Minggu, 30 Oktober 2016

ABERSON M . SIHALOHO; WAKIL RAKYAT LINTAS FRAKSI





Biografi Politik, Aberson M Sihaloho
Oleh: Reinhard Hutapea

Sebutan, gelar atau predikat sebagai wakil rakyat lintas fraksi kami berikan kepada Aberson setelah melalui diskusi yang panjang antara penasihat/pelindung penulisan biografi, keluarga dan kami sebagai penulis. Adapun pertimbangan mengapa judulnya seperti itu didasarkan kepada perilaku politik Aberson yang melewati sekat-sekat, batas-batas atau barangkali ranjau-ranjau dalam apa yang disebut dengan “fraksi”, yakni suatu lembaga perpanjangan partai di DPR. Aberson tidak begitu setuju dengan fraksi. Baginya setelah masuk ke DPR harus sungguh-sungguh menjadi wakil rakyat, bukan wakil fraksi. Kesetiaan yang sebelumnya diberikan kepada partai, harus ditinggalkan jika sudah duduk di DPR Hal ini sesuai dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa anggota DPR itu adalah wakil rakyat, bukan wakil partai atau wakil-wakil yang lain diluar ketentuan konstitusi. Ia konsisten dengan prinsip itu. Ia sangat taat asas , taat pada UUD 1945 kata Roy BB Janis.
Ketaatannya kepada UUD 1945 membuat ia tidak selalu sejalan dengan garis fraksi yang mempunyai agenda-agenda tertentu yang tidak selalu selaras dengan UUD 1945. Karena tidak selalu sejalan dengan garis fraksi, benturan antara dirinya dengan fraksi tidak dapat dihindarkan. Suatu perilaku politik yang sejak lama dilakukannya, baik itu sewaktu masih di MPRS, di DPR sejak era Suryadi hingga DPR era Megawati. Ia tidak pernah takut berbeda pendapat menyuarakan pandangannya kata Pramono Anung, yang menganggap Aberson bersama Sabam Sirait adalah idolanya (Media Indonesia, 16 November 2001). Analog dengan pendapat Suryadi yang melihat Aberson adalah politisi pejuang yang kuat pendirian dan hidup sederhana (Media Indonesia, 13 Oktober 2006). Dan sebagai pamungkas mengapa kami memilih judul tersebut adalah pendapat Markus Wauran yang melihat Aberson adalah seorang “negarawan” yang terbukti dari perannya yang lintas fraksi. Pandangan-pandangannya yang luas dalam segala aspek, seperti hukum/konstitusi, politik, ekonomi, sosial dan tentara membuat sosoknya diterima semua pihak, melewati pesan fraksinya PDIP, sebagaimana diakui Eky Syahrudin sewaktu ia masih anggota DPR, bahwa Aberson adalah milik kita semua, tidak hanya milik PDIP. Tidak hanya di DPR peran lintas fraksi itu berlangsung, melainkan menyeruak ke pergaulannya yang lain, seperti dilapangan tennis indoor senayan, dimana semua pesertanya terdiri dari seluruh fraksi yang ada di DPR, dimana Aberson adalah  pengelolanya. Sambil bermain tennis tiga kali seminggu, yakni Senin, Rabu dan Jumat mereka diskusi tentang segala hal. Diatas itu semua yang membuat sosoknya lintas fraksi adalah ketika anaknya yang terbesar kawin, semua panitia adalah sahabat-sahabatnya dari seluruh fraksi. Ia sungguh-sungguh lintas fraksi. Bagaimana peran tersebut dimanifestasikan lebih seksama akan ditulis dalam sub-sub bab dibawah ini, yang diawali ketika ia pertama kali berkiprah di Parlemen/MPRS. Selanjutnya Visi dan Misinya, dukungannya kepada sistim bicameral, pemilihan presiden secara langsung, prinsipnya sebagai wakil rakyat dan bukan wakil partai, mesra dan retaknya dengan Megawati, serta hubungannya yang sangat dekat dengan wartawan.

MEMASUKI PARLEMEN.
Setelah Orde Baru berkuasa, tatanan politik Indonesia berubah dengan drastis. Partai-partai politik yang diizinkan beraktipitas adalah partai partai yang sudah dapat dikendalikan. Dalam istilah popular dikenal dengan istilah “rekayasa”, yakni yang tunduk pada kemauan politik Orde Baru. Tidak terkecuali PNI, yang kembali diizinkan naik ke pentas politik adalah PNI yang sudah setuju dengan platform Orde Baru. PNI yang sebelumnya sangat getol mendukung Bung Karno diklasifikasikan dalam dua kategori yakni PNI ASU (Ali Sastroamidjoyo dan Ir Surachman) dan PNI Osa Usep (Osa Maliki dan Usep Ranawijaya). PNI ASU adalah PNI yang habis-habisan membela Bung Karno dan dituding berbau PKI, sebaliknya PNI Osa Usep adalah yang mendukung rezim Orde Baru.
Aberson adalah PNI yang dikelompokkan dalam PNI Osa Usep. PNI yang dikategorikan moderat oleh rezim baru. Mungkin atas dasar ini (kemoderatan) dalam penyusunan anggota DPR GR – MPRS Aberson dipilih mewakili PNI. Penyusunan anggota DPR GR – MPRS kala itu didasarkan pada hasil pemilu 1955, minus PSI , Masyumi dan PKI.
Dalam Sidang Umum MPRS yang digelar pada tahun 1967  , Aberson dipercaya menjadi jurubicara PNI. Dengan gaya bicara yang oratoris, vocal dan militant serta memukau, Aberson habis-habisan membela Bung Karno dalam sidang ini. Ia menyatakan bahwa tuduhan-tuduhan yang mendiskreditkan Bung Karno sebagaimana yang banyak dituduhkan adalah tidak benar. Bung Karno tidak mungkin melakukan hal-hal yang merugikan diri, bangsa maupun negaranya. Mana mungkin Bung Karno membunuih dirinya sendiri.
Karena ia begitu konsisten dan bersemangat membela Bung Karno, ia pun diteriaki sebagai PNI ASU oleh para hadirin. Hadirin bergemuruh mengejeknya, sebab dianggap irrasional karena arus utama pada waktu itu sudah anti Bung Karno. Mengapa bisa demikian? Apakah suasana seperti itu disadari atau tidak olehnya, atau ada tujuan-tujuan lain, menjadi tanda tanya besar.
Tanda tanya besar karena setelah Aberson selesai berpidato beberapa waktu kemudian entah dengan pertimbangan apa juru bicara PNI yang lain, yakni Hardi, induk semang, guru politiknya menyampaikan pandangan atau pidato yang bertolak belakang sama sekali dengan pidato Aberson. Hardi .  menyatakan bahwa tak seujung rambutpun PNI ada niat membela Bung Karno.
Kontan suasana jadi geger. Dua pemimpin PNI yang berasal dari satu kubu mempunyai pandangan yang bertolak belakang dengan keberadaan Bung Karno. Bagaimana itu bisa terjadi mungkin banyak argumentasinya, maklum masalah politik. Namun pengakuan Aberson sendiri , pembelaan itu ia lakukan karena ia menyatakan yang sebenarnya . Ia mempunyai argumentasi kuat bahwa Bung Karno tidak terlibat G 30 S/PKI.
Akan tetapi karena suasana memang bukan mencari yang salah dan benar sebagaimana di dunia akademik, melainkan suasana yang sudah politis yang direkayasa, pidato  Aberson tidak mendapat tempat. Ia diteriaki dan dicemohkan pada sidang MPRS tersebut. Ia dituding sebagai PNI ASU yang dicap pro PKI. Tidak cukup disitu, yaitu hanya diteriaki, melainkan lebih mengenaskan lagi, iapun didepak dari lembaga tertinggi negara itu pada tahun 1967.
Tentang pidato Aberson yang berani habis-habisan membela Bung Karno ditengah-tengah suasana politik yang anti Bung Karno memang sesuatu yang kontroversial/bukan sesuatu hal yang taktis. Bagi orang, kalangan atau partai yang paham akan suasana yang sedang berlangsung, pidato tersebut mungkin tidak akan dilakukan, sebab akan berbenturan dengan rezim yang sedang unggul. Lain hal mungkin kalau  pidato tersebut dianggap bisa membalikkan keadaan dan berbalik memperoleh keunggulan.
Namun apapun dalihnya Aberson adalah figure yang khas, yang tidak sekedar berhitung politis jangka pendek, sesaat atau kekinian. Beliau mempunyai prinsip yang tak bisa ditawar-tawar dan berani menyatakan prinsipnya itu sampai kemanapun , meski ia harus mendapat ganjaran. Orang mungkin akan menuduhnya sebagai tidak tepat, tidak taktis, tidak bisa membaca keadaan dan lain-lain tuduhan nan praktis-pragmatis. Itu pendapat orang. Aberson  punya kalkulasi sendiri. Dimanapun, kapanpun kebenaran  bagi beliau harus ditegakkan. Beliau tidak pernah takut dengan berbagai ancaman, tekanan, bahkan pembunuhan sekalipun . Suatu waktu ia pernah mengatakan bahwa,suatu saat,ia tidak mustahil  akan terkapar dijalanan. Itu resiko sebagai politisi, sambungnya .
Adapun “kebenaran” yang dimaksud dalam konteks Aberson adalah kebenaran yang bersumber atau dilandasi oleh konstitusi, yakni UUD 1945. Ia selalu memulai dari situ. Apa sekalipun yang ia perbincangkan atau bahas selalu dalam kerangka atau koridor UUD. Karena fanatiknya ia dengan UUD, siapapun yang mengenalnya akan menyebutnya si UUD 1945. Luhut Pangaribuan yang pernah menjadi pengacaranya mengakui bahwa Aberson adalah figure yang sangat paham dan hafal isi UUD 1945, melebihi orang-orang yang seharusnya menguasainya, seperti sarjana-sarjana hukum misalnya.
Tidak hanya Luhut Pangaribuan, juga koleganya Sabam Sirait mengakui hal itu. Menurut Sabam , Aberson adalah pendekar UUD 1945.Dengan bercanda Sabam Sirait menyebut Aberson “si UUD 1945”. Tidak saja Aberson, termasuk staf DPR yang sehari-hari bersama Aberson, Toto Rasmono, disebut Sabam sebagai, duplikat Aberson karena sudah hafal pasal-pasal atau ayat-ayat UUD 1945. Kalau Aberson tidak ada , tanya saja Toto, urai Sabam Sirait lebih lanjut.
Mungkin konsistensinya kepada UUD 1945 inilah yang membuat sosok Aberson berbeda dari teman-temannya yang lain. Bagaimana , mengapa dan apa yang melatar belakangi beliau begitu gandrung kepada konstitusi, menurut pengakuannya adalah karena konstitusilah yang menjadi dasar, tujuan dan alat untuk berpolitik. Dalam berpolitik kita tidak boleh keluar dari UUD , katanya setiap saat.
 Ia berpendapat bahwa jika kita sudah memiliki konstitusi, maka apa-apa yang diperintahkan dalam UUD tersebut wajib harus  dilaksanakan. Politik yang benar adalah politik yang dilandasi dan dikoridori UUD. Politik yang dijalankan oleh pemerintah tidak boleh keluar dari rel tersebut. Politik berawal, berjalan dan berakhir dalam wadah UUD Dengan perkataan lain konstitusi adalah kata akhir legitimasi. Melanggar konstitusi dalam praktek atau dalam semangat berarti melampaui batas-batas mandat politik
Tentang bagaimana ia dapat menghayati UUD dengan baik, menurut pengakuannya, ia belajar  pertama sekali pada Harry Chan Silalahi,seniornya di UI. Beliau inilah (Harry Chan) yang menyatakan bagaimana pentingnya suatu UUD dalam suatu Negara. Selanjutnya untuk memahami hal yang lebih teknis, rinci.dan mendetail mengenai UUD 1945 Aberson belajar kepada Bambang Haryanto. Rekannya sejak lama, baik sebagai mahasiswa di Universitas Indonesia, maupun ketika sama-sama aktifis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.
Aberson belajar pada Bambang Haryanto adalah kebetulan, tidak disengaja.  Ketika itu beliau mengikuti penataran P4 di Gedung Pancasila Jalan Pejambon. Penulispun pada waktu itu juga ikut penataran. Bambang Haryanto bertepatan menjadi “manggala” yang bertugas menatar materi UUD 1945. Karena memang sudah sejak lama komitmen kepada konstitusi, Aberson pun memanfaatkan moment ini, yakni intens belajar pada Bambang.
Namun yang cukup menarik dari ikutnya Aberson pada penataran ini sesungguhnya bukan karena ia mau mengikuti doktrin-doktrin P4 tersebut, melainkan karena terpaksa. Aberson tidak bisa menjadi anggota DPR RI kalau tidak ikut dan lulus penataran P4. Konon yang menyarankan dia kesana adalah Suryadi. Suryadi bilang jika mau jadi anggota DPR harus ikut penataran. Soal materi penataran itu mau diikutin atau tidak, benar atau sebaliknya, entah mau diapakan,itu urusan lain.
 Aberson belajar kepada dua tokoh itu  karena latar belakang pendidikan yang berbeda. Harry maupun Bambang adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) yang sudah barang tentu mempelajari konstitusi/UUD secara mendalam. Lain hal Aberson yang berlatar belakang ilmu ekonomi jurusan “akuntansi”, bidang yang sangat teknis,  tidak mempelajari hal seperti itu (konstitusi)..
Posisi yang demikian itu, yakni penguasaannya yang begitu intens akan UUD dan back groundnya  ilmu akuntansi membuat sosoknya cukup istimewa. Beliau politisi yang mempunyai nilai plus, yakni menguasai hal-hal yang sangat teknis. Ia menguasai ilmu ekonomi dari tingkat makro hingga mikro meskipun pada akhirnya ia tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
 Aberson memang tidak lulus kuliah, hanya sampai tingkat doctoral, namun karena rajin belajar, rakus membaca buku dan aktif berorganisasi, sebagaimana diakui Suryadi keintelektualan ekonominya tidak perlu disangsikan. Ekwivalen dengan temannya sesama angkatan 66, Sofyan Wanandi, meski juga tidak lulus, mempunyai pengetahuan ekonomi yang tidak kalah dengan para pakar sekalipun..
Dengan posisi Aberson yang seperti itu, yakni pengetahuan ekonominya yang tidak perlu diragukan lagi, Suryadi mendudukkan ia pada jabatan wakil ketua GBHN di DPR pada periode 1987 – 1992. Kalau pada Budi Hardjono, Suryadi masih menanyakan akan duduk dibidang mana, maka Aberson tidak ditanya lagi, langsung ditunjuk untuk duduk di bidang yang sangat strategis tersebut, yakni GBHN. Banyak sesungguhnya yang bisa didudukkan disitu. Namun yang sungguh-sungguh menguasai adalah Aberson, yang lainnya adalah sekedar “politisi” kata Suryadi.
.Hingga akhir pengabdiannya di DPR RI tahun 2004, kepiawaiannya dalam bidang APBN diakui seluruh koleganya sesama anggota DPR. Tidak hanya anggota juga mitranya dari pemerintah seperti Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas mengakui kemampuan Aberson tersebut.
Dalam tradisi rapat-rapat Panitia Anggaran DPR RI, Aberson biasanya selalu terakhir bicara, sebab ia akhirnya yang merangkum rapat atau sidang tersebut dan semuanya meyakini dengan sejuk. Sejuk karena memang itu tidak hanya mewakili suara pribadi, kelompok atau fraksi/partai, tapi adalah pendapat semua pihak untuk mencapai satu tujuan yang sangat mulia sebagaimana yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mewujudkan.kesejahteraan rakyat.
APBN bagi Aberson adalah satu instrument bagaimana mencapai kemakmuran rakyat. Dengan APBN yang sungguh-sungguh direncanakan dan dijalankan dengan baik pasti akan memakmurkan rakyat. Seribu  kali, sejuta  kali, sekian n kali…Aberson tidak bosan-bosannya mengutif tujuan Negara sebagaimana yang tertera pada Pembukaan UUD beserta pasal atau ayat pendukungnya dalam batang tubuh, seperti, khususnya pasal 33 apabila ia memberi pandangan dalam sidang-sidang APBN..
Untuk mengetahui lebih dalam apa sesungguhnya yang menjadi impian, cita-cita atau orientasi Aberson akan diteruskan dibawah ini.

VISI DAN MISI ABERSON
Dari uraian-uraian diatas bila kita perhatikan/renungkan dengan seksama ,(secara umum) orientasi, tujuan atau visi dan misinya sudah jelas dan mungkin tidak ada yang baru.  Intisarinya adalah “penegasan atau konsistensi” pola berpikir dan bertindak bagaimana melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen Suatu tema,jargon atau slogan yang ditabuh rezim Orde Baru ketika mulai berkuasa. Siapapun yang mengikuti poerjalanan sejarah bangsa ini tidak ada yang lupa dengan tema tersebut. Masalah bagaimana akhirnya nasib tema ini, apakah dilaksanakan atau tidak, atau hanya sekedar slogan untuk slogan, khalayak sudah memakluminya.Biarlah itu menjadi satu setting histories bagi perjalanan bangsa Indonesia.
Kembali kepada  Aberson, untuk mengetahui lebih jauh, rinci, sistematis dan akurat tentang orientasi perjuangannya tertera dalam Visi dan misinya sewaktu mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili Daerah Khusus Ibukota, Jakarta Raya tahun 2004. Pernyataan pertamanya adalah tentang ideologi , landasan bersama atau platform. Untuk ini Aberson menyatakan:
Berdasarkan pengamatan saya selama 45 tahun berkecimplung dibidang politik, persoalan utama bangsa ini adalah, bagaimana mengabadikan Negara Persatuan Republik Indonesia (NPRI, cat penulis) sebagaimana cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Cita-cita tersebut tercantum dalam alinea kedua pembukaan UUD 1945. Didalam alinea kedua tersebut antara lain ditegaskan bahwa proklamasi 17 Agustus 1945 mengantarkan rakyat Indonesia, untuk mendirikan kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Oleh karena itu visi dan misi utama bagi perjuangan politik saya adalah menjadikan Pembukaan UUD 1945 itu menjadi ideologinya atau landasan bersama bangsa Indonesia yang berbihinneka

Menurut Aberson penegasan ini penting sebab pemerintahan-pemerintahan selama ini belum ada yang secara jelas dan kongkrit melaksanakannya. Baru sebatas wacana-wacana atau retorika sebagaimana dikatakannya dibawah ini:
Walaupun sejak pemerintahan Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurachman Wahid, dan Presiden Megawati Soekarnoputri selalu mencanangkan Negara Indonesia yang bersatu atau persatuan Indonesia atau persatuan dan kesatuan bangsa, dan akhir ini cukup gencar disuarakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah segala-galanya. Akan tetapi semuanya itu hanya reorika belaka, karena tidak diikuti dengan penegasan, apa seharusnya yang menjadi landasan bersama (common platform), bangsa Indonesia yang berbhinneka itu. Tidak mungkin Persatuan Indonesia atau Negara Kesatuan Republik Indonesia terwujud, apabila tidak ada landasan bersamanya.  

Tentang bagaimana pentingnya pokok-pokok pikiran yang terkadung dalam pembukaan, hubungannya dengan hukum dasar/ Pancasila ,pokok-pokok pikiran sebagai suasana kebatinan dari UUD ,hubungan pembukaan dan batang tubuh, Aberson menyatakan:
Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 kedudukannya adalah sangat strategis dan fundamental dalam kehidupan kenegaraan kita. Hal itu terlihat dari pernyataan Bapak-Bapak pendiri Negara kita di dalam penjelasan umum UUD 1945 yang menyatakan UUD suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Tentunya yang dimaksud dengan pernyataan ini pasal-pasal UUD 1945 hanyalah sebagian dari hukumnya dasar Negara kita yang biasa disebut Pancasila. Kemudian ditegaskan lagi oleh Bapak-Bapak pendiri Negara kita, bahwa pokok-pokok pikiran itu meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara Indonesia (baca UUD1945) dan mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik hokum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Jadi UUD 1945 harus menciptakan pokok-pokok pikiran dalam pasal-pasalnya.


Tentang kehidupan beragama Aberson menyatakan:
Kehidupan beragama berdasarkan pokok pikiran yang terkandung di dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, adalah merupakan kemerdekaan dan hak asasi manusia. Hal ini tercermin dari substansi dari alinea tersebut yang menyatakan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Sudah dapat dipastikan berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam pokok pikiran ini termasuk kebebasan individual atau perorangan untuk beragama atau berkebangsaan. Atas dasar inilah maka psal 29 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu. Didalam kenyatannya hingga saat ini, kehidupan beragama itu masih terkesan sangat diwajibkan (khususnya selama rezim Orde Baru). Bentuk pemaksaan itu antara lain terlihat dicantumkannya dalam KTP kolom agama. Apakah kalau ada warga Negara tidak mengisi kolom itu atau menyatakan tidak beragama tidak diberi KTP ?. Akan tetapi selama pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid nampak keinginan politik yang kuat ubtuk mengembalikan kehidupan beragama itu, sesuai dengan ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Upaya itu telah membuahkan hasil dengan dibebaskannya Kong Hu Chu untuk melaksanakan ibadahnya.

Tentang bagaimana hubungan antara Agama dengan Negara , dengan mengutif pendapat Abdurachman Wahid, Aberson menyatakan:
Saya sangat sependapat dengan pernyataan Presiden Abdurachman Wahid pada tahun 2000 di depan peringatan Natal nasional yang menyatakan, bahwa UUD 1945 disusun oleh Bapak-Bapak pendiri Negara kita yang memisahkan kehidupan bernegara dan beragama. Sehingga keinginan politik yang menghendaki disusunnya Undang-Undang tentang Kerukunan Beragama adalah tidak sesuai dengan jiwa dan semangat pasal 29 ayat (2) tersebut diatas. Seharusnya Undang Undang yang harus dibuat ialah, Undang Undang tentang Kemerdekaan Beragama. Di dalam UU tersebut telah diatur pelaksanaan dari kemerdekaan beragama dan berkepercayaan itu serta hal yang berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah.

Selanjutnya tentang bagaimana pemerintah itu bekerja agar tujuan negara mencapai sasarannya, Aberson merujuk kepada alinea kedua dan keempat pembukaan UUD 1945. Lebih lengkapnya , ia menulis:
Didalam alinea kedua dengan jelas ditetapkan apa yang menjadi tujuan kita merdeka, tujuan kita bersatu, tujuan kita bernegara yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut didalam alinea keeempat ditegaskan; pemerintah Negara Indonesia harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta menyelenggarakan ketertiban dunia. Oleh karena itu penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia yang terdiri dari kekuasaan legislative (DPR, DPD dan DPRD) dan kekuasaan eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya) haruslah mealksanakan haluan Negara atau hak-hak rakyat yang terlah ditetapkan oleh UUD 1945 yang merupakan hukumnya dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaannya.

Ada 5 (lima) haluan negara (pasal dan ayat) yang berkaitan langsung dengan kemakmuran rakyat atau kesejahteraan sosial guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur, maka kebijakan pemerintah Negara harua fokus kepada:
Pertama, pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Konsekwensi dari ketentuan ini, apabila setiap warga Negara mendaftarkan dirinya ke kantor penempatan kerja, untuk memperoleh pekerjaan, sebelum permintaan tersebut terpenuhi, pemerintah harus memberikan jaminan social untuk penghidupan minimum. Praktek jaminan social yang demikian ini sudah berlangsung lama dinegara-negara maju, kitapun sesuai dengan ketentuan pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tersebut diatas seharusnya melakukan hal yang sama. Itulah sebabnya pemerintah Negara-negara maju tersebut dalam kebijakan fiskal dan ekonominya, berusaha menekan angka pengangguran. Pengangguran yang tinggi akan menyebabkan deficit anggaran yang besar.
Kedua, ketentuan pasal 31 ayat (1) yang berbunyi: setiap warga Negara (tiap-tiap warga Negara) berhak mendapat pengajaran (setelah diamandemen diganti dengan pendidikan). Bapak-bapak pendiri Negara kita bermaksud agar hak rakyat atas pekerjaan itu (pasal 27 ayat (2) UUD 1945 hanya dapat terpenuhi, apabila tiap-tiap warga Negara itu mempunyai ketrampilan. Untuk memperoleh ketrampilan itu haknya rakyat mendapat pengajaran harus dipenuhi oleh pemerintah. Itulah sebabnya saya sangat tidak setuju amandemen pasal 31 ayat (3) yang berbunyi: pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketidaksetujuan saya itu didasarkan pada kenyataan mencerdaskan bangsa hanyalah berhubungan dengan ketrampilan kerja atau IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi). Sedangkan keimanan dan ketakwaan dan ahlak mulia adalah berhubungan dengan ibadah agama atau kepercayaan. Dengan demikian untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur itu hak rakyat untuk memperoleh hak dan wajib belajar pengajaran/pendidikan dasar 9 tahun ini terpenuhi.. Idealnya sampai kepada Perguruan Tinggi., hak itu harus diberikan, seperti yang dilakukan di Jepang, Jerman dan Negara-negara maju lainnya. Kemudian dilanjutkan 1 atau 2 tahun lagi untuk memperoleh ketrampilan kerja. Sesuai dengan kemampuan keuangan Negara maka pada tahap pertama anak usia wajib belajar 6 sampai dengan 16 tahuin harus sudah dapat ditampung disekolah negeri.
Ketiga, pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Ketentan ini sangat erat hubungannya dengan kebutuhan pokok rakyat sehari-hari, seperti jasa angkutan umum dalam kota, tersedianya air minum atau air bersih, penerangan, telekomunikasi dan lain-lain. Pada penjelasan pasal ini, Bapak-bapak para pendiri Negara kita dengan tegas menyatakan: apabila tampuk produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu dikuasai oleh perorangan maka akan tertindaslah rakyat banyak itu itu. Apalagi mengeruk keuntungan yang besar, dari jalan tol dalam kota maupun luar kota adalah tidak sesuai dengan jiwa dan semangat pasal 33 ayat (2) UUD 1945 tersebut diatas. Prasktek seperti itulah terjadi hingga sekarang ini dinegara kita. Dibeberapa daerah ada eksploitasi sumber daya alam, seperti air bersih (mata air) dikuasai oleh swasta untuk dijadikan air minum dalam kemasan, yang kemudian dijual kepada masyarakat. Praktek ini menjadikan kekayaan alam itu bukan lagi kemakmuran rakyat. Begitu juga jalan tol adalah fasilitas umum yang harus disediakan oleh Negara. Kalaupun akan dikutif bayaran dijalan tol itu, haruslah dianggap sebagai pajak yang dibayar terlebih dahulu, yang setiap tahunnya dapat dilakukan verifikasi.
Keempat, adalah pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : bumi (tanah) dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan dalam pasal dan ayat ini dimaksudkan agar pengelolaan tanah dan air dan kekayaan alam itu benar-benar dapat memakmurkan rakyat. Itulah sebabnya Bapak-bapak pendiri Negara kita didalam penjelasan pasal ini menegaskan: dalam menyelenggarakan perekonomian kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Oleh karena itu cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara (bukan dimiliki). Kemudian ditegaskan lagi bahwa bumi (tanah dan air) dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selama pemerintahan Orde Baru dan hingga saat ini, bumi/tanah dan air dan kekayaan alam itu telah menjadi kemakmuran yang luar biasa sekali bagi oknum-oknum penguasa dan pengusaha, yang popular disebut dengan para konglomerat. Akibat dari krisis moneter dan kemudian menjadi krisis multi dimensional maka para konglomerat itupun meninggalkan hutang ratusan triliun rupiah yang terpaksa menjadi beban rakyat melalui APBN yang setiap tahunnya diatas Rp 50 triliun. Pengelolaan utang dalam dan luar negeri yang setiap tahun besarnya yang jatuh tempo bunga dan pinjaman pokoknya telah mencapai diatas seratus triliun harus dapat dikelola dengan baik. Pada saat ini utang didalam negeri telah menjadi lebih besar dari pinjaman luar negeri. Dan pinjaman dalam negeri tersebut didominasi oleh obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk merekapitalisasi perbankan yang besarnya kita-kira Rp 450 triliun. Oleh karena posisi anggota legislative mengawasi pengelolaan keuangan Negara baik penerimaan maupun pengeluaran maka idealnya setiap anggota legislative (DPR,DPD dan DPRD) harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keuangan Negara ini.
Kelima, adalah pasal 34 yang berbunyi: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Ketentuan ini adalah konsekwensi logis dari dasar Negara kita yang berbunyi: kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya setiap manusia tanpa mempersoalkan apapun bangsanya, agamanya, asal usul keturunan dan warna kulitnya, apabila dia menjadi fakir miskin atau anak terlantar, di wilayah hukum Republik Indonesia, apapun penyebabnya harus dipelihara oleh negara. Apalagi terhadap warga negaranya sendiri, tentunya jaminan sosial  itu harus lebih terselenggara dengan baik. Pelaksanaan yang demikian itu tentu masih jauh dari apa yang kita saksikan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di pihak lain sebagaian besar warga Negara Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan.
Dari mana dan bagaimana pembiayaan untuk melaksanakan keinginan-keinginan demikian Aberson menyatakan:
Dalam rangka mewujudkan hak-hak rakyat tersebut diatas, mutlak diperlukan pendanaan atau keuangan. Pasal 23 A UUD 1945 menetapkan, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara di atur dengan UU. Dengan demikian jelaslah bahwa sumber keuangan Negara yang utama adalah dari perpajakan itu. Dan yang dimaksud dengan pajak atau perpajakan adalah antara lain, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, bea masuk, cukai dan lain-lain. Disamping itu masih ada penerimaan Negara lainnya yang berasal dari bagian laba BUMN dan lain-lain. Dalam anggaran tahun 2003 jumlah pendapatan Negara diperkirakan Rp 336,1 triliun. Dari pendapatan sebesar itu, penerimaan dari perpajakan diperkirakan Rp 254 triliun (76%). Dari kontribusi perpajakan ini, dapat disimpulkan bahwa hidup matinya Negara kita kita tergantung dari penerimaan perpajakan. Sehingga siapapun yang akan menjadi Presiden atau anggota legislative (DPR,DPD dan DPRD) tidak akan mungkin dapat mensejahterakan rakyat apabila tidak dapat mengembangkan perpajakan. Jadi mereka, terutama Presiden harus memahami seluk beluk pendapatan atau penerimaan Negara yang berasal dari perpajakan itu. Apakah penerimaan perpajakan sebesar Rp 336 triliun sudah sesuai dengan yang seharusnya diperoleh oleh Negara atau oleh rakyat. Jawabannya jelas sangat tidak sesuai. Oleh karena, jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) baru mencapai 13,1%, termasuk memperhitungkan pajak daerah. Dinegara-negara Asean, kecuali Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar, besarnya pajak yang dipungut dibandingkan dengan PDBnya telah mencapai 16 – 18% dan sekarang Negara-negara tersebut sedang menuju tax ratio sebesar 20%. Tax ratio yang rendah itu membuktikan bahwa puluhan triliun atau bisa diatas seratus triliun setiap tahun uang rakyat tidak dapat dipungut.

Praktek yang merugikan rakyat banyak dapat terjadi disebabkan antara lain oleh adanya hambatan perundang-undangan, sehingga petugas pajak tidak dapat menakses informasi pendapatan wajib pajak oprang pribadi maupun badan-badan tertentu. Sebagai ilustrasi, didalam UU tentang perbankan semua rekening, giro, deposito, tabungan orang pribadi maupun bbadan dinyatakan rahasia. Sedangkan dokumen-dokumen tersebut memuat data keuangan para wajib pajak. Dipihak lain aparatur pajak harus menguji kebenaran dari Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak (SPT) orang pribadi maupun badan yang dihitung sendiri. Pengujian itu hanya dapat dilakukan apabila data keuangan wajib itu dapat diakses oleh aparat perpajakan.
Untuk membuktikan besarnya pajak yang tidak dapat dipungut itu dapat dilihat dari data berikut ini. Pada awal tahun 1998 Dana Pihak Ketiga (DPK) diperbankan nasional yang berupa giro, tabungan dan deposito masih sebesar Rp 358 triliun, . Pada bulan April 2001 telah berkembang menjadi Rp 850 triliun, walaupun perekonomian masih lesu.. pada bulan Maret dana pihak ketiga ini masih sebesar Rp 850 triliun. Dapat dipastikan bahwa sebagian besar dana pihak ketiga ini tidak dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Terutang (SPT). Petugas pajak tidak dapat mengakses data-data tersebut karena UU Perbankan menyatakan hal itu adalah rahasia.
Apabila dana sebesar itu dimasukkan dalam SPTnya, yakni dari Rp 850 triliun itu dikalikan dengan 30% untuk badan dan 35% untuk orang pribadi, berarti dapat menambah penerimaan perpajakan sebesar Rp 250 triliun. Begitu juga lalu lintas devisa setiap bulannya dapat 240.000 traksaksi. Jika setiap transaksi bernilai US $ 1000, omzetnya mencapai US $ 240 juta. Menurut UU lalu lintas devisa, transaksi ini dinyatakan rahasia. Dengan demikian aparatur pajak tidak dapat mengaksesnya, pada hal transaksi itu jelas adalah objek dari pajak penghasilan badan maupun orang pribadi
Didalam tahun 2004 , apabila tax ratio dapat ditingkatkan hingga 16% dan PDB sebesar Rp 2000 triliun, maka dari perpajakan saja kita dapat memperoleh Rp 320 triliun. Dan ditambahj dengan pendapatan Negara bukan pajak sebesar kira-kira Rp 80 triliun, maka volume APBN kita tahun 2004 menjadi Rp 400 triliun. Dengan APBN sebesar itu kita tidak perlu melakukan pinjaman luar negeri dan begitu juga APBN tidak lagi mengalami deficit. Dengan APBN sebesar itu maka dengan pinjaman alokasi anggaran maka pembangunan infra struktur ekonomi dan sosial dapat ditingkatkan.

MENDUKUNG BICAMERALISME
Meskipun visi-misi itu ditulis tahun 2004, tidak berarti itu muncul pada tahun itu. Visi demikian adalah pemikirannya sejak lama, yakni sejak ia mulai masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, FEUI dan aktip berorganisasi. Aberson sebagaimana ditulis dalam bagian (bab) sebelumnya adalah sosok yang sangat aktip berorganisasi baik itu dalam intra universiter, (seperti senat maupun dewan mahasiswa) dan extra universiter, yakni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang akhirnya bermuara pada Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, KAMI.
KAMI sebagaimana faktanya adalah organisasi mahasiswa yang dilahirkan tokoh-tokoh Orde Baru untuk mendukung perjuangan Orde Baru yang dalam slogannya akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. KAMI sebagai ujung tombak pendukung Orde Baru mngkritisi rezim sebelumnya yang jauh dari cita-cita ideologi dan konstitusi. Mungkin karena slogannya yang hebat itu, yakni akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, membuat Aberson tertarik masuk ke organisasi tersebut.
Akan tetapi keikutsertaan Aberson dalam organisasi ini  membuat posisinya  unik dan kontroversil. Disatu pihak ia, adalah Soekarnois sejati, namun dalam statusnya sebagai aktipis KAMI, disadari atau tidak ,iapun mendukung rezim Orde Baru yang menjatuhkan Soekarno.
Pandangan demikian mengemuka karena mereka yang mempelajari sejarah politik paham bahwa KAMI adalah alat menghancurkan PKI dan mempreteli kekuasaan Soekarno. Sebagaimana diakui oleh orang yang pernah dekat dengannya, yakni Rahadi Zakaria (anggota DPRD Jawa Barat fraksi PDIP periode 1999 hingga saat ini,  pernah menjadi wartawan dari beberapa media, seperti Simponi, Swadesi ,Fokus, Pelita, dan sewaktu mahasiswa aktip dalam GMNI) apabila ketemu dengannya selalu menyatakan bahwa ia sangat kagum kepada dua tokoh, yakni “Bung Karno dan pak Harto”. Bagaimana bisa seperti itu?, penulis tidak menanyakan lebih lanjut kepada Rahadi. Namun satu hal penting lagi dari pengakuan Rahadi yang mendukung konstalasi ini adalah bahwa Aberson  adalah figur yang sangat dekat dengan salah satu arsitek Orde Baru, yakni Ali Murtopo.
Ali Murtopo sebagaimana faktanya adalah salah satu tokoh sentral  yang berperan  memenangkan perjuangan Orde Baru. Dengan gayanya yang khas, ia berhasil mempengaruhi banyak kalangan agar memendukung cita-citanya,. Tidak terkecuali dan terutama adalah kalangan kampus yang dianggapnya sangat strategis, sebab institusi yang menghasilkan  calon-calon intelektual. Beliau terjun langsung menemui, melobby dan mempengaruhi tokoh-tokoh mahasiswa agar mengikuti perubahan yang sedang berlangsung.
Tokoh-tokoh mahasiswa ini bersama kekuatan-kekutan lain yang mendukung perjuangan Orde Baru pada akhirnya dikenal dengan sebutan eksponen 66. Tokoh-tokoh mahasiswa exponent  66 yang dekat dengan Ali ini selanjutnya membuat paguyuban yang bernama Yayayasan Pembangunan Pemuda Indonesia, YPPI, dimana Aberson menjadi sekretaris eksekutif didalamnya. Sekretariat mereka di Jl Raden Saleh, Cikini.
Posisi seperti itu yakni “Soekarnois yang merangkap sekaligus Soehartois” membuat dirinya semakin unik. Bagaimana itu bisa terjadi?,bukankah itu ibarat langit dan bumi? bukankah Soekarno menurut banyak kalangan condong ke kiri, sementara Soeharto sebaliknya? Membuat sintesa dari dua kutub yang berlawanan sebagaimana Soekarno dulu ingin menyatukan kaum nasionalis, agamis dan Marxist?, atau sekedar taktik supaya aman ditengah perubahan yang terjadi? Perlu penelitian lebih jauh dan tentunya bukan tujuan penulisa biografi ini. Yang jelas sosoknya unik. Dan keunikan ini tidak cukup disitu, sebab disisi lain beliau ternyata adalah orang yang sangat mengagung-agungkan, pola, tatanan atau sistem politik Amerika Serikat. Dalam berbagai pertemuan atau setiap kesempatan, ia selalu memuji-muji politik dan pemerintahan negara adidaya tersebut. Tiada pembahasan yang tidak bermuara kepada sistem politik Amerika Serikat. Ringkasnya ia ingin prosedur dan mekanisme politik yang dijalankan dinegara besar itu diterapkan di Indonesia.
Kalau dipikirakan lebih jauh sesungguhnya tidak hanya Aberson yang berperilaku demikian. Banyak kalangan tertentu yang berideologi tidak berkiblat ke AS , namun dalam perilaku politiknya mengikuti trend-trend yang berkembang disana. Khususnya para mahasiswa atau ilmuwan, intelektual dan inteligensia yang ada dinegeri ini, sadar atau tidak telah terbius dengan pola-pola AS. Doktor-doktor atau Ph D-Ph D politik yang ada di Indonesia  mayoritas belajar di AS.
Setelah pulang ke Indonesia, ilmuwan-ilmuwan yang menimba ilmu di Amerika Serikat tersebut, tanpa filter alias mentah-mentah menularkan ilmunya kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Kampus penuh dengan warna-warni Amerika, baik itu kurikulum, referensi, laboratorium dan lain-lain yang berhubungan dengan tradisi keilmuan. Bukan suatu hal yang baru atau istimewa, pasca Perang Dunia II, AS adalah satu-satunya Negara yang punya kekuatan ekonomi dan politik yang kuat Didalam menjalankan pengaruhnya, Negara ini menggunakan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan memberikan buku-buku tentang negerinya kepada seluruh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Perpustakaan-perpustakaan universitas dicekoki dengan buku-buku AS yang sudah diterjemahkan.Tidak terkecuali Aberson yang rakus membaca hanya membaca referensi yang berasal dari negeri paman tersebut.
Siapapun yang doyan membaca tentang politik dan pemerintahan pasti sudah kenal dengan referensi-referensi , buku-buku atau literature-literatur AS yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku-buku itu mendominasi calon dan cerdik pandai Indonesia. Pola-pola politik dan pemerintahan disana, disadari atau tidak menjadi parameter. Begitu pula khususnya tentang tatanan ekonominya, apa yang dikembangkan disana ditiru mentah-mentah disini. Mengapa bisa seperti itu? Pada hal guru besar-gurubesar disana sudah mengingatkan bahwa ilmu yang dipelajari disana adalah dari, oleh dan untuk orang Amerika.
Amin Rais yang pernah memberikan kuliah kepada penulis di pasca sarjana UGM mengakui hal itu, meskipun akhirnya,ia sendiri dituduh banyak kalangan sebagai pendukung utama politik dan pemerintahan Amerika Serikat. Mungkin sama kontroversinya dengan Aberson, ideologinya A manifestasinya B.
Konstatasi seperti itu dapat dilihat pada waktu Amandemen UUD 1945 yang dimotori Amin Rais. Disengaja atau tidak orientasinya amandemen itu adalah konstitusi, politik dan pemerintahan AS. Gaya-gaya politik yang ada disana diadopsi habis-habisan. Bahkan dalam beberapa hal  mungkin telah melampaui. Di AS sendiri pemilihan Presiden tidak selangsung yang dipraktekkan di Indonesia. Demikian pula Mahkamah Konstitusi yang dibentuk tidak dikenal dinegara adi daya tersebut. Di AS tugas-tugas  yang diemban MK dirangkap oleh MA.
Suatu loncatan besar kata Amin Rais pasca Amandemen UUD 1945. Jimly Asshiddiq yang terpilih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi mengakuinya. Menurut Jimly melihat pasal-pasal, ayat-ayat atau lembaran-lembaran yang bertamah amandemen UUD itu telah mengalami kemajuan 300%. Jadi sangat beralasan  bila ada kalangan tertentu, dari kalangannya Aberson, yakni Amin Aryoso cs yang menyatakan bahwa amandemen itu telah kebablasan. Sebaliknya Aberson adalah pendukung amandemen.
Aberson tidak seujung rambutpun gentar mendukung amandemen meski partainya cenderung menolak. Pada waktu amandemen dimulai, beliau adalah anggota PDIP yang paling lantang bersuara. Meski partai sering menegur,memarahi atau mengancamnya, ia tetap tegar pada pendapatnya Suatu sikap yang diwarrisi sejak berpartai, dari PNI, PDI hingga PDIP.
Bak “elang yang terbang sendiri” di PDIP Aberson mendukung habis-habisan amandemen, khususnya mengenai pembentukan “sistim perwakilan dua kamar dan pemilihan langsung”. Sistim perwakilan dua kamar yang dalam teori politik perwakilan popular dengan sebutan “bicameral” adalah cita-citanya sejak lama. Sejak ia mungkin mempelajari text book-text book Amerika Baginya dengan dua kamar parlemen, proses dan mekanisme politik akan semakin memperkuat lembaga perwakilan tersebut mengimplementasikan kedaulatan rakyat. Inilah alasan mengapa ia begitu berapi-api memperjuangkannya pada waktu amandemen dimulai, sementara partainya PDIP mengambil jalan konservatif alias menolak sistem bikameral. Konon, karena Aberson  getol dan vocal memperjuangkannya, ia diperingati oleh partainya. Dia diperingatkan agar tidak asal bicara, karena biar bagaimanapun ia adalah anggota partai. Dia diminta untuk bisa memilah-milah mana yang pantas dikomentari  atau tidak (Media Indonesia, 18 Agustus 2000).
Namanya Aberson peringatan tinggal peringatan. Sejenak,  mungkin ia akan diam. Namun tidak lama kemudian  mulai lagi kebiasaannya, yakni tidak pernah berhenti berkomentar, termasuk untuk terus menggoalkan sistim bicameral, meski partainya tetap menolak. Ia mempunyai argumen yang mengalahkan peringatan fraksi, yakni bahwa bicameral tidak bertentangan bahkan memperkuat UUD 1945. Peringatan fraksi adalah untuk fraksi, bukan untuk Aberson yang berprinsip mewakili rakyat dan tidak mewakili fraksi atau partai..Ia tetap tegar dengan pendapat itu. Bagaimana detail dan rinci pendapatnya tentang sistim bicameral dapat kita baca pada visi dan misinya sewaktu mencalonkan diri menjadi anggota DPD dari daerah pemilhan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (DKI Jaya) pada pemilu 2004. dalam visi misinya ia menulis:
Pada amandemen UUD 1945 didalam pasal 22 C telah ditetapkan satu lembaga yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Fungsinya adalah mewakili rakyat dan wilayah dalam propinsi yang menurut Undang Undang Pemilu ditetapkan 4 (empat) wakil setiap propinsi. Walaupun belum sama kedudukan dan wewenangnya DPD itu dapat disebut seperti lembaga Senat di Amerika Serikat, yang diwakili dua senator tiap Negara bagian. Di dalam pasal 22 D UUD 1945 wewenangnya antara laian, mengajukan rancangan dan membahas Undang Undang yang berhubungan dengan Otonomi Daerah kepada DPR, memberikan pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang (RUU) tentang APBN dan lain-lain. Kalau dilihat dari jumlah pemilihnya yang lebih besar, seharusnya tugas dan wewenang anggota DPD lebih kuat atau sama dengan anggota DPR. Hal ini disebabkan anggota DPD hanya empat orang setiap propinsi, sementara untuk anggota DPR dari DKI berjumlah 18 orang. Di Amerika Serikat kedua badan legislative itu mempunyai tugas dan kewenangan yang sama, yaitu House of Representatif (DPR) dan Senat (DPD). Begitu juga penghasilannyapun sama besar yaitu 57.500 dollar AS pertahun (take home pay).

Pernyataan visinya ini membuktikan keterangan-keterangan sebelumnya betapa ia sangat mengagumi sistim politik Amerika Serikat. Meskipun wewenang atau fungsinya belum sama dengan sistim perwakilan disana, Aberson tetap berharap suatu saat wewenang atau fungsi itu akan sejajar sebagaimana dikatakannya dibawah ini:
Ketimpangan ini tentunya harus diperbaiki. Dan inilah antara lain tugas komisi konstitusi. Komisi konstitusi telah ditetapkan oleh MPR untuk melakukan pengkajian secara komprehensif dan konseptual hasil amandemen pertama sampai keempat. Saya mengharapkan komisi konstitusi akan menetapkan atau mengakomodir sistem bicameral murni dimana badan legislative terdiri dari dua badan, sehingga pada sidang umum MPR tahun 2004 legislatif itu terdiri dari DPR (House of representative) dan DPD (Senat)

Jelas, terang dan kongkrit, Aberson adalah insan yang 100% atau 24 krat pendukung sistim bikameral sebagaimana yang dipraktekkan di Amerika Serikat. Untugnya apabila sistim itu diterapkan di Indonesia, akan menciptakan kestabilan politik, pertumbuhan ekonomi dan sosial yang mantap sebagaimana yang dialami negara super power tersebut. Tidak cukup disitu, iapun mengajak Indonesia supaya mengacu kepada konstitusi Amerika Serikat. Untuk lebih jelasnya ditulis dibawah ini:
Selama 200 tahun lebih Amerika Serikat melaksanakan sistem bicameral tersebut ternyata telah mengarahkan secara evolutif pembentukan institusi kenegaraannya dan telah menyediakan dasar kestabilan politik, pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial yang mantap. UUD Amerika Serikat itu adalah UUD tertulis dan yang berlaku paling lama diseluruh dunia sehingga ajaran-ajarannya menjadi acuan bagi negara lama maupun negara baru, termasuk Indonesia.

Aberson begitu yakin apabila sistem demikian, yakni sistem bicameral dan sistem presidensil telah diadopsi seutuhnya oleh UUD 1945, maka proses, mekanisme dan sistem politik MPR kita akan sama dengan Kongres di Amerika Serikat, yang berfungsi hanya sebagai forum atau sessi gabungan (joint session) untuk pengambilan semua keputusan Rancangan Undang Undang, termasuk UU APBN.
Sebagaimana Kongres  AS yang sehari-harinya dipimpin oleh Wakil Presiden, MPR seharusnya juga mengadopsi hal demikian, yakni dipimpin oleh Wakil Presiden, sehingga “Checks and Balances” antara kekuasan legislative dan eksekutif terjadi di MPR, seperti yang berlangsung dalam Kongres j AS. Tidak seperti yang berjalan selama ini, dimana MPR tidak sekedar sessi gabungan. Malah sebaliknya dilembagakan penuh dengan mengangkat Ketua dan Wakil-Wakil Ketua tersendiri, sebagaimana DPR dan DPD,. Tidak keliru kalau ada kalangan tertentu yang menyebutkan bahwa sistim parlemen kita adalah trikameral (tiga kamar)
Harapan tinggal harapan. Keinginan membuat DPD sama dengan Senat di AS masih menuai kontroversi. Fungsi mereka tak lebih tak kurang hanya sebatas pemberi saran dan pertimbangan. Belum mempunyai kekuatan legislative seperti DPR . Seharusnya lembaga ini lebih legitimate daripada DPR,karena mereka dipilih langsung dalam pemilu dan jumlahnya lebih kecil ketimbang anggota DPR. Mengapa bisa terjadi seperti itu?, Purwo Santoso dari UGM menjawab,  karena sejak lahir memang sudah cacat. Cacat karena DPR yang terlibat dalam amandemen tidak bersedia mengadopsi sistim bicameral yang diajukan penganjurnya. Gagasan bikameralisme kuat adalah gagasan teknokrat kampus yang terlibat dalam Badan Pekerja MPR. Usulan mereka secara ilmiah masuk akal, namun tidak bisa diterima secara politik (Kompas, 27 Maret 2004)
Meski DPD terus berupaya untuk memperkuat peran melalui usulan amandemen, DPR kelihatannya tidak akan meloloskan impian itu. Perjuangan DPD  menggalang tanda tangan supaya amandemen dilakukan belum memenuhi persyaratan Anggota-anggota DPR yang sebelumnya telah menandatangani supaya dilakukan amandemen kembali menarik dukungannya. PAN yang dikenal sebagai motor reformasi dengan dalih bahwa mayoritas fraksi tidak mendukung amandemen, maka PAN juga menarik dukungannya.
Berbagai argument dimajukan mengapa mereka menolak amandemen. Ada yang mengatakan terlalu cepat, Indonesia tidak menganut bicameral, DPD adalah instrumen federal, dan sekian alasan lagi. Mudah-mudahan tidak seperti yang dikatakan Purwo Santoso bahwa DPR memang tidak mau berbagi wewenang legislatif dengan DPD . Kalkulasinya sederhana, bila DPD diberi kewenangan sama dengan DPR, maka rezeki DPR akan berkurang. Oleh karena itu biar saja DPD seperti itu, yakni hanya sekedar soft bicameralism, bukan bicameral penuh sebagaimana dicita-citakan Aberson dan banyak pihak lainnya.

PEMILIHAN LANGSUNG
Selain konsep bicameral yang membuat Aberson berseberangan habis-habisan dengan partainya, PDIP  adalah masalah “sistim pemilihan”. Aberson menginginkan supaya sistim pemilihan Presiden adalah langsung dipilih oleh rakyat. Sebaliknya PDIP cenderung mempertahankan sistim lama, yakni tetap melalui mekanisme MPR. Dua pandangan yang saling bertolak belakang, yang sudah tentu sukar dipertemukan.Bagaimana menyatukan yang satu ke utara, yang satu keselatan?
Akan tetapi sebagaimana disebutkan diatas, yakni ketika memperjuangkan habis-habisan sistim bicameral, Aberson pun menjadi bulan-bulanan partai. Beliau kembali menjadi kontroversil di PDIP dan cenderung dijauhi rekan-rekannya. Koleganya yang patuh kepada partai dan tak punya nyali seperti Aberson menghindar, sebab takut nanti dicap sebagai pengikutnya, atau takut direcall. Hal-hal seperti ini sudah bukan rahasia lagi pada waktu itu. Para pimpinan partai akan memakai mata-mata mengawasi siapa-siapa yang dekat dengan sosok kontroversi ini.
Akan tetapi meski dijauhi teman-temannya dan dituding sebagai melawan (mbalelo) kepada “garis partai”, ia tetap tidak bergeming. Baginya garis partai itu tidak pernah jelas karena tidak pernah dijabarkan dengan kongkrit. Sayup-sayup dan sekilas-sekilas memang terdengar, namun kalau diseriusin mendengarnya kembali tidak jelas. Apakah kepentingan segelintir, atau satu orang yang bertepatan berkuasa, itu yang disebut garis partai?
 Karena tidak jelas, konsekwensinya tidak perlu dituruti. Masa mengikuti yang samar-samar, yang arahnya tidak jelas..Mengikuti yang jelas saja belum tentu berhasil, apalagi yang buram. Coba jelaskan apa itu garis partai, urainya berkali-kali kepada rekan-rekannya. Temannyapun biasanya selalu kalah berdebat kalau menyangkut hal-hal seperti itu. Selain karena kurang pengalaman, teman-temannya ini pada umumnya lebih mudah dari beliau. Jadi tidak usah heran apabila berdebat, Aberson selalu unggul.
Aberson sebagaimana dikatakan Poltak Sitorus selalu membahas sesuatu secara paripurna, tidak sepotong-sepotong. Dengan kata lain menyeluruh,seksama,rinci, mendetail, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, yakni UUD, UU dan fakta-fakta lapangan. Pasal-pasal, ayat-ayat yang ada pada UUD, UU dihafal dengan luar kepala. Ditambah lagi dengan pengetahuannya yang luas akan berbagai hal, khususnya saat-saat suatu peristiwa/event/fenomena itu berlangsung dihafalnya dengan tepat. Maksudnya tanggal, bulan dan tahun dari peristiwa itu terjadi diketahuinya dengan pasti. Kemampuan seperti ini membuat sosoknya sukar ditandingi.
Boro-boro menandingi, melihat UUD dan UU saja anggota-anggota DPR yang lain tidak pernah. Meminjam pendapat Surjadi, anggota-anggota DPR pada umumnya hanyalah sekedar politisi, tidak punya skill sebagaimana yang dimiliki Aberson.. Aberson tidak jebolan fakultas hukum, namun sangat menguasai hukum/UUD, UU dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya. Tidak alumnus fakultas social-politik, namun sangat piawai dalam bidang itu.
Tidak perlu kaget, kalau ia selalu mbalelo kepada partai atau garis partai yang menurutnya tidak pernah jelas itu.Hal-hal seperti itu, yakni adanya peringatan, gertakan hingga ancaman bukan lagi barang baru baginya. Mungkin hanya sekedar main-mainan kecil, meminjam istilah Amin Rais hanya “ece-ece”. Karena ece-ece, tidak perlu dihiraukan.
Dengan semangat yang menyala-nyala, bak diesel yang semakin lama semakin panas, Aberson terus bersuara lantang supaya Pemilihan Presiden secara langsung segera direalisasikan. Partai yang mengeleminirnya tidak berdaya apa-apa, karena  Aberson punya satu kelebihan tersendiri, yakni kedekatannya dengan para wartawan. Para kuli tinta yang terus mengelilinginya tidak pernah berhenti mempublikasikan pendapat-pendapatnya kepada masyarakat..
Pikiran-pikiran Aberson yang mendukung pemilihan presiden secara langsung hampir setiap hari menghiasi halaman-halaman surat kabar nasional maupun local. Gaya bicaranya yang blak-blakan, merakyat dan gampang dicerna membuat para pembaca senang dan tertarik membacanya. Tidak seperti partainya yang mencari-cari dalih supaya pemilihan langsung digagalkan. Berita seperi ini sudah tentu tidak popular bagi pembaca.
  Seperti elang yang terbang sendiri membelah angkasa, angkasanya PDIP nan konservatif, beliau terus terbang kemana ia mau. Karena beliau juga adalah penggemar burung walet yang tahan terbang 48 jam terbang tanpa henti, membuat penerbangannya semakin melesat jauh melewati burung-burung lain di PDIP yang terbang rendah. Seujung rambutpun ia tak pernah gentar dengan penerbangannya itu. Termasuk dengan ancaman recall, ia tidak pernah takut.
Urat takutnya hilang dengan sendirinya, apabila ia memperjuangkan kebenaran yang diyakininya, yakni kebenaran yang bersumber menurut UUD 1945. Dimanapun, kapanpun  dia berada , mungkin hingga kenegeri Cina atau kelangit ketujuh sekalipun prinsip-prinsip demikian akan terus dipertahankankannya. Contoh untuk itu sudah banyak ia lakoni. Ketika beliau menjadi anggota Badan Pekerja MPRS, ia tetap membela Bung Karno (dalam sidang Umum lembaga tersebut), walaupun suasana politik sudah mendiskreditkan pemimpin besar revolusi itu. Dia diejek, dihujat sebagai ASU dan diteriakin dengan huuuu…uuu, tetap konsisten dengan prinsip. Ketika Abdul Madjid menandatangani fusi PNI bergabung menjadi PDI, ia menentangnya sehingga tidak dimasukkan dalam jajaran pengurus. Begitu pula ketika ia anggota DPR dari PDI , tiap bulan Suryadi memintanya mundur karena kerapkali bersuara keras.
Suatu sikap yang umumnya diemban seorang cendekiawan, ideolog atau filosof bukan seorang politisi. Cendekiawan sebagaimana hakikinya adalah insan yang konsisten kepada kebenaran yang diyakininya. Lain hal bagi seorang politisi, yang menganggap kebenaran atau moral hanyalah sekedar instrumen atau blue print untuk mencapai tujuannya (Knopfelmacher, 1968). Sebagaimana diakui sahabat lamanya, Poltak Sitorus, Aberson itu sesungguhnya bukan tipe seorang politisi atau organisatoris, melainkan seorang pemikir atau ideolog,  yang dapat mengorganisir atau mensosialisasikan pikirannya sehingga diketahui khalayak ramai.
Sebagaimana perjuangan politik yang tidak pernah mulus, perjuangannya untuk mewujudkan pemilihan presiden secara langsung juga tidak pernah mulus. Selalu mengalami jalan yang cukup terjal, berliku-liku, yang tak jarang hampir-hampir menimbulkan frustasi. Kalau bukan karena fisik dan psikis yang kuat, plus ketekunan dan kesabaran yang prima, perjalanan akan lain. Betapa tidak? Persoalan yang muncul banyak yang tidak rasional, alias aneh-aneh
Aneh bin unik, sebab pada waktu tahap pertama amandemen digulirkan,mayoritas fraksi di PAH I MPR sudah menyetujui pemilihan presiden secara langsung sebagaimana pesan reformasi. Namun entah mengapa keinginan itu kandas, karena power politik yang kemudian berlangsung didalamnya tidak menemui kesepakatan penuh. Konon fraksi terbesar di MPR, yakni PDIP  menolak usul tersebut. Daripada forum dead lock pembahasan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung untuk sementara dibatalkan
Betapa kesalnya Aberson melihat pembatalan pemilihan presiden secara langsung itu dalam amandemen tahap pertama, dapat dilihat dari hasil wawancaranya dengan Media Indonesia ,12 Juni 2000:
Saya sangat sesalkan. Pemilihan langsung itu sudah saya usulkan pada kongres di Bali 1998. Alasan saya, kita harus membaca Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Jadi bukan MPR yang berdaulat, tapi rakyat. Rakyat yang berdaulat itu bisa langsung membentuk kekuasaan, termasuk kekuasaan eksekutif.

Penyesalan atau kegalauan ini baginya sangat beralasan, selain ia sudah mengusulkan itu pada kongres di Bali dan semua waktu itu setuju, adalah alasan konstitusional/UUD. Dalam UUD 1945 dengan jelas dikatakan bahwa kita menganut sistim presidensil. Ini berarti legislative dan eksekutif harus dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, bukan melalui lembaga perwakilan. Mengapa ditolak?. Bukankah itu juga tuntutan reformasi yang sedang berhembus? Tidakkah itu demi mewujudkan kedaulatan rakyat? Bukankah itu keinginan Bung Karno sejak lama?
Salah satu tuntutan reformasi adalah amandemen UUD 1945 supaya sesuai dengan perkembangan jaman yang sudah sangat berubah. Tujuan utama adalah untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Tidak direkayasa sebagaimana yang berlangsung dalam era Orde Baru. Rakyat dikebiri, dibodohi, dirampas kedaulatannya dengan mengatasnamakan sistim yang ada oleh segelintir elit sebagaimana disinyalir Aberson sejak Orde Baru dicanangkan. Lebih lengkapnya ia menyatakan:
Sudah cukup rakyat lama dibohongi dan kedaulatan rakyat dirampas oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya wakil rakyat dan ketua partai. Dimana kepentingan rakyat selama ini diabaikan, bahkan sering kepentingan rakyat banyak dikalahkan oleh kepentingan sekelompok orang yang berkuasa. Ironisnya, semua kebohongan dan perampasan kedaulatan rakyat itu, dilakukan dengan mengatasnamakan rakyat. Semua ini harus dihentikan (Jakarta,31 Juli 2002)

Jadi agak ironis, jika PDIP yang lahir dari perut reformasi menolak tuntutan-tuntutan reformasi. Dengan berbagai dalih, seperti rakyat belum siap, akan terjadi konflik horizontal, tidak sesuai dengan sila keempat Pancasila, musyawarah mufakat dan lain-lain argumen,partai pemenang pemilu ini menolak habis-habisan pemilihan presiden secara langsung dan terus berupaya agar pemilihannya tetap melalui  MPR. Aneh betul, fraksi atau partai yang seharusnya mengartikulasikan aspirasi arus bawah, malah sebaliknya memperjuangkan kepentingan-kepentingan kaum konservatif.
Mengapa bisa terjadi seperti itu, Aberson menuding elit-elit yang ada dalam lingkaran partai moncong putih itu hanya sekedar “berpolitik praktis”, hanya sekedar memperjuangkan kepentingan sempit, bukan demi kepentingan yang lebih luas, seperti kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Komitmen mereka terhadap kedaulatan rakyat sangat tipis. Mereka mempunyai visi lain. Mereka tidak mau perubahan UUD 1945, tidak mau menghapuskan dwi fungsi ABRI, tidak mau pemilihan langsung. Figur-figur ini menurut Aberson adalah Dimyati Hartono, Sabam Sirait, Soetardjo Surjogoeritno, Alex Litaay, Eros Djarot, Tarto Soediro, Haryanto Taslam, termasuk Theo Syafei (Media Indonesia,19 Maret 2000)
Kekesalan Aberson dengan pikiran-pikiran PDIP yang menolak pemilihan langsung, disisi lain tidak terlepas dari figur ketua umumnya, Megawati yang tidak tegas. Megawati yang dikenalnya sejak lama, yakni sejak mulai terjun ke dunia politik adalah Megawati yang konsisten menegakkan kedaulatan rakyat Namun setelah menjadi pemimpin partai dan pemenang pemilu, konsistensi itu  luntur. Bagaimana kekesalannya dapat dibaca dibawah ini:
Menegakkan kedaulatan rakyat itu tergantung komitmennya.Saya kurang paham dengan rekan-rekan saya di PDIP ini, termasuk juga disini Mbak. Walaupun Mbak Mega mengatakan nanti kalau SU-MPR menetapkan pemilihan langsung, saya setuju saja. Sebetulnya Mbak Mega jangan bersikap begitu. Kita harus tegas, mau menegakkan kedaulatan rakyat atau tidak. Bukankah Mega sendiri yang menyatakan pada awal 1996 bahwa ia mau jadi presiden kalau dikehendaki rakyat? Itu  artinya sama dengan pemilihan langsung(Media Indonesia, 12 Juni 2000)

Bagaimana dan mengapa Mega bertindak seperti itu, mungkin banyak penyebabnya. Tulisan ini untuk sementara tidak membahas itu. Hanya (barangkali) bagi Aberson, agak kontradiktif dengan pikiran-pikiran ayahnya, Bung Karno. Bung Karno sejak lama sudah setuju dengan pemilihan langsung. Pertama sekali Bung Karno mengajak pemilihan langsung adalah pada tahun 1959. Pada waktu itu ia meminta agar segera diadakan pemilihan langsung, namun ditolak TNI Angkatan Darat dengan alasan rakyat belum siap. Kedua, pada tahun 1963, kembali Bung Karno menawarkan pemilihan umum secara langsung. Namun lagi-lagi ditolak oleh pimpinan TNI Angkatan Darat (Jakarta,31 Juli 2000)
 Meskipun usulnya terus ditolak pimpinan TNI Angkatan Darat, Bung Karno tidak pernah surut memperjuangkan hal demikian. Dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika kekuasaannya mulai dipreteli, ia tetap tegar dengan konsep pemilihan langsung. Bung Karno sadar betul bahwa pemilihan langsung adalah alat yang terbaik mewujudkan kedaulatan rakyat, bukan diluar itu.
Demikianlah pesan pemimpin revolusi ini sewaktu ia mulai diasingkan pada tahun 1966. Pernyataan itu disampaikan dalam suatu pertemuan khusus dengan tokoh-tokoh PNI yang setia kepadanya, termasuk Aberson. Dengan kalimat yang lain, namun maksud yang sama Bung Karno mengatakan “hanya kekuasaan legislative dan kekuasaan eksekutif yang dibentuk langsung oleh rakyatlah yang akan berpihak kepada rakyat. Sedang kekuasaan legislative dan eksekutif yang dibentuk dengan rekayasa,pasti akan menyengsarakan rakyat (Jakarta, 31 Juli 2000)
Pernyataan politik Presiden pertama itu sebenarnya melekat pada diri Megawati Soekarnoputri. Bahkam menjadi pegangan politiknya. Hal itu terlihat setelah megawati terjun ke dunia politik atau menjadi anggota PDI. Dimana Megawati berkata, bahwa dirinya mau menjadi Ketua Umum PDI asal dipilih oleh floor (forum yang tidak direkayasa). Demikian juga setelah menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoiputri kembali menegaskan pada kongres di Bali, bahwa dirinya siap menjadi Presiden asal dikehendaki rakyat.
Mengapa Megawati akhirnya bertindak demikian tidak akan ditulis dalam bagian ini, melainkan dalam satu sub bab tersendiri setelah sub bab ini. Namun apapun dalihnya Aberson tetap kecewa, karena Mega tidak konsisten pada pendiriannya. Tidak tegar meneruskan perjuangan ayahnya. Aberson sungguh-sungguh gondok, kesal dan galau. Kok jadi gini, mungkin itu yang ada dibenaknya.
 Akan tetapi kekecewaan ini kelihatannya tidak berlangsung seterusnya.Bak pesan ibu Kartini, habis gelap terbitlah terang, dan novel Marga T, badai pasti berlalu, kekecewaan itu hanyalah “kebahagiaan yang tertunda”.Soalnya tidak berapa lama kemudian, yakni dalam amandemen tahap III tahun 2001, MPR dengan manis, tanpa sedikitpun gejolak mensepakati pemilihan langsung presiden. Kesepakatan ini tertuang dalam pasal 6A ayat 1 UUD 1945 yang sudah diamandemen.Pasal ini berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan dipilih langsung oleh rakyat.
Aneh tapi nyata. Dalam amandemen selanjutnya, yaitu amandemen IV tahun 2002, PDIP kembali berupaya mementahkan pemilihan langsung ini. Berbagai ikhtiar mereka tempuh dengan intens. Anggota-anggota DPR yang tidak setuju pemilihan langsung dan mayoritas dari PDIP digalang dengan membuat pernyataan yang ditandatangani. Membuat suatu lembaga yang namanya Geram, gerakan rakyat menolak amandemen yang dimotori Amin Arjoso untuk mempengaruhi public opinion dan lain-lain upaya membatalkan pemilihan langsung.
Suasana kembali memanas. Suhu politik meninggi antara yang pro dan kontra pemilihan langsung. Aberson bak singa yang dibangunkan dari tidurnya kembali bereaksi. Sebagaimana kritikan-kritikannya yang tajam,menohok dan tidak jarang membuat telinga yang dikritiknya merah, melesat menghiasi halaman-halaman surat kabar ibukota dan daerah-daerah. Ruangannya tiap hari dipenuhi wartawan.
Reaksi atau kritikan yang cukup pedas dan menyengat dilontarkannya pada harian Tempo,Juli 2002. Dia mengatakan “PDI Perjuangan telah teledor”, sebab pada amandemen ketiga PDIP menyetujuinya. Kenapa kemudian menolak? Mengapa mereka tidak berjuang habis-habisan kala itu?  Lebih jelasnya ia mengatakan:
Menurut saya, PDI Perjuangan sudah teledor. Kalau sikap resmi partai menolak, kenapa bisa lolos. PDIP mau tidak mau – harus menyesuaikan dengan hasil amandemen konstitusi. Toh amandemen ini telah disetujui PDIP. Tarik menarik ini sangat mungkin menimbulkan instabilitas politik. Kredibilitas partai bisa jatuh

Ketika  pro kontra pemilihan langsung sedang alot-alotnya dalam Sidang Umum MPR dan ada sinyal akan dibatalkan, Aberson membuat tanggapan yang cukup keras. Tanggapan ini ditulis dalam harian Jakarta,31 Juli 2002 yang menyatakan “jika pemilihan presiden tidak langsung, rakyat harus bersatu memboikot pemilu 2004. lengkapnya ia mengatakan:
Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 sudah waktunya dilakukan secara langsung. Dimana jabatan anggota DPR maupun jabatan Presiden dan Wakil Presiden harus dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Jika pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ST-MPR) Agustus 2002 diputuskan ditunda pelaksanaan pemilihan umum secara langsung hingga tahun 2009, rakyat harus bersatu memboikot Pemilu 2004.

Memboikot dalam arti tidak memberikan suaranya pada pemilu 2004. Mereka berdiam diri saja dirumah. Tidak usah datang ke TPS-TPS, sehingga tiada pilihan lain bagi pemerintah selain melaksanakan pemilihan langsung.
Namun yang cukup menarik dari pernyataanya itu adalah bahwa yang dipilih langsung tidak hanya Presiden/Wakil presiden melainkan juga adalah pemilihan anggota DPR. Anggota DPR sebagaimana pemilihan Presiden harus dipilih secara langsung, tidak sebagaimana yang berlangsung selama ini memilih kucing dalam karung. Suatu obsesi atau cita-cita yang sudah lama dibenaknya, yaitu pemilihan anggota DPR dengan “sistim distrik” sebagaimana yang ditulisnya dalam “Manifes Pemilihan Umum Tahun 1997”, yakni pernyataan pendirian politik PDI. Kongkritnya ia menyatakan:
Oleh karena yang dimaksud dengan MPR, DPR dan DPRD yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat tersebut adalah anggotanya secara perorangan, maka pemilihan umum yang berdasarkan system UUD 1945 haruslah memilih orang. Bukan memilih organisasi, sebagaimana yang berlangsung selama lima kali pemilihan umum yang terakhir. Sehubungan dengan itu, Partai Demokrasi Indonesia berpendirian bahwa pemilihan umum harus memilih orang sebagai wakil rakyat untuk duduk di MPR, DPR dan DPRD atau badan permusyawaratan dan perwakilan rakyat. Dengan demikian Partai Demokrasi Indonesiapaun berpendapat bahwa system pemilihan umum yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah “system distrik”. Adapun distriknya adalah Propinsi DATI I serta DPRD Tk I harus ditiadakan. Oleh karena tidak mempunyai rakyat dan daerah tersendiri.

Aberson sudah lama menginginkan sistim distrik untuk pemilihan anggota DPR, Jauh sebelum amandemen berlangsung. Selain sistim demikian yang paling menjamin berlangsungnya kedaulatan rakyat, adalah tuntutan masyarakat sejak era reformasi berhembus. Aneh bin ajaib, dalam pemilu 2004 DPR masih melakukan sistim proporsional terbuka yang dalam prakteknya masih tetap seperti pemilu-pemilu sebelumnya, yakni proporsioanl tertutup. Saat penulisan ini sedang berlangsung pembahasan UU Pemilu, apakah terus seperti itu atau sudah sistim distrik, mari sama-sama kita saksikan.

WAKIL RAKYAT, BUKAN WAKIL PARTAI
Ciri khas utama Aberson yang membuatnya tenar sekaligus kontroversil adalah pernyataannya bahwa ia adalah wakil rakyat bukan wakil partai. Kemanapun, dimanapun dan kapanpun, ia selalu menyatakan demikian. Tidak sekedar bicara dalam kenyataannya memang ia mempraktekkan diri sebagai wakil rakyat sungguhan. Tidak wakil rakyat formalitas bin rekayasa yang hanya nunduk-nunduk pada kemuan penguasa. Atau hanya cari selamat diri, yang pada era orde baru dulu popular dengan istilah D5, “datang, duduk, dengar, diam, duit”.
Ia datang,memang datang. Duduk tapi juga berdiri. Dengar, tidak sekedar mendengar tapi juga menanggapi. Diam, sungguh-sungguh ia tidak mau diam. Duit?, wajar kalau sudah berbuat dapat duit. Orang aneh namanya jika sudah bekerja tidak mau duit. Aberson berpendirian bahwa yang membayarnya adalah rakyat, bukan ketua partai, bukan ketua DPR, bukan si Jenderal, bukan si Polan, bukan si Anu atau siapapun itu yang ada dalam lingkaran kekuasaan atau dalam kategori elit. Rakyat membayarnya melalui pajak, khususnya pajak yang tidak disadarinya, yakni pajak tidak langsung
.Karena sudah dibayar harus melayani rakyat sebaik-baiknya. Tidak saja bersuara lantang dikompleks Senayan, tapi juga diluar itu, diseluruh tumpah darah Indonersia dari Sabang sampai Merauke, sebagai konsekwensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia adalah orang yang konsisten melawan orde Baru, melawan Suharto yang otoriter tanpa mengenal takut, kata AP.Batubara pada waktu memberi sambutan ketika Aberson meninggal. Ia pantas diteladani katanya, sebagaimana juga pengakuan Roy BB,Janis dirumah duka. Aberson menurut Roy adalah tokoh yang taat asas, taat pada UUD 1945.
Tindakan-tindakannya yang melawan arus sudah dimulai sejak ia menjadi juru bicara PNI dalam Sidang Umum MPRS tahun 1966. Ketika itu ia membela dan mempertahankan Bung Karno, dimana kemudian pidatonya dianulir dan dia disuruh mengundurkan diri. Pada waktu, ia menjadi anggota DPR tahun 1987 dari PDI, tindakan-tindakan melawan arus inipun terus bergema, bahkan semakin nyaring ketimbang era-era sebelumnya.
Suryadi yang selalu memperingatkan dirinya agar tidak berbicara sembarangan diluar bidangnya, yakni APBN, tidak pernah digubrisnya. Suryadi mewanti-wanti apabila itu menyangkut masalah politik sebaiknya dibicarakan dulu dengan ketua umum. Hal yang sama diisarankan Suryadi untuk Kwik Kian Gie yang juga lantang bersuara. Kwik sebagaimana faktanya, adalah sosok yang juga rajin melontarkan ide-ide yang berlawanan dengan selera penguasa. Ide-ide ini misalnya adalah agar PDI membentuk  “cabinet bayangan” yang mengundang kontroversil dan membuat penguasa berang.Begitu pula ketika ia, menyatakan bahwa UUD 1945 tidak bertentangan dengan semangat kapitalisme, riuh rendah orang menanggapinya.
 Salah satu pernyataan yang membuat Suryadi, PDI khususnya marah kepada Aberson adalah ketika , Aberson menyatakan bahwa PDI belum tentu memilih Suharto dalam Sidang MPR tahun 1993. Bagaimana Aberson menyatakan hal yang sangat ditabukan saat itu, yakni  dalam suasana politik yang memaksa 100% mendukung Suharto? Demikan pula masalah-masalah politik sensitive yang lain, seperti ketika, ia menyatakan agar fraksi ABRI di DPR dibubarkan. membuat beberapa kalangan tersentak. Tidak saja dari kalangan ABRI, melainkan teman-temannya sendiri dari PDI yang masih mendukung eksitensi dwifungsi. Akan tetapi karena bukan Suryadi lagi yang menjadi ketua umum PDI pada waktu, melainkan sudah Megawati , Aberson tidak mendapat teguran atau ancaman direcall dari ketua partai. Malah sebaliknya Megawati membela Aberson. Megawati mengatakan untuk apa merecall kalau yang disampaikan Aberson tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pembelaan tersebut disampaikan Megawati menanggapi permintaan ketua DPD PDI Jawa Tengah, Soemario yang menemuinya untuk merecall Aberson akibat pernyataanya itu plus penolakannya terhadap APBN 1996/1997. Sedangkan menurut Markus Wauran, yang menjabat sekretaris fraksi pada waktu itu permintaan Soemario dan kawan-kawan untuk merecall Aberson , selain kedua alasan yang sudah disampaikan adalah kebiasaannya yang sering mengatas namakan partai untuk pernyataan-pernyataan pribadi. Suryadipun sebelumnya pernah menyampaikan hal yang sama, yakni seringnya Aberson mengeluarkan pernyataan yang sesungguhnya adalah pendapat pribadi, namun mengatasnamakan partai. Begitu pula dalam menyampaikan sesuatu sering keluar dari jalur yang sudah disepakati oleh partai., atau membuat improvisasi dan penafsiran sendiri.
Pernyataan Aberson untuk membubarkan fraksi ABRI pada waktu itu terkait dengan pernyataan Suharto saat menerima peserta Rapim ABRI setelah Faisal Tanjung menjadi Pangab tahun 1993, yakni agar ABRI sebagai kekuatan sospol harus bisa mengambil posisi yang tepat. Bisa ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Untuk itu ABRI harus terus menerus mulat sarira hangrasawani. Artinya, bahwa peran ABRI yang ing madya mangun karsa saat ini, yakni aktif dijabatan-jabatan politik, namun aktif juga sebagai ABRI, sudah harus ditanggalkan. Kalau mau aktif dijabatan-jabatan politik, seperti Presiden, anggota DPA, MPR, DPR dan lain-lainnya harus berhenti sebagai anggota ABRI. Lebih jelasnya ditulis dibawah ini:
Kalau kita pergunakan terminologi pak Harto, sekarang ini peran ABRI dilaksanakan dalam rangka ing madya mangun karsa. Artinya, dia menduduki jabatan politik dan juga tetap anggota ABRI. Misalnya, menjadi presiden, wapres, anggota DPA, MPR, DPR, dan lainnya. Pak Harto tahu persis itu. Nah kalau pak Harto mengingatkan agar ABRI bisa mulat sarira hangrasa wani atau instropeksi, dan bisa mengambil posisi yang tepat, tentunya kan sudah waktunya ABRI mundur dari posisi ing madya mangun karso, menjadi tut wuri handayani. Konsekwensinya; jika ABRI melaksanakan peran tut wuri handayani dalam fungsi sospolnya, yah bubarkan saja Fraksi ABRI. (Tiras, 9 mei 1996)

Aberson yang memang menguasai bahasa Jawa, meskipun ia adalah putra Batak, sangat fasih akan budaya Jawa, apalagi ia wakil DPR mewakili Jawa Tengah. Asal ketemu dengan orang jawa ia selalu berbahasa jawa. Tidak perlu kaget, jika pesan-pesan atau idiom-idiom yang disampaikan Suharto dalam bahasa Jawa dapat diinterpretasikannya dengan lancar. Masalah persis atau tidak penafsiran itu dengan keinginan sebenarnya dari Suharto soal lain. Yang pasti Aberson pun tidak sekedar bicara, atau asal-asalan memberikan penafsiran.Ia menghubungkannya dengan beberapa pernyataan Suharto sebelumnya, seperti waktu Suharto menanggapi pernyataan Benny Murdani, Tri Sutrisno dan Faisal Tanjung yang mengatakan, bahwa peran sospol ABRI sudah permanen, tidak perlu lagi dipersoalkan. Suharto sebaliknya justru mempersoalkannya, yakni peran sospol itu tidak permanen. Begitu pula ketika tahun 1995 Suharto meminta LIPI untuk meneliti peran sospol ABRI. Tidak mungkin Suharto melakukan hal tersebut bila tidak ada apa-apanya
Diatas itu semua, keyakinan Aberson bahwa Suharto sesungguhnya ingin mendudukkan ABRI agar tut wuri handayani adalah ketika mereka angkatan 66 yakni Aberson, Marie Muhammad, Cosmas Batubara, Soerjadi, Sugeng Sarjadi, Fahmi Idris, Sofian Wanandi, Abdul Gafur dan lain-lain, pada januari 1988 menemui Suharto untuk merayakan peringatan Tritura. Pada waktu itu Suharto mengatakan biarkan saja dulu ABRI  punya fraksi di MPR/DPR, karena ABRI ini gampang berontak. Kalau dia ikut memutuskan, kan tidak ada alasannya untuk berontak (Tiras,9 mei 1996).
Kritikan-kritikan tajam Aberson terhadap ABRI, membuat dirinya sering dituding sebagai orang yang anti dwi fungsi ABRI. Akan tetapi kalau ditilik dengan seksama, tudingan itu sangat tidak beralasan. Aberson tidak pernah mempersoalkan dwifungsi. Yang dipersoalkan adalah peran sospolnya. Peran sospol itu menurut beliau bertentangan dengan UUD 1945. Siapapun yang paham politik atau hukum pasti paham semua itu, tidak hanya Aberson.
Kelebihan Aberson adalah bahwa ia berani menyatakannya dan dimuat dengan huruf-huruf besar oleh media. Sedangkan yang lain yang sesungguhnya juga sangat mengetahui tidak berani karena takut ditegur, di….atau dipecat oleh instansinya. Bukan rahasia lagi dalam setiap negara yang otoriter, kebebasan sangat terbatas.
Dalam Konstitusi dengan indah tertulis, diberikan kebebasan, namun faktanya (tersirat) sebaliknya, yakni kebebasan itu terpasung. Beraninya paling bisik-bisik, termasuk dikampus yang katanya punya kebebasan akademik tidak pernah berjalan sebagaimana yang diinginkan. Tidak hanya dosen atau peneliti yang enggan bicara apa yang sebenarnya, referensi-referensi yang digunakanpun diseleksi dengan ketat
Jadi secara konstitusional, akademik atau intelektual sesungguhnya tidak ada yang baru  dari pernyataan-pernyataan Aberson. Sebagaimana sering diakuinya apa yang dibicarakannya itu adalah apa yang sudah dibicarakan orang lain sebelumnya. Kekhasannya adalah ia berani bicara blak-blakan ditengah-tengah suasana yang penuh ketakutan. Secara konstitusional akademis ia benar
Secara politik persoalannya lain. Politik tidak selalu konstitusional dan juga tidak selalu rasional. Dalam suasana irrasional orang bicara rasional memang aneh. Begitu pula dalam suasana ketakutan ada yang militan, juga aneh. Tidak taktis kata sebagian kalangan. Taktis atau tidak, irrasional atau sebaliknya, Aberson tidak peduli Satu-satunya ukuran bagi beliau hanyalah UUD `1945.  Ia tunduk hanya untuk itu, bukan hal-hal diluar itu, termasuk bukan kepada ketua partai.
 Baginya setelah terpilih menjadi anggota DPR harus sungguh-sungguh mengabdi kepada kepentingan rakyat. Baju partai yang sebelumnya adalah predikatnya harus ditanggalkan. Artinya kesetiaannya kepada partai dialihkan kepada rakyat.  Ia konsistren dengan paradigma ini, meski ia sadar situasinya sesungguhnya adalah sebaliknya, yakni anggota DPR secara substansial adalah wakil partai, bukan wakil rakyat. Apakah ia tidak takut dengan konsistensinya itu?, apakah misalnya ia tidak takut direcall. Inilah jawabannya:
…saya selalu berdoa kepada Tuhan…berikan saya kekuatan dan tunjukkan saya jalan yang benar supaya saya berani mengatakan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah…berikan kearifan dan kebijaksanaan kepada pimpinan organisasi saya, supaya saya tidak direcall (Tiras, 9 mei 1996)

Aberson adalah manusia. Ia bukan dewa. Sebagai manusia iapun tetap punya ketakutan. Keistimewaannya adalah bahwa ketakutan itu tidak pernah mengalahkannya. Sebaliknya ketakutan itu selalu berhasil dikalahkannya. Suatu hal yang ideal, yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya para pemimpin agar komitmennya kepada rakyat tidak hanya sekedar slogan atau diatas kertas belaka.
Sebagai pemimpin yang baik, yakni yang tidak sekedar  politisi, namun menjadi negarawan, amanat konstitusi adalah segala-galanya. Ia bukan sekedar blue print sebagaimana yang dipraktekkan dinegara-negara yang tidak menganut kedaulatan rakyat. Sebagai negarawan apapun dalihnya, apapun suasananya, konstitusi menjadi pegangan utama.
Konsistensi Aberson kepada konstitusi, plus militansi dan gayanya yang retorik nan agitatif membuat pembicaraannya selalu menarik, hangat dan memukau. Siapapun, kalangan apapun yang pernah berhubungan dengannya selalu merasakan hal tersebut. Persis seperti “dai kondang” yang ceramahnya selalu enak didengar. Konstatasi ini membuatnya laris bicara dimana-mana, seperti di pelatihan-pelatihan partai dan atau khususnya dikampus-kampus. Tiada kampus ternama/besar baik negeri maupun swasta yang tidak dikunjunginya. Sangkin menariknya pembicaraannya, dalam satu bulan ia pernah dua kali diundang Universitas Parahiangan.
Apa yang dibicarakannya disana, sebagaimana yang sudah banyak disinggung diatas adalah sekitar penyimpangan UUD 1945, peran sospol ABRI yang tidak dikenal dalam konstitusi, penindasan kedaulatan rakyat yang sistematis dan tanggapan terhadap masalah-masalah politik umum, atau politik yang sedang berlangsung. Ia adalah pembicara ulung yang dapat membakar semangat massa, mirip dengan idolanya Bung Karno yang berhasil memerdekakan bangsanya dari kolonialisme.
Mungkin atas konstatasi demikianlah ia diundang Sabam Sirait untuk pidato dalam mimbar bebas yang diadakan pengikut Megawati di halaman kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta pada tanggal 13 juli 1996. Ia konon berpidato berapi-api membakar semangat massa untuk membenci atau menghasut pribadi Suharto, ABRI dan DPR/MPR.dalam mimbar tersebut. Aberson katanya menuduh pemerintahan Suharto merampok kemerdekaan dan melakukan penjajahan kembali. Sedangkan P4 yang ditatarkan itu adalah dongeng komik Pancasilanya Suharto. Terhadap ABRI Aberson menyatakan jika peran sospol terus diberikan kepada ABRI, maka lembaga ini akan menjajah rakyat Indonesia. Terhadap DPR/MPR dinyatakan bahwa lembaga ini bukanlah penjelmaan rakyat, melainkan bentukan penguasa..
Atas tuduhan demikian, Aberson akhirnya digiring kepengadilan. Pengadilan yang sangat controversial. Pengadilan yang sarat dengan nuansa politik tinimbang kasus hukum kata pengacaranya, Luhut Pangaribuan dan kalangan-kalangan kritis lainnya. Latar belakang apa, mengapa dan bagaimana sejarah kasus ini pada akhirnya tidak akan diuraikan lagi panjang lebar dalam tulisan ini, sebab sudah diabadikan dalam satu buku pada tahun 1998 dengan judul “Tragedi Wakil Rakyat”. Bila ingin mengetahui lebih seksama dapat dibaca dalam buku tersebut. Buku ini sudah beredar dimana-mana dan menurut penerbitnya sudah sekian kali cetak ulang.
Akan tetapi diatas itu semua yang menarik dari kasus ini adalah ketika Aberson dinyatakan bersalah dan dijatuhkan hukuman/vonnis satu tahun enam bulan, dengan serta merta Megawati yang rajin mengikuti persidangan, langsung menghampiri Aberson,lalu memeluk dan mencium pipinya. Adegan menarik ini disaksikan oleh teman-teman Aberson yang lain, seperti Sabam Sirait, Sophan Sofian, Permadi, Mangara Siahaan, R.O. Tambunan, Ali Sadikin, keluarga dan simpatisan PDI pro Mega serta para pengunjung lainnya serta diliput dengan marak oleh oleh berbagai media massa, baik itu audio visual maupun media cetak.
Mengapa Mega begitu antusias terhadap Aberson?  Bagi mereka yang mengikuti perkembangan politik jawabannya sudah jelas. Kedua-duanya menjadi korban karena memperjuangkan kedaulatan rakyat. Mega dikuyo-kuyo rezim Suharto yakni dengan menjatuhkannya dari kursi Ketua Umum PDI.  Sementara Aberson yang terus mendukungnya dijebloskan kepenjara melalui pengadilan rekayasa. Bagaimana sesungguhnya hubungan mereka? Akan diteruskan dibawah ini

MESRA DAN PECAHNYA DENGAN MEGAWATI.
Menurut Aberson yang mengajak Mega terjun kedunia politik adalah dirinya. Waktu itu kalau tidak keliru adalah setelah Suryadi terpilih menjadi Ketua Umum PDI, Aberson mengajaknya supaya ikut berjuang. Mega tidak langsung mengatakan yah, malah menanyakan Aberson bahwa dulu Bung Karno katanya ada pesan. Ada jawab Aberson. Pesan yang dimaksud Mega adalah ketika Aberson dan teman-temannya dari PNI berkunjung ke tempat Bung Karno yang sudah diisolasi Orde Baru. Anak-anak Bung Karno, termasuk Mega tidak bersama Bung Karno lagi pada waktu itu.
Adapun pesan pesan Bung Karno yang disampaikan kepada Aberson cs adalah sebagaimana sudah disinggung diatas adalah supaya kedaulatan rakyat sungguh-sungguh ditegakkan. Penegakannya melalui pemilihan umum langsung secara regular, tidak ditunda-tunda dan juga tidak melalui rekayasa-rekayasa. Melalui pemilu yang jujur dan adil akan menampung  aspirasi rakyat yang sebenarnya . Sebaliknya bila tidak melalui pemilihan umum atau melalui pemilu yang direkayasa sudah pasti tidak akan memperhatikan keinginan rakyat. Pesan persis/asli Bung Karno adalah bahwa hanya eksekutif dan legislative yang dipilih oleh rakyatlah yang memperhatikan kepentingan rakyat, sedangkan eksekutif dan legislative yang tidak dipilih langsung oleh rakyat sudah pasti akan menyengsarakan rakyat.
Pesan itu sangat jelas. Selain karena memang demikianlah hakikatnya, Bung Karno sendiri adalah korban dari situasi tersebut, yakni suasana yang mengabaikan kehendak rakyat oleh satu kekuatan yang anti kepada kedaulatan rakyat. Ia berkali-kali mengajak seluruh kalangan untuk menyelesaikan seluruh kemelut yang ada melalui pemilu yang dilaksanakan secara langsung. Tidak hanya oleh segelintir elit atau lembaga-lembaga tertentu yang tidak mencerminkan kehendak rakyat. Ide ini ditolak Angkatan Darat. Inilah pesan Bung Karno yang diceritakan Aberson kepada Mega
Setelah pesan tersebut disampaikan Aberson kepada Mega, Mega kembali bertanya, apakah teman-teman yang lain masih dapat dipercaya dan dapat diajak berjuang. Aberson tidak dapat memberi jaminan. Ia tidak dapat menjamin teman-temannya yang lain itu. Yang dijamin hanyalah dirinya sendiri. Yang lain-lain tidak.
Setelah Aberson mengatakan yang sebenarnya itu, yakni hanya menjamin dirinya sendiri. Mega kembali berujar, kalau begitu akan dipikirkan dalam seminggu. Setelah seminggu baru diberi jawaban bersedia atau tidak. Namun baru berselang dua hari , Mega sudah memberi jawaban kepada Aberson, yakni siap berjuang
Sejak itu Mega resmi terjun dalam pentas politik. Bersama suaminya Taufik Kiemas mereka memilih PDI sebagai panggung politiknya. Hubungan politik antara Aberson dengan Mega semakin memekar dan terus bertumbuh  Ibarat pohon yang lahir dari akar dan tanah yang kuat hubungan itu semakin bersemi. Bersemi untuk membangun kedaulatan rakyat sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana yang dipesankan Bung Karno sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia. Pesan yang sudah menjadi amanat bagi yang dipercayainya.
Aberson yang mendapat amanat langsung dari Bung Karno dan sempat ketipu dengan tekad  Orde Baru yakni “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, melakukan perlawanan bersama Mega. Mereka mengkritisi secara sistimatis penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh rezim Suharto terhadap UUD 1945. Secara sinergis mereka melakukan perlawanan dengan ketentuan-ketentuan yang lazim, yakni tetap dalam bingkai konstitusi.Tidak ada niat melakukan hal-hal yang extra konstitusional, semua dilakukan secara terbuka dan transparan.
Untuk meningkatkan kualitas, bobot dan pengetahuan politik Mega, Aberson terus memberikan masukan-masukan. Apakah itu melalui pembicaraan-pembicaraan informal, diskusi-diskusi yang intens atau memberikan konsep-konsep tertulis kepada Mega. Dalam beberapa kesempatan , apakah itu dalam rapat partai, pertemuan-pertemuan dengan pihak-pihak tertentu Aberson selalu mendampingi Mega untuk menjabarkan lebih jauh, lebih detail tentang sesuatu masalah
Dalam beberapa event Mega sering menyatakan untuk menjabarkan atau menguraikan lebih lanjut pemikirannya akan dilanjutkan abang Aberson. Begitu juga dalam kampanye-kampanye pemilu, Mega sering menyatakan untuk mengetahui lebih lanjut pidatonya akan diteruskan oleh Abang Aberson. Mereka saling mengisi, saling simbiosis mutualitis. Mega membutuhkan konsistensi, militansi dan pikiran-pikiran Aberson. Sebaliknya Aberson membutuhkan figure Mega sebagai anak Bung Karno untuk merealisasikan pikiran-pikiran politiknya. Mereka adalah dwi tunggal, sebagaimana Sukarno – Hatta dulu
Bagaimana mesranya hubungan politik dwitunggal ini dapat dilihat dari pernyataan Mega yang menganggap Aberson bagian dari dirinya. Dalam suatu pertemuan segitiga antara Mega, Aberson dan Sophan Sopian, Mega nyeletuk…abang ini baru saya bicara sedikit saja, sudah diuraikan panjang lebar persis seperti yang saya pikirkan…abang ini seperti masuk kedalam kepala saya, ujar Mega lebih lanjut. Suatu pengakuan dari manifestasi sebenarnya. Bukan yang dikarang-karang untuk sekedar menghangatkan suasana, sebagaimana banyak dilakukan kalangan lainnya.
Implemetasi dari semua itu adalah dukungan penuh Aberson terhadap Mega. Ia melihat sosok Mega adalah magnit dan alternative perjuangan. Sebagai manifestasinya ia mendukung penuh Mega menjadi ketua umum PDI. Dalam kapasitas Mega sebagai ketua umum PDI, ia membuat loncatan yang sangat jauh, yakni mencalonkannya menjadi Presiden pada pemilu 1998. Dunia terhenyak, ibarat petir disiang bolong perpolitikan Indonesia bergejolak dan melahirkan polemik nasional. Figure Aberson menjadi buah bibir masyarakat karena seluruh media meliputnya.
 Bagi masyarakat yang ingin perubahan, pola-pola yang dimainkan Aberson demikan itu adalah dinamika, kemajuan sekaligus hiburan. Bagaimana dalam suasana yang sangat refressif masih ada seorang Aberson yang berani tampil beda mengadakan perlawanan tanpa sedikitpun gentar. Ia adalah oase ditengah-tengah kehausan akan perubahan. Sebaliknya bagi rezin Suharto tindakan Aberson itu sudah pasti adalah malapetaka. Petinggi-petinggi kekuasaan di Jakarta ketar-ketir dan merah kupingnya mendengar pernyataan Aberson yang dimuat media dimana-mana. Hampir semua media nasional dan beberapa media mancanegara mempublikasikan pernyataan-pernyataan yang membuat petinggi Jakarta kegerahan.
Akan tetapi kalau ditelusuri lebih seksama, statement Aberson mendukung Mega tidaklah datang dari dirinya sendiri, melainkan mengartikulasikan aspirasi yang datang dari arus bawah (grassroth). Ceritranya pada  waktu itu Agus Chondro Prayitno anggota PDI dari Batang dan kawan-kawan menggalang dukungan untuk Mbak Mega jadi Presiden. Dukungan ini digalang dari ex Keresidenan Pekalongan, yakni dari Batang, Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Pemalang, Tegal kota, Kabupaten Tegal dan Brebes. Setelah dukungan tersebut ditandatangani , pada tanggal 1 Oktober 1995 mereka mengirim surat kepada Mega meminta kesediaannya menjadi calon Presiden. Setelah surat ini disampaikan kepada Mega, Agus Chondro Prayitno cs kembali menggalang dukungan yang lebih luas lagi, yakni meliputi seluruh wilayah Jawa Tengah. Adapun pertemuan untuk penggalangan ini dilaksanakan di Curug Sewu, Kendal dan formulir dukungan diedarkan. Bak gayung bersambut, semua delegasi mendukungnya. Pasca pertemuan inilah Aberson  mengadakan statement mendukung Mega jadi Capres di Jakarta.
Di lantai 9 gedung DPR , yakni markas Fraksi PDI, Aberson mengedarkan lebih luas formulir dukungan untuk Mbak Mega. Dengan hanya ditemani seorang staf DPR yang setia dan fanatic kepadanya, yakni Toto Rasmono,  mengedarkan formulir tersebut keseluruh penjuru tanah air. Banyak pihak yang tersentak, tidak terkecuali teman-temannya sendiri satu fraksi. Sabam Sirait, Taufik Kiemas dan lain-lain koleganya menuduh Aberson membuat blunder dan menjerumuskan Mbak Mega. Suatu tuduhan yang tentunya punya dalih tersendiri. Bagaimana tidak menjerumuskan dalam situasi sedang kuat-kuatnya Suharto berani-beraninya Aberson mencalonkan Mega. Tidakkah itu malapetaka?.
Aberson punya perhitungan tersendiri. Ia mempunyai kalkulasi jauh kedepan, tidak seperti temannya yang umumnya berhitung sekedar kekinian. Ia telah yakin bahwa Mega akan bersinar kedepan, sebagaimana mungkin ramalan-ramalan Permadi pasca KLB Surabaya. Jadi bukan menjerumuskan sebagaimana yang dituduhkan Sabam dan Taufik, tetapi sebaliknya menaikkan pamornya menjadi pemimpin alternative pasca Suharto.
Aberson yang berperan sebagai wakil rakyat, bukan sebagai wakil partai telah melaksanakan fungsinya dengan paripurna. ia menangkap sinyal arus bawah dan mewujudkannya keatas. Suatu peran yang selayaknya dilakukan setiap partai atau sistim politik yang demokratis. Bukan sebagaimana yang dilakukan di Indonesia, yakni partai dan sistim politik menjadi alat membungkam asprasi masyarakat. Dalam teori kepartaian fungsi partai politik adalah agregasi dan artikulasi kepentingan sebagaimana yang dipraktekkan Aberson, menangkap arus bawah (agregasi) dan selanjutnya memperjuangkannya keatas (artikulasi). Tiada yang baru, tiada yang istimewa, memang demikianlah fungsi partai dan fungsi wakil rakyat.
Sukar dibayangkan bila Aberson tidak melakukan tindakan-tindakan politik yang menurut beberapa kalangan sebagai berbahaya, melawan arus dan lain-lain tuduhan sejenisnya, kayak apa jadinya perjalanan bangsa ini. Apakah Suharto akan segera jatuh?, apakah reformasi akan terjadi?, dan atau khususnya apakah Mega jadi presiden?.
 Meminjam terminologi sosiologi, Aberson adalah “agent of change”, agen, sosok, tokoh perubahan untuk mewujudkan “social change”. Ia sudah memperhitungkan segala tindakannya dengan seksama melebihi perkiraan-perkiraan umum. Ia tidak bertindak diruang hampa, dalam menara gading atau sekedar utopia. Tindakannya menjagokan Mega tidak sekedar mengikuti arus bawah PDI melainkan cerminan masyarakat sesungguhnya yang sudah rindu perubahan.
Akan tetapi meskipun ia begitu habis-habisan mendukung Mega, ia tidak mendapat setimpal dari apa yang diperjuangkannya. Sebagaimana kata Suryadi, Abersonlah yang pertama di dunia ini yang mendukung Mega jadi Presiden, tapi Aberson tidak mendapat apa-apa dari beliau. Malah sebaliknya, dengan ironis mereka berseberangan lanjut Surjadi. Mengapa bisa terjadi?. Bagi yang memahami Aberson jawabannya tidak mengejutkan. Sebaliknya bagi yang awam, yang hanya mengejar kekinian, yang praktis pragmatis, atau yang orientasinya hanya kekuasaan dan uang, sudah pasti akan kaget.
 Tiada yang unik dari relasi itu. Aberson tidak gila kekuasaan sebagaimana yang diinginkan banyak kalangan pada umumnya. Kekuasaan baginya hanyalah jika ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUD 1945 itu diwujudkan dengan konsekwen. Kemanapun ia pergi akan dikejarnya. Disinilah perbedaan yang prinsipil antara dirinya dengan Mega. Mega yang latar belakang dan karakternya kontras dengan Aberson, sudah pasti tidak akan selamanya menyatu dengan Aberson.
 Aberson lebih asyik dengan idealisnya, sebaliknya Mega sesuai tuntutan situasi dipaksa dan terpaksa untuk pragmatis dan kompromistis. Mega tidak lagi hanya dekat dengan Aberson , melainkan dengan sekian banyak kaum, kalangan atau instansi yang berkepentingan dengan sosoknya yang sudah menjadi public figure. Sebagai public figure ia dipaksa dan terpaksa mengakomodir kepentingan-kepentingan yang antara yang satu dengan yang lain belum tentu sejalan, bahkan tidak jarang banyak yang bertolak belakang.
Aberson kecenderungannya tidak mau tahu perkembangan yang dialami Mega tersebut. Mega maunya terus melaksanakan apa yang sudah mereka sepakati sebelum-sebelumnya, yakni melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 serta pesan Bung Karno secara murni dan konsekwen. Karena dengan demikianlah kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara akan lebih baik. Tidak atas dasar kompromi-kompromi diluar itu.
Aberson tidak salah, namun sebagaimana faktanya kehidupan politik tidaklah selalu linier, tidak selalu rasional. Dimanapun itu, kapanpun itu politik adalah gabungan atau kompromi dari kepentingan-kepentingan yang tidak selalu sejalan.
 Seorang pemimpin dipaksa akomodatif menghadapi tuntutan-tuntutan seperti itu. Mega tidak mungkin hanya mengakomodir pikiran Aberson yang memang sungguh-sungguh konstitusionil. Kecuali jika Mega memang tidak mau kekuasaan, jabatan, atau kursi nan empuk itu. Mega apakah karena kesadarannya, terpaksa atau tergiring kecenderungannya lebih menginginkan jabatan, kekuasaan atau kursi nan empuk daripada hal-hal yang idealis sebagaimana yang tersurat dalam UUD 1945. Sinyalemen ini menjadi determinan lain mengapa Aberson semakin jauh dari Mega.
 Mereka dipaksa situasi politik untuk berpisah. Aberson yang terus asyik dengan prinsip-prinsipnya, Mega sebaliknya semakin akomodatif dengan perkembangan yang berlangsung. Mega yang disarankan Aberson supaya walk out ketika Sidang Umum MPR melaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan voting, tidak diindahkan Mega. Mega lebih mengikuti arus yang sedang mengalir.
Aberson pada waktu itu berpendapat bahwa sesuai hasil pemilu yang menjadi Presiden adalah dari PDIP yakni Mega dan yang menjadi Wakil Presiden adalah dari Golkar, sebab PDIP adalah pemenang pemilu, sedangkan Golkar adalah runner up. MPR seharusnya hanya tinggal ketuk palu untuk mensahkannya, tidak perlu lagi ada voting. Kenyatannya Mega kalah dengan Abdurahman Wahid.
Ketika terjadi ikhtiar penggulingan Abdurachman Wahid, Aberson kembali pada prinsipnya, yakni  Mega jadi Presiden, Wakil Presiden tetap harus dari Golkar. Situasi politik ternyata tidak mendukung harapan tersebut. Wakil Presiden tidak diinginkan dari Golkar. Berbagai argument dikemukakan agar Wapres tidak dari Golkar. Mega  sebagaimana disebutkan sebelumnya yang memang sudah merindukan  kekuasaan tidak mungkin mengikuti saran Aberson. Dalam suatu kesempatan khusus, Mega  ngomong ke Aberson. Ngomongnya seperti ini .. yang kompak-kompak ajalah bang…
Aberson menangkap omongan itu sebagai isyarat  bahwa Mega memang mau jadi Presiden, terserah itu metode, cara atau mekanismenya  sesuai atau tidak dengan hasil pemilu, tidak sesuai dengan tradisi-tradisi demokrasi. yang penting jadi presiden dulu. Menjadi presiden adalah tujuan utama, yang lain menyusul
Meski Mega mengatakan demikian, yakni yang kompak-kompak ajalah, Aberson tidak mau kompak-kompak. Ia terus jalan dengan pendiriannya. Ia menolak Sidang Istimewa yang akan melengserkan Abdurachman Wahid. Dengan segala argumennya ia, tetap menolak sidang istimewa yang menurut pendapatnya tidak konstitusional. Penolakannya dimuat seluruh Koran dengan huruf-huruf besar.
Sangkin konsisten dan bersemangatnya ia menolak sidang istimewa, ia dituduh sebagai anti Mega dan lain-lain tuduhan yang mendiskreditkannya. Sabam konon sampai ngomong dibayar berapa Aberson oleh Gus Dur. Tidak cukup disitu Zulfan Lindan bertekad bahwa banteng Aberson akan disembelih. Termasuk hampir dipukul oleh sahabatnya Gusti Basan Burnia di kantin DPR karena pendapat-pendapatnya itu.
 Akan tetapi setelah Mega katanya ngomong bahwa Aberson adalah urusannya maka pendiskreditan Aberson berhenti. Aberson adalah urusan saya kata Mega kepada mereka-mereka yang menuduhnya menolak Mega jadi Presiden. Aberson bukan tidak menyetujui Mega jadi Presiden, ia setuju asal sesuai dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi dan tradisi demokrasi pada umumnya.
 Rekan-rekannya yang mungkin kurang memahami jalan pikiran seperti itu, atau karena ada maksud-maksud tertentu hantam kromo mendiskreditkan Aberson. Masalah penolakannya kepada Sidang Istimewa memang didasarkan kepada UUD 1945, bukan dikarang-karang. Ia maunya tetap konstitusional..
Pasca Mega jadi presiden, kebiasaan Aberson kembali berulang. Ia terus melakukan kritik-kritik yang tajam, pedas dan menukik terhadap persoalan-persoalan yang dianggapnya tidak benar. Ibarat Che Guevara, Aberson tidak pernah henti berevolusi. Siapapun, lembaga apapaun itu asal dianggap menyimpang dikritiknya. Tidak terkecuali sosok Mega dan PDIPnya. Sekali dua kali mungkin Mega dan PDIPnya akan mendengarkan, namun apabila terus menerus, persoalannya akan lain.
Elit, tokoh, pihak, kalangan atau lembaga tertentu yang terus-terusan dikritik, meski kritik itu benar, akan bermuara kepada subjektipitas dan apriori. Bagaimana misalnya Mega dituding tidak paham UUD 1945, lebih mengutamakan kedudukan daripada rakyat, melanggar AD/ART Partai, kemampuannya lebih rendah dari Amin Rais dan lain-lain kritikan yang cukup menyengat.akan membuat sasaran tidak dapat menerima. Mega, DPP PDIP, dan sebagian besar anggota partai moncong putih itu gerah dengan kritikan-kritikan Aberson
Kririk yang dilontarkan secara langsung dan terbuka, kecenderungannya belum dapat diterima di Indonesia. Siapapun itu, pihak manapun itu akan alergi apabila dikritik secara terbuka. Kritik  masih dianggap sesuatu yang tabu. Tidak seperti dinegara lain yang menganggap kritik adalah kemajuan, kritik adalah esensi demokrasi dan lain-lain nilai positif dari kritik. Mega yang besar antara lain karena kritik-kritik Aberson kepada rezim Suharto, kepada peran sospol ABRI, dan lain-lain yang umumnya menyimpang dari pelaksanaan UUD 1945, ketika balik dikritik Aberson tidak dapat menerimanya.. Seharusnya Mega yang sudah mengenal betul tabiat Aberson tidak perlu menanggapinya lebih jauh. Faktanya ternyata tidak demikian. Mega telah berubah. Perubahan pada diri Mega ini karena orang-orang sekitar yang mengelilinginya. Untuk lebih jelasnya kita kutif omongan Aberson:
Akibat orang-orang disekitarnya dan hubungannya dengan militer, Megawati semakin luntur kedemokratannya. Sebenarnya Megawati tadinya berpikir, bahwa setelah menjadi presiden akan mengembalikan demokrasi. Namun setelah menjadi presiden, ternyata putri sulung Bung Karno itu tidak dapat mewujudkan keinginan rakyat, yakni tegaknya demokrasi. Malah akibat ulah orang-orang disekitarnya, Megawati semakin jauh dari rakyat dan pendukungnya. (Jakarta, 31 Juli 2002)

Pergunjingan orang-orang sekitar Mega adalah topic pembicaraan yang tidak habis-habisnya bila ngerumpi bersama Aberson. Aberson dengan begitu piawai mengulas hingga menguliti siapa-siapa atau kalangan-kalangan mana yang dekat dengan Mega. Begitu menariknya pembahasannya, sampai-sampai ada yang nyeletuk, mengapa Aberson sudah mengetahui semua itu tapi tidak mau menemui Mega. Mengapa Mega dibiarkan dikelilingi orang-orang seperti itu?. Aberson menjawab, suasananya tidak seperti dulu lagi. Sudah ada sekat-sekat protokoler yang membatasi kebebasan.
Di pihak lain, dan ini yang paling menarik adalah faktor Taufik, suaminya Mega. Menurut Aberson, Taufik adalah perpanjangan tangan militer. Taufik akan terus menekan atau menggiring Mega sesuai dengan perintah. Mega memahami itu semua. Dengan konstatasi seperti itu, yakni jika menemui Mega, Taufik ada disitu  bagaimana dan seperti apa jadinya ? Kata Aberson dengan nada tinggi kepada rekan-rekannya yang menyuruh ia menemui Mega. Dulupun ketika kami menemui Mega di Kebagusan, lalu Taufik datang, Mega mengajak kami untuk mengalihkan pembicaraan, ujar Aberson lebih lanjut.
Situasi memaksa dua pejuang ini untuk sukar bertemu. Tidak seperti dulu ketika mereka bahu membahu melawan Suharto dan Orde Barunya. Mega sibuk dengan presidennya, Aberson asyik dengan kritik-kritik tajamnya. Dua kutub yang saling berlawanan. Dengan gencar Aberson menggempur Mega dan PDIP dengan dalih bahwa ia adalah wakil rakyat, bukan wakil fraksi, jadi punya kebebasan untuk menyatakan pendapat sesuai denga pasal 28 UUD 1945.
Mega dan PDIP yang terus-terusan digempur dengan adagium wakil rakyat-bukan wakil fraksi/partai itu pada akhirnya tidak dapat menerimanya. Dalam rapat-rapat intern, Mega mengatakan siapa yang mengaku dirinya sebagai wakil rakyat dan bukan wakil partai akan saya jewer kupingnya dan kemplang kepalanya. Siapa lagi yang dimaksud kalau bukan Aberson. Yang mau dijewer kuping dan kepalanya dikemplang tersebut adalah Aberson.
Untuk memastikan bahwa anggota DPR dari PDIP itu bukan wakil rakyat melainkan adalah wakil partai dipaksa menandatangai pernyataan diatas segel Rp 6.000. Siapa yang tidak mau menandatangai silahkan keluar, atau direcall. Aberson pada mulanya tidak mau. Namun setelah dibujuk-bujuk temannya, seperti Poltak Sitorus, Angelina Pattiasina, Sukma Dewi Gde Jaksa dan lain-lainn, Aberson akhirnya bersedia menandatanganinya.
Tanda tangan tinggal tanda tangan, tradisi mengkritik tidak pernah luluh. Bahkan sebaliknya semakin sering, menohok dan tajam. Tiada kompromi bagi kebenaran UUD 1945, meski akhirnya menjadi berseberangan dengan Mega.

GERIMIS UNTUK WARTAWAN
Keistimewaan Aberson dengan anggota-anggota DPR/MPR yang lain adalah kedekatannya dengan para wartawan. Beliau sangat dekat dengan para pemburu berita ini. Suatu hubungan yang begitu akrab, bersahabat dan bersaudara. Tiada wartawan yang bertugas di Jakarta tidak mengenal Aberson. Nama ini sudah begitu merakyat bagi wartawan-wartawan. Ruangannya yang terbuka sepanjang waktu di kantornya adalah saksi bisu betapa para wartawan lalu lalang masuk, tanpa ada penyekat yang menghalangi. Tidak jarang, jam kantor sudah selesai, para wartawan masih kongkow-kongkow diruangan tersebut. Suasana baru bubar ketika ruangan sudah panas, sebab AC sudah dimatikan dari pusat. Tidak cukup disini, bila masih ada hal yang perlu diperbincangkan, dilanjutkan dirumah, biar itu sudah larut malam atau dinihari. Termasuk hari libur, seperti Sabtu dan Minggu, ia tetap melayani para wartawan.
Tidak saja wartawan lokal yang dilayani, namun juga para wartawan dari mancanegara. Hanya saja , jika wartawan asing yang berkunjung, suasana tidak semeriah melayani wartawan lokal yang tak jarang hingar bingar karena penuh dengan senda gurau, joke-joke politik dan lain-lain situasi hangat yang bisa membuat seluruh wartawan terpingkal-pingkal. Karena begitu ramainya, ruangan-ruangan rekannya sesama anggota DPR disebelah tidak jarang terganggu karena ketawa lepas yang begitu bergemuruh. Koleganya sesama anggota yang berseberangan dan berhadapan dengan ruangannya tentu sudah maklum hal-hal seperti ini. Kalau tidak bergemuruh itu bukan ruangannya Aberson
Aberson yang dikenal sangat piawai membuat suasana marak dengan banyolan-banyolan politiknya  adalah keistimewaan khusus. Siapapun yang datang kepadanya pasti bisa dibuat ketawa lepas. Kwik Kian Gie sendiri yang dikenal sebagai figure yang sukar tertawa, namun kalau Aberson yang membanyol, Kwik akan ketawa terpingkal-pingkal. Sangkin lucunya, sosok yang serius ini sampai-sampai mengangkat kaki keatas dalam Kongres PDI di Surabaya. Bagaimana keadaan ini terjadi ramai dipublikasikan pers Surabaya pada waktu itu, yakni ketawa Kwik yang hamper terjengkang karena kelucuan yang diciptakan Aberson. Tidak Kwik , saja, konon Letjen Harsudiyono Hartas pun pernah terbahak-bahak ia buat karena Koramil katanya menggebuki mayat hingga mayat itu mengaku.
Bagi wartawan-wartawan asing hal seperti itu tidak mungkin terjadi, karena dibatasi oleh jarak-jarak tertentu, seperti bahasa dan budaya. Wawancara yang lazimnya pakai penterjemah sudah pasti membuat suasana dominant dengan keseriusan, sebagaimana guru yang menguji murid, atau dosen yang menguji karya ilmiah. Keseriusan ini semakin intens, mengingat yang dihadapi adalah orang/bangsa asing yang sudah pasti menambah extra hati-hati. Kehangatan hanya sebatas senyum, senyum di kulum atau senyum misteriusnya monalisa. Atau paling banter hanya senyum diplomatis yang umumnya hanya dipaksakan.
Menurut Arman Suhana, wartawan Wawasan Semarang, Aberson adalah tipe anggota DPR/MPR yang sungguh-sungguh melayani para wartawan. Seujung rambutpun tiada hambatan. Bahkan sebaliknya Abersonlah yang paling memburu wartawan. Bila ada wartawan yang ingin bertemu dengannya, namun tidak ketemu, maka wartawan tadi akan dipanggilnya. Jika tidak bisa ketemu, karena mungkin sang wartawan sudah pergi ketempat lain, iapun akan melayaninya via telefon.
Betapa intensnya Aberson melayani wartawan, tidak jarang melahirkan suasana yang lucu yang membuat para wartawan terbahak-bahak. Tidak sekedar terbahak-bahak ketika event itu terjadi, namun menjadi abadi karena semua wartawan mengingatnya. Pasalnya adalah, wartawan RRI, Dirun Martatamaja, sudah pontang panting mencari nara sumber untuk diwawancarai untuk acara parlemen di RRI setiap akhir pecan. Karena tidak ada lagi, mau tidak mau yang gampang dihubungi adalah Aberson. Dirun menyodorkan beberapa daftar pertanyaan yang akan dijawab untuk acara parlemetaria di RRI. Karena wawancara ini tidak untuk ditulis sebagaimana para wartawan media lainnya, maka Dirun membawa mik. Mik itu disodorkan kenara sumber. Akan tetapi Aberson, memang lain. Mik itu dipegang sendiri. Maka iapun ngomonglah sambil memegang mik. Karena sudah dipegang, maka Dirunpun keluar ruangan Aberson. Ketika ia dating sekitar 15 menit kemudian, Aberson masih ngomong sendiri. Dirun pun pergi lagi. 10 menit kemudian, Dirun mengintip lagi, apa sudah selesai apa belum , ternyata juga belum. Dirun berceritra kepada teman-temannya, kontan teman-teman, wartawan yang lain, mati ketawa mendengar ceritra Dirun tersebut.
Melayani telefon para wartawan dengan berlama-lama adalah salah satu cirri khasnya. Ia menguraikan atau membeberkan pertanyaan wartawan sangat mendetail dan rinci, yang sudah tentu akan menyita waktu yang panjang. Pola seperti ini tidak saja pertelefon, lebih-lebih bila bertatap muka, akan dikupas dari hulu hingga ke hilir, pada hal banyak tamu-tamu lain yang sedang menunggu dengan berbagai urusan. Tamu-tamu ini sudah barang tentu, meskipun tidak mengatakan sudah pasti jengkel dan dongkol. Tapi juga banyak yang memakluminya, yakni tamu-tamu yang sudah mengenalnya.
Penomorsatuan wartawan ini penulis saksikan sendiri, yakni adanya tamu yang cukup punya kedudukan atau orang penting menghadapnya, namun karena ada telefon wartawan, maka wartawan ini yang diladeninya lama. Setelah diladeni, tamunyapun dilayani. Namun  ada lagi wartawan yang nelefon, secara refleks iapun melayani wartawan tersebut berlama-lama. Tamu yang dilayani hanya membutuhkan ½ jam tidak jarang menjadi tiga-empat jam.
Ruangan Aberson yang tidak mengenal birokrasi, adalah ruangan yang paling bebas diseluruh dunia ini bagi wartawan. Tiap saat wartawan lalu-lalang , keluar masuk ruangannya. Tidak saja dalam kerangka jurnalistik, namun juga untuk istirahat. Tidak perlu heran, bila ada wartawan yang tidur-tiduran diruangannya bila Aberson lagi menghadiri sidang. Yang paling sering istirahat disitu adalah Arman Suhana , Wawasan Semarang, Musa Depari, Sinar Pagi, Andus Simbolon, Terbit, Triono Wahyudi, Berita Buana. Selain mereka-mereka yang sering tidur diruangan Aberson, yang juga tidak kurang akrabnya dengan beliau adalah Omar Samsuri dan Ansel Da Lopez dari Kompas, Safri dari Harian Pikiran Rakyat Bandung, Subhan Kleden dan Gaudens dari Media Indonesia, Birma Siahaaan dari Sinar Pagi, Nasruddin dari Suara Merdeka Semarang, Haryono RM Dari Rakyat Merdeka, Wolas Krenak dan Marcelius Rombe Baan dari Suara Pembaruan, Ramadhan dari Waspada Medan, Januar dari Aksi, Ridwan Max Silaban dari Jakarta Post
Sebagaimana pengakuan Musa Depari, hubungan Aberson dengan para wartawan bermuara kepada hubungan persahabatan, persaudaraan, hubungan kakak-beradik dan lain-lain hubungan yang manusiawi. Tidak jarang para wartawan meminta bantuan Aberson terhadap keperluan-keperluan pribadi. Apakah itu kepentingan keluarga yang mengalami masalah, kekurangan biaya dan lain-lainnya. Mungkin, atau barangkali pasti, Aberson adalah penganut prinsip “semua manusia bersaudara” sebagaimana yang dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi.
Penulis mengutif Gandhi, karena diatas pintu ruang kerja dan perpustakaan dirumahnya dipampang “dosa-dosa politik” menurut pemimpin besar India tersebut. Beliau hampir jarang membicarakan Gandhi, namun dari perilaku politiknya, ia kelihatan mempraktekkannya. Litani ini diperkuat, Elman Saragih, yang menilai Aberson tidak mengenal lawan. Semua orang bagi dia adalah sahabat.  jika ia merasa salah tidak segan-segan minta maaf. Orang yang mungkin yang menganggap ia lawan. Tapi Aberson sendiri tidak pernah menganggap lawan sebagai lawan. Semua dianggapnya kawan lanjut Elman yang sekarang juga aktif di  Metro tv.
Disisi lain mengapa Aberson begitu bersahabat dengan para wartawan paling tidak dilandasi dua hal. Pertama adalah agar gagasan-gagasannya dapat dososialisasikan kemasyarakat.Kedua, adalah sebagai feed back atau mengorek informasi-informasi yang dimiliki para wartawan. Dengan dekat para wartawan, gagasan-gagasan politiknya akan diketahui masyarakat luas. Ia tidak puas, apabila pikiran-pikirannya hanya didengar di parlemen, melainkan keluar dari gedung itu menyeruak keseantero penjuru nusantara. Poltak Sitorus yang menjadi anggota DPR Periode 1999-2004 yang sering berkunjung ke daerah baik itu waktu kunjungan kerja dan kunjungan-kunjungan lainnya, mengakui konstatasi demikian, yakni setiap ia baca Koran di daerah-daerah selalu ada pendapat Aberson. Beberapa wartawan daerah sendiri sering ditegor atasannya, mengapa begitu banyak berita-berita yang didasarkan kepada pendapat Aberson. Apa tidak ada yang lain?. Tentu banyak, namun asal bicara hal-hal yang sangat politis, jarang yang mau bicara terbuka. Lain hal Aberson, Asal itu menyangkut politik tingkat tinggi dan peka, sudah pasti Aberson yang mendominasi.
Suatu hal yang sesungguhnya tidak aneh. Anggota anggota DPR lain jarang yang seberani Aberson, yakni yang bicara blak-blakan . Mereka pada umumnya adalah sosok yang penuh pertimbangan ini dan itu, khususnya apa yang disebut dengan “garis fraksi”. Mereka tidak akan berani mengeluarkan pendapat yang tidak sejalan dengan keputusan fraksinya. Keputusan fraksi bagi mereka adalah segala-galanya. Suatu hal yang sangat dibenci Aberson. Bagi Aberson bila sudah masuk ke DPR tidak lagi membawa suara-suara atau pikiran-pikiran selain yang berasal dan bertujuan untuk rakyat. Suatu pikiran yang bersamaan dengan Sri Bintang Pamungkas , Sulastomo dan Daniel Dhakidae yang menganggap fraksi itu tidak perlu. Bahkan lebih jauh Daniel Dhakidae, berpendapat,DPR itu baru benar-benar jadi DPR bila tidak ada fraksi. Selama ada fraksi DPR belum berfungsi sebagaimana lembaga perwakilan yang sesungguhnya.
Dengan dekatnya Aberson kepada wartawan, iapun sesungguhnya mendapat keuntungan yang setimpal. Para wartawan biasanya mempunyai informasi yang kaya akan berbagai hal. Dari mulai yang terbuka hingga yang setengah terbuka, sampai yang terutup, sensitip atau secret. Informasi-informasi ini sudah barang tentu akan memperkaya khazanah-khazanah selanjutnya. Aberson akan mengolah informasi itu dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Dengan kata lain informasi yang dimiliki wartawan itu adalah data-data atau fakta-fakta yang akan diolah kembali dan hasilnya diberikan lagi kepada para wartawan.
Ibarat teori sistem politiknya David Easton, data-data atau informasi-informasi itu adalah input (tuntutan dan dukungan). Input dimasak dalam sistem, lalu hasilnya menjadi out put/keluaran (keputusan dan kebijakan). Keluaran atau out put ini kemudian kembali menjadi input setelah melalui proses feed back.. Demikian seterusnya menjadi sistem yang sistematis, mekanis dan demokratis.
Hingar bingar diruangan Aberson, bisa jadi  hingar betulan. Wartawan yang terkadang membelokkan hasil wawancara membuat Aberson marah. Jika marah suaranyapun cukup kuat dan meninggi yang membuat ruangan menggelegar. Tidak ada basa-basi, tidak ada bahasa-bahasa isyarat, tidak ditahan-tahan, kalau marah yah marah. Namun setelah marah, apalagi sang wartawan sudah mengakui kekeliruannya suasana persahabatan pun kembali
Hal lain yang juga sering membuat Aberson marah, adalah jika wartawan ini membantah pendapatnya yang ia anggap sudah sangat benar. Sudah berulang-ulang diterangkan, namun masih tidak dipahami. Hal ini biasanya  menyangkut masalah-masalah yang sangat politis. Aberson melihatnya dari kacamata UUD , sementara wartawan meneropong dari situasi yang sedang berlangsung. Wartawan sebagaimana hakikinya adalah pemburu berita, dengan tanda kutif  berita itu menarik, terlepas dari benar atau tidak , direkayasa atau tidak, yang penting laku dijual. Pers Indonesia masih disitu tarafnya, yakni berita-berita yang bombastis, konfrontatif, kontroversil, agitatif dan provokatif. Fungsi media yang seharusnya sebagai instrumen pendidikan atau cultural edukatif masih sebatas cita-cita.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, suasana ini, yakni marahnya Aberson tidak berlangsung lama. Dalam hitungan detik atau sekejap situasi akan kembali hangat. Sebagaimana dikatakan Elman Saragih, Aberson itu tidak mengenal lawan. Semua orang dianggapnya kawan. Jika merasa salah Aberson tidak segan-segan minta maaf. Namanya juga manusia tidak ada yang sempurna.
Ketidaksempurnaan ini misalnya adalah jika Aberson berulang-ulang membicarakan hal yang tidak mungkin ditulis dimedia atau jika terus-terusan kembali ke UUD . Hal-hal yang tidak mungkin ditulis ini misalnya adalah kebencian Aberson terhadap Kopkamtib. Aberson sejak awal 70-an paling benci dengan lembaga itu. Setiap wawancara dengan beliau selalu menyelipkan kata-kata…bubarkan Kopkamtib
Wartawan yang mewawancarainyapun secara refleks mematikan tape perekamnya. Akan tetapi tidak lama kemudian, Aberson nyeletuk. Ah kalian ini asal saya sudah bicara Kopkamtib, pada matiin tapenya. Suasana kembali hangat. Wartawan-wartawan yang mengenal beliau sejak lama, menyatakan tidak ada kamus Aberson selain bubarkan Kopkamtib. Baru bangun, atau mimpi sekalipun hanya bubarkan kopkamtib yang ada dibenaknya. Mana mungkin kita menulis itu?, nanti koran kita akan ditutup, urai Elman lebih lanjut.
Begitu pula jika semua persoalan selalu dihubungkan dengan UUD. Sebagaimana tradisinya Aberson tidak pernah meninggalkan UUD 1945 setiap memberikan jawaban Wartawan-wartawan  meski sudah tahu tabiatnya, tetap saja mempunyai kejenuhan. Mereka jenuh karena setiap waktu disodorin UUD. Tiada pembicaraan tanpa UUD Apa-apa UUD, celetuk mereka diluar, yakni diluar pendengaran Aberson tentunya.
Diatas itu semua, dan ini diacungin jempol oleh semua wartawan adalah solidaritas kemanusiaannya yang tinggi terhadap seluruh pemburu berita. Setiap akhir pekan, yakni hari Jumat, Aberson selalu memberi uang ala kadarnya kepada seluruh wartawan. Karena jumlahnya adalah sekedar “ala kadar” tidak mungkin besar. Sekedar transport lebih sedikit, namun rutin dan merata kepada seluruh wartawan.
 Karena kecil, namun merata dan rutin setiap akhir pekan disebut dengan istilah “gerimis”.Yah kecil-kecilan, ibarat hujan gerimis yang curahnya kecil. Tidak seperti hujan lebat, hujan deras atau hujan yang disertai badai yang curahnya besar. Kalau mau mendapatkan hujan lebat atau deras  minta saja dari anggota yang lain, yang lebih kaya dari saya katanya. Suatu istilah yang akhirnya sangat fenomenal bagi setiap wartawan
Gerimis ini ternyata tidak saja pada akhir pecan, melainkan juga pada hari-hari besar tertentu, seperti hari raya/idulfitri. Pada setiap hari raya Aberson selalu menyiapkan THR (tunjangan hari raya) dalam bentuk uang yang dibungkus dalam amplop. Mereka yang datang keruangan langsung diberikan. Yang belum ditungguin atau dipanggil melalui staf dan supirnya yang setia, Warjito.
Hanya Aberson yang seperti itu, pada hal ia tidak beragama Islam,akan tetapi setiap lebaran selalu memberikan bingkisan , kata Arman Suhana dari harian Wawasan, Semarang. Meskipun jumlahnya seperti hujan gerimis, membuat sosoknya istimewa dalam kalangan wartawan  


REFERENSI
Wawancara Dengan Soerjadi
Wawancara dengan Toto/staf DPR RI
Wawancara dengan wartawan-wartawan DPR RI
Harian Media Indonesia, 19 Maret dan 13 Okt, 2000
Harian Jakarta, 31 Juli 2000
Majalah Tempo



Tidak ada komentar:

Posting Komentar