Jumat, 28 Oktober 2016

MENOLAK FENOMENA OLIGARCHI




Oleh: Reinhard Hutapea
Ketua CEPP PPS UNITAS (Centre of Election and Political Partis, Program Pascasarjana, Universitas Taman Siswa) Palembang. Staf ahli DPR RI 1999-2009

Sebagai insan, kaum atau lembaga yang normal, lazimnya semakin lama hidup, berjalan atau berlangsung, akan semakin dewasa, arif dan bijaksana. Hal-hal yang dianggap masih kurang seiring dengan berjalannya waktu akan semakin terlengkapi. Dengan penstrukturan atau pelembagaan yang terus menerus seperti itu ,akan membuat nilai-nilai kehidupan  semakin berkulitas dan sejahtera, baik itu secara ekonomi,social, politik atau kebudayaan. Akan tetapi tidak dalam perjalanan sejarah demokrasi  bangsa ini
Demokrasi yang sudah menjadi keputusan politik, sejak lepas dari kolonialisme, khususnya sejak bertiupnya  angin reformasi akhir 1990-an tidak membawa negeri ini semakin demokratis. Semakin lama Indonesia mempraktekkan (?) demokrasi dalam sistim politiknya,  semakin jauh dari cita-cita demokrasi semula. Tatanan “egalitarian alias kesetaraan”  yang sejak lama diidam-idamkan masyarakat tak kunjung datang.
Jangankan datang, bahkan sebaliknya yang terjadi, yakni tampilnya kekuasaan segelintir orang, suatu kelompok kecil, minoritas oligarchis dari level atau strata tertentu. Konsekwensinya tidak ada rotasi, mutasi atau pergantian kekuasaan sebagaimana prinsip demokrasi. Kemasannya saja yang demokrasi,namun  substansinya oligarchi
Mereka yang berkuasa atau yang memegang jabatan-jabatan politik dan pemerintahan hanya itu-itu saja. Dari satu faksi, klik, dinasti atau keluarga tertentu. Kata orang Jakarta, “die lagi, die lagi, lu lagi, lu lagi, mereka lagi, mereka lagi”. begitulah implementasinya.
Pergantian, mutasi atau rotasi yang menjadi cita-cita semula, tinggal sebatas cita-cita yang indah ditulis dan merdu didiskusikan .Realitanya adalah kehidupan yang timpang karena terjadinya relasi yang feodalistis, patron-client,  asimetris dan lain-lain pola yang tidak setara.

 Permanen Timpang
Akhir-akhir ini, dan mungkin kedepan juga akan seperti itu, yakni  menjamurnya jabatan-jabatan pemerintahan yang dipegang oleh satu keluarga, satu dinasti, atau satu perkoncoan yang cenderung berkomplot. Bapak Gubernur, adik anggota DPD-RI, anggota DPR-RI, kakak ketua DPRD, istri menjadi ketua Partai, anak ketua ini, ketua itu, ponakan ini dan itu, mertua, cucu menjadi….dan seterusnya.
Dari mulai pusat hingga ke daerah, pola-pola dinastik, klik dan croni itu melesat bak jet membelah langit Meski tidak logis, tidak etis dan tidak estetis, tetap tampil dengan pongah. Aneh tapi nyata, namun itulah faktanya. Tidak sebagaimana yang dicita-citakan demokrasi semula, yaitu persamaan, bak kata pepatah bijak “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”, tanpa kecuali semua orang berhak menduduki jabatan-jabatan politik
Asimetri tersebut sudah berlangsung  sistemik,  atau terlembaga secara structural. Tidak seperti yang selalu dikhotbah-khotbahkan , yakni kebebasan, kesetaraan, toleransi, partsisipasi atau persaudaraan. Faktanya adalah sebaliknya, yakni tidak setara, tidak tolerantif , tidak bersaudara, alias timpang permanen  ditengah-tengah kebebasan  yang selalu dihembus-hembuskan oleh kaum oligarchis tadi.

Cerminan Budaya Politik?
Mengapa suasana yang asimetris demikian terjadi ditengah-tengah bergeloranya kebebasan politik . Bukankah suasananya sangat bebas pasca reformasi akhir 1990-an?. Bebas berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, bebas berekspresi, bahkan bebas menghujat. Suatu iklim yang tidak mungkin didapatkan pada era orde baru yang penuh refresif, otoriter dan dictator-totaliter.
Demokrasi yang tak lazim (Uncommon democracies) kata TJ Pemple (1980). Biasanya kebebasan berbanding lurus dengan prasyarat-prasyarat demokrasi yang lain, seperti kesetaraan, toleransi dan partisipasi. Apa yang salah dengan konteks tersebut?. sudah tentu banyak penyebabnya. Factor utama adalah prasyarat-prasyarat demokrasi yang tidakmendukung
            Huntington yang pernah meneliti negara-negara demokrasi selama 15 tahun berpendapat bahwa suatu negara  bisa menjadi demokratis apa bila memiliki syarat-syarat untuk itu, seperti tingkat pendapatan masyarakat yang tinggi dan merata, masyarakat yang rata-rata sudah cerdas, kelas menengah yang kuat, terdapatnya tradisi berbeda pendapat, anti kekerasan….ada 24 syarat.
Dari syarat-syarat yang dikemukakan Huntington demikian, tak satupun yang kita miliki dengan persis. Khusus tentang pendapatan yang tinggi dan merata, ibarat langit dan bumi. Mayoritas masyarakat masih berpenghasilan rendah.
Oleh karena itu  Budiono yang mengamini pendapat tersebut,  dalam setiap kesempatan selalu mengatakan bahwa jika tingkat pendapatan, atau GNP/GDP Indonesia masih rendah akan sukar menjadi negara demokratis. Dengan kata lain kaum miskin tidak mungkin dapat berdemokrasi, sebab suara atau aspirasinya akan dibeli oleh orang kaya.
Konstalasi inilah yang merebak sejak Indonesia melakukan pemilihan umum secara langsung. Dengan hanya diberikan sembako ala kadarnya, atau uang hanya sebesar Rp 25.000,-, mereka memilih atau memberikan suara kepada yang memberikan bantuan tersebut. mereka tidak tahu, atau tak peduli yang memberikan itu dewa atau setan. Yang pasti mereka memberikan aspirasi dan suaranya kepada yang bayar
Kalau diteliti mendalam yang memberikan atau yang berpunya ini, pada umumnya adalah segelintir keluarga-keluarga tertentu. Keluarga yang punya titah, trah atau turunan  raja-raja terdahulu. Dahulu, katakanlah sebelum Indonesia merdeka, secara historis-socio-cultural adalah penguasa yang sekaligus pengusaha, yang secara tidak langsung memang dipelihara colonial.
Meski telah merdeka, dan muncul kesadaran nasional, pola-pola yang feudal,  patrimonial atau oligarchis ini tidak dapat dihilangkan. Sejalan dengan perkembangan waktu, meski sistim politik atau ekonomi berubah, mereka tetap adaptif atau bersimbiose mutualistis dengannya.
Soekarno Hatta yang berketetapan hati meretas tatanan primitive itu menawarkan satu konsep modern kenegaraan yang bernama “kedaulatan rakyat”. Implementasinya diwujudkan dalam UUD 1945. Soekarno-Hatta atau mayoritas masyarakat Indonesia bermimpi pasca colonial Indonesia akan demokratis. Sayang seribu sayang dalam perjalanannya, keinginan itu hanya sampai pada konsep yang agung.
Dalam praksisnya yang berlangsungkemudian ( sesungguhnya) adalah sistim feudal, patrimonial atau oligarchis. Fakta ini  dengan kasat mata dapat kita lihat ketika Jendral Soeharto berkuasa.Pola yang dipraksiskan sebenarnya adalah metode patrimonial. Terbukti (Realitanya) ia kuat lebih dari tiga dasawarsa. Kekuasaannya stabil meski ditengah-tengah kemiskinan dan korupsi yang massif (Karl D Jackson, 1980)
Karl D Jakson mengatakannya tidak patrimonial atau militeristik, melainkan birokratik, atau birokratik otoriter urai Dwight Y King (1980), namun substansinya tetaplah bahwa yang dipraktekkan adalah pola-pola jaman dulu, yakni sistim kerajaan. Makanya banyak yang nyeletuk  bahwa, Soeharto itu bukan seorang Presiden, melainkan Raja Mataram.
Mungkin karena sudah muak, karena begitu lama berkuasa, plus tekanan internasional, Soeharto dilengserkan melalui kekuatan rakyat soeharto tumbang dan muncul era reformasi. Sebagaimana ketika Indonesia melepaskan diri dari penjajahan Belanda, rakyatpun berharap negeri ini semakin demokratis
Pada awalnya reformasi memang menjanjikan orientasii tersebut. Dimana-mana merebak kebebasan politik. Namun tidak berapa lama kemudian, secara perlahan, namun pasti nilai-nilai yang mengetengahkan kedaulatan rakyat itu dibajak para elit. Dengan pongah, tapi halus mencuat kembali kekuatan-kekuatan lama sebagai renaissance Soeharto yang otoriter.
Pandangan demikian,meski banyak yang menolak, adalah dalih mengapa oligarchi tetap marak dewasa ini.

Oligarchi no, Demokrasi yes
Dengan dalih apapun oligarchi tidak akan melahirkan kebersamaan, kesejahteraan atau keadilan bagi mayoritas masyarakat. Masyarakat banyak akan permanen teralienasi dari kehidupannya. Untuk ini demokrasi tetap kita tegakkan, plus perbaikan-perbaikannya, seperti model demokrasi deliberative yang banyak digandrungi dewasa ini. Demokrasi yes, oligarchi no.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar