Study Kasus Anggito
Abimanyu
Oleh Reinhard Hutapea
ABSTRACT
Anggito Abimanyu
mengundurkan diri sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan,
karena dirinya tidak jadi diangkat Wakil Menteri Keuangan , yang sebelumnya
dijanjikan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono. Secara sepihak , yakni tanpa pemberitahuan
sama sekali Soesilo Bambang Yudhoyono mengangkat sosok lain . Oleh karena itu
demi “professionalitas dan harga diri” Anggito Abimayu mengundurkan diri. Akan
tetapi kalau ditilik lebih seksama, Soesilo Bambang Yudhoyono sesungguhnya
telah memberikan sinyal akan penolakan Anggito Abimanyu, melalui komunikasi
tradisional atau komunikasi tidak langsung yang cenderung “tertutup,
feudal-aristocrat, dan satu arah” sebagaimana yang berlangsung pada sistim
patrimonial
Kata kunci:
komunikasi, Kerajaan, demokrasi
Abstract
Anggito Abimanyu
retired from his work, as Head of fiscal policy comitee at department of
finance, since he was revoked to become vice minister of finance, which was promised by Soesilo Bambang Yudhoyono
previously without notification at al. head ministered another figure. That’s
why Anggito Abimanyu resigned just for professionality and self respect. But if
we observe it carefully, Soesilo Bambang Yudhoyono actually already give him a
refusal signal through traditional communication or unstraight communication
which disposed close, aristocrat and feudal, one way communication just same as
patrimonial system
Key word : komunikasi, Kerajaan, Demokrasi
Pendahuluan
Pertengahan Mei
2010 , media-media, baik itu media cetak maupun khususnya media
audiovisual/televisi mempublikasikan pengunduran diri Kepala Badan Kebijakan
Fiskal Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu secara besar-besaran. Publikasinya
sejajar atau sama dengan kasus-kasus menarik lainnya, seperti kasus Pritha, kasus
Antasari, kasus Bibit – Chandra, kasus Susno Duaji, kasus Pansus Century,
hingga kasus Sri Mulyani Indrawati,. Publikasi besar-besaran media terhadap
kasus-kasus tersebut begitu istimewa sehingga hampir semua kalangan masyarakat
membicarakannya dengan sangat anthusias, baik itu diwarung-warung kopi, dirumah,
dikampus-kampus, ditempa-tempat pertemuan hingga di hotel berbintang lima
Interaksi sekaligus perpaduan antara media cetak dan media
audiovisual yang begitu intens mempublikasikan besaar-besaran kasus tersebut
mendorong, memotivasi hingga merangsang masyarakat dengan cepat memunculkan apa
yang disebut dengan “opini public” (public opinion) atau pendapat umum[1].
Intelektual Rousseau menyebutnya sebagai “volonte generale” alias kehendak
masyarakat,
Sebagaimana lazimnya “public opinion”, tidak tertutup
kemungkinan akan menjadi “kebenaran public”, walau tidak selalu menjadi kebenaran
yang semestinya. Kasus Bibit – Chandra yang secara “public opinion” dianggap
tidak salah, (katanya hanya direkayasa) secara hukum ditengarai belum tuntas, namun karena sudah menjadi
public opinion, dianggap sudah selesai,
meski upaya hukum oleh beberapa pakar hukum tetap dipermasalahkan
Anggito Abimanyu dalam pengakuannya dalam media-media
tersebut, mengundurkan diri karena masalah harga diri dan professionalitas. Ia
(Anggito) mengaku bahwa ia sudah dijanjikan sebelumnya oleh Susilo Bambang
Yudhoyono menjadi Wakil Menteri Keuangan, bahkan sudah menandatangani pakta
integritas. Artinya sudah tidak ada masalah.
Akan tetapi tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, realitanya
yang diangkat menjadi Wakil Menteri Keuangan adalah orang lain, bukan dirinya.
Tidak ada pemeberitahuan sebelumnya, tidak diberikan surat pembatalan , bahkan di telefon saja pun
tidak, malah yang diangkat adalah figure lain.
Pengakuan seperti itu yang dinyatakan oleh Anggito di
beberapa media tersebut. Begitukah sebenarnya? Sungguhkah sama sekali tidak
terjadi komunikasi sebelumnya? Ataukah ada komunikasi dalam bentuk lain,
semacam komunikasi tradisional yang tak lazim? Inilah yang menjadi pembahasan
atau tujuan penulisan ini.
Kerangka Berpikir
Kelaziman Ilmuwan Indonesia, apa disengaja atau
tidak, disadari atau sebaliknya dalam menganalisa permasalahan social-cultural
negeri ini selalu atas kacamata asing[2].
Kalau tidak memakai kacamata tersebut seakan-akan tidak afdol, tidak pas dan
tentunya dianggap tidak benar (?). Dalam bahasa anak-anak muda sekarang tidak
gaul, tidak gaya
atau tidak trend. Atau mungkin ada juga yang menyebutnya kampungan
Mungkin tidak ada yang disalahkan, sebab
mereka-mereka itu adalah hasil didikan
dari kurikulum yang tidak berbasis identitas negerinya. Ilmu (science) yang
mereka pelajari selama ini serba asing, serba Barat, dan atau khususnya serba Amerika Serikat. Ilmu
Komunikasi yang lagi marak saat ini, hampir dapat dipastikan, 24 karat atau
100% adalah made ini Amerika Serikat. Doktor-doktor komunikasi yang mentas
laris-manis dipakai media, seperti Effendi Ghazali, Tjipta Lesmana dan
lain-lainnya adalah doktor lulusan Amerika Serikat
Karena mereka adalah alumnus asing, pendekatan atau
persfektif yang mereka gunakan pada umumnya sudah pasti serba asing. Teori,
konsep atau paradigma yang mengemuka, mayoritas, kalau tidak semua adalah warna
asing. Warna Eropa, warna Barat, atau warna Amerika Serikat. Ada dan mungkin banyak yang dapat digunakan,
tapi ada dan banyak juga yang tidak layak digunakan.
Sering pendekatan yang diterapkan itu sesungguhnya, tidak
lebih tidak kurang hanya dicocok-cocokkan, dipas-paskan atau ditepat-tepatkan,
meski sebenarnya tidak pas, tidak cocok dan tidak tepat
Bila mainstream tersebut yang berlangsung sudah dapat
diduga, output, keluaran atau hasilnya sudah pasti jauh dari sasaran.
Komunikasinya dianggap real, pada hal maya.. Dunia facebook yang maya, sering
dianggap konkrit, pada hal sebaliknya, yakni semu. Dalam penelitian-penelitian
ilmuwan social baru-baru ini, diprediksikan bahwa dunia maya yang sedang
fenomenologis saat ini, (bak facebook tersebut) akan mengarah kepada “asosial”.
Itu mungkin sekedar ilustrasi atau contoh, betapa
kemajuan yang datang sebagai titisan Barat itu tidak selalu pas, tidak selalu
cocok bahkan tidak selalu tepat dengan kondisi socio-cultural bangsa ini. Indonesia
jika dirunut dengan seksama, sesungguhnya telah punya identitas, jatidiri atau
karakter tersendiri. Sayang karena kegenitan segelintir kalangan nan elitis,
yang ternyata sangat menguasai komunikasi, mengakibatkan nilai-nilai lokal (local
wisdom) tersebut tidak berkembang.
Mungkin hal demikian yang menjadi sumber kegagalan Indonesia
membangun bangsanya. Kaum
cerdik-cendekianya tidak berbasis atas jatidiri atau identitasnya, melainkan
jatidiri dan identitas asing yang semu, yang bahkan sering kontradiksi dengan
kenyataannya.
Dalam sejarah
peradaban dunia, yang pertama-tama menjadi dasar, motivator atau sumber
kemajuan suatu bangsa adalah cerdik-cendekianya/intelegensianya/intelektualnya.
Cerdik-cendekia yang sungguh-sungguh tampil dari tengah-tengah keberadaan
bangsanya. Bukan yang imitasi-imitasi dari luar, dari asing atau yang text book
thinking Barat an sich (Soekarno, 1960).
Dalam hal kasus Anggito Abimayu tertangkap kesan, bahwa
komunikasi yang berlangsung (menurut pengakuan Anggito tersebut) adalah
komunikasi dinegara yang sungguh-sungguh sudah demokratis. Artinya komunikasi
itu benar-benar sudah langsung, dua arah, transparan dan akuntabel. Tidak
sebalikknya sebagaimana yang berlangsung dinegara-negara yang dikategorikan
totaliter, yakni tidak langsung, tertutup dan dimonopoli penguasa
Demokrasi yang dimaksud, walau tidak disebutkan dengan
jelas lazimnya adalah “demokrasi liberal”. Ukuran, standard atau parameter yang
dipakai (sadar atau tidak) adalah apa yang diterapkan dinegara liberal
tersebut. Mungkin bangsa ini lupa, bahwa demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi
liberal, melainkan demokrasi Pancasila. Suatu demokrasi yang hingga saat ini
masih terus diperdebatkan dan tidak berhenti mencari bentuknya yang pas
Meski rezim Soeharto yang otoriter telah berlalu dan
digantikan oleh era reformasi yang lebih terbuka dan relative jauh lebih bebas
dari era sebelumnya, tetap bahwa substansi demokrasi Pancasila itu belum tuntas[3].
Sebagaimana di era Soeharto, di era saat ini, yakni di era SBY, demokrasi
Pancasila itupun masih tetap mencari bentuk.
Fakta bahwa kita masih mencari bentuk yang pas terhadap
demokrasi Pancasila adalah masih dipersoalkannya keberadaan UUD 1945 pasca
amandemen. Banyak kalangan yang belum dapat menerima UUD 1945 pasca amandemen tersebut
dan menuntut kembali ke UUD 1945 asli. Bagaimana kelanjutannya, belum ada
kepastian, apakah diteruskan atau kembali di amandemen
Konstalasi demikian sudah barang tentu akan sangat
berpengaruh kepada komunikasi politik yang dipentaskan. Ada yang berkomunikasi ala UUD 1945 pasca
amandemen, ada sebaliknya, yakni yang berkomunikasi atas dasar UUD 1945 asli.
Yang berkomunikasi pasca amandemen ada kecenderungan mengikuti pola-pola yang
berlangsung dalam sistem liberal, yakni kebebasan yang sebebas-bebasnya.
Yang ingin kembali ke UUD 1945 asli, sebaliknya ada
kecenderungan melakukan komunikasi yang sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan
yang asli, yang tentunya bukan komunikasi yang sebebas-bebasnya (yang sering
dikonotasikan kebablasan). Namun bagaimana pasti atau konkritnya, belum ada
parameter yang jelas.
Sebagaimana yang berlangsung dalam era Orde Baru, yakni
komunikasi yang tidak liberal, tapi juga tidak otoriter adalah rona atau domain
komunikasi yang berjalan saat ini. Ini sejalan dengan demokrasi yang kita anut,
tidak liberal, tapi juga tidak otoriter.. Persis (masih) seperti sinyalemen
yang dikeluarkan oleh Kongres AIPI IV di Ujung Pandang (Makassar)
pada tanggal 8-9 Agustus 1990. Dalam salah satu session atau semacam
rekomendasinya dikatakan:
Mungkin sebagian besar pengamat memilih pola di antara keduanya.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa sistem Demokrasi Pancasila adalah
demokrasi yang tidak liberal. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang
mengambil prinsip-prinsip demokrasi yang baik dan benar dari demokrasi liberal
dan demokrasi totaliter, lalu digabung dan diramu dengan prinsip-prinsip
demokrasi yang bersendi pada kepribadian bangsa Indonesia. maka demikianlah pola
komunikasi politik Indonesia,
mengambil unsur-unsur yang baik dan benar dari kedua pola yang dikemukakan
tadi, kemudian digabung dan diramu dengan unsur-unsur budaya komunikasi bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, kita belum bisa menegaskan seperti apa pola komunikasi
politik Indonesia, kecuali menyetujui istilah komunikasi politik yang
berdasarkan Demokrasi Pancasila (Suryadi Syamsu dalam Maswadi Rauf dan Mappa
Harun,1993:77)
Seperti apa pasnya?, kembali tetap menjadi pertanyaan.
Kalau dulu dikatakan bahwa komunikasi politik ala demokrasi Pancasila adalah
komunikasi bebas yang bertanggung jawab, maka saat ini tetap masih seperti itu,
yakni “bebas tapi tetap dalam koridor bertanggung jawab”. Bertanggung jawab
yang bagaimana? Kembali lagi, tidak ada ukuran yang kwantitatif. Masih serba
kwalitatif dan normatif.
Akan tetapi, meskipun parameter yang pas belum ada, satu
pandangan yang penulis gunakan untuk pembahasan tulisan ini , adalah pendapat
Syamsu Hadi (dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, 1993:80). Beliau menyatakan
bahwa pola komunikasi yang sungguh-sungguh transparan dan akuntabel hanya
berlangsung pada situasi-situasi tertentu dan relatif masih tertutup, baik yang
berlangsung antara elit politik dengan anggota masyarakat, elite dengan elite
yang lain…….
Kata-kata atau kalimat……relative masih tertutup, antara elit dan elit….menjadi kunci membuka
tabir permasalahan Anggito Abimanyu. Artinya memang masih ada kalau tidak besar
ketertutupan elit.
Anggito dalam Konteks
Komunikasi Rasional-Demokratis
Anggito Abimanyu yang lulus pasaca sarjana (post
graduate) dari AS , sedikit banyak telah terpengaruh, kalau tidak seluruhnya
pola-pola yang berlangsung dalam Negara adidaya tersebut. Negara yang sering
dikategorikan sebagai Negara Adikuasa, Super Power dan atau khususnya “Pendekar
Demokrasi”. Tiada tempat, wilayah atau Negara di dunia ini yang tidak mengakui
kedigdayaan AS. Banyak kalangan yang menghujatnya, namun diam-diam mereka yang
menghujat tersebut mengikutinya
Gaya hidup atau teknologi AS telah sangat mendominasi dan mewarnai dunia
ini. Celana jeans, makanan cepat saji ala Kentucky dan minuman coca cola , dapat
ditemukan pada hampir seluruh kawasan dunia. Pesawat Boing , Air bus,
mesin-mesin perang dan hasil-hasil teknologi canggih lainnya hampir semua negara
menggunakannya. Dan tentu yang paling penting lagi karena merupakan sentral
pembahasan tulisan ini adalah ideologinya, yakni ideologi yang berpaham “demokrasi-liberal”
Demokrasi liberal sebagaimana keyakinan bangsa AS
menjadi ideologi yang paling baik di dunia. Oleh karena itu harus diekspor
melewati batas AS ke seluruh penjuru dunia. Hal ini sesuai dengan “manifest
destiny” yang sangat diyakini mereka bahwa bangsa AS adalah bangsa yang
ditakdirkan untuk memimpin dunia.
Demokrasi liberal AS sebagaimana yang sangat diyakini
bangsanya pada umumnya mensyaratkan tiga paradigma utama, yakni “kebebasan, kesetaraan dan toleransi”,
sebagaimana yang didengungkan oleh Revolusi Perancis dahulu, yakni “liberte, egalite dan fraternite”. Kebebasan
sebagaimana substansi dan hakikinya adalah kebalikan atau lawan dari
keterkungkungan, keterbelengguan atau keterjajahan. Kesetaraan dalam artian
lain adalah “kebersamaan”, sebagai kebalikan dari ketimpangan, atau dalam
bahasa tingginya disebut dengan “asimetri”. Sedangkan toleransi adalah saling
pengertian. Saling pemahaman dari kemelut pertentangan atau perbedaan
Nilai-nilai (values) demikian menjadi “mainstream atau
mindset” ilmuwan-ilmuwan yang pulang dari AS kenegeri asalnya. Tidak terkecuali
Anggito Abimanyu. Anggito yang dikenal sebagai penganut “ekonomi pasar yang
neoklasik”, bahkan sebagian kalangan menilainya sebagai “neoliberal” karena
beliau berpartner dengan Sri Mulyani dan menjadi murid dari Budiono tidak akan
lepas dari cap atau predikat demikian.
Dengan cap sebagai ekonom yang beraliran pasar bebas,
Anggito adalah bagian dari demokrasi liberal titisan AS. Pola komunikasi yang
dianutpun sudah tentu adalah metode yang dipakai disana. Meminjam Dan Nimmo,
pola komunikasi yang dipentaskan dalam sistim demokrasi liberal adalah
komunikasi tatap muka (face to face communication), yakni pola komunikasi dari
“satu kepada satu” (Dan Nimmo, 1989:84)
Komunikasi dari “satu kepada satu” diartikan sebagai
komunikasi langsung, tidak “melalui-melalui, ” (via-via), perlambang-perlambang
atau simbol-simbol tertentu, apalagi komunikasi kebatinan tapi “vis a vis”,
berhadap-hadapan secara langsung.Dalam bahasa yang paling umum dikenal sebagai
komunikasi dua arah Kehidupan politik demokratis akan mencapai tuuannya apabila
berlangsung komunikasi yang langsung, sebab hakikat demokrasi itu adalah keterbukaan,
akuntabilitas. Sistim politik yang dilukiskan David Easton (1953) yang menjadi
model demokrasi saat ini tidak mungkin mekanistis, apabila komunikasi antara
sub sistem tidak lancar
David Easton dalam teorinya menggambarkan kehidupan
politik demokratis adalah ibarat suatu sistem, sebagaimana tubuh manusia yang
terdiri dari bagian-bagian, namun saling berfungsi dengan harmonis.. Sebagai
suatu system sebagaimana tubuh manusia maka sistem politik terdiri dari
subsistem-subsistem yang memiliki fungsi tertentu. Subsistem-subsistem ini
dikenal dengan struktur politik yang terdiri dari infrastruktur politik dan
suprastruktur politik
Agar sistem seperti itu dapat berjalan dengan handal, lancar
dan membawa output yang diharapkan, sudah barang tentu dibutuhkan suatu
mekanisme, dimana struktur politik dapat berhubungan atau berinteraksi dengan
struktur politik lainnya berdasarkan fungsi yang melekat pada setiap struktur
politik
Interaksi antara struktur-struktur politik dalam sistem
demikian dapat dilihat sebagai sebagai unsur dari sistim komunikasi politik . Dengan
kata lain sistem politik itu sesungguhnya adalah komunikasi politik. Masukan
(input) yakni “dukungan dan tuntutan” yang akan diproses dalam sistem politik
akan menghasilkan keluaran (output) yakni “keputusan dan kebijakan” yang
aspiratif ,akan berlangsung apabila ada interaksi atau komunikasi yang memadai.
Sistim politik yang demokratis dan komunikatif demikian
akan berlangsung apabila prasyarat-prasyarat untuk itu sudah tersedia dan
memadai .Prasyarat-prasyarat demikian adalah nilai-nilai yang diteorikan oleh Samuel
Huntington. Sistim politik, sistim apapaun itu tidak berlangsung dalam ruang
hampa, melainkan dalam ruang ril, yakni berlangsung ditengah-tengah tatanan
atai sistim sosialnya. Bagaimana sistim social, atau nilai-nilai yang
diteorikan oleh Huntington,
akan ditulis dibawah ini:
1.
a high level of economic wealth
2.
relatively equal distribution
of income and/or wealth
3.
a market economy
4.
economic development and social
modernization
5.
a feudal aristocracy at the
same point in the history of society, the absence of feudalism in the society
6.
strong bourgeoisie (no
bourgeoisie, no democracy, in Barrington Moore succinct formulation)
7.
a strong middle class
8.
a high level of literacy and
education
9.
Protestantism
10.
social pluralism and strong
intermediate group
11.
the development of political
contestation before the expansion of political participation
12.
democratic authority structure
within social groups, particularly those connected with politics
13.
low level of civil violence
14.
low level of political
polarization and extremism
15.
political leaders commited to
democracy
16.
experience as British Colony
17.
tradition of toleration and
compromise
18.
occupation by prodemocratic
foreign power
19.
influence by prodemocratic
foreign power
20.
elite desire to emulate
democratic nations
21.
tradition of respect for law
and individual rights
22.
communal (ethnic, racial,
religious) heterogeneity
23.
communal (ethnic, racial,
religious) homogeneity
24.
consensus on political and
social values
25.
absence of consensus on
political and social values (Huntington, 1991:37-38)
nilai-nilai seperti ini menjadi syarat agar suatu negara dapat
melakukan suatu demokrasi dengan berhasil guna, yakni suatu demokrasi yang
sungguh-sungguh substantif. Salah satu apalagi sekian dari prasyarat-prasyarat
tersebut tidak tersedia, maka demokrasai itu akan mengalami distorsi, bahkan mungkin
suatu kegagalan. Predikat demokrasi, tapi prakteknya tidak demokratis
Banyak Negara mengaku demokratis, namun dalam
kenyatannya banyak yang melakukan pola-pola otoriter dan diktator. Bahasa
verbal atau euphemismenya adalah “demokrasi prosedural”. Secara mekanisme atau
prosedur telah melaksanakan demokrasi, namun secara hakiki masih jauh dari
kenyataan. Indonesia
dapat diklasifikasikan kedalam terminologi seperti itu.
Anggito Abimanyu yang percaya 100% ekonomi pasar bebas,
menganalogikan dalam dunia politik/demokrasi terjadi hal yang sama , yakni
bahwa ada kompetisi yang sehat, siap kalah-siap menang dan selalu menuju kepada
kemajuan. Nyatanya masih seperti kata pepatah “maksud hati memeluk gunung apa
daya tangan tak sampai”.
Jauh panggang
dari api, kata pepatah yang lain. Kepemimpinan politik yang sedang mentas dalam
prakteknya masih mewarisi mentalitas kerajaan-kerajaan dahulu yang cenderung feodal.
Anggito salah hitung. Anggito yang mengklaim (dalam pikirannya) telah lahir
“keterbukaan”, karena terpilih melalui pemilihan umum yang sangat demokratis, kenyataannya
masih sarat dengan “ketertutupan”.
Elit atau para pemimpin, siapapun itu, dimanapun itu masih
terpenjara dalam tahapan tersebut, meski arus bawah (grassroth) sesungguhnya sudah
sangat demokratis.Bagaimana elit atau pemimpin-pemimpin negeri ini masih
tertawan dalam ketertutupan akan diuraikan dibawah ini
Elit Dan Ketertutupan
Politik
Anggito yang tampil di pentas elit, yakni sebagai salah
satu “the rulling class” di Departemen Keuangan, mencuat kepermukaan pasca
reformasi. Ia yang sebelumnya menjadi salah satu staf pengajar FE UGM, adalah
aktivis yang aktif memperjuangkan reformasi bersama-sama aktivis dan atau khususnya
aktivis-aktivis mahasiswa UGM. Sama dan sebangun dengan kiprah Sri Mulyani di FEUI.
Mungkin atas dasar konstalasi demikian mereka dipakai dipemerintahan yang
memang lahir dari rahim reformasi.
Sebagai ekonom, sosok-sosok energik generasi muda ini diharapkan
akan mempercepat tujuan reformasi, yakni mencapai masyarakat yang semakin
sejahtera. Bidang ekonomi dianggap sebagai dasar atau primat utama perubahan
kea rah seperti itu, sebab menyangkut kebutuhan dasar, seperti sandang, papan
dan pangan. Setelah itu sector itu tercapai baru menyusul perubahan-perubahan
yang lain.
Dalam sektor ekonomi, tujuan reformasi relative (mungkin)
hampir tanpa hambatan. Secara teknis, pola-pola ekonomi yang ada tinggal
menyempurnakan apa yang sudah dirintis oleh pemerintahan sebelumnya. Artinya
bagaimana membuat pasar semakin berperan dalam pengelolaan perekonomian.
Diktum-diktum IMF dengan 50 LOI yang ditandatangani Soeharto pada akhir
pemerintahannya lebih dari cukup sebagai guidance perekonomian pasca rezim otoriter
Akan tetapi dalam bidang lain, seperti dimensi politik,
atau yang lebih jauh lagi, yakni dimensi socio-cultural tidak sesederhana dimensi
ekonomi. Masalah-masalah politik tidak sekedar teknis-teknis sebagaimana yang
dititahkan IMF terhadap perekonomian negeri ini,melainkan terkait dengan sistem
sosial dan sistem kebudayaan yang sarat dengan nilai-nilai yang sudah
berlangsung lama sejak bangsa ini hadir.
Nilai-nilai demikian, seperti sifat, karakter dan ethos
akan sangat berpengaruh terhadapnya. Sifat-sifat positif asli Indonesia,
seperti “kekeluargaan” dan “gotong royong”, tidak akan sejalan dengan
nilai-nilai ekonomi pasar yang mensyaratkan “individualisme dan kompetisi
habis-habisan”. Kekeluargaan dan gotong royong mensyaratkan kolektiviteit,
bukan individualistic yang berkompetisi bebas
Selain sifat-sifat positif tersebut yang juga sebenarnya
tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia,
adalah sifat-sifat negative yang melekat pada bangsa ini. Sifat-sifat ini
menurut Mohtar Lubis (1977) adalah; munafik/hipokrit,
enggan bertanggung jawab, feodal, percaya pada tahyul dan wataknya lemah.
Dengan lebih halus, Koentjaraningrat (1984:45) menggambarkan sifat-sifat
tersebut sebagai; sifat mentalitas yang
meremehkan mutu, sifat mentalitas yang suka menerabas, sifat tak percaya kepada
diri sendiri, sifat tak berdisiplin murni dan sifat mentalitas yang suka
mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Sifat-sifat ini sudah ada sejak lama
dalam sistim nilai budaya kita yang tradisional (Koentjaraningrat, 1984:43)[4]
Sifat-sifat demikian hingga saat ini masih melekat pada
bangsa ini. Elit-elit yang muncul kepermukaan masih mewarisi pola-pola yang
tidak sehat tersebut. Pada waktu angin reformasi berhembus kencang, mereka
(para elit demikian) mentolerir cuaca keterbukaan dengan sangat anthusias. Akan
tetapi setelah mereka berkuasa, kembali ke jati dirinya, yakni ingin
mempertahankan status quo dengan kembali kepola-pola yang konservatif nan
tradisional, yakni mementaskan pola-pola, termasuk pola-pola komunikasi yang
tertutup. Ketertutupan kembali menjadi warna dominant elit politik Indonesia
Ketertutupan ini dengan kasat mata kita saksikan pada
sidang-sidang yang seharusnya terbuka, yakni sidang-sidang DPR kenyataannya
selalu tertutup. Sidang yang seharusnya terbuka, karena mereka dipilih secara
terbuka dan nyata-nyata adalah mewakili rakyat, melakukan pembahasan
kepentingan rakyat (Undang-Undang) tidak transparan, melainkan selalu tertutup.
Keterbukaan hanya
pada awal pembukaan sidang. Pada tingkat-tingkat selanjutnya/pembahasan
sesudahnya, seperti dalam tingkat Panitia Kerja (Panja) hingga pengambilan
keputusan, semua dilakukan secara tertutup. Yang lebih mengenaskan lagi adalah
bahwa sidang-sidang tertentu dilaksanakan diluar DPR, seperti dihotel-hotel dan
lain-lain tempat mewah yang sudah barang tentu sangat menguras dana.
Sudah menguras dana yang besar, jauh lebih berbahaya
lagi adalah, akan membuat ketertutupan
semakin tertutup . Kalau digedung DPR masih ada yang mengawasi, diluar sudah
pasti akan lebih bebas. Bebas untuk kongkalikong dengan mitra kerjanya
melakukan hal-hal yang hanya berhubungan dengan kepentingan mereka, atau
titipan-titipan dari “kepentingan luar”.
Hal demikian dapat berlangsung seperti itu karena memang
Tata tertib (Tatib) DPR belum dirobah. Tata tertib DPR yang berlaku saat ini
masih sama dan sebangun dengan tata tertib pada era otoritarian Soeharto. Belum
dirubah, dan kecenderugannya akan terus seperti itu, jika tidak ada kekuatan
yang menekannya. Sungguh aneh, pada waktu kampanye mereka mendengungkan
keterbukaan dalam segala hal, termasuk dalam kiprah mereka jika terpilih menjadi
anggota DPR yang terhormat. Nyatanya setelah terpilih mereka tidak mau terbuka.
Keterbukaan hanya janji sebelum terpilih. Setelah terpilih lain lagi, ingkar
janji. Janjjanji tinggal janj, seperti senandung Betharia Sonatha dua puluh dua
tahun yang lalu
Karena sidangnya tertutup, dapat diduga sudah pasti ada
yang disembunyikan, yakni menomersekiankan kepentingan konstituen/rakyat
pemilihnya, dan mengutamakan kepentingannya sendiri. Atau lebih sadis lagi dengan
kongkalikong memperjuangkan kepentingaan asing. Sri Mulyani baru-baru ini membahasakannya
dengan perkawinan antara “pengusaha dan penguasa” (Kompas, 30 Maret 2010)[5]
Apakah kesal
karena tidak Menteri Keuangan lagi, atau terinspirasi tulisannya Peter Evans
(1980) tentang persekongkolan segitiga antara “perusahaan multi nasional
(MNCs), Negara (penguasa/birokrat) dan pengusaha lokal (local bourgeouse)”,
menjadi suatu diskursus yang menarik dan dinamis. Kalau tidak romantic dan
dialektis. Sebab Sri Mulyani yang sebelumnya dikenal sebagai sosok yang sangat
menjauhi dictum diktum yang berbau politik, namun suatu saat bicara politik
dihadapan public
Perubahan yang sangat mendasar demikian, spontan
disambut oleh media-media. Baik itu media cetak dan atau khususnya media audio
visual. Diktum perskongkolan “pengusaha dan penguasa” itu menjadi bahasan yang
ramai di layar-layar kaca televisi. Tidak cukup hanya ……..pengusaha dan
penguasa itu, melainkan menyeruak kepada seluruh sendi kehidupan politik,
termasuk kepada sosok diatasnya, Apalagi Sri Mulyani menambahkan pesan
(message) agar pemimpin itu tidak mengorbankan bawahannya.
Siapa yang dimaksud Sri Mulyani?, walaupun tidak disebut
dengan jelas, khalayak menduga itu adalah sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). SBY dipersepsikan oleh khalayak telah memberi instruksi, pesan atau
apalah yang sejenisnya kepada Sri Mulyani, tapi sebagai dampaknya Sri Mulyani
yang mengemban implikasi dari pesan itu. Pesan-pesan seperti ini menjadi buah
bibir, sebab Sri Mulyani diundang kemana-mana, termasuk nyanyi bersama dan
menyair dengan Franki Sahilatua dan Garin Nugroho. Dibeberapa media tercetak
kata-kata atau kalimat…”bernyanyilah Jeng Sri”. Nyanyiannya rupanya hanya
sebatas waktu bersama-sama Franki Sahilatua itu….selanjutnya ia terbang ke Washington menggapai
album barunya sebagai direktur pelaksana Bank Dunia. Mungkin setelah sampai
disana Sri Mulyani akan bernyanyi, dan senandungnya semakin merdu.
Tabir AA
Sewaktu Sri Mulyani dicecar bahkan diminta mundur dari
jabatannya dalam kasus Century, SBY tegar dan menyatakan tidak akan mengganti
beliau dari jabatan Menteri Keuangan. Beliau akan tetap pada kedudukannya. Issu
–issu, rumors dan kabar burung bahwa ada sosok-sosok yang sudah dipersiapkan oleh
SBY ditepis dengan tegas. Terekam dengan jelas bahwa SBY menolak nama-nama yang
sudah ramai dibicarakan di media.
Media sebagaimana fungsi utamanya sebagai wahana
informasi, menulis dan memberitakan dengan tinta tebal dan indah,
kandidat-kandidat pengganti Sri Mulyani. Nama-nama yang sangat santer pada
waktu itu ada tiga, yakni Anggito Abimanyu (AA), Darmin Nasution, dan Iwan Jaya
Aziz. Nama-nama tersebut dianggap layak menggantikan sosok Sri Mulyani.[6]
Namun apakah karena tidak sesuai dengan nama-nama
tersebut, atau karena keburu sudah diramaikan oleh pers atau ada faktor-faktor
lain, SBY dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa nama-nama yang diberitakan
oleh media-media, seperti AA (SBY memang sengaja menyatakan seperti itu, yakni dengan
initsial AA) sebagai penggantinya adalah tidak benar. Sri Mulyani tetap pada
posnya.
Yang menarik dan mungkin luput dari perhatian pengamat adalah
ketika SBY berbicara di televisi menanggapi calon-calon yang ramai dibicarakan
di media- media tersebut, adalah” mimic,
intonasi, dan bahasa tubuh SBY”. Mimic, intonasi dan bahasa tubuh tersebut kalau
diperhatikan dengan seksama adalah cerminan dari pandangannya.
Kalau diteliti dengan mendalam, pernyataannya yang
menyatakan , (kita kutif)…bahwa pengganti Menteri Keuangan yang disebut-sebut
seperti “si itu, sianu, si AA”
(sengaja initsial AA disebut), adalah cerminan penolakan sebenarnya terhadap
AA. Komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi tidak langsung, melainkan
komunikasi dengan lambang-lambang, isyarat-isyarat atau simbol-simbol tertentu
Bagi kalangan yang
aktif mengamati perilaku elit politik Indonesia, pola-pola demikian,
yakni adanya komunikasi yang tidak langsung yang dilakukan para elit adalah
lumrah. Perilaku politik, dan atau khususnya perilaku komunikasinya masih
mewarisi pola-pola politik jaman kerajaan dahulu yang “feodal-aristokratis”
(Umar Kayam, 1982:109)
Elit politik, apalagi elit politik tertinggi akan
mempersepsikan dirinya sebagai “raja”. Sebagai raja sudah barang tentu ia akan
selalu benar, tidak akan pernah salah (the king can do no wrong). Apapun yang
dilakukannya adalah benar dan adil meski sesungguhnya itu adalah sebaliknya
(tidak benar dan tidak adil). Mattulada melukiskan pola politik atau kekuasaan
seperti ini sebagai berikut:
Apa yang pada umumnya dipandang sebagai keadilan adalah “karunia”
yang bersumber pada raja. Raja atau sang maharaja adalah pemegang dan pelaksana
dari apa yang menurut pandangannya sebagai “keadilan”. Pandangan keadilan itu
meliputi segenap tingkah laku orang seorang terhadap seseorang lainnya yang
berlaku dalam masyarakat. Rasa keadilan itu meliputi atasan terhadap bawahan,
tuan terhadap hambanya, dan bukanlah sebaliknya. Bawahan dan hamba hanya
menerima keadilan itu sebagai karunia yang datangnya dari atas (Mattulada,
1982:105)
Anggito Abimanyu yang merasa diberlakukan tidak adil,
karena sebelumnya telah dijanjikan sebagai Wakil Menteri Keuangan dan juga
telah menandatangani pakta integritas, menurut terminologi Mattulada demikian
harus menerima perlakuan tersebut. Ia (Anggito) harus menerima tindakan yang
tidak adil itu tanpa syarat, sebab itu adalah sabda raja atau sabda pandito.
Mattulada menuliskannya dibawah ini:
Bahwa seseorang dalam segala kemungkinan dapat merasa diperlakukan
tidak adil oleh atasannya, maka hal ini akan dipertanyakan kepada dirinya
sendiri. Dia akan memeriksa dirinya dan pada akhirnya akan mempersalahkan
dirinya sendiri, bahwa perasaan “kurang diperlakukan adil baginya”, tentu
karena sesuatu dosa yang pernah diperbuatnya. Dosa itu mungkin dilakukan oleh
dirinya pribadi, mungkin oleh pihak lain, namun dialah yang harus menebusnya
dengan menerima “perlakuan tidak adil”. Maka iapun menerima dengan penuh
kerelaan “perlakuan tidak adil itu” sebagai tindakan keadilan dari atasannya,
dan itulah yang diterimanya sebagai “keadilan” (Mattulada, 1982:106)
Pola, adat dan tradisi seperti itulah yang berlaku dalam
kultur kekuasaan politik di Indonesia.
Pemimpin, ketua, kepala dan atau khususnya pejabat pemerintahan, seperti
Bupati, Gubernur dan Presiden masih
berperilaku sebagai raja yang patrimonial. Soeharto jika diperhatikan tingkah
lakunya semasa menjabat Presiden adalah metode seorang raja. Raja yang sangat
absolute, otoriter dan diktatorian
Sebagai implementasinya dalam berhubungan atau
berkomunikasi dengan pihak lain adalah satu arah, tertutup dan cenderung
menggunakan simbol-simbol, lambang –lambang tertentu yang harus dipahami pihak
lain. Sebagaimana Soeharto yang tidak pernah menyatakan secara langsung,
terbuka dan blak-blakan, Soesilo Bambang Yudhoyonopun melakukan hal yang sama[7]
Sebagai orang Jawa, apalagi bermukim di Yogyakarta, Anggito sesungguhnya memahami pola demikian.
Penulis yakin haqul yakin bahwa beliau sangat menghayati kultur patrimonial
tersebut. Mengapa ia mengundurkan diri, dengan menyatakan tidak dipanggil,
tidak disuratain atau di telefon saja tidak, adalah perlawanan nya terhadap
kultur feudal aristocrat tersebut. Sebagai seorang democrat ia rela menjadi
martir untuk itu
Jakarta, 24 Juni 2010
Reinhard Hutapea
Staf
Ahli DPR RI, 1999 S/D 2009
Staf Pengajar FISIP UNTAG
Staf pengajar (LB) FISIP UBL
.
REFERENSI
Bogardus, 1951, The Making of Public Opinion, Associated Press, New York
Doob Leonard W, 1984, Public Opinion and Propaganda, The Cresser
Press, London
Easton David, 1953, The
Political System, Routledge Press,
New York
Huntington Samuel,1991, The Third Wave: Democratization in the late
Twentieth Century, University Oklahoma
Jackson KD,1978, Political Power
and Communication in Indonesia,
Columbia University
Press, London
Kayam, Umar, 1979, Pilihan Untuk Mengembangkan Kultur Politik Baru,
LP3ES, Jakarta
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan,
Gramedia, Jakarta
Mattulada, 1979, Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, LP3ES, Jakarta
Rauf Maswadi dan Mappa Nasrun ,1993, Indonesia
dan Komunikasi Politik, Gramedia, Jakarta
Soemarno AP, 2004, Komunkiasi Politik, Universitas Terbuka, Jakarta
Sitompul Saut, 2009, Membangun Etos Kerja Unggul, FISIP UNTAG Jakarta
[1] Pendapat umum (public opinion) adalah kajian utama komunikasi
politik, selain pola keyakinan, dan perilaku penguasa (elit). pendapat umum
merupakan unsure kekuatan politik yang memiliki dasar moral dan selalu
cenderung kepada kebenaran dan menghargai nilai-nilai normative. Menurut Emory
S, Bogardus ada empat macam kompetensi pendapat umum. Pertama, pendapat umum
dapat memperkuat undang-undang, kedua,
memberi kekuatan hidup bagi institusi-institusi atau lembaga-lembaga
kemasyarakatan, ketiga, merupakan kekuatan
untuk menghidupkan dasar-dasar kemasyarakatan, dan keempat, merupakan pendukung dasar moral masyaralat
(Bogardus,1951:17)
[2] Mohammad Hatta menyatakan bahwa Ilmuwan Indonesia kepalanya di Barat, tapi
kakinya di timur. Suatu hal yang tidak perlu terjadi. Kalau kaki di barat,
seharusnya kepala juga di barat. Pendekatan barat adalah pendekatan yang digali
dari bumi mereka dan memang diutamakan untuk mereka. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia
yang belajar ke barat, telah diingatkan para guru besarnya, yakni bahwa ilmu
yang ada dibarat itu, dari, oleh dan untuk barat. Para pengamat Barat pada
umumnya memandang atau mengkaji Negara-negara lain, seperti Indonesia,
mayoritas pada pendekatan yang sering disertai prasangka atau disertai dengan
perbandingan kepada negeri atau masyarakat yang sama sekali tidak relevan.
Sebagai pendahuluan, dan juga sebagai cermin prasangka yang dimaksudkan, Prof
Dr Deliar Noer merujuk kepada buku “The Myth of The Lazy Native oleh Syed
Hussein Alatas yang menyanggah pengamat-pengamat asing tentang sifat-sifat
orang Melayu yang mereka sebutkan “pemalas, tumpul, khianat, kekanak-kanakan
dan sebagainya. Syed Hussein Alatas berkesimpulan bahwa sifat-sifat tersebut
tumbuh pada pengamat bersangkutan oleh karena penolakan orang kita untuk
melibatkan diri dalam perkembangan ekonomi yang diselenggarakan oleh pemerintah
colonial dan perusahaan barat (dalam Hutapea, Reinhard, Mimbar Umum, 31
desember 1990)
[3] Dalam tulisan ini kita berbicara tentang demokrasi Pancasila,
tentang tata krama Pancasila, dan sebagainya. Akan tetapi kita belum sempat,
atau mungkin sedang berada ditengah-tengah usaha untuk menjabarkan semua itu.
Yaitu apakah demokrasi atau tata krama Pancasila itu merupakan suatu extension,
kelanjutan dari nilai-nilai kita yang berorientasi pada nilai-nilai
feudal-aristokratis yang diproyeksikan pada setting yang baru dimana
pengaruh-pengaruh barat berada ditengah-tengah kita, ataukah demokrasi
Pancasila itu sesuatu usaha yang memang benar-benar baru dengan memperhitungkan
iklim atau titik tolak yang sama sekali baru (Umar Kayam, 1978)
[4] Bandingkan misalnya dengan sifat atau etos Jerman, yakni bertindak
rasional, berdisiplin tinggi, bekerja keras, berorientasi sukese material,
tidak mengumbar kesenangan, hemat danbersahaja, menabung dan berinvestasi.
Sifat atau etos Jepang, yakni bersikap benar dan bertanggung jawab, berani dan
kesatria, murah hati dan mencintai, bersikap santun dan hormat, bersikap tulus
dan sungguih-sungguh, menjaga martabat dan kehormatan, mengabdi dan loyal.
Sifayt dan etos Korea,
yaitu; kerja keras, disiplin, hemat, gemar menabung, mengutamakan pendidikan
(Sitompul, S, 2009:17)
[5] Meskipun Sri Mulyani tidak menjelaskan dengan detail apa yang
dimaksud dengan perkawinan antara penguasa dengan pengusaha, khalayak pada
umumnya membaca pesan itu adalah persekongkolan antara Abu Rizal Bakrie dengan
SBY. Sri Mulyani sebelumnya sangat gencar menuding bisnis-bisnis Abu Rizal yang
menunggak pajak hingga 21, triliun rupiah, karena pihak Abu Rizal dan Golkar
sebelumnya juga sangat gencar meminta Sri Mulyani dilengserkan.
[6] Anggito Abimanyu dan Darmin Nasution dianggap (oleh kalangan DPR)
paling tepat karena sudah sering tampil di parlemen mendampingi Menteri
Keuangan. Begitu pula dengan tugas-tugas kenegaraan lainnya, kedua sosok ini
sudah sering muncul. Secara ekonomis, juga dianggap sudah diterima pasar. Sedangkan
Agus Martowardoyo, yang akhirnya terpilih menjadi menteri keuangan dianggap ada
masalah, yakni ketika ditolak menjadi Gubernur Bank Indonesia beberapa waktu
sebelumnya.
[7] Soesilo Bambang Yudhoyono adalah salah satu mantan ajudan Presiden
Soeharto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar