Oleh:
Reinhard Hutapea
Ketua CEPP
PPS UNITAS (Centre of Election and Political Partis, Program Pascasarjana,
Universitas Taman Siswa) Palembang. Staf ahli DPR RI 1999-2009
Sebagai insan, kaum atau lembaga yang
normal, lazimnya semakin lama hidup, berjalan atau berlangsung, akan semakin
dewasa, arif dan bijaksana. Hal-hal yang dianggap masih kurang seiring dengan
berjalannya waktu akan semakin terlengkapi. Dengan penstrukturan atau
pelembagaan yang terus menerus seperti itu ,akan membuat nilai-nilai
kehidupan semakin berkulitas dan
sejahtera, baik itu secara ekonomi,social, politik atau kebudayaan. Akan tetapi
tidak dalam perjalanan sejarah demokrasi
bangsa ini
Demokrasi yang sudah menjadi
keputusan politik, sejak lepas dari kolonialisme, khususnya sejak
bertiupnya angin reformasi akhir 1990-an
tidak membawa negeri ini semakin demokratis. Semakin lama Indonesia
mempraktekkan (?) demokrasi dalam sistim politiknya, semakin jauh dari cita-cita demokrasi semula.
Tatanan “egalitarian alias kesetaraan” yang
sejak lama diidam-idamkan masyarakat tak kunjung datang.
Jangankan datang, bahkan sebaliknya
yang terjadi, yakni tampilnya kekuasaan segelintir orang, suatu kelompok kecil,
minoritas oligarchis dari level atau strata tertentu. Konsekwensinya tidak ada
rotasi, mutasi atau pergantian kekuasaan sebagaimana prinsip demokrasi.
Kemasannya saja yang demokrasi,namun substansinya oligarchi
Mereka yang berkuasa atau yang
memegang jabatan-jabatan politik dan pemerintahan hanya itu-itu saja. Dari satu
faksi, klik, dinasti atau keluarga tertentu. Kata orang Jakarta, “die lagi, die lagi, lu lagi, lu lagi, mereka
lagi, mereka lagi”. begitulah implementasinya.
Pergantian, mutasi atau rotasi yang
menjadi cita-cita semula, tinggal sebatas cita-cita yang indah ditulis dan
merdu didiskusikan .Realitanya adalah kehidupan yang timpang karena terjadinya
relasi yang feodalistis, patron-client, asimetris
dan lain-lain pola yang tidak setara.
Permanen
Timpang
Akhir-akhir ini, dan mungkin kedepan
juga akan seperti itu, yakni menjamurnya
jabatan-jabatan pemerintahan yang dipegang oleh satu keluarga, satu dinasti,
atau satu perkoncoan yang cenderung berkomplot. Bapak Gubernur, adik anggota
DPD-RI, anggota DPR-RI, kakak ketua DPRD, istri menjadi ketua Partai, anak ketua
ini, ketua itu, ponakan ini dan itu, mertua, cucu menjadi….dan seterusnya.
Dari mulai pusat hingga ke daerah,
pola-pola dinastik, klik dan croni itu melesat bak jet membelah langit Meski
tidak logis, tidak etis dan tidak estetis, tetap tampil dengan pongah. Aneh
tapi nyata, namun itulah faktanya. Tidak sebagaimana yang dicita-citakan
demokrasi semula, yaitu persamaan, bak kata pepatah bijak “duduk sama rendah,
berdiri sama tinggi”, tanpa kecuali semua orang berhak menduduki
jabatan-jabatan politik
Asimetri tersebut sudah berlangsung sistemik,
atau terlembaga secara structural. Tidak seperti yang selalu dikhotbah-khotbahkan
, yakni kebebasan, kesetaraan, toleransi, partsisipasi atau persaudaraan. Faktanya
adalah sebaliknya, yakni tidak setara, tidak tolerantif , tidak bersaudara,
alias timpang permanen ditengah-tengah
kebebasan yang selalu dihembus-hembuskan
oleh kaum oligarchis tadi.
Cerminan Budaya Politik?
Mengapa suasana yang asimetris
demikian terjadi ditengah-tengah bergeloranya kebebasan politik . Bukankah
suasananya sangat bebas pasca reformasi akhir 1990-an?. Bebas berbicara, bebas
mengeluarkan pendapat, bebas berekspresi, bahkan bebas menghujat. Suatu iklim
yang tidak mungkin didapatkan pada era orde baru yang penuh refresif, otoriter
dan dictator-totaliter.
Demokrasi yang tak lazim (Uncommon
democracies) kata TJ Pemple (1980). Biasanya kebebasan berbanding lurus dengan
prasyarat-prasyarat demokrasi yang lain, seperti kesetaraan, toleransi dan
partisipasi. Apa yang salah dengan konteks tersebut?. sudah tentu banyak
penyebabnya. Factor utama adalah prasyarat-prasyarat demokrasi yang
tidakmendukung
Huntington
yang pernah meneliti negara-negara demokrasi selama 15 tahun berpendapat bahwa suatu
negara bisa menjadi demokratis apa bila
memiliki syarat-syarat untuk itu, seperti tingkat pendapatan masyarakat yang
tinggi dan merata, masyarakat yang rata-rata sudah cerdas, kelas menengah yang
kuat, terdapatnya tradisi berbeda pendapat, anti kekerasan….ada 24 syarat.
Dari syarat-syarat yang dikemukakan
Huntington demikian, tak satupun yang kita miliki dengan persis. Khusus tentang
pendapatan yang tinggi dan merata, ibarat langit dan bumi. Mayoritas masyarakat
masih berpenghasilan rendah.
Oleh karena itu Budiono yang mengamini pendapat tersebut, dalam setiap kesempatan selalu mengatakan
bahwa jika tingkat pendapatan, atau GNP/GDP Indonesia masih rendah akan sukar
menjadi negara demokratis. Dengan kata lain kaum miskin tidak mungkin dapat
berdemokrasi, sebab suara atau aspirasinya akan dibeli oleh orang kaya.
Konstalasi inilah yang merebak sejak
Indonesia melakukan pemilihan umum secara langsung. Dengan hanya diberikan
sembako ala kadarnya, atau uang hanya sebesar Rp 25.000,-, mereka memilih atau
memberikan suara kepada yang memberikan bantuan tersebut. mereka tidak tahu,
atau tak peduli yang memberikan itu dewa atau setan. Yang pasti mereka
memberikan aspirasi dan suaranya kepada yang bayar
Kalau diteliti mendalam yang memberikan
atau yang berpunya ini, pada umumnya adalah segelintir keluarga-keluarga
tertentu. Keluarga yang punya titah, trah atau turunan raja-raja terdahulu. Dahulu, katakanlah
sebelum Indonesia merdeka, secara historis-socio-cultural adalah penguasa yang
sekaligus pengusaha, yang secara tidak langsung memang dipelihara colonial.
Meski telah merdeka, dan muncul
kesadaran nasional, pola-pola yang feudal,
patrimonial atau oligarchis ini tidak dapat dihilangkan. Sejalan dengan
perkembangan waktu, meski sistim politik atau ekonomi berubah, mereka tetap
adaptif atau bersimbiose mutualistis dengannya.
Soekarno Hatta yang berketetapan hati
meretas tatanan primitive itu menawarkan satu konsep modern kenegaraan yang
bernama “kedaulatan rakyat”. Implementasinya diwujudkan dalam UUD 1945.
Soekarno-Hatta atau mayoritas masyarakat Indonesia bermimpi pasca colonial
Indonesia akan demokratis. Sayang seribu sayang dalam perjalanannya, keinginan
itu hanya sampai pada konsep yang agung.
Dalam praksisnya yang berlangsungkemudian
( sesungguhnya) adalah sistim feudal, patrimonial atau oligarchis. Fakta ini dengan kasat mata dapat kita lihat ketika
Jendral Soeharto berkuasa.Pola yang dipraksiskan sebenarnya adalah metode
patrimonial. Terbukti (Realitanya) ia kuat lebih dari tiga dasawarsa.
Kekuasaannya stabil meski ditengah-tengah kemiskinan dan korupsi yang massif
(Karl D Jackson, 1980)
Karl D Jakson mengatakannya tidak
patrimonial atau militeristik, melainkan birokratik, atau birokratik otoriter
urai Dwight Y King (1980), namun substansinya tetaplah bahwa yang dipraktekkan
adalah pola-pola jaman dulu, yakni sistim kerajaan. Makanya banyak yang
nyeletuk bahwa, Soeharto itu bukan
seorang Presiden, melainkan Raja Mataram.
Mungkin karena sudah muak, karena
begitu lama berkuasa, plus tekanan internasional, Soeharto dilengserkan melalui
kekuatan rakyat soeharto tumbang dan muncul era reformasi. Sebagaimana ketika
Indonesia melepaskan diri dari penjajahan Belanda, rakyatpun berharap negeri
ini semakin demokratis
Pada awalnya reformasi memang
menjanjikan orientasii tersebut. Dimana-mana merebak kebebasan politik. Namun
tidak berapa lama kemudian, secara perlahan, namun pasti nilai-nilai yang
mengetengahkan kedaulatan rakyat itu dibajak para elit. Dengan pongah, tapi
halus mencuat kembali kekuatan-kekuatan lama sebagai renaissance Soeharto yang
otoriter.
Pandangan demikian,meski banyak yang
menolak, adalah dalih mengapa oligarchi tetap marak dewasa ini.
Oligarchi no, Demokrasi yes
Dengan dalih apapun oligarchi tidak
akan melahirkan kebersamaan, kesejahteraan atau keadilan bagi mayoritas
masyarakat. Masyarakat banyak akan permanen teralienasi dari kehidupannya.
Untuk ini demokrasi tetap kita tegakkan, plus perbaikan-perbaikannya, seperti
model demokrasi deliberative yang banyak digandrungi dewasa ini. Demokrasi yes,
oligarchi no.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar