Kamis, 31 Agustus 2017

MEWUJUDKAN MODEL PEMBANGUNAN YANG KONSTITUSIONIL




MEWUJUDKAN MODEL PEMBANGUNAN YANG KONSTITUSIONAL
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan. Staf ahli DPR RI 2000-2009
Published, 30 Agust 2017 Harian Analisa
Harian ini (Analisa, 23 Agustus, 2017) menurunkan tema “Habibie: Indonesia Perlu Miliki GBHN”. Adapun dalihnya adalah agar kontinuitas pembangunan lebih focus dan berkesinambungan (suistainable). Tidak sebagaimana yang terjadi saat ini setiap ganti pemerintahan/presiden ganti programnya
Dalam terminologi ilmiah, mungkin diperlukan semacam “blue print, grand design, platform entah apalah namanya”, yang menjadi penuntun  program yang dicanangkan oleh Presiden terpilih. Presiden terpilih, termasuk calon-calon presiden yang lain jika membuat program harus berdasarkan GBHN.
Pertanyaannya siapa yang membuat GBHN? Bukankah dulu  MPR sebagai lembaga tertinggi negara? Apakah pemrakarsa juga menginginkan hal tersebut, yakni  melalui amandemen UUD 1945?  Jangan-jangan sebenarnya tujuan utamanya kesitu  (amandemen)?
Jika itu juga tujuannya maka persoalannya menjadi rumit. Sudah pasti kontroversial, ramai, karena akan menimbulkan pro kontra yang dahsyat. Oleh karena itu untuk sementara kita ambil dua opsi, yakni (1) tidak perlu amandemen, dan (2) segera/harus amandemen.
Kalau tanpa amandemen (opsi 1), pertanyaan kembali seperti di atas yakni; siapa yang membuat GBHN?, apakah MPR juga ?. Jika demikian, (yakni oleh MPR juga), secara praktik dan hukum tata negara  sudah  bertentangan,  karena masing-masing lembaga tersebut  sudah punya fungsi tersendiri.
            Akan tetapi untuk pembahasan ini kita anggap saja dapat dilaksanakan. Dengan segala kompromi yang ada saat ini antara eksekutif (Kabinet) dan legislatif (DPR/MPR), keinginan itu  mungkin dapat diwujudkan. MPR akan segera bekerja membuat GBHN. Mereview  GBHN yang dibuat Orde Baru ?. Disinilah problematiknya.
Fakta Empirik Historis
Orde Baru dengan jargonnya yang terkenal “Politik no, Ekonomi yes atau Politik no, Pembangunan yes” telah sukses membuat GBHN yang sangat komprehensif dan konseptual. Secara ilmiah GBHN tersebut dapat dikatakan cukup kredibel. Dari mulai latar belakang, permasalahan, penguraian hingga tahap-tahap penyelesaian cukup holistik. Tinggal implementasinya (uji empirik) sesuai atau tidak dengan konsep tersebut.
Walaupun tidak pernah diakui, GBHN yang ditelorkan Orde Baru itu kecenderungannya adalah mengikuti konsep WW Rostow, seorang economic historian dari Amerika serikat. Sinyalemen ini kita lihat dari tahapan-tahapan yang dibuat dalam GBHN tersebut, seperti pola-pola Pembangunan Lima tahun (Pelita). Pelita I, II dan seterusnya.
Dan atau terutama adalah pada tahapan yang populer dengan sebutan “tinggal landas (take off)”. Tinggal landas sebagaimana yang diakui banyak kalangan adalah benchmark Rostow yang tidak dimiliki pakar-pakar lain. Menurut Rostow, tinggal landas ini  akan tercapai setelah tahapan masyarakat primitif dan pra tinggal landas.
Meminjam analogi pesawat terbang, pada tahap ini kebutuhan-kebutuhan dasar manusia telah terpenuhi dan siap-siap terbang ke tahapan yang lebih maju yang disebut sebagai tahapan kedewasaan. Oleh  perancang GBHN , level ini konon akan tercapai pada pelita keenam, yakni sekitar tahun 1997.
Dalam era  ini, yakni sekitar tahun 1997 bangsa Indonesia  sebagaimana teori Rostow tersebut setelah terpenuhi kebutuhan dasarnya akan siap-siap melesat bak pesawat terbang menuju pertumbuhan ekonomi  yang semakin bermutu. Mungkin  mendekati pesan alinea ke empat pemb UUD 1945, yakni  masyarakat yang telah  “terlindungi, sejahtera dan cerdas”
Namun sebagaimana faktanya, harapan itu jauh dari kenyataan. Tinggal landas itu hanya ada di atas kertas yaitu di atas grand design, blue print, dan platform yang namanya GBHN.  Pertumbuhan terjadi tapi hanya untuk segelintir orang, khususnya yang disebut dengan konglomerat. Tidak merata untuk seluruh masyarakat.
Pertumbuhan investasi yang seharusnya diikuti pertumbuhan industri/manufaktur dan juga pertumbuah kerangka sosial-politik yang aktual dengan perkembangan masyarakati sebagaimana teori Rostow tidak terwujud sama sekali. Pada hal untuk kasus Indonesia, kedua syarat tersebut adalah syarat utama (Sarbini Sumawinata, 1980).
Kongkritnya sebagaimana dilesatkan  H.W.Arndt (1980) adalah mengemukanya  pertumbuhan yang menyengsarakan. Pertumbuhan yang hanya dinikmati segelintir orang, segelintir pejabat, segelintir konglomerat dan sebaliknya menyengsarakan sebagian besar masyarakat.
Dengan tidak mengecilkan maksud penggagas GBHN, menurut penulis yang terutama dan utama dikaji ulang adalah kesungguhan kita kepada dasar negara dan konstitusi (UUD 1945). Tidakkah kedua  nilai luhur  itu  lebih dari cukup sebagai dasar, pedoman dan tujuan pembangunan?.  Untuk apa lagi mencari bentuk-bentuk yang lain?.
Memanfaatkan dan memperbaharui yang sudah ada jauh lebih berhasil guna dari pada membentuk yang baru, yang belum teruji apalagi dalam sejarahnya terbukti sudah gagal. Penghayatan dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 (dalam arti sesesungguhnya) jauh lebih penting daripada sekedar membentuk GBHN.
Oleh karena itu yang harus dilakukan terus menerus adalah agar setiap insan Indonesia, khususnya para pemimpin bangsa dari tingkat RT sampai Presiden harus sanggup mempraksiskan Pancasila dan UUD 1945 dalam seluruh perilakunya. Jangan teriak kekeluargaan dan gotong royong tapi yang dipraktekkan individualisme dan pasar bebas. Begitu pula masalah kedaulatan rakyat, tertulisnya “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, tapi dalam praksisnya dominan kepada voting dan “one person, one vote, one value” (OPOVOV). Dan sebagainya, dan sebagainya inkonsistensi (masih banyak).
Kongkritnya kita harus konsisten dengan apa yang sudah kita sepakati. Pendidikan politik,khususnya “nation and character building” yang sudah pernah dipraksiskan para pendiri republik agar terus didinamiskan. Begitu pula pelembagaan nilai-nilai institusi kenegaraan, agar terus diperkuat.
Pelembagaan Konstitusi
Artinya gagasan GBHN ini harus  didudukkan secara konstitusional. Sesuai konstitusi/UUD 1945, institusi yang legal dan legitimate membuat program pembangunan, karena sudah dipilih rakyat secara langsung adalah lembaga kepresidenan. Sejak era reformasi, khususnya sejak pemilu 2004, GBHN telah dihapus dan diganti dengan program presiden.
Akan tetapi sebagaimana barang baru tidak akan luput dari kelemahan. Program pembangunan yang dibuat presiden bersama partai pengusungnya masih jauh dari harapan. Setidak-tidaknya kalau dibandingkan dengan konsep GBHN yang sangat sistimatis. GBHN sebagaimana sejarahnya telah dipersiapkan secara runtut oleh tim khusus dengan waktu kerja yang sangat kondusif sebelum disahkan oleh MPR.
Sebaliknya program pembangunan presiden karena waktu, dan pakar yang terbatas  masih jauh dari ideal. Apalagi partai-partai politik  pengusung  selama ini belum ada pengalaman membuat program pembangunan, sempurnalah kelemahan tersebut. Oleh karena itu kondisi ini yang harus diperbaiki. Bukan pada model pembangunan yang harus berbentuk GBHN atau non GBHN, yang langsung oleh presiden atau bukan presiden dan lain-lain model pembangunan.
Kedepan pelembagaan partai politik sudah harus mapan. Sudah harus mewujudkan tujuan dan fungsinya sebagaimana diamanatkan UUD, khususnya UU Kepartaian. Tidak lagi seperti sekarang ini dimana dari lima fungsi yang dilekatkan padanya, hanya satu yang jalan, yakni fungsi sebagai penyedia jabatan-jabatan politik. Fungsi yang lain, seperti “pendidikan politik, produsen program kerja, agregasi-artikulasi politik dan instrumen demokrasi masyarakat nyaris tak jalan sama sekali”.
Begitu pula mitranya yakni MPR/DPR/DPD dan lembaga kehakiman/pengadilan/MA sebagaimana pembagian kekuasaan yang kita anut harus menjalankan fungsinya sesuai roh dan imperatif UUD 1945. Dengan demikian ide-ide extra konstitusional, seperti  adanya keinginan beberapa kalangan  menghidupkan kembali GBHN tidak perlu lagi terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar