Sabtu, 05 November 2016

MISS KOMUNIKASI, TANPA KOMUNIKASI, ATAU KOMUNIKASI LAIN




Study Kasus Anggito Abimanyu
Oleh Reinhard Hutapea

ABSTRACT
Anggito Abimanyu mengundurkan diri sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan, karena dirinya tidak jadi diangkat Wakil Menteri Keuangan , yang sebelumnya dijanjikan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono. Secara sepihak , yakni tanpa pemberitahuan sama sekali Soesilo Bambang Yudhoyono mengangkat sosok lain . Oleh karena itu demi “professionalitas dan harga diri” Anggito Abimayu mengundurkan diri. Akan tetapi kalau ditilik lebih seksama, Soesilo Bambang Yudhoyono sesungguhnya telah memberikan sinyal akan penolakan Anggito Abimanyu, melalui komunikasi tradisional atau komunikasi tidak langsung yang cenderung “tertutup, feudal-aristocrat, dan satu arah” sebagaimana yang berlangsung pada sistim patrimonial

Kata kunci: komunikasi, Kerajaan, demokrasi

Abstract
Anggito Abimanyu retired from his work, as Head of fiscal policy comitee at department of finance, since he was revoked to become vice minister of finance, which  was promised by Soesilo Bambang Yudhoyono previously without notification at al. head ministered another figure. That’s why Anggito Abimanyu resigned just for professionality and self respect. But if we observe it carefully, Soesilo Bambang Yudhoyono actually already give him a refusal signal through traditional communication or unstraight communication which disposed close, aristocrat and feudal, one way communication just same as patrimonial system

Key word : komunikasi, Kerajaan, Demokrasi

Pendahuluan
Pertengahan  Mei 2010 , media-media, baik itu media cetak maupun khususnya media audiovisual/televisi mempublikasikan pengunduran diri Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu secara besar-besaran. Publikasinya sejajar atau sama dengan kasus-kasus menarik lainnya, seperti kasus Pritha, kasus Antasari, kasus Bibit – Chandra, kasus Susno Duaji, kasus Pansus Century, hingga kasus Sri Mulyani Indrawati,. Publikasi besar-besaran media terhadap kasus-kasus tersebut begitu istimewa sehingga hampir semua kalangan masyarakat membicarakannya dengan sangat anthusias, baik itu diwarung-warung kopi, dirumah, dikampus-kampus, ditempa-tempat pertemuan hingga di hotel berbintang lima
Interaksi sekaligus perpaduan antara media cetak dan media audiovisual yang begitu intens mempublikasikan besaar-besaran kasus tersebut mendorong, memotivasi hingga merangsang masyarakat dengan cepat memunculkan apa yang disebut dengan “opini public” (public opinion) atau pendapat umum[1]. Intelektual Rousseau menyebutnya sebagai “volonte generale” alias kehendak masyarakat,
Sebagaimana lazimnya “public opinion”, tidak tertutup kemungkinan akan menjadi “kebenaran public”, walau tidak selalu menjadi kebenaran yang semestinya. Kasus Bibit – Chandra yang secara “public opinion” dianggap tidak salah, (katanya hanya direkayasa) secara hukum ditengarai  belum tuntas, namun karena sudah menjadi public opinion,  dianggap sudah selesai, meski upaya hukum oleh beberapa pakar hukum tetap dipermasalahkan
Anggito Abimanyu dalam pengakuannya dalam media-media tersebut, mengundurkan diri karena masalah harga diri dan professionalitas. Ia (Anggito) mengaku bahwa ia sudah dijanjikan sebelumnya oleh Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Wakil Menteri Keuangan, bahkan sudah menandatangani pakta integritas. Artinya sudah tidak ada masalah.
Akan tetapi tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, realitanya yang diangkat menjadi Wakil Menteri Keuangan adalah orang lain, bukan dirinya. Tidak ada pemeberitahuan sebelumnya, tidak diberikan surat pembatalan , bahkan di telefon saja pun tidak, malah yang diangkat adalah figure lain.
Pengakuan seperti itu yang dinyatakan oleh Anggito di beberapa media tersebut. Begitukah sebenarnya? Sungguhkah sama sekali tidak terjadi komunikasi sebelumnya? Ataukah ada komunikasi dalam bentuk lain, semacam komunikasi tradisional yang tak lazim? Inilah yang menjadi pembahasan atau tujuan penulisan ini.

Kerangka Berpikir
Kelaziman Ilmuwan Indonesia, apa disengaja atau tidak, disadari atau sebaliknya dalam menganalisa permasalahan social-cultural negeri ini selalu atas kacamata asing[2]. Kalau tidak memakai kacamata tersebut seakan-akan tidak afdol, tidak pas dan tentunya dianggap tidak benar (?). Dalam bahasa anak-anak muda sekarang tidak gaul, tidak gaya atau tidak trend. Atau mungkin ada juga yang menyebutnya kampungan
Mungkin tidak ada yang disalahkan, sebab mereka-mereka  itu adalah hasil didikan dari kurikulum yang tidak berbasis identitas negerinya. Ilmu (science) yang mereka pelajari selama ini serba asing, serba Barat, dan atau  khususnya serba Amerika Serikat. Ilmu Komunikasi yang lagi marak saat ini, hampir dapat dipastikan, 24 karat atau 100% adalah made ini Amerika Serikat. Doktor-doktor komunikasi yang mentas laris-manis dipakai media, seperti Effendi Ghazali, Tjipta Lesmana dan lain-lainnya adalah doktor lulusan Amerika Serikat
Karena mereka adalah alumnus asing, pendekatan atau persfektif yang mereka gunakan pada umumnya sudah pasti serba asing. Teori, konsep atau paradigma yang mengemuka, mayoritas, kalau tidak semua adalah warna asing. Warna Eropa, warna Barat, atau warna Amerika Serikat. Ada dan mungkin banyak yang dapat digunakan, tapi ada dan banyak juga yang tidak layak digunakan.
Sering pendekatan yang diterapkan itu sesungguhnya, tidak lebih tidak kurang hanya dicocok-cocokkan, dipas-paskan atau ditepat-tepatkan, meski sebenarnya tidak pas, tidak cocok dan tidak tepat
Bila mainstream tersebut yang berlangsung sudah dapat diduga, output, keluaran atau hasilnya sudah pasti jauh dari sasaran. Komunikasinya dianggap real, pada hal maya.. Dunia facebook yang maya, sering dianggap konkrit, pada hal sebaliknya, yakni semu. Dalam penelitian-penelitian ilmuwan social baru-baru ini, diprediksikan bahwa dunia maya yang sedang fenomenologis saat ini, (bak facebook tersebut) akan mengarah kepada “asosial”.
Itu mungkin sekedar ilustrasi atau contoh, betapa kemajuan yang datang sebagai titisan Barat itu tidak selalu pas, tidak selalu cocok bahkan tidak selalu tepat dengan kondisi socio-cultural bangsa ini. Indonesia jika dirunut dengan seksama, sesungguhnya telah punya identitas, jatidiri atau karakter tersendiri. Sayang karena kegenitan segelintir kalangan nan elitis, yang ternyata sangat menguasai komunikasi, mengakibatkan nilai-nilai lokal (local wisdom) tersebut tidak berkembang.
Mungkin hal demikian yang menjadi sumber kegagalan Indonesia membangun bangsanya.  Kaum cerdik-cendekianya tidak berbasis atas jatidiri atau identitasnya, melainkan jatidiri dan identitas asing yang semu, yang bahkan sering kontradiksi dengan kenyataannya.
 Dalam sejarah peradaban dunia, yang pertama-tama menjadi dasar, motivator atau sumber kemajuan suatu bangsa adalah cerdik-cendekianya/intelegensianya/intelektualnya. Cerdik-cendekia yang sungguh-sungguh tampil dari tengah-tengah keberadaan bangsanya. Bukan yang imitasi-imitasi dari luar, dari asing atau yang text book thinking Barat an sich (Soekarno, 1960).
Dalam hal kasus Anggito Abimayu tertangkap kesan, bahwa komunikasi yang berlangsung (menurut pengakuan Anggito tersebut) adalah komunikasi dinegara yang sungguh-sungguh sudah demokratis. Artinya komunikasi itu benar-benar sudah langsung, dua arah, transparan dan akuntabel. Tidak sebalikknya sebagaimana yang berlangsung dinegara-negara yang dikategorikan totaliter, yakni tidak langsung, tertutup dan dimonopoli penguasa
Demokrasi yang dimaksud, walau tidak disebutkan dengan jelas lazimnya adalah “demokrasi liberal”. Ukuran, standard atau parameter yang dipakai (sadar atau tidak) adalah apa yang diterapkan dinegara liberal tersebut. Mungkin bangsa ini lupa, bahwa demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi liberal, melainkan demokrasi Pancasila. Suatu demokrasi yang hingga saat ini masih terus diperdebatkan dan tidak berhenti mencari bentuknya yang pas
Meski rezim Soeharto yang otoriter telah berlalu dan digantikan oleh era reformasi yang lebih terbuka dan relative jauh lebih bebas dari era sebelumnya, tetap bahwa substansi demokrasi Pancasila itu belum tuntas[3]. Sebagaimana di era Soeharto, di era saat ini, yakni di era SBY, demokrasi Pancasila itupun masih tetap mencari bentuk.
Fakta bahwa kita masih mencari bentuk yang pas terhadap demokrasi Pancasila adalah masih dipersoalkannya keberadaan UUD 1945 pasca amandemen. Banyak kalangan yang belum dapat menerima UUD 1945 pasca amandemen tersebut dan menuntut kembali ke UUD 1945 asli. Bagaimana kelanjutannya, belum ada kepastian, apakah diteruskan atau kembali di amandemen
Konstalasi demikian sudah barang tentu akan sangat berpengaruh kepada komunikasi politik yang dipentaskan. Ada yang berkomunikasi ala UUD 1945 pasca amandemen, ada sebaliknya, yakni yang berkomunikasi atas dasar UUD 1945 asli. Yang berkomunikasi pasca amandemen ada kecenderungan mengikuti pola-pola yang berlangsung dalam sistem liberal, yakni kebebasan yang sebebas-bebasnya.
Yang ingin kembali ke UUD 1945 asli, sebaliknya ada kecenderungan melakukan komunikasi yang sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan yang asli, yang tentunya bukan komunikasi yang sebebas-bebasnya (yang sering dikonotasikan kebablasan). Namun bagaimana pasti atau konkritnya, belum ada parameter yang jelas.
Sebagaimana yang berlangsung dalam era Orde Baru, yakni komunikasi yang tidak liberal, tapi juga tidak otoriter adalah rona atau domain komunikasi yang berjalan saat ini. Ini sejalan dengan demokrasi yang kita anut, tidak liberal, tapi juga tidak otoriter.. Persis (masih) seperti sinyalemen yang dikeluarkan oleh Kongres AIPI IV di Ujung Pandang (Makassar) pada tanggal 8-9 Agustus 1990. Dalam salah satu session atau semacam rekomendasinya dikatakan:
Mungkin sebagian besar pengamat memilih pola di antara keduanya. Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa sistem Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang tidak liberal. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mengambil prinsip-prinsip demokrasi yang baik dan benar dari demokrasi liberal dan demokrasi totaliter, lalu digabung dan diramu dengan prinsip-prinsip demokrasi yang bersendi pada kepribadian bangsa Indonesia. maka demikianlah pola komunikasi politik Indonesia, mengambil unsur-unsur yang baik dan benar dari kedua pola yang dikemukakan tadi, kemudian digabung dan diramu dengan unsur-unsur budaya komunikasi bangsa Indonesia. Meskipun demikian, kita belum bisa menegaskan seperti apa pola komunikasi politik Indonesia, kecuali menyetujui istilah komunikasi politik yang berdasarkan Demokrasi Pancasila (Suryadi Syamsu dalam Maswadi Rauf dan Mappa Harun,1993:77)

Seperti apa pasnya?, kembali tetap menjadi pertanyaan. Kalau dulu dikatakan bahwa komunikasi politik ala demokrasi Pancasila adalah komunikasi bebas yang bertanggung jawab, maka saat ini tetap masih seperti itu, yakni “bebas tapi tetap dalam koridor bertanggung jawab”. Bertanggung jawab yang bagaimana? Kembali lagi, tidak ada ukuran yang kwantitatif. Masih serba kwalitatif dan normatif.
Akan tetapi, meskipun parameter yang pas belum ada, satu pandangan yang penulis gunakan untuk pembahasan tulisan ini , adalah pendapat Syamsu Hadi (dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, 1993:80). Beliau menyatakan bahwa pola komunikasi yang sungguh-sungguh transparan dan akuntabel hanya berlangsung pada situasi-situasi tertentu dan relatif masih tertutup, baik yang berlangsung antara elit politik dengan anggota masyarakat, elite dengan elite yang lain…….
Kata-kata atau kalimat……relative masih tertutup, antara elit dan elit….menjadi kunci membuka tabir permasalahan Anggito Abimanyu. Artinya memang masih ada kalau tidak besar  ketertutupan elit.

Anggito dalam Konteks Komunikasi Rasional-Demokratis
Anggito Abimanyu yang lulus pasaca sarjana (post graduate) dari AS , sedikit banyak telah terpengaruh, kalau tidak seluruhnya pola-pola yang berlangsung dalam Negara adidaya tersebut. Negara yang sering dikategorikan sebagai Negara Adikuasa, Super Power dan atau khususnya “Pendekar Demokrasi”. Tiada tempat, wilayah atau Negara di dunia ini yang tidak mengakui kedigdayaan AS. Banyak kalangan yang menghujatnya, namun diam-diam mereka yang menghujat tersebut mengikutinya
Gaya hidup atau teknologi AS telah sangat mendominasi dan mewarnai dunia ini. Celana jeans, makanan cepat saji ala Kentucky dan minuman coca cola , dapat ditemukan pada hampir seluruh kawasan dunia. Pesawat Boing , Air bus, mesin-mesin perang dan hasil-hasil teknologi canggih lainnya hampir semua negara menggunakannya. Dan tentu yang paling penting lagi karena merupakan sentral pembahasan tulisan ini adalah ideologinya, yakni  ideologi yang berpaham “demokrasi-liberal”
Demokrasi liberal sebagaimana keyakinan bangsa AS menjadi ideologi yang paling baik di dunia. Oleh karena itu harus diekspor melewati batas AS ke seluruh penjuru dunia. Hal ini sesuai dengan “manifest destiny” yang sangat diyakini mereka bahwa bangsa AS adalah bangsa yang ditakdirkan untuk memimpin dunia.
Demokrasi liberal AS sebagaimana yang sangat diyakini bangsanya pada umumnya mensyaratkan tiga paradigma utama, yakni “kebebasan, kesetaraan dan toleransi”, sebagaimana yang didengungkan oleh Revolusi Perancis dahulu, yakni “liberte, egalite dan fraternite”. Kebebasan sebagaimana substansi dan hakikinya adalah kebalikan atau lawan dari keterkungkungan, keterbelengguan atau keterjajahan. Kesetaraan dalam artian lain adalah “kebersamaan”, sebagai kebalikan dari ketimpangan, atau dalam bahasa tingginya disebut dengan “asimetri”. Sedangkan toleransi adalah saling pengertian. Saling pemahaman dari kemelut pertentangan atau perbedaan
Nilai-nilai (values) demikian menjadi “mainstream atau mindset” ilmuwan-ilmuwan yang pulang dari AS kenegeri asalnya. Tidak terkecuali Anggito Abimanyu. Anggito yang dikenal sebagai penganut “ekonomi pasar yang neoklasik”, bahkan sebagian kalangan menilainya sebagai “neoliberal” karena beliau berpartner dengan Sri Mulyani dan menjadi murid dari Budiono tidak akan lepas dari cap atau predikat demikian.
Dengan cap sebagai ekonom yang beraliran pasar bebas, Anggito adalah bagian dari demokrasi liberal titisan AS. Pola komunikasi yang dianutpun sudah tentu adalah metode yang dipakai disana. Meminjam Dan Nimmo, pola komunikasi yang dipentaskan dalam sistim demokrasi liberal adalah komunikasi tatap muka (face to face communication), yakni pola komunikasi dari “satu kepada satu” (Dan Nimmo, 1989:84)
Komunikasi dari “satu kepada satu” diartikan sebagai komunikasi langsung, tidak “melalui-melalui, ” (via-via), perlambang-perlambang atau simbol-simbol tertentu, apalagi komunikasi kebatinan tapi “vis a vis”, berhadap-hadapan secara langsung.Dalam bahasa yang paling umum dikenal sebagai komunikasi dua arah Kehidupan politik demokratis akan mencapai tuuannya apabila berlangsung komunikasi yang langsung, sebab hakikat demokrasi itu adalah keterbukaan, akuntabilitas. Sistim politik yang dilukiskan David Easton (1953) yang menjadi model demokrasi saat ini tidak mungkin mekanistis, apabila komunikasi antara sub sistem tidak lancar
David Easton dalam teorinya menggambarkan kehidupan politik demokratis adalah ibarat suatu sistem, sebagaimana tubuh manusia yang terdiri dari bagian-bagian, namun saling berfungsi dengan harmonis.. Sebagai suatu system sebagaimana tubuh manusia maka sistem politik terdiri dari subsistem-subsistem yang memiliki fungsi tertentu. Subsistem-subsistem ini dikenal dengan struktur politik yang terdiri dari infrastruktur politik dan suprastruktur politik
Agar sistem seperti itu dapat berjalan dengan handal, lancar dan membawa output yang diharapkan, sudah barang tentu dibutuhkan suatu mekanisme, dimana struktur politik dapat berhubungan atau berinteraksi dengan struktur politik lainnya berdasarkan fungsi yang melekat pada setiap struktur politik
Interaksi antara struktur-struktur politik dalam sistem demikian dapat dilihat sebagai sebagai unsur dari sistim komunikasi politik . Dengan kata lain sistem politik itu sesungguhnya adalah komunikasi politik. Masukan (input) yakni “dukungan dan tuntutan” yang akan diproses dalam sistem politik akan menghasilkan keluaran (output) yakni “keputusan dan kebijakan” yang aspiratif ,akan berlangsung apabila ada interaksi atau komunikasi yang memadai.
Sistim politik yang demokratis dan komunikatif demikian akan berlangsung apabila prasyarat-prasyarat untuk itu sudah tersedia dan memadai .Prasyarat-prasyarat demikian adalah nilai-nilai yang diteorikan oleh Samuel Huntington. Sistim politik, sistim apapaun itu tidak berlangsung dalam ruang hampa, melainkan dalam ruang ril, yakni berlangsung ditengah-tengah tatanan atai sistim sosialnya. Bagaimana sistim social, atau nilai-nilai yang diteorikan oleh Huntington, akan ditulis dibawah ini:
1.      a high level of economic wealth
2.      relatively equal distribution of income and/or wealth
3.      a market economy
4.      economic development and social modernization
5.      a feudal aristocracy at the same point in the history of society, the absence of feudalism in the society
6.      strong bourgeoisie (no bourgeoisie, no democracy, in Barrington Moore succinct formulation)
7.      a strong middle class
8.      a high level of literacy and education
9.      Protestantism
10.  social pluralism and strong intermediate group
11.  the development of political contestation before the expansion of political participation
12.  democratic authority structure within social groups, particularly those connected with politics
13.  low level of civil violence
14.  low level of political polarization and extremism
15.  political leaders commited to democracy
16.  experience as British Colony
17.  tradition of toleration and compromise
18.  occupation by prodemocratic foreign power
19.  influence by prodemocratic foreign power
20.  elite desire to emulate democratic nations
21.  tradition of respect for law and individual rights
22.  communal (ethnic, racial, religious) heterogeneity
23.  communal (ethnic, racial, religious) homogeneity
24.  consensus on political and social values
25.  absence of consensus on political and social values (Huntington, 1991:37-38)

nilai-nilai seperti ini menjadi syarat agar suatu negara dapat melakukan suatu demokrasi dengan berhasil guna, yakni suatu demokrasi yang sungguh-sungguh substantif. Salah satu apalagi sekian dari prasyarat-prasyarat tersebut tidak tersedia, maka demokrasai itu akan mengalami distorsi, bahkan mungkin suatu kegagalan. Predikat demokrasi, tapi prakteknya tidak demokratis
Banyak Negara mengaku demokratis, namun dalam kenyatannya banyak yang melakukan pola-pola otoriter dan diktator. Bahasa verbal atau euphemismenya adalah “demokrasi prosedural”. Secara mekanisme atau prosedur telah melaksanakan demokrasi, namun secara hakiki masih jauh dari kenyataan. Indonesia dapat diklasifikasikan kedalam terminologi seperti itu.
Anggito Abimanyu yang percaya 100% ekonomi pasar bebas, menganalogikan dalam dunia politik/demokrasi terjadi hal yang sama , yakni bahwa ada kompetisi yang sehat, siap kalah-siap menang dan selalu menuju kepada kemajuan. Nyatanya masih seperti kata pepatah “maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai”.
 Jauh panggang dari api, kata pepatah yang lain. Kepemimpinan politik yang sedang mentas dalam prakteknya masih mewarisi mentalitas kerajaan-kerajaan dahulu yang cenderung feodal. Anggito salah hitung. Anggito yang mengklaim (dalam pikirannya) telah lahir “keterbukaan”, karena terpilih melalui pemilihan umum yang sangat demokratis, kenyataannya masih sarat dengan “ketertutupan”.
Elit atau para pemimpin, siapapun itu, dimanapun itu masih terpenjara dalam tahapan tersebut, meski arus bawah (grassroth) sesungguhnya sudah sangat demokratis.Bagaimana elit atau pemimpin-pemimpin negeri ini masih tertawan dalam ketertutupan akan diuraikan dibawah ini

Elit Dan Ketertutupan Politik
Anggito yang tampil di pentas elit, yakni sebagai salah satu “the rulling class” di Departemen Keuangan, mencuat kepermukaan pasca reformasi. Ia yang sebelumnya menjadi salah satu staf pengajar FE UGM, adalah aktivis yang aktif memperjuangkan reformasi bersama-sama aktivis dan atau khususnya aktivis-aktivis mahasiswa UGM. Sama dan sebangun dengan kiprah Sri Mulyani di FEUI. Mungkin atas dasar konstalasi demikian mereka dipakai dipemerintahan yang memang lahir dari rahim reformasi.
Sebagai ekonom, sosok-sosok energik generasi muda ini diharapkan akan mempercepat tujuan reformasi, yakni mencapai masyarakat yang semakin sejahtera. Bidang ekonomi dianggap sebagai dasar atau primat utama perubahan kea rah seperti itu, sebab menyangkut kebutuhan dasar, seperti sandang, papan dan pangan. Setelah itu sector itu tercapai baru menyusul perubahan-perubahan yang lain.
Dalam sektor ekonomi, tujuan reformasi relative (mungkin) hampir tanpa hambatan. Secara teknis, pola-pola ekonomi yang ada tinggal menyempurnakan apa yang sudah dirintis oleh pemerintahan sebelumnya. Artinya bagaimana membuat pasar semakin berperan dalam pengelolaan perekonomian. Diktum-diktum IMF dengan 50 LOI yang ditandatangani Soeharto pada akhir pemerintahannya lebih dari cukup sebagai guidance perekonomian pasca rezim otoriter
Akan tetapi dalam bidang lain, seperti dimensi politik, atau yang lebih jauh lagi, yakni dimensi socio-cultural tidak sesederhana dimensi ekonomi. Masalah-masalah politik tidak sekedar teknis-teknis sebagaimana yang dititahkan IMF terhadap perekonomian negeri ini,melainkan terkait dengan sistem sosial dan sistem kebudayaan yang sarat dengan nilai-nilai yang sudah berlangsung lama sejak bangsa ini hadir.
Nilai-nilai demikian, seperti sifat, karakter dan ethos akan sangat berpengaruh terhadapnya. Sifat-sifat positif asli Indonesia, seperti “kekeluargaan” dan “gotong royong”, tidak akan sejalan dengan nilai-nilai ekonomi pasar yang mensyaratkan “individualisme dan kompetisi habis-habisan”. Kekeluargaan dan gotong royong mensyaratkan kolektiviteit, bukan individualistic yang berkompetisi bebas
Selain sifat-sifat positif tersebut yang juga sebenarnya tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, adalah sifat-sifat negative yang melekat pada bangsa ini. Sifat-sifat ini menurut Mohtar Lubis (1977) adalah; munafik/hipokrit, enggan bertanggung jawab, feodal, percaya pada tahyul dan wataknya lemah. Dengan lebih halus, Koentjaraningrat (1984:45) menggambarkan sifat-sifat tersebut sebagai; sifat mentalitas yang meremehkan mutu, sifat mentalitas yang suka menerabas, sifat tak percaya kepada diri sendiri, sifat tak berdisiplin murni dan sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Sifat-sifat ini sudah ada sejak lama dalam sistim nilai budaya kita yang tradisional (Koentjaraningrat, 1984:43)[4]
Sifat-sifat demikian hingga saat ini masih melekat pada bangsa ini. Elit-elit yang muncul kepermukaan masih mewarisi pola-pola yang tidak sehat tersebut. Pada waktu angin reformasi berhembus kencang, mereka (para elit demikian) mentolerir cuaca keterbukaan dengan sangat anthusias. Akan tetapi setelah mereka berkuasa, kembali ke jati dirinya, yakni ingin mempertahankan status quo dengan kembali kepola-pola yang konservatif nan tradisional, yakni mementaskan pola-pola, termasuk pola-pola komunikasi yang tertutup. Ketertutupan kembali menjadi warna dominant elit politik Indonesia
Ketertutupan ini dengan kasat mata kita saksikan pada sidang-sidang yang seharusnya terbuka, yakni sidang-sidang DPR kenyataannya selalu tertutup. Sidang yang seharusnya terbuka, karena mereka dipilih secara terbuka dan nyata-nyata adalah mewakili rakyat, melakukan pembahasan kepentingan rakyat (Undang-Undang) tidak transparan, melainkan selalu tertutup.
 Keterbukaan hanya pada awal pembukaan sidang. Pada tingkat-tingkat selanjutnya/pembahasan sesudahnya, seperti dalam tingkat Panitia Kerja (Panja) hingga pengambilan keputusan, semua dilakukan secara tertutup. Yang lebih mengenaskan lagi adalah bahwa sidang-sidang tertentu dilaksanakan diluar DPR, seperti dihotel-hotel dan lain-lain tempat mewah yang sudah barang tentu sangat menguras dana.
Sudah menguras dana yang besar, jauh lebih berbahaya lagi adalah, akan  membuat ketertutupan semakin tertutup . Kalau digedung DPR masih ada yang mengawasi, diluar sudah pasti akan lebih bebas. Bebas untuk kongkalikong dengan mitra kerjanya melakukan hal-hal yang hanya berhubungan dengan kepentingan mereka, atau titipan-titipan dari “kepentingan luar”.
Hal demikian dapat berlangsung seperti itu karena memang Tata tertib (Tatib) DPR belum dirobah. Tata tertib DPR yang berlaku saat ini masih sama dan sebangun dengan tata tertib pada era otoritarian Soeharto. Belum dirubah, dan kecenderugannya akan terus seperti itu, jika tidak ada kekuatan yang menekannya. Sungguh aneh, pada waktu kampanye mereka mendengungkan keterbukaan dalam segala hal, termasuk dalam kiprah mereka jika terpilih menjadi anggota DPR yang terhormat. Nyatanya setelah terpilih mereka tidak mau terbuka. Keterbukaan hanya janji sebelum terpilih. Setelah terpilih lain lagi, ingkar janji. Janjjanji tinggal janj, seperti senandung Betharia Sonatha dua puluh dua tahun yang lalu
Karena sidangnya tertutup, dapat diduga sudah pasti ada yang disembunyikan, yakni menomersekiankan kepentingan konstituen/rakyat pemilihnya, dan mengutamakan kepentingannya sendiri. Atau lebih sadis lagi dengan kongkalikong memperjuangkan kepentingaan asing. Sri Mulyani baru-baru ini membahasakannya dengan perkawinan antara “pengusaha dan penguasa” (Kompas, 30 Maret 2010)[5]
Apakah  kesal karena tidak Menteri Keuangan lagi, atau terinspirasi tulisannya Peter Evans (1980) tentang persekongkolan segitiga antara “perusahaan multi nasional (MNCs), Negara (penguasa/birokrat) dan pengusaha lokal (local bourgeouse)”, menjadi suatu diskursus yang menarik dan dinamis. Kalau tidak romantic dan dialektis. Sebab Sri Mulyani yang sebelumnya dikenal sebagai sosok yang sangat menjauhi dictum diktum yang berbau politik, namun suatu saat bicara politik dihadapan public
Perubahan yang sangat mendasar demikian, spontan disambut oleh media-media. Baik itu media cetak dan atau khususnya media audio visual. Diktum perskongkolan “pengusaha dan penguasa” itu menjadi bahasan yang ramai di layar-layar kaca televisi. Tidak cukup hanya ……..pengusaha dan penguasa itu, melainkan menyeruak kepada seluruh sendi kehidupan politik, termasuk kepada sosok diatasnya, Apalagi Sri Mulyani menambahkan pesan (message) agar pemimpin itu tidak mengorbankan bawahannya.
Siapa yang dimaksud Sri Mulyani?, walaupun tidak disebut dengan jelas, khalayak menduga itu adalah sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY dipersepsikan oleh khalayak telah memberi instruksi, pesan atau apalah yang sejenisnya kepada Sri Mulyani, tapi sebagai dampaknya Sri Mulyani yang mengemban implikasi dari pesan itu. Pesan-pesan seperti ini menjadi buah bibir, sebab Sri Mulyani diundang kemana-mana, termasuk nyanyi bersama dan menyair dengan Franki Sahilatua dan Garin Nugroho. Dibeberapa media tercetak kata-kata atau kalimat…”bernyanyilah Jeng Sri”. Nyanyiannya rupanya hanya sebatas waktu bersama-sama Franki Sahilatua itu….selanjutnya ia terbang ke Washington menggapai album barunya sebagai direktur pelaksana Bank Dunia. Mungkin setelah sampai disana Sri Mulyani akan bernyanyi, dan senandungnya semakin merdu.

Tabir AA
Sewaktu Sri Mulyani dicecar bahkan diminta mundur dari jabatannya dalam kasus Century, SBY tegar dan menyatakan tidak akan mengganti beliau dari jabatan Menteri Keuangan. Beliau akan tetap pada kedudukannya. Issu –issu, rumors dan kabar burung bahwa ada sosok-sosok yang sudah dipersiapkan oleh SBY ditepis dengan tegas. Terekam dengan jelas bahwa SBY menolak nama-nama yang sudah ramai dibicarakan di media.
Media sebagaimana fungsi utamanya sebagai wahana informasi, menulis dan memberitakan dengan tinta tebal dan indah, kandidat-kandidat pengganti Sri Mulyani. Nama-nama yang sangat santer pada waktu itu ada tiga, yakni Anggito Abimanyu (AA), Darmin Nasution, dan Iwan Jaya Aziz. Nama-nama tersebut dianggap layak menggantikan sosok Sri Mulyani.[6]
Namun apakah karena tidak sesuai dengan nama-nama tersebut, atau karena keburu sudah diramaikan oleh pers atau ada faktor-faktor lain, SBY dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa nama-nama yang diberitakan oleh media-media, seperti AA (SBY memang sengaja menyatakan seperti itu, yakni dengan initsial AA) sebagai penggantinya adalah tidak benar. Sri Mulyani tetap pada posnya.
Yang menarik dan mungkin luput dari perhatian pengamat adalah ketika SBY berbicara di televisi menanggapi calon-calon yang ramai dibicarakan di media- media tersebut, adalah” mimic, intonasi, dan bahasa tubuh SBY”. Mimic, intonasi dan bahasa tubuh tersebut kalau diperhatikan dengan seksama adalah cerminan dari pandangannya.
Kalau diteliti dengan mendalam, pernyataannya yang menyatakan , (kita kutif)…bahwa pengganti Menteri Keuangan yang disebut-sebut seperti “si itu, sianu, si AA” (sengaja initsial AA disebut), adalah cerminan penolakan sebenarnya terhadap AA. Komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi tidak langsung, melainkan komunikasi dengan lambang-lambang, isyarat-isyarat atau simbol-simbol tertentu
Bagi kalangan yang  aktif mengamati perilaku elit politik Indonesia, pola-pola demikian, yakni adanya komunikasi yang tidak langsung yang dilakukan para elit adalah lumrah. Perilaku politik, dan atau khususnya perilaku komunikasinya masih mewarisi pola-pola politik jaman kerajaan dahulu yang “feodal-aristokratis” (Umar Kayam, 1982:109)
Elit politik, apalagi elit politik tertinggi akan mempersepsikan dirinya sebagai “raja”. Sebagai raja sudah barang tentu ia akan selalu benar, tidak akan pernah salah (the king can do no wrong). Apapun yang dilakukannya adalah benar dan adil meski sesungguhnya itu adalah sebaliknya (tidak benar dan tidak adil). Mattulada melukiskan pola politik atau kekuasaan seperti ini sebagai berikut:
Apa yang pada umumnya dipandang sebagai keadilan adalah “karunia” yang bersumber pada raja. Raja atau sang maharaja adalah pemegang dan pelaksana dari apa yang menurut pandangannya sebagai “keadilan”. Pandangan keadilan itu meliputi segenap tingkah laku orang seorang terhadap seseorang lainnya yang berlaku dalam masyarakat. Rasa keadilan itu meliputi atasan terhadap bawahan, tuan terhadap hambanya, dan bukanlah sebaliknya. Bawahan dan hamba hanya menerima keadilan itu sebagai karunia yang datangnya dari atas (Mattulada, 1982:105) 
Anggito Abimanyu yang merasa diberlakukan tidak adil, karena sebelumnya telah dijanjikan sebagai Wakil Menteri Keuangan dan juga telah menandatangani pakta integritas, menurut terminologi Mattulada demikian harus menerima perlakuan tersebut. Ia (Anggito) harus menerima tindakan yang tidak adil itu tanpa syarat, sebab itu adalah sabda raja atau sabda pandito. Mattulada menuliskannya dibawah ini:
Bahwa seseorang dalam segala kemungkinan dapat merasa diperlakukan tidak adil oleh atasannya, maka hal ini akan dipertanyakan kepada dirinya sendiri. Dia akan memeriksa dirinya dan pada akhirnya akan mempersalahkan dirinya sendiri, bahwa perasaan “kurang diperlakukan adil baginya”, tentu karena sesuatu dosa yang pernah diperbuatnya. Dosa itu mungkin dilakukan oleh dirinya pribadi, mungkin oleh pihak lain, namun dialah yang harus menebusnya dengan menerima “perlakuan tidak adil”. Maka iapun menerima dengan penuh kerelaan “perlakuan tidak adil itu” sebagai tindakan keadilan dari atasannya, dan itulah yang diterimanya sebagai “keadilan” (Mattulada, 1982:106)

Pola, adat dan tradisi seperti itulah yang berlaku dalam kultur kekuasaan politik di Indonesia. Pemimpin, ketua, kepala dan atau khususnya pejabat pemerintahan, seperti Bupati, Gubernur dan Presiden  masih berperilaku sebagai raja yang patrimonial. Soeharto jika diperhatikan tingkah lakunya semasa menjabat Presiden adalah metode seorang raja. Raja yang sangat absolute, otoriter dan diktatorian
Sebagai implementasinya dalam berhubungan atau berkomunikasi dengan pihak lain adalah satu arah, tertutup dan cenderung menggunakan simbol-simbol, lambang –lambang tertentu yang harus dipahami pihak lain. Sebagaimana Soeharto yang tidak pernah menyatakan secara langsung, terbuka dan blak-blakan, Soesilo Bambang Yudhoyonopun melakukan hal yang sama[7]
Sebagai orang Jawa, apalagi bermukim di Yogyakarta, Anggito sesungguhnya memahami pola demikian. Penulis yakin haqul yakin bahwa beliau sangat menghayati kultur patrimonial tersebut. Mengapa ia mengundurkan diri, dengan menyatakan tidak dipanggil, tidak disuratain atau di telefon saja tidak, adalah perlawanan nya terhadap kultur feudal aristocrat tersebut. Sebagai seorang democrat ia rela menjadi martir untuk itu
                                                                                             Jakarta, 24 Juni 2010
                                                                                    
                                                                                      Reinhard Hutapea
                                                                           Staf Ahli DPR RI, 1999 S/D 2009
                                                                              Staf Pengajar FISIP UNTAG
                                                                               Staf pengajar (LB) FISIP  UBL
.
REFERENSI
Bogardus, 1951, The Making of Public Opinion, Associated Press, New York
Doob Leonard W, 1984, Public Opinion and Propaganda, The Cresser Press, London
Easton David, 1953, The Political System, Routledge Press, New York
Huntington Samuel,1991, The Third Wave: Democratization in the late Twentieth          Century, University Oklahoma
Jackson KD,1978, Political Power and Communication in Indonesia, Columbia University Press, London
Kayam, Umar, 1979, Pilihan Untuk Mengembangkan Kultur Politik Baru, LP3ES, Jakarta
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta
Mattulada, 1979, Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, LP3ES, Jakarta
Rauf Maswadi dan Mappa Nasrun ,1993, Indonesia dan Komunikasi Politik, Gramedia, Jakarta
Soemarno AP, 2004, Komunkiasi Politik, Universitas Terbuka, Jakarta
Sitompul Saut, 2009, Membangun Etos Kerja Unggul, FISIP UNTAG Jakarta



[1] Pendapat umum (public opinion) adalah kajian utama komunikasi politik, selain pola keyakinan, dan perilaku penguasa (elit). pendapat umum merupakan unsure kekuatan politik yang memiliki dasar moral dan selalu cenderung kepada kebenaran dan menghargai nilai-nilai normative. Menurut Emory S, Bogardus ada empat macam kompetensi pendapat umum. Pertama, pendapat umum dapat memperkuat undang-undang, kedua,  memberi kekuatan hidup bagi institusi-institusi atau lembaga-lembaga kemasyarakatan, ketiga,  merupakan kekuatan untuk menghidupkan dasar-dasar kemasyarakatan, dan keempat,  merupakan pendukung dasar moral masyaralat (Bogardus,1951:17)
[2] Mohammad Hatta menyatakan bahwa Ilmuwan Indonesia kepalanya di Barat, tapi kakinya di timur. Suatu hal yang tidak perlu terjadi. Kalau kaki di barat, seharusnya kepala juga di barat. Pendekatan barat adalah pendekatan yang digali dari bumi mereka dan memang diutamakan untuk mereka. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar ke barat, telah diingatkan para guru besarnya, yakni bahwa ilmu yang ada dibarat itu, dari, oleh dan untuk barat. Para pengamat Barat pada umumnya memandang atau mengkaji Negara-negara lain, seperti Indonesia, mayoritas pada pendekatan yang sering disertai prasangka atau disertai dengan perbandingan kepada negeri atau masyarakat yang sama sekali tidak relevan. Sebagai pendahuluan, dan juga sebagai cermin prasangka yang dimaksudkan, Prof Dr Deliar Noer merujuk kepada buku “The Myth of The Lazy Native oleh Syed Hussein Alatas yang menyanggah pengamat-pengamat asing tentang sifat-sifat orang Melayu yang mereka sebutkan “pemalas, tumpul, khianat, kekanak-kanakan dan sebagainya. Syed Hussein Alatas berkesimpulan bahwa sifat-sifat tersebut tumbuh pada pengamat bersangkutan oleh karena penolakan orang kita untuk melibatkan diri dalam perkembangan ekonomi yang diselenggarakan oleh pemerintah colonial dan perusahaan barat (dalam Hutapea, Reinhard, Mimbar Umum, 31 desember 1990)
[3] Dalam tulisan ini kita berbicara tentang demokrasi Pancasila, tentang tata krama Pancasila, dan sebagainya. Akan tetapi kita belum sempat, atau mungkin sedang berada ditengah-tengah usaha untuk menjabarkan semua itu. Yaitu apakah demokrasi atau tata krama Pancasila itu merupakan suatu extension, kelanjutan dari nilai-nilai kita yang berorientasi pada nilai-nilai feudal-aristokratis yang diproyeksikan pada setting yang baru dimana pengaruh-pengaruh barat berada ditengah-tengah kita, ataukah demokrasi Pancasila itu sesuatu usaha yang memang benar-benar baru dengan memperhitungkan iklim atau titik tolak yang sama sekali baru (Umar Kayam, 1978)
[4] Bandingkan misalnya dengan sifat atau etos Jerman, yakni bertindak rasional, berdisiplin tinggi, bekerja keras, berorientasi sukese material, tidak mengumbar kesenangan, hemat danbersahaja, menabung dan berinvestasi. Sifat atau etos Jepang, yakni bersikap benar dan bertanggung jawab, berani dan kesatria, murah hati dan mencintai, bersikap santun dan hormat, bersikap tulus dan sungguih-sungguh, menjaga martabat dan kehormatan, mengabdi dan loyal. Sifayt dan etos Korea, yaitu; kerja keras, disiplin, hemat, gemar menabung, mengutamakan pendidikan (Sitompul, S, 2009:17)
[5] Meskipun Sri Mulyani tidak menjelaskan dengan detail apa yang dimaksud dengan perkawinan antara penguasa dengan pengusaha, khalayak pada umumnya membaca pesan itu adalah persekongkolan antara Abu Rizal Bakrie dengan SBY. Sri Mulyani sebelumnya sangat gencar menuding bisnis-bisnis Abu Rizal yang menunggak pajak hingga 21, triliun rupiah, karena pihak Abu Rizal dan Golkar sebelumnya juga sangat gencar meminta Sri Mulyani dilengserkan.
[6] Anggito Abimanyu dan Darmin Nasution dianggap (oleh kalangan DPR) paling tepat karena sudah sering tampil di parlemen mendampingi Menteri Keuangan. Begitu pula dengan tugas-tugas kenegaraan lainnya, kedua sosok ini sudah sering muncul. Secara ekonomis, juga dianggap sudah diterima pasar. Sedangkan Agus Martowardoyo, yang akhirnya terpilih menjadi menteri keuangan dianggap ada masalah, yakni ketika ditolak menjadi Gubernur Bank Indonesia beberapa waktu sebelumnya.
[7] Soesilo Bambang Yudhoyono adalah salah satu mantan ajudan Presiden Soeharto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar