinya sewaktu mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
mewakili Daerah Khusus Ibukota, Jakarta Raya tahun 2004. Pernyataan pertamanya
adalah tentang ideologi , landasan bersama atau platform. Untuk ini Aberson
menyatakan:
Berdasarkan pengamatan saya selama 45 tahun berkecimplung dibidang politik,
persoalan utama bangsa ini adalah, bagaimana mengabadikan Negara Persatuan
Republik Indonesia (NPRI, cat penulis) sebagaimana cita-cita proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Cita-cita tersebut tercantum dalam alinea kedua
pembukaan UUD 1945. Didalam alinea kedua tersebut antara lain ditegaskan bahwa
proklamasi 17 Agustus 1945 mengantarkan rakyat Indonesia, untuk mendirikan
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur. Oleh karena itu visi dan misi utama bagi perjuangan politik saya adalah
menjadikan Pembukaan UUD 1945 itu menjadi ideologinya atau landasan bersama
bangsa Indonesia
yang berbihinneka
Menurut Aberson penegasan ini penting sebab
pemerintahan-pemerintahan selama ini belum ada yang secara jelas dan kongkrit
melaksanakannya. Baru sebatas wacana-wacana atau retorika sebagaimana
dikatakannya dibawah ini:
Walaupun sejak pemerintahan Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden
Habibie, Presiden Abdurachman Wahid, dan Presiden Megawati Soekarnoputri selalu
mencanangkan Negara Indonesia yang bersatu atau persatuan Indonesia atau
persatuan dan kesatuan bangsa, dan akhir ini cukup gencar disuarakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah segala-galanya. Akan tetapi semuanya
itu hanya reorika belaka, karena tidak diikuti dengan penegasan, apa seharusnya
yang menjadi landasan bersama (common platform), bangsa Indonesia yang berbhinneka itu.
Tidak mungkin Persatuan Indonesia
atau Negara Kesatuan Republik Indonesia
terwujud, apabila tidak ada landasan bersamanya.
Tentang bagaimana pentingnya pokok-pokok pikiran yang
terkadung dalam pembukaan, hubungannya dengan hukum dasar/ Pancasila ,pokok-pokok
pikiran sebagai suasana kebatinan dari UUD ,hubungan pembukaan dan batang
tubuh, Aberson menyatakan:
Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
kedudukannya adalah sangat strategis dan fundamental dalam kehidupan kenegaraan
kita. Hal itu terlihat dari pernyataan Bapak-Bapak pendiri Negara kita di dalam
penjelasan umum UUD 1945 yang menyatakan UUD suatu Negara ialah hanya sebagian
dari hukumnya dasar Negara itu. Tentunya yang dimaksud dengan pernyataan ini
pasal-pasal UUD 1945 hanyalah sebagian dari hukumnya dasar Negara kita yang
biasa disebut Pancasila. Kemudian ditegaskan lagi oleh Bapak-Bapak pendiri Negara
kita, bahwa pokok-pokok pikiran itu meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara
Indonesia (baca UUD1945) dan mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum
dasar negara, baik hokum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Jadi
UUD 1945 harus menciptakan pokok-pokok pikiran dalam pasal-pasalnya.
Tentang kehidupan beragama Aberson menyatakan:
Kehidupan beragama berdasarkan pokok pikiran yang terkandung di
dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, adalah merupakan kemerdekaan dan hak
asasi manusia. Hal ini tercermin dari substansi dari alinea tersebut yang
menyatakan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Sudah dapat dipastikan berkehidupan
kebangsaan yang bebas dalam pokok pikiran ini termasuk kebebasan individual
atau perorangan untuk beragama atau berkebangsaan. Atas dasar inilah maka psal
29 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayannya itu. Didalam kenyatannya hingga saat ini, kehidupan beragama itu
masih terkesan sangat diwajibkan (khususnya selama rezim Orde Baru). Bentuk
pemaksaan itu antara lain terlihat dicantumkannya dalam KTP kolom agama. Apakah
kalau ada warga Negara tidak mengisi kolom itu atau menyatakan tidak beragama
tidak diberi KTP ?. Akan tetapi selama pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid
nampak keinginan politik yang kuat ubtuk mengembalikan kehidupan beragama itu,
sesuai dengan ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Upaya itu telah membuahkan
hasil dengan dibebaskannya Kong Hu Chu untuk melaksanakan ibadahnya.
Tentang bagaimana hubungan antara Agama dengan Negara ,
dengan mengutif pendapat Abdurachman Wahid, Aberson menyatakan:
Saya sangat sependapat dengan pernyataan Presiden Abdurachman Wahid
pada tahun 2000 di depan peringatan Natal
nasional yang menyatakan, bahwa UUD 1945 disusun oleh Bapak-Bapak pendiri Negara
kita yang memisahkan kehidupan bernegara dan beragama. Sehingga keinginan
politik yang menghendaki disusunnya Undang-Undang tentang Kerukunan Beragama
adalah tidak sesuai dengan jiwa dan semangat pasal 29 ayat (2) tersebut diatas.
Seharusnya Undang Undang yang harus dibuat ialah, Undang Undang tentang
Kemerdekaan Beragama. Di dalam UU tersebut telah diatur pelaksanaan dari
kemerdekaan beragama dan berkepercayaan itu serta hal yang berkaitan dengan
pembangunan rumah ibadah.
Selanjutnya tentang bagaimana pemerintah itu bekerja
agar tujuan negara mencapai sasarannya, Aberson merujuk kepada alinea kedua dan
keempat pembukaan UUD 1945. Lebih lengkapnya , ia menulis:
Didalam alinea kedua dengan jelas ditetapkan apa yang menjadi tujuan
kita merdeka, tujuan kita bersatu, tujuan kita bernegara yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut didalam alinea
keeempat ditegaskan; pemerintah Negara Indonesia
harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta
menyelenggarakan ketertiban dunia. Oleh karena itu penyelenggaraan pemerintahan
Negara Indonesia yang terdiri dari kekuasaan legislative (DPR, DPD dan DPRD)
dan kekuasaan eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya)
haruslah mealksanakan haluan Negara atau hak-hak rakyat yang terlah ditetapkan
oleh UUD 1945 yang merupakan hukumnya dari pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam pembukaannya.
Ada 5 (lima)
haluan negara (pasal dan ayat) yang berkaitan langsung dengan kemakmuran rakyat
atau kesejahteraan sosial guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur, maka
kebijakan pemerintah Negara harua fokus kepada:
Pertama, pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: tiap-tiap
warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Konsekwensi dari ketentuan ini, apabila setiap warga Negara mendaftarkan
dirinya ke kantor penempatan kerja, untuk memperoleh pekerjaan, sebelum
permintaan tersebut terpenuhi, pemerintah harus memberikan jaminan social untuk
penghidupan minimum. Praktek jaminan social yang demikian ini sudah berlangsung
lama dinegara-negara maju, kitapun sesuai dengan ketentuan pasal 27 ayat (2)
UUD 1945 tersebut diatas seharusnya melakukan hal yang sama. Itulah sebabnya
pemerintah Negara-negara maju tersebut dalam kebijakan fiskal dan ekonominya,
berusaha menekan angka pengangguran. Pengangguran yang tinggi akan menyebabkan
deficit anggaran yang besar.
Kedua, ketentuan pasal 31 ayat (1) yang berbunyi: setiap
warga Negara (tiap-tiap warga Negara) berhak mendapat pengajaran (setelah
diamandemen diganti dengan pendidikan). Bapak-bapak pendiri Negara kita
bermaksud agar hak rakyat atas pekerjaan itu (pasal 27 ayat (2) UUD 1945 hanya
dapat terpenuhi, apabila tiap-tiap warga Negara itu mempunyai ketrampilan.
Untuk memperoleh ketrampilan itu haknya rakyat mendapat pengajaran harus
dipenuhi oleh pemerintah. Itulah sebabnya saya sangat tidak setuju amandemen
pasal 31 ayat (3) yang berbunyi: pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketidaksetujuan saya itu
didasarkan pada kenyataan mencerdaskan bangsa hanyalah berhubungan dengan
ketrampilan kerja atau IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi). Sedangkan
keimanan dan ketakwaan dan ahlak mulia adalah berhubungan dengan ibadah agama
atau kepercayaan. Dengan demikian untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
itu hak rakyat untuk memperoleh hak dan wajib belajar pengajaran/pendidikan
dasar 9 tahun ini terpenuhi.. Idealnya sampai kepada Perguruan Tinggi., hak itu
harus diberikan, seperti yang dilakukan di Jepang, Jerman dan Negara-negara
maju lainnya. Kemudian dilanjutkan 1 atau 2 tahun lagi untuk memperoleh
ketrampilan kerja. Sesuai dengan kemampuan keuangan Negara maka pada tahap
pertama anak usia wajib belajar 6 sampai dengan 16 tahuin harus sudah dapat
ditampung disekolah negeri.
Ketiga, pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:
cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara. Ketentan ini sangat erat hubungannya dengan
kebutuhan pokok rakyat sehari-hari, seperti jasa angkutan umum dalam kota, tersedianya air
minum atau air bersih, penerangan, telekomunikasi dan lain-lain. Pada
penjelasan pasal ini, Bapak-bapak para pendiri Negara kita dengan tegas menyatakan:
apabila tampuk produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu dikuasai
oleh perorangan maka akan tertindaslah rakyat banyak itu itu. Apalagi mengeruk
keuntungan yang besar, dari jalan tol dalam kota
maupun luar kota
adalah tidak sesuai dengan jiwa dan semangat pasal 33 ayat (2) UUD 1945
tersebut diatas. Prasktek seperti itulah terjadi hingga sekarang ini dinegara
kita. Dibeberapa daerah ada eksploitasi sumber daya alam, seperti air bersih
(mata air) dikuasai oleh swasta untuk dijadikan air minum dalam kemasan, yang
kemudian dijual kepada masyarakat. Praktek ini menjadikan kekayaan alam itu
bukan lagi kemakmuran rakyat. Begitu juga jalan tol adalah fasilitas umum yang
harus disediakan oleh Negara. Kalaupun akan dikutif bayaran dijalan tol itu,
haruslah dianggap sebagai pajak yang dibayar terlebih dahulu, yang setiap
tahunnya dapat dilakukan verifikasi.
Keempat, adalah pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : bumi
(tanah) dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan dalam
pasal dan ayat ini dimaksudkan agar pengelolaan tanah dan air dan kekayaan alam
itu benar-benar dapat memakmurkan rakyat. Itulah sebabnya Bapak-bapak pendiri
Negara kita didalam penjelasan pasal ini menegaskan: dalam menyelenggarakan
perekonomian kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang
seorang. Oleh karena itu cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara (bukan dimiliki).
Kemudian ditegaskan lagi bahwa bumi (tanah dan air) dan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selama pemerintahan Orde Baru dan hingga saat ini,
bumi/tanah dan air dan kekayaan alam itu telah menjadi kemakmuran yang luar
biasa sekali bagi oknum-oknum penguasa dan pengusaha, yang popular disebut
dengan para konglomerat. Akibat dari krisis moneter dan kemudian menjadi krisis
multi dimensional maka para konglomerat itupun meninggalkan hutang ratusan
triliun rupiah yang terpaksa menjadi beban rakyat melalui APBN yang setiap
tahunnya diatas Rp 50 triliun. Pengelolaan utang dalam dan luar negeri yang
setiap tahun besarnya yang jatuh tempo bunga dan pinjaman pokoknya telah
mencapai diatas seratus triliun harus dapat dikelola dengan baik. Pada saat ini
utang didalam negeri telah menjadi lebih besar dari pinjaman luar negeri. Dan
pinjaman dalam negeri tersebut didominasi oleh obligasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk merekapitalisasi perbankan yang besarnya kita-kira Rp 450
triliun. Oleh karena posisi anggota legislative mengawasi pengelolaan keuangan
Negara baik penerimaan maupun pengeluaran maka idealnya setiap anggota
legislative (DPR,DPD dan DPRD) harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang
keuangan Negara ini.
Kelima, adalah pasal 34 yang berbunyi: fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Ketentuan ini adalah konsekwensi
logis dari dasar Negara kita yang berbunyi: kemanusiaan yang adil dan beradab
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya setiap manusia tanpa
mempersoalkan apapun bangsanya, agamanya, asal usul keturunan dan warna
kulitnya, apabila dia menjadi fakir miskin atau anak terlantar, di wilayah hukum
Republik Indonesia,
apapun penyebabnya harus dipelihara oleh negara. Apalagi terhadap warga negaranya
sendiri, tentunya jaminan sosial itu
harus lebih terselenggara dengan baik. Pelaksanaan yang demikian itu tentu
masih jauh dari apa yang kita saksikan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di
pihak lain sebagaian besar warga Negara Indonesia masih hidup dibawah garis
kemiskinan.
Dari mana dan bagaimana pembiayaan untuk melaksanakan
keinginan-keinginan demikian Aberson menyatakan:
Dalam rangka mewujudkan hak-hak rakyat tersebut diatas, mutlak
diperlukan pendanaan atau keuangan. Pasal 23 A UUD 1945 menetapkan, pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara di atur dengan UU.
Dengan demikian jelaslah bahwa sumber keuangan Negara yang utama adalah dari
perpajakan itu. Dan yang dimaksud dengan pajak atau perpajakan adalah antara
lain, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, bea masuk, cukai dan
lain-lain. Disamping itu masih ada penerimaan Negara lainnya yang berasal dari
bagian laba BUMN dan lain-lain. Dalam anggaran tahun 2003 jumlah pendapatan
Negara diperkirakan Rp 336,1 triliun. Dari pendapatan sebesar itu, penerimaan
dari perpajakan diperkirakan Rp 254 triliun (76%). Dari kontribusi perpajakan
ini, dapat disimpulkan bahwa hidup matinya Negara kita kita tergantung dari
penerimaan perpajakan. Sehingga siapapun yang akan menjadi Presiden atau
anggota legislative (DPR,DPD dan DPRD) tidak akan mungkin dapat mensejahterakan
rakyat apabila tidak dapat mengembangkan perpajakan. Jadi mereka, terutama
Presiden harus memahami seluk beluk pendapatan atau penerimaan Negara yang
berasal dari perpajakan itu. Apakah penerimaan perpajakan sebesar Rp 336
triliun sudah sesuai dengan yang seharusnya diperoleh oleh Negara atau oleh
rakyat. Jawabannya jelas sangat tidak sesuai. Oleh karena, jika dibandingkan
dengan Produk Domestik Bruto (PDB) baru mencapai 13,1%, termasuk
memperhitungkan pajak daerah. Dinegara-negara Asean, kecuali Kamboja, Laos,
Vietnam dan Myanmar, besarnya pajak yang dipungut dibandingkan dengan PDBnya
telah mencapai 16 – 18% dan sekarang Negara-negara tersebut sedang menuju tax
ratio sebesar 20%. Tax ratio yang rendah itu membuktikan bahwa puluhan triliun
atau bisa diatas seratus triliun setiap tahun uang rakyat tidak dapat dipungut.
Praktek yang merugikan rakyat banyak dapat terjadi
disebabkan antara lain oleh adanya hambatan perundang-undangan, sehingga
petugas pajak tidak dapat menakses informasi pendapatan wajib pajak oprang
pribadi maupun badan-badan tertentu. Sebagai ilustrasi, didalam UU tentang
perbankan semua rekening, giro, deposito, tabungan orang pribadi maupun bbadan
dinyatakan rahasia. Sedangkan dokumen-dokumen tersebut memuat data keuangan
para wajib pajak. Dipihak lain aparatur pajak harus menguji kebenaran dari
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak (SPT) orang pribadi maupun badan yang
dihitung sendiri. Pengujian itu hanya dapat dilakukan apabila data keuangan
wajib itu dapat diakses oleh aparat perpajakan.
Untuk membuktikan besarnya pajak yang tidak dapat
dipungut itu dapat dilihat dari data berikut ini. Pada awal tahun 1998 Dana
Pihak Ketiga (DPK) diperbankan nasional yang berupa giro, tabungan dan deposito
masih sebesar Rp 358 triliun, . Pada bulan April 2001 telah berkembang menjadi
Rp 850 triliun, walaupun perekonomian masih lesu.. pada bulan Maret dana pihak
ketiga ini masih sebesar Rp 850 triliun. Dapat dipastikan bahwa sebagian besar
dana pihak ketiga ini tidak dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Terutang (SPT). Petugas pajak tidak dapat mengakses data-data tersebut karena
UU Perbankan menyatakan hal itu adalah rahasia.
Apabila dana sebesar itu dimasukkan dalam SPTnya, yakni
dari Rp 850 triliun itu dikalikan dengan 30% untuk badan dan 35% untuk orang
pribadi, berarti dapat menambah penerimaan perpajakan sebesar Rp 250 triliun.
Begitu juga lalu lintas devisa setiap bulannya dapat 240.000 traksaksi. Jika setiap
transaksi bernilai US $ 1000, omzetnya mencapai US $ 240 juta. Menurut UU lalu
lintas devisa, transaksi ini dinyatakan rahasia. Dengan demikian aparatur pajak
tidak dapat mengaksesnya, pada hal transaksi itu jelas adalah objek dari pajak
penghasilan badan maupun orang pribadi
Didalam tahun 2004 , apabila tax ratio dapat
ditingkatkan hingga 16% dan PDB sebesar Rp 2000 triliun, maka dari perpajakan
saja kita dapat memperoleh Rp 320 triliun. Dan ditambahj dengan pendapatan
Negara bukan pajak sebesar kira-kira Rp 80 triliun, maka volume APBN kita tahun
2004 menjadi Rp 400 triliun. Dengan APBN sebesar itu kita tidak perlu melakukan
pinjaman luar negeri dan begitu juga APBN tidak lagi mengalami deficit. Dengan
APBN sebesar itu maka dengan pinjaman alokasi anggaran maka pembangunan infra
struktur ekonomi dan sosial dapat ditingkatkan.
MENDUKUNG BICAMERALISME
Meskipun visi-misi itu ditulis tahun 2004, tidak berarti
itu muncul pada tahun itu. Visi demikian adalah pemikirannya sejak lama, yakni
sejak ia mulai masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, FEUI dan aktip
berorganisasi. Aberson sebagaimana ditulis dalam bagian (bab) sebelumnya adalah
sosok yang sangat aktip berorganisasi baik itu dalam intra universiter,
(seperti senat maupun dewan mahasiswa) dan extra universiter, yakni Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang akhirnya bermuara pada Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia,
KAMI.
KAMI sebagaimana faktanya adalah organisasi mahasiswa
yang dilahirkan tokoh-tokoh Orde Baru untuk mendukung perjuangan Orde Baru yang
dalam slogannya akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekwen. KAMI sebagai ujung tombak pendukung Orde Baru mngkritisi rezim
sebelumnya yang jauh dari cita-cita ideologi dan konstitusi. Mungkin karena
slogannya yang hebat itu, yakni akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekwen, membuat Aberson tertarik masuk ke organisasi tersebut.
Akan tetapi keikutsertaan Aberson dalam organisasi ini membuat posisinya unik dan kontroversil. Disatu pihak ia, adalah
Soekarnois sejati, namun dalam statusnya sebagai aktipis KAMI, disadari atau
tidak ,iapun mendukung rezim Orde Baru yang menjatuhkan Soekarno.
Pandangan demikian mengemuka karena mereka yang
mempelajari sejarah politik paham bahwa KAMI adalah alat menghancurkan PKI dan
mempreteli kekuasaan Soekarno. Sebagaimana diakui oleh orang yang pernah dekat
dengannya, yakni Rahadi Zakaria (anggota DPRD Jawa Barat fraksi PDIP periode
1999 hingga saat ini, pernah menjadi
wartawan dari beberapa media, seperti Simponi, Swadesi ,Fokus, Pelita, dan
sewaktu mahasiswa aktip dalam GMNI) apabila ketemu dengannya selalu menyatakan
bahwa ia sangat kagum kepada dua tokoh, yakni “Bung Karno dan pak Harto”.
Bagaimana bisa seperti itu?, penulis tidak menanyakan lebih lanjut kepada
Rahadi. Namun satu hal penting lagi dari pengakuan Rahadi yang mendukung
konstalasi ini adalah bahwa Aberson adalah
figur yang sangat dekat dengan salah satu arsitek Orde Baru, yakni Ali Murtopo.
Ali Murtopo sebagaimana faktanya adalah salah satu tokoh
sentral yang berperan memenangkan perjuangan Orde Baru. Dengan
gayanya yang khas, ia berhasil mempengaruhi banyak kalangan agar memendukung
cita-citanya,. Tidak terkecuali dan terutama adalah kalangan kampus yang
dianggapnya sangat strategis, sebab institusi yang menghasilkan calon-calon intelektual. Beliau terjun
langsung menemui, melobby dan mempengaruhi tokoh-tokoh mahasiswa agar mengikuti
perubahan yang sedang berlangsung.
Tokoh-tokoh mahasiswa ini bersama kekuatan-kekutan lain
yang mendukung perjuangan Orde Baru pada akhirnya dikenal dengan sebutan
eksponen 66. Tokoh-tokoh mahasiswa exponent 66 yang dekat dengan Ali ini selanjutnya
membuat paguyuban yang bernama Yayayasan Pembangunan Pemuda Indonesia, YPPI, dimana Aberson
menjadi sekretaris eksekutif didalamnya. Sekretariat mereka di Jl Raden Saleh,
Cikini.
Posisi seperti itu yakni “Soekarnois yang merangkap sekaligus
Soehartois” membuat dirinya semakin unik. Bagaimana itu bisa terjadi?,bukankah
itu ibarat langit dan bumi? bukankah Soekarno menurut banyak kalangan condong
ke kiri, sementara Soeharto sebaliknya? Membuat sintesa dari dua kutub yang
berlawanan sebagaimana Soekarno dulu ingin menyatukan kaum nasionalis, agamis
dan Marxist?, atau sekedar taktik supaya aman ditengah perubahan yang terjadi?
Perlu penelitian lebih jauh dan tentunya bukan tujuan penulisa biografi ini.
Yang jelas sosoknya unik. Dan keunikan ini tidak cukup disitu, sebab disisi
lain beliau ternyata adalah orang yang sangat mengagung-agungkan, pola, tatanan
atau sistem politik Amerika Serikat. Dalam berbagai pertemuan atau setiap
kesempatan, ia selalu memuji-muji politik dan pemerintahan negara adidaya
tersebut. Tiada pembahasan yang tidak bermuara kepada sistem politik Amerika
Serikat. Ringkasnya ia ingin prosedur dan mekanisme politik yang dijalankan
dinegara besar itu diterapkan di Indonesia.
Kalau dipikirakan lebih jauh sesungguhnya tidak hanya
Aberson yang berperilaku demikian. Banyak kalangan tertentu yang berideologi
tidak berkiblat ke AS , namun dalam perilaku politiknya mengikuti trend-trend
yang berkembang disana. Khususnya para mahasiswa atau ilmuwan, intelektual dan
inteligensia yang ada dinegeri ini, sadar atau tidak telah terbius dengan
pola-pola AS. Doktor-doktor atau Ph D-Ph D politik yang ada di Indonesia
mayoritas belajar di AS.
Setelah pulang ke Indonesia,
ilmuwan-ilmuwan yang menimba ilmu di Amerika Serikat tersebut, tanpa filter
alias mentah-mentah menularkan ilmunya kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia.
Kampus penuh dengan warna-warni Amerika, baik itu kurikulum, referensi,
laboratorium dan lain-lain yang berhubungan dengan tradisi keilmuan. Bukan
suatu hal yang baru atau istimewa, pasca Perang Dunia II, AS adalah
satu-satunya Negara yang punya kekuatan ekonomi dan politik yang kuat Didalam
menjalankan pengaruhnya, Negara ini menggunakan berbagai cara. Salah satunya
adalah dengan memberikan buku-buku tentang negerinya kepada seluruh masyarakat dunia,
termasuk Indonesia.
Perpustakaan-perpustakaan universitas dicekoki dengan buku-buku AS yang sudah
diterjemahkan.Tidak terkecuali Aberson yang rakus membaca hanya membaca
referensi yang berasal dari negeri paman tersebut.
Siapapun yang doyan membaca tentang politik dan
pemerintahan pasti sudah kenal dengan referensi-referensi , buku-buku atau
literature-literatur AS yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku-buku itu
mendominasi calon dan cerdik pandai Indonesia. Pola-pola politik dan
pemerintahan disana, disadari atau tidak menjadi parameter. Begitu pula
khususnya tentang tatanan ekonominya, apa yang dikembangkan disana ditiru
mentah-mentah disini. Mengapa bisa seperti itu? Pada hal guru besar-gurubesar
disana sudah mengingatkan bahwa ilmu yang dipelajari disana adalah dari, oleh
dan untuk orang Amerika.
Amin Rais yang pernah memberikan kuliah kepada penulis
di pasca sarjana UGM mengakui hal itu, meskipun akhirnya,ia sendiri dituduh
banyak kalangan sebagai pendukung utama politik dan pemerintahan Amerika
Serikat. Mungkin sama kontroversinya dengan Aberson, ideologinya A
manifestasinya B.
Konstatasi seperti itu dapat dilihat pada waktu Amandemen
UUD 1945 yang dimotori Amin Rais. Disengaja atau tidak orientasinya amandemen
itu adalah konstitusi, politik dan pemerintahan AS. Gaya-gaya politik yang ada
disana diadopsi habis-habisan. Bahkan dalam beberapa hal mungkin telah melampaui. Di AS sendiri pemilihan
Presiden tidak selangsung yang dipraktekkan di Indonesia. Demikian pula Mahkamah
Konstitusi yang dibentuk tidak dikenal dinegara adi daya tersebut. Di AS
tugas-tugas yang diemban MK dirangkap
oleh MA.
Suatu loncatan besar kata Amin Rais pasca Amandemen UUD
1945. Jimly Asshiddiq yang terpilih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi
mengakuinya. Menurut Jimly melihat pasal-pasal, ayat-ayat atau
lembaran-lembaran yang bertamah amandemen UUD itu telah mengalami kemajuan 300%.
Jadi sangat beralasan bila ada kalangan
tertentu, dari kalangannya Aberson, yakni Amin Aryoso cs yang menyatakan bahwa
amandemen itu telah kebablasan. Sebaliknya Aberson adalah pendukung amandemen.
Aberson tidak seujung rambutpun gentar mendukung amandemen
meski partainya cenderung menolak. Pada waktu amandemen dimulai, beliau adalah
anggota PDIP yang paling lantang bersuara. Meski partai sering menegur,memarahi
atau mengancamnya, ia tetap tegar pada pendapatnya Suatu sikap yang diwarrisi
sejak berpartai, dari PNI, PDI hingga PDIP.
Bak “elang yang terbang sendiri” di PDIP Aberson mendukung
habis-habisan amandemen, khususnya mengenai pembentukan “sistim perwakilan dua
kamar dan pemilihan langsung”. Sistim perwakilan dua kamar yang dalam teori
politik perwakilan popular dengan sebutan “bicameral” adalah cita-citanya sejak
lama. Sejak ia mungkin mempelajari text book-text book Amerika Baginya dengan
dua kamar parlemen, proses dan mekanisme politik akan semakin memperkuat
lembaga perwakilan tersebut mengimplementasikan kedaulatan rakyat. Inilah
alasan mengapa ia begitu berapi-api memperjuangkannya pada waktu amandemen
dimulai, sementara partainya PDIP mengambil jalan konservatif alias menolak sistem
bikameral. Konon, karena Aberson getol
dan vocal memperjuangkannya, ia diperingati oleh partainya. Dia diperingatkan
agar tidak asal bicara, karena biar bagaimanapun ia adalah anggota partai. Dia
diminta untuk bisa memilah-milah mana yang pantas dikomentari atau tidak (Media Indonesia, 18 Agustus
2000).
Namanya Aberson peringatan tinggal peringatan. Sejenak, mungkin ia akan diam. Namun tidak lama
kemudian mulai lagi kebiasaannya, yakni
tidak pernah berhenti berkomentar, termasuk untuk terus menggoalkan sistim
bicameral, meski partainya tetap menolak. Ia mempunyai argumen yang mengalahkan
peringatan fraksi, yakni bahwa bicameral tidak bertentangan bahkan memperkuat UUD
1945. Peringatan fraksi adalah untuk fraksi, bukan untuk Aberson yang
berprinsip mewakili rakyat dan tidak mewakili fraksi atau partai..Ia tetap
tegar dengan pendapat itu. Bagaimana detail dan rinci pendapatnya tentang
sistim bicameral dapat kita baca pada visi dan misinya sewaktu mencalonkan diri
menjadi anggota DPD dari daerah pemilhan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya
(DKI Jaya) pada pemilu 2004. dalam visi misinya ia menulis:
Pada amandemen UUD 1945 didalam pasal 22 C telah ditetapkan satu
lembaga yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Fungsinya adalah mewakili
rakyat dan wilayah dalam propinsi yang menurut Undang Undang Pemilu ditetapkan
4 (empat) wakil setiap propinsi. Walaupun belum sama kedudukan dan wewenangnya
DPD itu dapat disebut seperti lembaga Senat di Amerika Serikat, yang diwakili
dua senator tiap Negara bagian. Di dalam pasal 22 D UUD 1945 wewenangnya antara
laian, mengajukan rancangan dan membahas Undang Undang yang berhubungan dengan
Otonomi Daerah kepada DPR, memberikan pertimbangan kepada DPR tentang rancangan
undang-undang (RUU) tentang APBN dan lain-lain. Kalau dilihat dari jumlah
pemilihnya yang lebih besar, seharusnya tugas dan wewenang anggota DPD lebih
kuat atau sama dengan anggota DPR. Hal ini disebabkan anggota DPD hanya empat
orang setiap propinsi, sementara untuk anggota DPR dari DKI berjumlah 18 orang.
Di Amerika Serikat kedua badan legislative itu mempunyai tugas dan kewenangan
yang sama, yaitu House of Representatif (DPR) dan Senat (DPD). Begitu juga
penghasilannyapun sama besar yaitu 57.500 dollar AS pertahun (take home pay).
Pernyataan visinya ini membuktikan keterangan-keterangan
sebelumnya betapa ia sangat mengagumi sistim politik Amerika Serikat. Meskipun
wewenang atau fungsinya belum sama dengan sistim perwakilan disana, Aberson
tetap berharap suatu saat wewenang atau fungsi itu akan sejajar sebagaimana
dikatakannya dibawah ini:
Ketimpangan ini tentunya harus diperbaiki. Dan inilah antara lain
tugas komisi konstitusi. Komisi konstitusi telah ditetapkan oleh MPR untuk
melakukan pengkajian secara komprehensif dan konseptual hasil amandemen pertama
sampai keempat. Saya mengharapkan komisi konstitusi akan menetapkan atau mengakomodir
sistem bicameral murni dimana badan legislative terdiri dari dua badan,
sehingga pada sidang umum MPR tahun 2004 legislatif itu terdiri dari DPR (House
of representative) dan DPD (Senat)
Jelas, terang dan kongkrit, Aberson adalah insan yang
100% atau 24 krat pendukung sistim bikameral sebagaimana yang dipraktekkan di
Amerika Serikat. Untugnya apabila sistim itu diterapkan di Indonesia, akan menciptakan
kestabilan politik, pertumbuhan ekonomi dan sosial yang mantap sebagaimana yang
dialami negara super power tersebut. Tidak cukup disitu, iapun mengajak Indonesia
supaya mengacu kepada konstitusi Amerika Serikat. Untuk lebih jelasnya ditulis
dibawah ini:
Selama 200 tahun lebih Amerika Serikat melaksanakan sistem bicameral
tersebut ternyata telah mengarahkan secara evolutif pembentukan institusi
kenegaraannya dan telah menyediakan dasar kestabilan politik, pertumbuhan
ekonomi dan kemajuan sosial yang mantap. UUD Amerika Serikat itu adalah UUD
tertulis dan yang berlaku paling lama diseluruh dunia sehingga ajaran-ajarannya
menjadi acuan bagi negara lama maupun negara baru, termasuk Indonesia.
Aberson begitu yakin apabila sistem demikian, yakni
sistem bicameral dan sistem presidensil telah diadopsi seutuhnya oleh UUD 1945,
maka proses, mekanisme dan sistem politik MPR kita akan sama dengan Kongres di
Amerika Serikat, yang berfungsi hanya sebagai forum atau sessi gabungan (joint
session) untuk pengambilan semua keputusan Rancangan Undang Undang, termasuk UU
APBN.
Sebagaimana Kongres AS yang sehari-harinya dipimpin oleh Wakil
Presiden, MPR seharusnya juga mengadopsi hal demikian, yakni dipimpin oleh
Wakil Presiden, sehingga “Checks and Balances” antara kekuasan legislative dan
eksekutif terjadi di MPR, seperti yang berlangsung dalam Kongres j AS. Tidak
seperti yang berjalan selama ini, dimana MPR tidak sekedar sessi gabungan.
Malah sebaliknya dilembagakan penuh dengan mengangkat Ketua dan Wakil-Wakil
Ketua tersendiri, sebagaimana DPR dan DPD,. Tidak keliru kalau ada kalangan
tertentu yang menyebutkan bahwa sistim parlemen kita adalah trikameral (tiga
kamar)
Harapan tinggal harapan. Keinginan membuat DPD sama
dengan Senat di AS masih menuai kontroversi. Fungsi mereka tak lebih tak kurang
hanya sebatas pemberi saran dan pertimbangan. Belum mempunyai kekuatan
legislative seperti DPR . Seharusnya lembaga ini lebih legitimate daripada
DPR,karena mereka dipilih langsung dalam pemilu dan jumlahnya lebih kecil
ketimbang anggota DPR. Mengapa bisa terjadi seperti itu?, Purwo Santoso dari
UGM menjawab, karena sejak lahir memang
sudah cacat. Cacat karena DPR yang terlibat dalam amandemen tidak bersedia
mengadopsi sistim bicameral yang diajukan penganjurnya. Gagasan bikameralisme
kuat adalah gagasan teknokrat kampus yang terlibat dalam Badan Pekerja MPR.
Usulan mereka secara ilmiah masuk akal, namun tidak bisa diterima secara
politik (Kompas, 27 Maret 2004)
Meski DPD terus berupaya untuk memperkuat peran melalui
usulan amandemen, DPR kelihatannya tidak akan meloloskan impian itu. Perjuangan
DPD menggalang tanda tangan supaya
amandemen dilakukan belum memenuhi persyaratan Anggota-anggota DPR yang
sebelumnya telah menandatangani supaya dilakukan amandemen kembali menarik
dukungannya. PAN yang dikenal sebagai motor reformasi dengan dalih bahwa
mayoritas fraksi tidak mendukung amandemen, maka PAN juga menarik dukungannya.
Berbagai argument dimajukan mengapa mereka menolak
amandemen. Ada yang mengatakan terlalu cepat, Indonesia
tidak menganut bicameral, DPD adalah instrumen federal, dan sekian alasan lagi.
Mudah-mudahan tidak seperti yang dikatakan Purwo Santoso bahwa DPR memang tidak
mau berbagi wewenang legislatif dengan DPD . Kalkulasinya sederhana, bila DPD
diberi kewenangan sama dengan DPR, maka rezeki DPR akan berkurang. Oleh karena
itu biar saja DPD seperti itu, yakni hanya sekedar soft bicameralism, bukan
bicameral penuh sebagaimana dicita-citakan Aberson dan banyak pihak lainnya.
PEMILIHAN LANGSUNG
Selain konsep bicameral yang membuat Aberson
berseberangan habis-habisan dengan partainya, PDIP adalah masalah “sistim pemilihan”. Aberson menginginkan supaya sistim pemilihan
Presiden adalah langsung dipilih oleh rakyat. Sebaliknya PDIP cenderung
mempertahankan sistim lama, yakni tetap melalui mekanisme MPR. Dua pandangan
yang saling bertolak belakang, yang sudah tentu sukar dipertemukan.Bagaimana
menyatukan yang satu ke utara, yang satu keselatan?
Akan tetapi sebagaimana disebutkan diatas, yakni ketika
memperjuangkan habis-habisan sistim bicameral, Aberson pun menjadi
bulan-bulanan partai. Beliau kembali menjadi kontroversil di PDIP dan cenderung
dijauhi rekan-rekannya. Koleganya yang patuh kepada partai dan tak punya nyali
seperti Aberson menghindar, sebab takut nanti dicap sebagai pengikutnya, atau
takut direcall. Hal-hal seperti ini sudah bukan rahasia lagi pada waktu itu. Para pimpinan partai akan memakai mata-mata mengawasi
siapa-siapa yang dekat dengan sosok kontroversi ini.
Akan tetapi meski dijauhi teman-temannya dan dituding
sebagai melawan (mbalelo) kepada “garis partai”, ia tetap tidak bergeming. Baginya
garis partai itu tidak pernah jelas karena tidak pernah dijabarkan dengan
kongkrit. Sayup-sayup dan sekilas-sekilas memang terdengar, namun kalau
diseriusin mendengarnya kembali tidak jelas. Apakah kepentingan segelintir,
atau satu orang yang bertepatan berkuasa, itu yang disebut garis partai?
Karena tidak
jelas, konsekwensinya tidak perlu dituruti. Masa mengikuti yang samar-samar,
yang arahnya tidak jelas..Mengikuti yang jelas saja belum tentu berhasil,
apalagi yang buram. Coba jelaskan apa itu garis partai, urainya berkali-kali
kepada rekan-rekannya. Temannyapun biasanya selalu kalah berdebat kalau
menyangkut hal-hal seperti itu. Selain karena kurang pengalaman, teman-temannya
ini pada umumnya lebih mudah dari beliau. Jadi tidak usah heran apabila berdebat,
Aberson selalu unggul.
Aberson sebagaimana dikatakan Poltak Sitorus selalu
membahas sesuatu secara paripurna, tidak sepotong-sepotong. Dengan kata lain menyeluruh,seksama,rinci,
mendetail, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, yakni UUD, UU dan
fakta-fakta lapangan. Pasal-pasal, ayat-ayat yang ada pada UUD, UU dihafal dengan
luar kepala. Ditambah lagi dengan pengetahuannya yang luas akan berbagai hal,
khususnya saat-saat suatu peristiwa/event/fenomena itu berlangsung dihafalnya
dengan tepat. Maksudnya tanggal, bulan dan tahun dari peristiwa itu terjadi diketahuinya
dengan pasti. Kemampuan seperti ini membuat sosoknya sukar ditandingi.
Boro-boro menandingi, melihat UUD dan UU saja anggota-anggota
DPR yang lain tidak pernah. Meminjam pendapat Surjadi, anggota-anggota DPR pada
umumnya hanyalah sekedar politisi, tidak punya skill sebagaimana yang dimiliki
Aberson.. Aberson tidak jebolan fakultas hukum, namun sangat menguasai hukum/UUD,
UU dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya. Tidak alumnus fakultas social-politik,
namun sangat piawai dalam bidang itu.
Tidak perlu kaget, kalau ia selalu mbalelo kepada partai
atau garis partai yang menurutnya tidak pernah jelas itu.Hal-hal seperti itu,
yakni adanya peringatan, gertakan hingga ancaman bukan lagi barang baru baginya.
Mungkin hanya sekedar main-mainan kecil, meminjam istilah Amin Rais hanya
“ece-ece”. Karena ece-ece, tidak perlu dihiraukan.
Dengan semangat yang menyala-nyala, bak diesel yang
semakin lama semakin panas, Aberson terus bersuara lantang supaya Pemilihan
Presiden secara langsung segera direalisasikan. Partai yang mengeleminirnya
tidak berdaya apa-apa, karena Aberson punya
satu kelebihan tersendiri, yakni kedekatannya dengan para wartawan. Para kuli tinta yang terus mengelilinginya tidak pernah
berhenti mempublikasikan pendapat-pendapatnya kepada masyarakat..
Pikiran-pikiran Aberson yang mendukung pemilihan
presiden secara langsung hampir setiap hari menghiasi halaman-halaman surat kabar nasional
maupun local. Gaya
bicaranya yang blak-blakan, merakyat dan gampang dicerna membuat para pembaca
senang dan tertarik membacanya. Tidak seperti partainya yang mencari-cari dalih
supaya pemilihan langsung digagalkan. Berita seperi ini sudah tentu tidak
popular bagi pembaca.
Seperti elang yang terbang sendiri membelah
angkasa, angkasanya PDIP nan konservatif, beliau terus terbang kemana ia mau.
Karena beliau juga adalah penggemar burung walet yang tahan terbang 48 jam
terbang tanpa henti, membuat penerbangannya semakin melesat jauh melewati
burung-burung lain di PDIP yang terbang rendah. Seujung rambutpun ia tak pernah
gentar dengan penerbangannya itu. Termasuk dengan ancaman recall, ia tidak pernah
takut.
Urat takutnya hilang dengan sendirinya, apabila ia memperjuangkan
kebenaran yang diyakininya, yakni kebenaran yang bersumber menurut UUD 1945.
Dimanapun, kapanpun dia berada , mungkin
hingga kenegeri Cina atau kelangit ketujuh sekalipun prinsip-prinsip demikian
akan terus dipertahankankannya. Contoh untuk itu sudah banyak ia lakoni. Ketika
beliau menjadi anggota Badan Pekerja MPRS, ia tetap membela Bung Karno (dalam
sidang Umum lembaga tersebut), walaupun suasana politik sudah mendiskreditkan
pemimpin besar revolusi itu. Dia diejek, dihujat sebagai ASU dan diteriakin
dengan huuuu…uuu, tetap konsisten dengan prinsip. Ketika Abdul Madjid
menandatangani fusi PNI bergabung menjadi PDI, ia menentangnya sehingga tidak
dimasukkan dalam jajaran pengurus. Begitu pula ketika ia anggota DPR dari PDI ,
tiap bulan Suryadi memintanya mundur karena kerapkali bersuara keras.
Suatu sikap yang umumnya diemban seorang cendekiawan, ideolog
atau filosof bukan seorang politisi. Cendekiawan sebagaimana hakikinya adalah insan
yang konsisten kepada kebenaran yang diyakininya. Lain hal bagi seorang
politisi, yang menganggap kebenaran atau moral hanyalah sekedar instrumen atau
blue print untuk mencapai tujuannya (Knopfelmacher, 1968). Sebagaimana diakui
sahabat lamanya, Poltak Sitorus, Aberson itu sesungguhnya bukan tipe seorang politisi
atau organisatoris, melainkan seorang pemikir atau ideolog, yang dapat mengorganisir atau mensosialisasikan
pikirannya sehingga diketahui khalayak ramai.
Sebagaimana perjuangan politik yang tidak pernah mulus,
perjuangannya untuk mewujudkan pemilihan presiden secara langsung juga tidak
pernah mulus. Selalu mengalami jalan yang cukup terjal, berliku-liku, yang tak
jarang hampir-hampir menimbulkan frustasi. Kalau bukan karena fisik dan psikis
yang kuat, plus ketekunan dan kesabaran yang prima, perjalanan akan lain.
Betapa tidak? Persoalan yang muncul banyak yang tidak rasional, alias aneh-aneh
Aneh bin unik, sebab pada waktu tahap pertama amandemen digulirkan,mayoritas
fraksi di PAH I MPR sudah menyetujui pemilihan presiden secara langsung
sebagaimana pesan reformasi. Namun entah mengapa keinginan itu kandas, karena
power politik yang kemudian berlangsung didalamnya tidak menemui kesepakatan
penuh. Konon fraksi terbesar di MPR, yakni PDIP
menolak usul tersebut. Daripada forum dead lock pembahasan pemilihan
presiden/wakil presiden secara langsung untuk sementara dibatalkan
Betapa kesalnya Aberson melihat pembatalan pemilihan
presiden secara langsung itu dalam amandemen tahap pertama, dapat dilihat dari
hasil wawancaranya dengan Media Indonesia ,12 Juni 2000:
Saya sangat sesalkan. Pemilihan langsung itu sudah saya usulkan pada
kongres di Bali 1998. Alasan saya, kita harus
membaca Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “kedaulatan adalah ditangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Jadi bukan MPR yang berdaulat, tapi
rakyat. Rakyat yang berdaulat itu bisa langsung membentuk kekuasaan, termasuk
kekuasaan eksekutif.
Penyesalan atau kegalauan ini baginya sangat beralasan,
selain ia sudah mengusulkan itu pada kongres di Bali
dan semua waktu itu setuju, adalah alasan konstitusional/UUD. Dalam UUD 1945 dengan
jelas dikatakan bahwa kita menganut sistim presidensil. Ini berarti legislative
dan eksekutif harus dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, bukan melalui
lembaga perwakilan. Mengapa ditolak?. Bukankah itu juga tuntutan reformasi yang
sedang berhembus? Tidakkah itu demi mewujudkan kedaulatan rakyat? Bukankah itu
keinginan Bung Karno sejak lama?
Salah satu tuntutan reformasi adalah amandemen UUD 1945
supaya sesuai dengan perkembangan jaman yang sudah sangat berubah. Tujuan utama
adalah untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Tidak
direkayasa sebagaimana yang berlangsung dalam era Orde Baru. Rakyat dikebiri,
dibodohi, dirampas kedaulatannya dengan mengatasnamakan sistim yang ada oleh
segelintir elit sebagaimana disinyalir Aberson sejak Orde Baru dicanangkan.
Lebih lengkapnya ia menyatakan:
Sudah cukup rakyat lama dibohongi dan kedaulatan rakyat dirampas
oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya wakil rakyat dan ketua partai.
Dimana kepentingan rakyat selama ini diabaikan, bahkan sering kepentingan
rakyat banyak dikalahkan oleh kepentingan sekelompok orang yang berkuasa.
Ironisnya, semua kebohongan dan perampasan kedaulatan rakyat itu, dilakukan
dengan mengatasnamakan rakyat. Semua ini harus dihentikan (Jakarta,31 Juli 2002)
Jadi agak ironis, jika PDIP yang lahir dari perut
reformasi menolak tuntutan-tuntutan reformasi. Dengan berbagai dalih, seperti
rakyat belum siap, akan terjadi konflik horizontal, tidak sesuai dengan sila
keempat Pancasila, musyawarah mufakat dan lain-lain argumen,partai pemenang
pemilu ini menolak habis-habisan pemilihan presiden secara langsung dan terus
berupaya agar pemilihannya tetap melalui
MPR. Aneh betul, fraksi atau partai yang seharusnya mengartikulasikan
aspirasi arus bawah, malah sebaliknya memperjuangkan kepentingan-kepentingan
kaum konservatif.
Mengapa bisa terjadi seperti itu, Aberson menuding
elit-elit yang ada dalam lingkaran partai moncong putih itu hanya sekedar “berpolitik
praktis”, hanya sekedar memperjuangkan kepentingan sempit, bukan demi
kepentingan yang lebih luas, seperti kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Komitmen mereka terhadap kedaulatan rakyat sangat tipis. Mereka mempunyai visi
lain. Mereka tidak mau perubahan UUD 1945, tidak mau menghapuskan dwi fungsi
ABRI, tidak mau pemilihan langsung. Figur-figur ini menurut Aberson adalah
Dimyati Hartono, Sabam Sirait, Soetardjo Surjogoeritno, Alex Litaay, Eros
Djarot, Tarto Soediro, Haryanto Taslam, termasuk Theo Syafei (Media
Indonesia,19 Maret 2000)
Kekesalan Aberson dengan pikiran-pikiran PDIP yang
menolak pemilihan langsung, disisi lain tidak terlepas dari figur ketua
umumnya, Megawati yang tidak tegas. Megawati yang dikenalnya sejak lama, yakni
sejak mulai terjun ke dunia politik adalah Megawati yang konsisten menegakkan
kedaulatan rakyat Namun setelah menjadi pemimpin partai dan pemenang pemilu,
konsistensi itu luntur. Bagaimana
kekesalannya dapat dibaca dibawah ini:
Menegakkan kedaulatan rakyat itu tergantung komitmennya.Saya kurang paham
dengan rekan-rekan saya di PDIP ini, termasuk juga disini Mbak. Walaupun Mbak
Mega mengatakan nanti kalau SU-MPR menetapkan pemilihan langsung, saya setuju
saja. Sebetulnya Mbak Mega jangan bersikap begitu. Kita harus tegas, mau
menegakkan kedaulatan rakyat atau tidak. Bukankah Mega sendiri yang menyatakan
pada awal 1996 bahwa ia mau jadi presiden kalau dikehendaki rakyat? Itu artinya sama dengan pemilihan langsung(Media
Indonesia, 12 Juni 2000)
Bagaimana dan mengapa Mega bertindak seperti itu,
mungkin banyak penyebabnya. Tulisan ini untuk sementara tidak membahas itu.
Hanya (barangkali) bagi Aberson, agak kontradiktif dengan pikiran-pikiran
ayahnya, Bung Karno. Bung Karno sejak lama sudah setuju dengan pemilihan
langsung. Pertama sekali Bung Karno mengajak pemilihan langsung adalah pada
tahun 1959. Pada waktu itu ia meminta agar segera diadakan pemilihan langsung, namun
ditolak TNI Angkatan Darat dengan alasan rakyat belum siap. Kedua, pada tahun
1963, kembali Bung Karno menawarkan pemilihan umum secara langsung. Namun
lagi-lagi ditolak oleh pimpinan TNI Angkatan Darat (Jakarta,31 Juli 2000)
Meskipun usulnya
terus ditolak pimpinan TNI Angkatan Darat, Bung Karno tidak pernah surut
memperjuangkan hal demikian. Dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika
kekuasaannya mulai dipreteli, ia tetap tegar dengan konsep pemilihan langsung.
Bung Karno sadar betul bahwa pemilihan langsung adalah alat yang terbaik
mewujudkan kedaulatan rakyat, bukan diluar itu.
Demikianlah pesan pemimpin revolusi ini sewaktu ia mulai
diasingkan pada tahun 1966. Pernyataan itu disampaikan dalam suatu pertemuan
khusus dengan tokoh-tokoh PNI yang setia kepadanya, termasuk Aberson. Dengan
kalimat yang lain, namun maksud yang sama Bung Karno mengatakan “hanya kekuasaan legislative dan kekuasaan
eksekutif yang dibentuk langsung oleh rakyatlah yang akan berpihak kepada
rakyat. Sedang kekuasaan legislative dan eksekutif yang dibentuk dengan
rekayasa,pasti akan menyengsarakan rakyat (Jakarta, 31 Juli 2000)
Pernyataan politik Presiden pertama itu sebenarnya
melekat pada diri Megawati Soekarnoputri. Bahkam menjadi pegangan politiknya.
Hal itu terlihat setelah megawati terjun ke dunia politik atau menjadi anggota
PDI. Dimana Megawati berkata, bahwa dirinya mau menjadi Ketua Umum PDI asal dipilih oleh floor (forum yang
tidak direkayasa). Demikian juga setelah menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan,
Megawati Soekarnoiputri kembali menegaskan pada kongres di Bali,
bahwa dirinya siap menjadi Presiden asal
dikehendaki rakyat.
Mengapa Megawati akhirnya bertindak demikian tidak akan
ditulis dalam bagian ini, melainkan dalam satu sub bab tersendiri setelah sub
bab ini. Namun apapun dalihnya Aberson tetap kecewa, karena Mega tidak konsisten
pada pendiriannya. Tidak tegar meneruskan perjuangan ayahnya. Aberson
sungguh-sungguh gondok, kesal dan galau. Kok jadi gini, mungkin itu yang ada
dibenaknya.
Akan tetapi
kekecewaan ini kelihatannya tidak berlangsung seterusnya.Bak pesan ibu Kartini,
habis gelap terbitlah terang, dan novel Marga T, badai pasti berlalu,
kekecewaan itu hanyalah “kebahagiaan yang tertunda”.Soalnya tidak berapa lama
kemudian, yakni dalam amandemen tahap III tahun 2001, MPR dengan manis, tanpa
sedikitpun gejolak mensepakati pemilihan langsung presiden. Kesepakatan ini
tertuang dalam pasal 6A ayat 1 UUD 1945 yang sudah diamandemen.Pasal ini berbunyi
“Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan dipilih langsung oleh rakyat.
Aneh tapi nyata. Dalam amandemen selanjutnya, yaitu
amandemen IV tahun 2002, PDIP kembali berupaya mementahkan pemilihan langsung
ini. Berbagai ikhtiar mereka tempuh dengan intens. Anggota-anggota DPR yang tidak
setuju pemilihan langsung dan mayoritas dari PDIP digalang dengan membuat
pernyataan yang ditandatangani. Membuat suatu lembaga yang namanya Geram,
gerakan rakyat menolak amandemen yang dimotori Amin Arjoso untuk mempengaruhi
public opinion dan lain-lain upaya membatalkan pemilihan langsung.
Suasana kembali memanas. Suhu politik meninggi antara
yang pro dan kontra pemilihan langsung. Aberson bak singa yang dibangunkan dari
tidurnya kembali bereaksi. Sebagaimana kritikan-kritikannya yang tajam,menohok
dan tidak jarang membuat telinga yang dikritiknya merah, melesat menghiasi
halaman-halaman surat
kabar ibukota dan daerah-daerah. Ruangannya tiap hari dipenuhi wartawan.
Reaksi atau kritikan yang cukup pedas dan menyengat
dilontarkannya pada harian Tempo,Juli 2002. Dia mengatakan “PDI Perjuangan
telah teledor”, sebab pada amandemen ketiga PDIP menyetujuinya. Kenapa kemudian
menolak? Mengapa mereka tidak berjuang habis-habisan kala itu? Lebih jelasnya ia mengatakan:
Menurut saya, PDI Perjuangan sudah teledor. Kalau sikap resmi partai
menolak, kenapa bisa lolos. PDIP mau tidak mau – harus menyesuaikan dengan
hasil amandemen konstitusi. Toh amandemen ini telah disetujui PDIP. Tarik
menarik ini sangat mungkin menimbulkan instabilitas politik. Kredibilitas
partai bisa jatuh
Ketika pro kontra
pemilihan langsung sedang alot-alotnya dalam Sidang Umum MPR dan ada sinyal
akan dibatalkan, Aberson membuat tanggapan yang cukup keras. Tanggapan ini
ditulis dalam harian Jakarta,31
Juli 2002 yang menyatakan “jika pemilihan presiden tidak langsung, rakyat harus
bersatu memboikot pemilu 2004. lengkapnya ia mengatakan:
Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 sudah waktunya dilakukan secara
langsung. Dimana jabatan anggota DPR maupun jabatan Presiden dan Wakil Presiden
harus dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Jika pada Sidang Tahunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (ST-MPR) Agustus 2002 diputuskan ditunda
pelaksanaan pemilihan umum secara langsung hingga tahun 2009, rakyat harus
bersatu memboikot Pemilu 2004.
Memboikot dalam arti tidak memberikan suaranya pada
pemilu 2004. Mereka berdiam diri saja dirumah. Tidak usah datang ke TPS-TPS,
sehingga tiada pilihan lain bagi pemerintah selain melaksanakan pemilihan
langsung.
Namun yang cukup menarik dari pernyataanya itu adalah
bahwa yang dipilih langsung tidak hanya Presiden/Wakil presiden melainkan juga
adalah pemilihan anggota DPR. Anggota DPR sebagaimana pemilihan Presiden harus
dipilih secara langsung, tidak sebagaimana yang berlangsung selama ini memilih
kucing dalam karung. Suatu obsesi atau cita-cita yang sudah lama dibenaknya,
yaitu pemilihan anggota DPR dengan “sistim
distrik” sebagaimana yang ditulisnya dalam “Manifes Pemilihan Umum Tahun
1997”, yakni pernyataan pendirian politik PDI. Kongkritnya ia menyatakan:
Oleh karena yang dimaksud dengan MPR, DPR dan DPRD yang melaksanakan
sepenuhnya kedaulatan rakyat tersebut adalah anggotanya secara perorangan, maka
pemilihan umum yang berdasarkan system UUD 1945 haruslah memilih orang. Bukan
memilih organisasi, sebagaimana yang berlangsung selama lima kali pemilihan umum yang terakhir.
Sehubungan dengan itu, Partai Demokrasi Indonesia berpendirian bahwa
pemilihan umum harus memilih orang sebagai wakil rakyat untuk duduk di MPR, DPR
dan DPRD atau badan permusyawaratan dan perwakilan rakyat. Dengan demikian
Partai Demokrasi Indonesiapaun berpendapat bahwa system pemilihan umum yang
sesuai dengan prinsip tersebut adalah “system distrik”. Adapun distriknya
adalah Propinsi DATI I serta DPRD Tk I harus ditiadakan. Oleh karena tidak
mempunyai rakyat dan daerah tersendiri.
Aberson sudah lama menginginkan sistim distrik untuk
pemilihan anggota DPR, Jauh sebelum amandemen berlangsung. Selain sistim
demikian yang paling menjamin berlangsungnya kedaulatan rakyat, adalah tuntutan
masyarakat sejak era reformasi berhembus. Aneh bin ajaib, dalam pemilu 2004 DPR
masih melakukan sistim proporsional terbuka yang dalam prakteknya masih tetap
seperti pemilu-pemilu sebelumnya, yakni proporsioanl tertutup. Saat penulisan
ini sedang berlangsung pembahasan UU Pemilu, apakah terus seperti itu atau
sudah sistim distrik, mari sama-sama kita saksikan.
WAKIL RAKYAT, BUKAN WAKIL PARTAI
Ciri khas utama Aberson yang membuatnya tenar sekaligus
kontroversil adalah pernyataannya bahwa ia adalah wakil rakyat bukan wakil partai. Kemanapun, dimanapun dan kapanpun,
ia selalu menyatakan demikian. Tidak sekedar bicara dalam kenyataannya memang
ia mempraktekkan diri sebagai wakil rakyat sungguhan. Tidak wakil rakyat
formalitas bin rekayasa yang hanya nunduk-nunduk pada kemuan penguasa. Atau
hanya cari selamat diri, yang pada era orde baru dulu popular dengan istilah
D5, “datang, duduk, dengar, diam, duit”.
Ia datang,memang datang. Duduk tapi juga berdiri.
Dengar, tidak sekedar mendengar tapi juga menanggapi. Diam, sungguh-sungguh ia
tidak mau diam. Duit?, wajar kalau sudah berbuat dapat duit. Orang aneh namanya
jika sudah bekerja tidak mau duit. Aberson berpendirian bahwa yang membayarnya
adalah rakyat, bukan ketua partai, bukan ketua DPR, bukan si Jenderal, bukan si
Polan, bukan si Anu atau siapapun itu yang ada dalam lingkaran kekuasaan atau
dalam kategori elit. Rakyat membayarnya melalui pajak, khususnya pajak yang
tidak disadarinya, yakni pajak tidak langsung
.Karena sudah dibayar harus melayani rakyat
sebaik-baiknya. Tidak saja bersuara lantang dikompleks Senayan, tapi juga
diluar itu, diseluruh tumpah darah Indonersia dari Sabang sampai Merauke,
sebagai konsekwensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia adalah orang yang
konsisten melawan orde Baru, melawan Suharto yang otoriter tanpa mengenal takut,
kata AP.Batubara pada waktu memberi
sambutan ketika Aberson meninggal. Ia pantas diteladani katanya, sebagaimana
juga pengakuan Roy
BB,Janis dirumah duka. Aberson menurut Roy adalah tokoh yang taat asas, taat pada
UUD 1945.
Tindakan-tindakannya yang melawan arus sudah dimulai
sejak ia menjadi juru bicara PNI dalam Sidang Umum MPRS tahun 1966. Ketika itu
ia membela dan mempertahankan Bung Karno, dimana kemudian pidatonya dianulir
dan dia disuruh mengundurkan diri. Pada waktu, ia menjadi anggota DPR tahun
1987 dari PDI, tindakan-tindakan melawan arus inipun terus bergema, bahkan
semakin nyaring ketimbang era-era sebelumnya.
Suryadi yang selalu memperingatkan dirinya agar tidak
berbicara sembarangan diluar bidangnya, yakni APBN, tidak pernah digubrisnya.
Suryadi mewanti-wanti apabila itu menyangkut masalah politik sebaiknya dibicarakan
dulu dengan ketua umum. Hal yang sama diisarankan Suryadi untuk Kwik Kian Gie
yang juga lantang bersuara. Kwik sebagaimana faktanya, adalah sosok yang juga
rajin melontarkan ide-ide yang berlawanan dengan selera penguasa. Ide-ide ini
misalnya adalah agar PDI membentuk “cabinet bayangan” yang mengundang
kontroversil dan membuat penguasa berang.Begitu pula ketika ia, menyatakan
bahwa UUD 1945 tidak bertentangan dengan semangat kapitalisme, riuh rendah
orang menanggapinya.
Salah satu
pernyataan yang membuat Suryadi, PDI khususnya marah kepada Aberson adalah
ketika , Aberson menyatakan bahwa PDI belum tentu memilih Suharto dalam Sidang
MPR tahun 1993. Bagaimana Aberson menyatakan hal yang sangat ditabukan saat
itu, yakni dalam suasana politik yang memaksa
100% mendukung Suharto? Demikan pula masalah-masalah politik sensitive yang
lain, seperti ketika, ia menyatakan agar fraksi ABRI di DPR dibubarkan. membuat
beberapa kalangan tersentak. Tidak saja dari kalangan ABRI, melainkan
teman-temannya sendiri dari PDI yang masih mendukung eksitensi dwifungsi. Akan
tetapi karena bukan Suryadi lagi yang menjadi ketua umum PDI pada waktu, melainkan
sudah Megawati , Aberson tidak mendapat teguran atau ancaman direcall dari
ketua partai. Malah sebaliknya Megawati membela Aberson. Megawati mengatakan
untuk apa merecall kalau yang disampaikan Aberson tidak bertentangan dengan UUD
1945.
Pembelaan tersebut disampaikan Megawati menanggapi
permintaan ketua DPD PDI Jawa Tengah, Soemario yang menemuinya untuk merecall
Aberson akibat pernyataanya itu plus penolakannya terhadap APBN 1996/1997. Sedangkan
menurut Markus Wauran, yang menjabat sekretaris fraksi pada waktu itu permintaan
Soemario dan kawan-kawan untuk merecall Aberson , selain kedua alasan yang sudah
disampaikan adalah kebiasaannya yang sering mengatas namakan partai untuk
pernyataan-pernyataan pribadi. Suryadipun sebelumnya pernah menyampaikan hal
yang sama, yakni seringnya Aberson mengeluarkan pernyataan yang sesungguhnya
adalah pendapat pribadi, namun mengatasnamakan partai. Begitu pula dalam
menyampaikan sesuatu sering keluar dari jalur yang sudah disepakati oleh
partai., atau membuat improvisasi dan penafsiran sendiri.
Pernyataan Aberson untuk membubarkan fraksi ABRI pada
waktu itu terkait dengan pernyataan Suharto saat menerima peserta Rapim ABRI setelah
Faisal Tanjung menjadi Pangab tahun 1993, yakni agar ABRI sebagai kekuatan
sospol harus bisa mengambil posisi yang tepat. Bisa ing ngarsa sung tuladha,
ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Untuk itu ABRI harus terus
menerus mulat sarira hangrasawani.
Artinya, bahwa peran ABRI yang ing madya
mangun karsa saat ini, yakni aktif dijabatan-jabatan politik, namun aktif
juga sebagai ABRI, sudah harus ditanggalkan. Kalau mau aktif dijabatan-jabatan
politik, seperti Presiden, anggota DPA, MPR, DPR dan lain-lainnya harus
berhenti sebagai anggota ABRI. Lebih jelasnya ditulis dibawah ini:
Kalau kita pergunakan terminologi pak Harto, sekarang ini peran ABRI
dilaksanakan dalam rangka ing madya mangun karsa. Artinya, dia menduduki
jabatan politik dan juga tetap anggota ABRI. Misalnya, menjadi presiden,
wapres, anggota DPA, MPR, DPR, dan lainnya. Pak Harto tahu persis itu. Nah
kalau pak Harto mengingatkan agar ABRI bisa mulat sarira hangrasa wani atau
instropeksi, dan bisa mengambil posisi yang tepat, tentunya kan sudah waktunya ABRI mundur dari posisi
ing madya mangun karso, menjadi tut wuri handayani. Konsekwensinya; jika ABRI
melaksanakan peran tut wuri handayani dalam fungsi sospolnya, yah bubarkan saja
Fraksi ABRI. (Tiras, 9 mei 1996)
Aberson yang memang menguasai bahasa Jawa, meskipun ia
adalah putra Batak, sangat fasih akan budaya Jawa, apalagi ia wakil DPR
mewakili Jawa Tengah. Asal ketemu dengan orang jawa ia selalu berbahasa jawa.
Tidak perlu kaget, jika pesan-pesan atau idiom-idiom yang disampaikan Suharto
dalam bahasa Jawa dapat diinterpretasikannya dengan lancar. Masalah persis atau
tidak penafsiran itu dengan keinginan sebenarnya dari Suharto soal lain. Yang
pasti Aberson pun tidak sekedar bicara, atau asal-asalan memberikan
penafsiran.Ia menghubungkannya dengan beberapa pernyataan Suharto sebelumnya,
seperti waktu Suharto menanggapi pernyataan Benny Murdani, Tri Sutrisno dan
Faisal Tanjung yang mengatakan, bahwa peran sospol ABRI sudah permanen, tidak
perlu lagi dipersoalkan. Suharto sebaliknya justru mempersoalkannya, yakni
peran sospol itu tidak permanen. Begitu pula ketika tahun 1995 Suharto meminta
LIPI untuk meneliti peran sospol ABRI. Tidak mungkin Suharto melakukan hal
tersebut bila tidak ada apa-apanya
Diatas itu semua, keyakinan Aberson bahwa Suharto
sesungguhnya ingin mendudukkan ABRI agar tut wuri handayani adalah ketika mereka
angkatan 66 yakni Aberson, Marie Muhammad, Cosmas Batubara, Soerjadi, Sugeng
Sarjadi, Fahmi Idris, Sofian Wanandi, Abdul Gafur dan lain-lain, pada januari
1988 menemui Suharto untuk merayakan peringatan Tritura. Pada waktu itu Suharto
mengatakan biarkan saja dulu ABRI punya
fraksi di MPR/DPR, karena ABRI ini gampang berontak. Kalau dia ikut memutuskan,
kan tidak ada
alasannya untuk berontak (Tiras,9 mei 1996).
Kritikan-kritikan tajam Aberson terhadap ABRI, membuat
dirinya sering dituding sebagai orang yang anti dwi fungsi ABRI. Akan tetapi
kalau ditilik dengan seksama, tudingan itu sangat tidak beralasan. Aberson
tidak pernah mempersoalkan dwifungsi. Yang dipersoalkan adalah peran sospolnya.
Peran sospol itu menurut beliau bertentangan dengan UUD 1945. Siapapun yang
paham politik atau hukum pasti paham semua itu, tidak hanya Aberson.
Kelebihan Aberson adalah bahwa ia berani menyatakannya
dan dimuat dengan huruf-huruf besar oleh media. Sedangkan yang lain yang
sesungguhnya juga sangat mengetahui tidak berani karena takut ditegur, di….atau
dipecat oleh instansinya. Bukan rahasia lagi dalam setiap negara yang otoriter,
kebebasan sangat terbatas.
Dalam Konstitusi dengan indah tertulis, diberikan
kebebasan, namun faktanya (tersirat) sebaliknya, yakni kebebasan itu terpasung.
Beraninya paling bisik-bisik, termasuk dikampus yang katanya punya kebebasan
akademik tidak pernah berjalan sebagaimana yang diinginkan. Tidak hanya dosen
atau peneliti yang enggan bicara apa yang sebenarnya, referensi-referensi yang
digunakanpun diseleksi dengan ketat
Jadi secara konstitusional, akademik atau intelektual sesungguhnya
tidak ada yang baru dari
pernyataan-pernyataan Aberson. Sebagaimana sering diakuinya apa yang
dibicarakannya itu adalah apa yang sudah dibicarakan orang lain sebelumnya. Kekhasannya
adalah ia berani bicara blak-blakan ditengah-tengah suasana yang penuh ketakutan.
Secara konstitusional akademis ia benar
Secara politik persoalannya lain. Politik tidak selalu
konstitusional dan juga tidak selalu rasional. Dalam suasana irrasional orang
bicara rasional memang aneh. Begitu pula dalam suasana ketakutan ada yang
militan, juga aneh. Tidak taktis kata sebagian kalangan. Taktis atau tidak, irrasional
atau sebaliknya, Aberson tidak peduli Satu-satunya ukuran bagi beliau hanyalah
UUD `1945. Ia tunduk hanya untuk itu,
bukan hal-hal diluar itu, termasuk bukan kepada ketua partai.
Baginya setelah terpilih
menjadi anggota DPR harus sungguh-sungguh mengabdi kepada kepentingan rakyat. Baju
partai yang sebelumnya adalah predikatnya harus ditanggalkan. Artinya kesetiaannya
kepada partai dialihkan kepada rakyat.
Ia konsistren dengan paradigma ini, meski ia sadar situasinya
sesungguhnya adalah sebaliknya, yakni anggota DPR secara substansial adalah
wakil partai, bukan wakil rakyat. Apakah ia tidak takut dengan konsistensinya
itu?, apakah misalnya ia tidak takut direcall. Inilah jawabannya:
…saya selalu berdoa kepada
Tuhan…berikan saya kekuatan dan tunjukkan saya jalan yang benar supaya saya
berani mengatakan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah…berikan
kearifan dan kebijaksanaan kepada pimpinan organisasi saya, supaya saya tidak
direcall (Tiras, 9 mei 1996)
Aberson adalah manusia. Ia bukan dewa. Sebagai manusia
iapun tetap punya ketakutan. Keistimewaannya adalah bahwa ketakutan itu tidak pernah
mengalahkannya. Sebaliknya ketakutan itu selalu berhasil dikalahkannya. Suatu
hal yang ideal, yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya para pemimpin
agar komitmennya kepada rakyat tidak hanya sekedar slogan atau diatas kertas
belaka.
Sebagai pemimpin yang baik, yakni yang tidak sekedar politisi, namun menjadi negarawan, amanat
konstitusi adalah segala-galanya. Ia bukan sekedar blue print sebagaimana yang
dipraktekkan dinegara-negara yang tidak menganut kedaulatan rakyat. Sebagai
negarawan apapun dalihnya, apapun suasananya, konstitusi menjadi pegangan utama.
Konsistensi Aberson kepada konstitusi, plus militansi
dan gayanya yang retorik nan agitatif membuat pembicaraannya selalu menarik,
hangat dan memukau. Siapapun, kalangan apapun yang pernah berhubungan dengannya
selalu merasakan hal tersebut. Persis seperti “dai kondang” yang ceramahnya selalu
enak didengar. Konstatasi ini membuatnya laris bicara dimana-mana, seperti di
pelatihan-pelatihan partai dan atau khususnya dikampus-kampus. Tiada kampus
ternama/besar baik negeri maupun swasta yang tidak dikunjunginya. Sangkin
menariknya pembicaraannya, dalam satu bulan ia pernah dua kali diundang
Universitas Parahiangan.
Apa yang dibicarakannya disana, sebagaimana yang sudah
banyak disinggung diatas adalah sekitar penyimpangan UUD 1945, peran sospol
ABRI yang tidak dikenal dalam konstitusi, penindasan kedaulatan rakyat yang
sistematis dan tanggapan terhadap masalah-masalah politik umum, atau politik yang
sedang berlangsung. Ia adalah pembicara ulung yang dapat membakar semangat massa, mirip dengan
idolanya Bung Karno yang berhasil memerdekakan bangsanya dari kolonialisme.
Mungkin atas konstatasi demikianlah ia diundang Sabam
Sirait untuk pidato dalam mimbar bebas yang diadakan pengikut Megawati di
halaman kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta
pada tanggal 13 juli 1996. Ia konon berpidato berapi-api membakar semangat massa untuk membenci atau
menghasut pribadi Suharto, ABRI dan DPR/MPR.dalam mimbar tersebut. Aberson
katanya menuduh pemerintahan Suharto merampok kemerdekaan dan melakukan
penjajahan kembali. Sedangkan P4 yang ditatarkan itu adalah dongeng komik Pancasilanya
Suharto. Terhadap ABRI Aberson menyatakan jika peran sospol terus diberikan
kepada ABRI, maka lembaga ini akan menjajah rakyat Indonesia. Terhadap DPR/MPR dinyatakan
bahwa lembaga ini bukanlah penjelmaan rakyat, melainkan bentukan penguasa..
Atas tuduhan demikian, Aberson akhirnya digiring
kepengadilan. Pengadilan yang sangat controversial. Pengadilan yang sarat dengan
nuansa politik tinimbang kasus hukum kata pengacaranya, Luhut Pangaribuan dan
kalangan-kalangan kritis lainnya. Latar belakang apa, mengapa dan bagaimana
sejarah kasus ini pada akhirnya tidak akan diuraikan lagi panjang lebar dalam
tulisan ini, sebab sudah diabadikan dalam satu buku pada tahun 1998 dengan
judul “Tragedi Wakil Rakyat”. Bila ingin mengetahui lebih seksama dapat dibaca
dalam buku tersebut. Buku ini sudah beredar dimana-mana dan menurut penerbitnya
sudah sekian kali cetak ulang.
Akan tetapi diatas itu semua yang menarik dari kasus ini
adalah ketika Aberson dinyatakan bersalah dan dijatuhkan hukuman/vonnis satu tahun
enam bulan, dengan serta merta Megawati yang rajin mengikuti persidangan, langsung
menghampiri Aberson,lalu memeluk dan
mencium pipinya. Adegan menarik ini disaksikan oleh teman-teman Aberson
yang lain, seperti Sabam Sirait, Sophan Sofian, Permadi, Mangara Siahaan, R.O.
Tambunan, Ali Sadikin, keluarga dan simpatisan PDI pro Mega serta para
pengunjung lainnya serta diliput dengan marak oleh oleh berbagai media massa,
baik itu audio visual maupun media cetak.
Mengapa Mega begitu antusias terhadap Aberson? Bagi mereka yang mengikuti perkembangan
politik jawabannya sudah jelas. Kedua-duanya menjadi korban karena
memperjuangkan kedaulatan rakyat. Mega dikuyo-kuyo rezim Suharto yakni dengan
menjatuhkannya dari kursi Ketua Umum PDI.
Sementara Aberson yang terus mendukungnya dijebloskan kepenjara melalui
pengadilan rekayasa. Bagaimana sesungguhnya hubungan mereka? Akan diteruskan
dibawah ini
MESRA DAN PECAHNYA DENGAN MEGAWATI.
Menurut Aberson yang mengajak Mega terjun kedunia
politik adalah dirinya. Waktu itu kalau tidak keliru adalah setelah Suryadi
terpilih menjadi Ketua Umum PDI, Aberson mengajaknya supaya ikut berjuang. Mega
tidak langsung mengatakan yah, malah menanyakan Aberson bahwa dulu Bung Karno katanya
ada pesan. Ada
jawab Aberson. Pesan yang dimaksud Mega adalah ketika Aberson dan
teman-temannya dari PNI berkunjung ke tempat Bung Karno yang sudah diisolasi
Orde Baru. Anak-anak Bung Karno, termasuk Mega tidak bersama Bung Karno lagi
pada waktu itu.
Adapun pesan pesan Bung Karno yang disampaikan kepada
Aberson cs adalah sebagaimana sudah disinggung diatas adalah supaya kedaulatan
rakyat sungguh-sungguh ditegakkan. Penegakannya melalui pemilihan umum langsung
secara regular, tidak ditunda-tunda dan juga tidak melalui rekayasa-rekayasa.
Melalui pemilu yang jujur dan adil akan menampung aspirasi rakyat yang sebenarnya . Sebaliknya
bila tidak melalui pemilihan umum atau melalui pemilu yang direkayasa sudah
pasti tidak akan memperhatikan keinginan rakyat. Pesan persis/asli Bung Karno
adalah bahwa hanya eksekutif dan legislative yang dipilih oleh rakyatlah yang
memperhatikan kepentingan rakyat, sedangkan eksekutif dan legislative yang tidak
dipilih langsung oleh rakyat sudah pasti akan menyengsarakan rakyat.
Pesan itu sangat jelas. Selain karena memang demikianlah
hakikatnya, Bung Karno sendiri adalah korban dari situasi tersebut, yakni suasana
yang mengabaikan kehendak rakyat oleh satu kekuatan yang anti kepada kedaulatan
rakyat. Ia berkali-kali mengajak seluruh kalangan untuk menyelesaikan seluruh
kemelut yang ada melalui pemilu yang dilaksanakan secara langsung. Tidak hanya
oleh segelintir elit atau lembaga-lembaga tertentu yang tidak mencerminkan
kehendak rakyat. Ide ini ditolak Angkatan Darat. Inilah pesan Bung Karno yang
diceritakan Aberson kepada Mega
Setelah pesan tersebut disampaikan Aberson kepada Mega,
Mega kembali bertanya, apakah teman-teman yang lain masih dapat dipercaya dan
dapat diajak berjuang. Aberson tidak dapat memberi jaminan. Ia tidak dapat
menjamin teman-temannya yang lain itu. Yang dijamin hanyalah dirinya sendiri. Yang
lain-lain tidak.
Setelah Aberson mengatakan yang sebenarnya itu, yakni
hanya menjamin dirinya sendiri. Mega kembali berujar, kalau begitu akan
dipikirkan dalam seminggu. Setelah seminggu baru diberi jawaban bersedia atau
tidak. Namun baru berselang dua hari , Mega sudah memberi jawaban kepada Aberson,
yakni siap berjuang
Sejak itu Mega resmi terjun dalam pentas politik.
Bersama suaminya Taufik Kiemas mereka memilih PDI sebagai panggung politiknya.
Hubungan politik antara Aberson dengan Mega semakin memekar dan terus bertumbuh
Ibarat pohon yang lahir dari akar dan
tanah yang kuat hubungan itu semakin bersemi. Bersemi untuk membangun
kedaulatan rakyat sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana yang
dipesankan Bung Karno sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia. Pesan yang sudah menjadi
amanat bagi yang dipercayainya.
Aberson yang mendapat amanat langsung dari Bung Karno
dan sempat ketipu dengan tekad Orde Baru
yakni “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, melakukan
perlawanan bersama Mega. Mereka mengkritisi secara sistimatis penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan oleh rezim Suharto terhadap UUD 1945. Secara sinergis mereka
melakukan perlawanan dengan ketentuan-ketentuan yang lazim, yakni tetap dalam
bingkai konstitusi.Tidak ada niat melakukan hal-hal yang extra konstitusional,
semua dilakukan secara terbuka dan transparan.
Untuk meningkatkan kualitas, bobot dan pengetahuan
politik Mega, Aberson terus memberikan masukan-masukan. Apakah itu melalui pembicaraan-pembicaraan
informal, diskusi-diskusi yang intens atau memberikan konsep-konsep tertulis
kepada Mega. Dalam beberapa kesempatan , apakah itu dalam rapat partai,
pertemuan-pertemuan dengan pihak-pihak tertentu Aberson selalu mendampingi Mega
untuk menjabarkan lebih jauh, lebih detail tentang sesuatu masalah
Dalam beberapa event Mega sering menyatakan untuk
menjabarkan atau menguraikan lebih lanjut pemikirannya akan dilanjutkan abang
Aberson. Begitu juga dalam kampanye-kampanye pemilu, Mega sering menyatakan
untuk mengetahui lebih lanjut pidatonya akan diteruskan oleh Abang Aberson.
Mereka saling mengisi, saling simbiosis mutualitis. Mega membutuhkan
konsistensi, militansi dan pikiran-pikiran Aberson. Sebaliknya Aberson
membutuhkan figure Mega sebagai anak Bung Karno untuk merealisasikan
pikiran-pikiran politiknya. Mereka adalah dwi tunggal, sebagaimana Sukarno –
Hatta dulu
Bagaimana mesranya hubungan politik dwitunggal ini dapat
dilihat dari pernyataan Mega yang menganggap Aberson bagian dari dirinya. Dalam
suatu pertemuan segitiga antara Mega, Aberson dan Sophan Sopian, Mega nyeletuk…abang ini baru saya bicara sedikit saja,
sudah diuraikan panjang lebar persis seperti yang saya pikirkan…abang ini
seperti masuk kedalam kepala saya, ujar Mega lebih lanjut. Suatu pengakuan
dari manifestasi sebenarnya. Bukan yang dikarang-karang untuk sekedar
menghangatkan suasana, sebagaimana banyak dilakukan kalangan lainnya.
Implemetasi dari semua itu adalah dukungan penuh Aberson
terhadap Mega. Ia melihat sosok Mega adalah magnit dan alternative perjuangan.
Sebagai manifestasinya ia mendukung penuh Mega menjadi ketua umum PDI. Dalam
kapasitas Mega sebagai ketua umum PDI, ia membuat loncatan yang sangat jauh,
yakni mencalonkannya menjadi Presiden pada pemilu 1998. Dunia terhenyak, ibarat
petir disiang bolong perpolitikan Indonesia bergejolak dan melahirkan
polemik nasional. Figure Aberson menjadi buah bibir masyarakat karena seluruh
media meliputnya.
Bagi masyarakat yang
ingin perubahan, pola-pola yang dimainkan Aberson demikan itu adalah dinamika,
kemajuan sekaligus hiburan. Bagaimana dalam suasana yang sangat refressif masih
ada seorang Aberson yang berani tampil beda mengadakan perlawanan tanpa
sedikitpun gentar. Ia adalah oase ditengah-tengah kehausan akan perubahan.
Sebaliknya bagi rezin Suharto tindakan Aberson itu sudah pasti adalah
malapetaka. Petinggi-petinggi kekuasaan di Jakarta ketar-ketir dan merah kupingnya
mendengar pernyataan Aberson yang dimuat media dimana-mana. Hampir semua media
nasional dan beberapa media mancanegara mempublikasikan pernyataan-pernyataan
yang membuat petinggi Jakarta
kegerahan.
Akan tetapi kalau ditelusuri lebih seksama, statement
Aberson mendukung Mega tidaklah datang dari dirinya sendiri, melainkan
mengartikulasikan aspirasi yang datang dari arus bawah (grassroth). Ceritranya
pada waktu itu Agus Chondro Prayitno anggota
PDI dari Batang dan kawan-kawan menggalang dukungan untuk Mbak Mega jadi
Presiden. Dukungan ini digalang dari ex Keresidenan Pekalongan, yakni dari
Batang, Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Pemalang, Tegal kota, Kabupaten Tegal
dan Brebes. Setelah dukungan tersebut ditandatangani , pada tanggal 1 Oktober
1995 mereka mengirim surat
kepada Mega meminta kesediaannya menjadi calon Presiden. Setelah surat ini disampaikan kepada
Mega, Agus Chondro Prayitno cs kembali menggalang dukungan yang lebih luas
lagi, yakni meliputi seluruh wilayah Jawa Tengah. Adapun pertemuan untuk penggalangan
ini dilaksanakan di Curug Sewu, Kendal dan formulir dukungan diedarkan. Bak
gayung bersambut, semua delegasi mendukungnya. Pasca pertemuan inilah Aberson mengadakan statement mendukung Mega jadi
Capres di Jakarta.
Di lantai 9 gedung DPR , yakni markas Fraksi PDI,
Aberson mengedarkan lebih luas formulir dukungan untuk Mbak Mega. Dengan hanya
ditemani seorang staf DPR yang setia dan fanatic kepadanya, yakni Toto Rasmono,
mengedarkan formulir tersebut keseluruh
penjuru tanah air. Banyak pihak yang tersentak, tidak terkecuali teman-temannya
sendiri satu fraksi. Sabam Sirait, Taufik Kiemas dan lain-lain koleganya
menuduh Aberson membuat blunder dan menjerumuskan Mbak Mega. Suatu tuduhan yang
tentunya punya dalih tersendiri. Bagaimana tidak menjerumuskan dalam situasi sedang
kuat-kuatnya Suharto berani-beraninya Aberson mencalonkan Mega. Tidakkah itu
malapetaka?.
Aberson punya perhitungan tersendiri. Ia mempunyai
kalkulasi jauh kedepan, tidak seperti temannya yang umumnya berhitung sekedar kekinian.
Ia telah yakin bahwa Mega akan bersinar kedepan, sebagaimana mungkin
ramalan-ramalan Permadi pasca KLB Surabaya. Jadi bukan menjerumuskan
sebagaimana yang dituduhkan Sabam dan Taufik, tetapi sebaliknya menaikkan
pamornya menjadi pemimpin alternative pasca Suharto.
Aberson yang berperan sebagai wakil rakyat, bukan
sebagai wakil partai telah melaksanakan fungsinya dengan paripurna. ia
menangkap sinyal arus bawah dan mewujudkannya keatas. Suatu peran yang
selayaknya dilakukan setiap partai atau sistim politik yang demokratis. Bukan
sebagaimana yang dilakukan di Indonesia,
yakni partai dan sistim politik menjadi alat membungkam asprasi masyarakat.
Dalam teori kepartaian fungsi partai politik adalah agregasi dan artikulasi
kepentingan sebagaimana yang dipraktekkan Aberson, menangkap arus bawah (agregasi)
dan selanjutnya memperjuangkannya keatas (artikulasi). Tiada yang baru, tiada
yang istimewa, memang demikianlah fungsi partai dan fungsi wakil rakyat.
Sukar dibayangkan bila Aberson tidak melakukan
tindakan-tindakan politik yang menurut beberapa kalangan sebagai berbahaya,
melawan arus dan lain-lain tuduhan sejenisnya, kayak apa jadinya perjalanan
bangsa ini. Apakah Suharto akan segera jatuh?, apakah reformasi akan terjadi?,
dan atau khususnya apakah Mega jadi presiden?.
Meminjam
terminologi sosiologi, Aberson adalah “agent of change”, agen, sosok, tokoh
perubahan untuk mewujudkan “social change”. Ia sudah memperhitungkan segala
tindakannya dengan seksama melebihi perkiraan-perkiraan umum. Ia tidak
bertindak diruang hampa, dalam menara gading atau sekedar utopia. Tindakannya
menjagokan Mega tidak sekedar mengikuti arus bawah PDI melainkan cerminan
masyarakat sesungguhnya yang sudah rindu perubahan.
Akan tetapi meskipun ia begitu habis-habisan mendukung
Mega, ia tidak mendapat setimpal dari apa yang diperjuangkannya. Sebagaimana
kata Suryadi, Abersonlah yang pertama di dunia ini yang mendukung Mega jadi
Presiden, tapi Aberson tidak mendapat apa-apa dari beliau. Malah sebaliknya, dengan
ironis mereka berseberangan lanjut Surjadi. Mengapa bisa terjadi?. Bagi yang
memahami Aberson jawabannya tidak mengejutkan. Sebaliknya bagi yang awam, yang
hanya mengejar kekinian, yang praktis pragmatis, atau yang orientasinya hanya
kekuasaan dan uang, sudah pasti akan kaget.
Tiada yang unik
dari relasi itu. Aberson tidak gila kekuasaan sebagaimana yang diinginkan
banyak kalangan pada umumnya. Kekuasaan baginya hanyalah jika
ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUD 1945 itu diwujudkan dengan konsekwen.
Kemanapun ia pergi akan dikejarnya. Disinilah perbedaan yang prinsipil antara
dirinya dengan Mega. Mega yang latar belakang dan karakternya kontras dengan
Aberson, sudah pasti tidak akan selamanya menyatu dengan Aberson.
Aberson lebih
asyik dengan idealisnya, sebaliknya Mega sesuai tuntutan situasi dipaksa dan
terpaksa untuk pragmatis dan kompromistis. Mega tidak lagi hanya dekat dengan
Aberson , melainkan dengan sekian banyak kaum, kalangan atau instansi yang
berkepentingan dengan sosoknya yang sudah menjadi public figure. Sebagai public
figure ia dipaksa dan terpaksa mengakomodir kepentingan-kepentingan yang antara
yang satu dengan yang lain belum tentu sejalan, bahkan tidak jarang banyak yang
bertolak belakang.
Aberson kecenderungannya tidak mau tahu perkembangan
yang dialami Mega tersebut. Mega maunya terus melaksanakan apa yang sudah
mereka sepakati sebelum-sebelumnya, yakni melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
serta pesan Bung Karno secara murni dan konsekwen. Karena dengan demikianlah
kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara akan lebih baik. Tidak atas dasar
kompromi-kompromi diluar itu.
Aberson tidak salah, namun sebagaimana faktanya kehidupan
politik tidaklah selalu linier, tidak selalu rasional. Dimanapun itu, kapanpun
itu politik adalah gabungan atau kompromi dari kepentingan-kepentingan yang
tidak selalu sejalan.
Seorang pemimpin
dipaksa akomodatif menghadapi tuntutan-tuntutan seperti itu. Mega tidak mungkin
hanya mengakomodir pikiran Aberson yang memang sungguh-sungguh konstitusionil.
Kecuali jika Mega memang tidak mau kekuasaan, jabatan, atau kursi nan empuk
itu. Mega apakah karena kesadarannya, terpaksa atau tergiring kecenderungannya lebih
menginginkan jabatan, kekuasaan atau kursi nan empuk daripada hal-hal yang
idealis sebagaimana yang tersurat dalam UUD 1945. Sinyalemen ini menjadi
determinan lain mengapa Aberson semakin jauh dari Mega.
Mereka dipaksa
situasi politik untuk berpisah. Aberson yang terus asyik dengan
prinsip-prinsipnya, Mega sebaliknya semakin akomodatif dengan perkembangan yang
berlangsung. Mega yang disarankan Aberson supaya walk out ketika Sidang Umum
MPR melaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan voting, tidak
diindahkan Mega. Mega lebih mengikuti arus yang sedang mengalir.
Aberson pada waktu itu berpendapat bahwa sesuai hasil
pemilu yang menjadi Presiden adalah dari PDIP yakni Mega dan yang menjadi Wakil
Presiden adalah dari Golkar, sebab PDIP adalah pemenang pemilu, sedangkan
Golkar adalah runner up. MPR seharusnya hanya tinggal ketuk palu untuk
mensahkannya, tidak perlu lagi ada voting. Kenyatannya Mega kalah dengan
Abdurahman Wahid.
Ketika terjadi ikhtiar penggulingan Abdurachman Wahid, Aberson
kembali pada prinsipnya, yakni Mega jadi
Presiden, Wakil Presiden tetap harus dari Golkar. Situasi politik ternyata tidak
mendukung harapan tersebut. Wakil Presiden tidak diinginkan dari Golkar. Berbagai
argument dikemukakan agar Wapres tidak dari Golkar. Mega sebagaimana disebutkan sebelumnya yang memang
sudah merindukan kekuasaan tidak mungkin
mengikuti saran Aberson. Dalam suatu kesempatan khusus, Mega ngomong ke Aberson. Ngomongnya seperti ini .. yang
kompak-kompak ajalah bang…
Aberson menangkap omongan itu sebagai isyarat bahwa Mega memang mau jadi Presiden, terserah
itu metode, cara atau mekanismenya sesuai atau tidak dengan hasil pemilu, tidak
sesuai dengan tradisi-tradisi demokrasi. yang penting jadi presiden dulu.
Menjadi presiden adalah tujuan utama, yang lain menyusul
Meski Mega mengatakan demikian, yakni yang kompak-kompak
ajalah, Aberson tidak mau kompak-kompak. Ia terus jalan dengan pendiriannya. Ia
menolak Sidang Istimewa yang akan melengserkan Abdurachman Wahid. Dengan segala
argumennya ia, tetap menolak sidang istimewa yang menurut pendapatnya tidak
konstitusional. Penolakannya dimuat seluruh Koran dengan huruf-huruf besar.
Sangkin konsisten dan bersemangatnya ia menolak sidang
istimewa, ia dituduh sebagai anti Mega dan lain-lain tuduhan yang
mendiskreditkannya. Sabam konon sampai ngomong dibayar berapa Aberson oleh Gus
Dur. Tidak cukup disitu Zulfan Lindan bertekad bahwa banteng Aberson akan
disembelih. Termasuk hampir dipukul oleh sahabatnya Gusti Basan Burnia di
kantin DPR karena pendapat-pendapatnya itu.
Akan tetapi
setelah Mega katanya ngomong bahwa Aberson adalah urusannya maka pendiskreditan
Aberson berhenti. Aberson adalah urusan saya kata Mega kepada mereka-mereka
yang menuduhnya menolak Mega jadi Presiden. Aberson bukan tidak menyetujui Mega
jadi Presiden, ia setuju asal sesuai dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat
sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi dan tradisi demokrasi pada umumnya.
Rekan-rekannya
yang mungkin kurang memahami jalan pikiran seperti itu, atau karena ada maksud-maksud
tertentu hantam kromo mendiskreditkan Aberson. Masalah penolakannya kepada
Sidang Istimewa memang didasarkan kepada UUD 1945, bukan dikarang-karang. Ia
maunya tetap konstitusional..
Pasca Mega jadi presiden, kebiasaan Aberson kembali
berulang. Ia terus melakukan kritik-kritik yang tajam, pedas dan menukik
terhadap persoalan-persoalan yang dianggapnya tidak benar. Ibarat Che Guevara,
Aberson tidak pernah henti berevolusi. Siapapun, lembaga apapaun itu asal
dianggap menyimpang dikritiknya. Tidak terkecuali sosok Mega dan PDIPnya.
Sekali dua kali mungkin Mega dan PDIPnya akan mendengarkan, namun apabila terus
menerus, persoalannya akan lain.
Elit, tokoh, pihak, kalangan atau lembaga tertentu yang
terus-terusan dikritik, meski kritik itu benar, akan bermuara kepada
subjektipitas dan apriori. Bagaimana misalnya Mega dituding tidak paham UUD
1945, lebih mengutamakan kedudukan daripada rakyat, melanggar AD/ART Partai,
kemampuannya lebih rendah dari Amin Rais dan lain-lain kritikan yang cukup
menyengat.akan membuat sasaran tidak dapat menerima. Mega, DPP PDIP, dan
sebagian besar anggota partai moncong putih itu gerah dengan kritikan-kritikan
Aberson
Kririk yang dilontarkan secara langsung dan terbuka,
kecenderungannya belum dapat diterima di Indonesia. Siapapun itu, pihak
manapun itu akan alergi apabila dikritik secara terbuka. Kritik masih dianggap sesuatu yang tabu. Tidak
seperti dinegara lain yang menganggap kritik adalah kemajuan, kritik adalah
esensi demokrasi dan lain-lain nilai positif dari kritik. Mega yang besar
antara lain karena kritik-kritik Aberson kepada rezim Suharto, kepada peran
sospol ABRI, dan lain-lain yang umumnya menyimpang dari pelaksanaan UUD 1945,
ketika balik dikritik Aberson tidak dapat menerimanya.. Seharusnya Mega yang
sudah mengenal betul tabiat Aberson tidak perlu menanggapinya lebih jauh.
Faktanya ternyata tidak demikian. Mega telah berubah. Perubahan pada diri Mega
ini karena orang-orang sekitar yang mengelilinginya. Untuk lebih jelasnya kita
kutif omongan Aberson:
Akibat orang-orang disekitarnya dan hubungannya dengan militer,
Megawati semakin luntur kedemokratannya. Sebenarnya Megawati tadinya berpikir,
bahwa setelah menjadi presiden akan mengembalikan demokrasi. Namun setelah
menjadi presiden, ternyata putri sulung Bung Karno itu tidak dapat mewujudkan
keinginan rakyat, yakni tegaknya demokrasi. Malah akibat ulah orang-orang
disekitarnya, Megawati semakin jauh dari rakyat dan pendukungnya. (Jakarta, 31 Juli 2002)
Pergunjingan orang-orang sekitar Mega adalah topic
pembicaraan yang tidak habis-habisnya bila ngerumpi bersama Aberson. Aberson
dengan begitu piawai mengulas hingga menguliti siapa-siapa atau
kalangan-kalangan mana yang dekat dengan Mega. Begitu menariknya pembahasannya,
sampai-sampai ada yang nyeletuk, mengapa Aberson sudah mengetahui semua itu
tapi tidak mau menemui Mega. Mengapa Mega dibiarkan dikelilingi orang-orang seperti
itu?. Aberson menjawab, suasananya tidak seperti dulu lagi. Sudah ada
sekat-sekat protokoler yang membatasi kebebasan.
Di pihak lain, dan ini yang paling menarik adalah faktor
Taufik, suaminya Mega. Menurut Aberson, Taufik adalah perpanjangan tangan militer.
Taufik akan terus menekan atau menggiring Mega sesuai dengan perintah. Mega
memahami itu semua. Dengan konstatasi seperti itu, yakni jika menemui Mega,
Taufik ada disitu bagaimana dan seperti
apa jadinya ? Kata Aberson dengan nada tinggi kepada rekan-rekannya yang
menyuruh ia menemui Mega. Dulupun ketika kami menemui Mega di Kebagusan, lalu
Taufik datang, Mega mengajak kami untuk mengalihkan pembicaraan, ujar Aberson
lebih lanjut.
Situasi memaksa dua pejuang ini untuk sukar bertemu.
Tidak seperti dulu ketika mereka bahu membahu melawan Suharto dan Orde Barunya.
Mega sibuk dengan presidennya, Aberson asyik dengan kritik-kritik tajamnya. Dua
kutub yang saling berlawanan. Dengan gencar Aberson menggempur Mega dan PDIP
dengan dalih bahwa ia adalah wakil rakyat, bukan wakil fraksi, jadi punya
kebebasan untuk menyatakan pendapat sesuai denga pasal 28 UUD 1945.
Mega dan PDIP yang terus-terusan digempur dengan adagium
wakil rakyat-bukan wakil fraksi/partai itu pada akhirnya tidak dapat
menerimanya. Dalam rapat-rapat intern, Mega mengatakan siapa yang mengaku
dirinya sebagai wakil rakyat dan bukan wakil partai akan saya jewer kupingnya
dan kemplang kepalanya. Siapa lagi yang dimaksud kalau bukan Aberson. Yang mau
dijewer kuping dan kepalanya dikemplang tersebut adalah Aberson.
Untuk memastikan bahwa anggota DPR dari PDIP itu bukan
wakil rakyat melainkan adalah wakil partai dipaksa menandatangai pernyataan
diatas segel Rp 6.000. Siapa yang tidak mau menandatangai silahkan keluar, atau
direcall. Aberson pada mulanya tidak mau. Namun setelah dibujuk-bujuk temannya,
seperti Poltak Sitorus, Angelina Pattiasina, Sukma Dewi Gde Jaksa dan
lain-lainn, Aberson akhirnya bersedia menandatanganinya.
Tanda tangan tinggal tanda tangan, tradisi mengkritik
tidak pernah luluh. Bahkan sebaliknya semakin sering, menohok dan tajam. Tiada
kompromi bagi kebenaran UUD 1945, meski akhirnya menjadi berseberangan dengan
Mega.
GERIMIS UNTUK WARTAWAN
Keistimewaan Aberson dengan anggota-anggota DPR/MPR yang
lain adalah kedekatannya dengan para wartawan. Beliau sangat dekat dengan para
pemburu berita ini. Suatu hubungan yang begitu akrab, bersahabat dan
bersaudara. Tiada wartawan yang bertugas di Jakarta tidak mengenal Aberson. Nama ini
sudah begitu merakyat bagi wartawan-wartawan. Ruangannya yang terbuka sepanjang
waktu di kantornya adalah saksi bisu betapa para wartawan lalu lalang masuk,
tanpa ada penyekat yang menghalangi. Tidak jarang, jam kantor sudah selesai,
para wartawan masih kongkow-kongkow diruangan tersebut. Suasana baru bubar
ketika ruangan sudah panas, sebab AC sudah dimatikan dari pusat. Tidak cukup
disini, bila masih ada hal yang perlu diperbincangkan, dilanjutkan dirumah,
biar itu sudah larut malam atau dinihari. Termasuk hari libur, seperti Sabtu
dan Minggu, ia tetap melayani para wartawan.
Tidak saja wartawan lokal yang dilayani, namun juga para
wartawan dari mancanegara. Hanya saja , jika wartawan asing yang berkunjung,
suasana tidak semeriah melayani wartawan lokal yang tak jarang hingar bingar
karena penuh dengan senda gurau, joke-joke politik dan lain-lain situasi hangat
yang bisa membuat seluruh wartawan terpingkal-pingkal. Karena begitu ramainya,
ruangan-ruangan rekannya sesama anggota DPR disebelah tidak jarang terganggu
karena ketawa lepas yang begitu bergemuruh. Koleganya sesama anggota yang
berseberangan dan berhadapan dengan ruangannya tentu sudah maklum hal-hal
seperti ini. Kalau tidak bergemuruh itu bukan ruangannya Aberson
Aberson yang dikenal sangat piawai membuat suasana marak
dengan banyolan-banyolan politiknya adalah
keistimewaan khusus. Siapapun yang datang kepadanya pasti bisa dibuat ketawa
lepas. Kwik Kian Gie sendiri yang dikenal sebagai figure yang sukar tertawa,
namun kalau Aberson yang membanyol, Kwik akan ketawa terpingkal-pingkal. Sangkin
lucunya, sosok yang serius ini sampai-sampai mengangkat kaki keatas dalam
Kongres PDI di Surabaya. Bagaimana keadaan ini terjadi ramai dipublikasikan
pers Surabaya
pada waktu itu, yakni ketawa Kwik yang hamper terjengkang karena kelucuan yang
diciptakan Aberson. Tidak Kwik , saja, konon Letjen Harsudiyono Hartas pun
pernah terbahak-bahak ia buat karena Koramil katanya menggebuki mayat hingga
mayat itu mengaku.
Bagi wartawan-wartawan asing hal seperti itu tidak
mungkin terjadi, karena dibatasi oleh jarak-jarak tertentu, seperti bahasa dan
budaya. Wawancara yang lazimnya pakai penterjemah sudah pasti membuat suasana
dominant dengan keseriusan, sebagaimana guru yang menguji murid, atau dosen
yang menguji karya ilmiah. Keseriusan ini semakin intens, mengingat yang
dihadapi adalah orang/bangsa asing yang sudah pasti menambah extra hati-hati.
Kehangatan hanya sebatas senyum, senyum di kulum atau senyum misteriusnya
monalisa. Atau paling banter hanya senyum diplomatis yang umumnya hanya
dipaksakan.
Menurut Arman Suhana, wartawan Wawasan Semarang, Aberson
adalah tipe anggota DPR/MPR yang sungguh-sungguh melayani para wartawan.
Seujung rambutpun tiada hambatan. Bahkan sebaliknya Abersonlah yang paling
memburu wartawan. Bila ada wartawan yang ingin bertemu dengannya, namun tidak
ketemu, maka wartawan tadi akan dipanggilnya. Jika tidak bisa ketemu, karena
mungkin sang wartawan sudah pergi ketempat lain, iapun akan melayaninya via
telefon.
Betapa intensnya Aberson melayani wartawan, tidak jarang
melahirkan suasana yang lucu yang membuat para wartawan terbahak-bahak. Tidak
sekedar terbahak-bahak ketika event itu terjadi, namun menjadi abadi karena
semua wartawan mengingatnya. Pasalnya adalah, wartawan RRI, Dirun Martatamaja,
sudah pontang panting mencari nara
sumber untuk diwawancarai untuk acara parlemen di RRI setiap akhir pecan.
Karena tidak ada lagi, mau tidak mau yang gampang dihubungi adalah Aberson.
Dirun menyodorkan beberapa daftar pertanyaan yang akan dijawab untuk acara
parlemetaria di RRI. Karena wawancara ini tidak untuk ditulis sebagaimana para
wartawan media lainnya, maka Dirun membawa mik. Mik itu disodorkan kenara
sumber. Akan tetapi Aberson, memang lain. Mik itu dipegang sendiri. Maka iapun
ngomonglah sambil memegang mik. Karena sudah dipegang, maka Dirunpun keluar
ruangan Aberson. Ketika ia dating sekitar 15 menit kemudian, Aberson masih
ngomong sendiri. Dirun pun pergi lagi. 10 menit kemudian, Dirun mengintip lagi,
apa sudah selesai apa belum , ternyata juga belum. Dirun berceritra kepada
teman-temannya, kontan teman-teman, wartawan yang lain, mati ketawa mendengar
ceritra Dirun tersebut.
Melayani telefon para wartawan dengan berlama-lama
adalah salah satu cirri khasnya. Ia menguraikan atau membeberkan pertanyaan
wartawan sangat mendetail dan rinci, yang sudah tentu akan menyita waktu yang
panjang. Pola seperti ini tidak saja pertelefon, lebih-lebih bila bertatap
muka, akan dikupas dari hulu hingga ke hilir, pada hal banyak tamu-tamu lain
yang sedang menunggu dengan berbagai urusan. Tamu-tamu ini sudah barang tentu,
meskipun tidak mengatakan sudah pasti jengkel dan dongkol. Tapi juga banyak
yang memakluminya, yakni tamu-tamu yang sudah mengenalnya.
Penomorsatuan wartawan ini penulis saksikan sendiri,
yakni adanya tamu yang cukup punya kedudukan atau orang penting menghadapnya,
namun karena ada telefon wartawan, maka wartawan ini yang diladeninya lama.
Setelah diladeni, tamunyapun dilayani. Namun
ada lagi wartawan yang nelefon, secara refleks iapun melayani wartawan
tersebut berlama-lama. Tamu yang dilayani hanya membutuhkan ½ jam tidak jarang
menjadi tiga-empat jam.
Ruangan Aberson yang tidak mengenal birokrasi, adalah
ruangan yang paling bebas diseluruh dunia ini bagi wartawan. Tiap saat wartawan
lalu-lalang , keluar masuk ruangannya. Tidak saja dalam kerangka jurnalistik,
namun juga untuk istirahat. Tidak perlu heran, bila ada wartawan yang
tidur-tiduran diruangannya bila Aberson lagi menghadiri sidang. Yang paling
sering istirahat disitu adalah Arman Suhana , Wawasan Semarang, Musa Depari,
Sinar Pagi, Andus Simbolon, Terbit, Triono Wahyudi, Berita Buana. Selain
mereka-mereka yang sering tidur diruangan Aberson, yang juga tidak kurang
akrabnya dengan beliau adalah Omar Samsuri dan Ansel Da Lopez dari Kompas, Safri
dari Harian Pikiran Rakyat Bandung, Subhan Kleden dan Gaudens dari Media
Indonesia, Birma Siahaaan dari Sinar Pagi, Nasruddin dari Suara Merdeka
Semarang, Haryono RM Dari Rakyat Merdeka, Wolas Krenak dan Marcelius Rombe Baan
dari Suara Pembaruan, Ramadhan dari Waspada Medan, Januar dari Aksi, Ridwan Max
Silaban dari Jakarta Post
Sebagaimana pengakuan Musa Depari, hubungan Aberson
dengan para wartawan bermuara kepada hubungan persahabatan, persaudaraan,
hubungan kakak-beradik dan lain-lain hubungan yang manusiawi. Tidak jarang para
wartawan meminta bantuan Aberson terhadap keperluan-keperluan pribadi. Apakah
itu kepentingan keluarga yang mengalami masalah, kekurangan biaya dan
lain-lainnya. Mungkin, atau barangkali pasti, Aberson adalah penganut prinsip
“semua manusia bersaudara” sebagaimana yang dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi.
Penulis mengutif Gandhi, karena diatas pintu ruang kerja
dan perpustakaan dirumahnya dipampang “dosa-dosa politik” menurut pemimpin
besar India
tersebut. Beliau hampir jarang membicarakan Gandhi, namun dari perilaku
politiknya, ia kelihatan mempraktekkannya. Litani ini diperkuat, Elman Saragih,
yang menilai Aberson tidak mengenal lawan. Semua orang bagi dia adalah sahabat.
jika ia merasa salah tidak segan-segan
minta maaf. Orang yang mungkin yang menganggap ia lawan. Tapi Aberson sendiri
tidak pernah menganggap lawan sebagai lawan. Semua dianggapnya kawan lanjut
Elman yang sekarang juga aktif di Metro
tv.
Disisi lain mengapa Aberson begitu bersahabat dengan
para wartawan paling tidak dilandasi dua hal. Pertama adalah agar
gagasan-gagasannya dapat dososialisasikan kemasyarakat.Kedua, adalah sebagai
feed back atau mengorek informasi-informasi yang dimiliki para wartawan. Dengan
dekat para wartawan, gagasan-gagasan politiknya akan diketahui masyarakat luas.
Ia tidak puas, apabila pikiran-pikirannya hanya didengar di parlemen, melainkan
keluar dari gedung itu menyeruak keseantero penjuru nusantara. Poltak Sitorus
yang menjadi anggota DPR Periode 1999-2004 yang sering berkunjung ke daerah
baik itu waktu kunjungan kerja dan kunjungan-kunjungan lainnya, mengakui
konstatasi demikian, yakni setiap ia baca Koran di daerah-daerah selalu ada
pendapat Aberson. Beberapa wartawan daerah sendiri sering ditegor atasannya,
mengapa begitu banyak berita-berita yang didasarkan kepada pendapat Aberson. Apa
tidak ada yang lain?. Tentu banyak, namun asal bicara hal-hal yang sangat
politis, jarang yang mau bicara terbuka. Lain hal Aberson, Asal itu menyangkut
politik tingkat tinggi dan peka, sudah pasti Aberson yang mendominasi.
Suatu hal yang sesungguhnya tidak aneh. Anggota anggota
DPR lain jarang yang seberani Aberson, yakni yang bicara blak-blakan . Mereka
pada umumnya adalah sosok yang penuh pertimbangan ini dan itu, khususnya apa
yang disebut dengan “garis fraksi”. Mereka tidak akan berani mengeluarkan
pendapat yang tidak sejalan dengan keputusan fraksinya. Keputusan fraksi bagi
mereka adalah segala-galanya. Suatu hal yang sangat dibenci Aberson. Bagi
Aberson bila sudah masuk ke DPR tidak lagi membawa suara-suara atau
pikiran-pikiran selain yang berasal dan bertujuan untuk rakyat. Suatu pikiran
yang bersamaan dengan Sri Bintang Pamungkas , Sulastomo dan Daniel Dhakidae
yang menganggap fraksi itu tidak perlu. Bahkan lebih jauh Daniel Dhakidae, berpendapat,DPR
itu baru benar-benar jadi DPR bila tidak ada fraksi. Selama ada fraksi DPR
belum berfungsi sebagaimana lembaga perwakilan yang sesungguhnya.
Dengan dekatnya Aberson kepada wartawan, iapun
sesungguhnya mendapat keuntungan yang setimpal. Para
wartawan biasanya mempunyai informasi yang kaya akan berbagai hal. Dari mulai yang
terbuka hingga yang setengah terbuka, sampai yang terutup, sensitip atau
secret. Informasi-informasi ini sudah barang tentu akan memperkaya
khazanah-khazanah selanjutnya. Aberson akan mengolah informasi itu dengan
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Dengan kata lain informasi yang dimiliki
wartawan itu adalah data-data atau fakta-fakta yang akan diolah kembali dan
hasilnya diberikan lagi kepada para wartawan.
Ibarat teori sistem politiknya David Easton, data-data
atau informasi-informasi itu adalah input (tuntutan dan dukungan). Input
dimasak dalam sistem, lalu hasilnya menjadi out put/keluaran (keputusan dan
kebijakan). Keluaran atau out put ini kemudian kembali menjadi input setelah
melalui proses feed back.. Demikian seterusnya menjadi sistem yang sistematis,
mekanis dan demokratis.
Hingar bingar diruangan Aberson, bisa jadi hingar betulan. Wartawan yang terkadang
membelokkan hasil wawancara membuat Aberson marah. Jika marah suaranyapun cukup
kuat dan meninggi yang membuat ruangan menggelegar. Tidak ada basa-basi, tidak
ada bahasa-bahasa isyarat, tidak ditahan-tahan, kalau marah yah marah. Namun
setelah marah, apalagi sang wartawan sudah mengakui kekeliruannya suasana
persahabatan pun kembali
Hal lain yang juga sering membuat Aberson marah, adalah jika
wartawan ini membantah pendapatnya yang ia anggap sudah sangat benar. Sudah
berulang-ulang diterangkan, namun masih tidak dipahami. Hal ini biasanya menyangkut masalah-masalah yang sangat
politis. Aberson melihatnya dari kacamata UUD , sementara wartawan meneropong
dari situasi yang sedang berlangsung. Wartawan sebagaimana hakikinya adalah
pemburu berita, dengan tanda kutif berita itu menarik, terlepas dari benar atau
tidak , direkayasa atau tidak, yang penting laku dijual. Pers Indonesia masih disitu tarafnya,
yakni berita-berita yang bombastis, konfrontatif, kontroversil, agitatif dan
provokatif. Fungsi media yang seharusnya sebagai instrumen pendidikan atau
cultural edukatif masih sebatas cita-cita.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, suasana ini, yakni
marahnya Aberson tidak berlangsung lama. Dalam hitungan detik atau sekejap
situasi akan kembali hangat. Sebagaimana dikatakan Elman Saragih, Aberson itu
tidak mengenal lawan. Semua orang dianggapnya kawan. Jika merasa salah Aberson
tidak segan-segan minta maaf. Namanya juga manusia tidak ada yang sempurna.
Ketidaksempurnaan ini misalnya adalah jika Aberson
berulang-ulang membicarakan hal yang tidak mungkin ditulis dimedia atau jika
terus-terusan kembali ke UUD . Hal-hal yang tidak mungkin ditulis ini misalnya
adalah kebencian Aberson terhadap Kopkamtib. Aberson sejak awal 70-an paling
benci dengan lembaga itu. Setiap wawancara dengan beliau selalu menyelipkan
kata-kata…bubarkan Kopkamtib
Wartawan yang mewawancarainyapun secara refleks
mematikan tape perekamnya. Akan tetapi tidak lama kemudian, Aberson nyeletuk.
Ah kalian ini asal saya sudah bicara Kopkamtib, pada matiin tapenya. Suasana
kembali hangat. Wartawan-wartawan yang mengenal beliau sejak lama, menyatakan
tidak ada kamus Aberson selain bubarkan Kopkamtib. Baru bangun, atau mimpi
sekalipun hanya bubarkan kopkamtib yang ada dibenaknya. Mana mungkin kita
menulis itu?, nanti koran kita akan ditutup, urai Elman lebih lanjut.
Begitu pula jika semua persoalan selalu dihubungkan
dengan UUD. Sebagaimana tradisinya Aberson tidak pernah meninggalkan UUD 1945
setiap memberikan jawaban Wartawan-wartawan meski sudah tahu tabiatnya, tetap saja
mempunyai kejenuhan. Mereka jenuh karena setiap waktu disodorin UUD. Tiada
pembicaraan tanpa UUD Apa-apa UUD, celetuk mereka diluar, yakni diluar pendengaran
Aberson tentunya.
Diatas itu semua, dan ini diacungin jempol oleh semua
wartawan adalah solidaritas kemanusiaannya yang tinggi terhadap seluruh pemburu
berita. Setiap akhir pekan, yakni hari Jumat, Aberson selalu memberi uang ala
kadarnya kepada seluruh wartawan. Karena jumlahnya adalah sekedar “ala kadar” tidak
mungkin besar. Sekedar transport lebih sedikit, namun rutin dan merata kepada
seluruh wartawan.
Karena kecil,
namun merata dan rutin setiap akhir pekan disebut dengan istilah “gerimis”.Yah
kecil-kecilan, ibarat hujan gerimis yang curahnya kecil. Tidak seperti hujan
lebat, hujan deras atau hujan yang disertai badai yang curahnya besar. Kalau
mau mendapatkan hujan lebat atau deras minta saja dari anggota yang lain, yang lebih
kaya dari saya katanya. Suatu istilah yang akhirnya sangat fenomenal bagi
setiap wartawan
Gerimis ini ternyata tidak saja pada akhir pecan,
melainkan juga pada hari-hari besar tertentu, seperti hari raya/idulfitri. Pada
setiap hari raya Aberson selalu menyiapkan THR (tunjangan hari raya) dalam
bentuk uang yang dibungkus dalam amplop. Mereka yang datang keruangan langsung
diberikan. Yang belum ditungguin atau dipanggil melalui staf dan supirnya yang
setia, Warjito.
Hanya Aberson yang seperti itu, pada hal ia tidak
beragama Islam,akan tetapi setiap lebaran selalu memberikan bingkisan , kata Arman
Suhana dari harian Wawasan, Semarang.
Meskipun jumlahnya seperti hujan gerimis, membuat sosoknya istimewa dalam
kalangan wartawan
REFERENSI
Wawancara Dengan Soerjadi
Wawancara dengan Toto/staf DPR RI
Wawancara dengan wartawan-wartawan DPR
RI
Harian Media Indonesia, 19 Maret dan
13 Okt, 2000
Harian Jakarta, 31 Juli 2000
Majalah Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar