MEWUJUDKAN MODEL PEMBANGUNAN YANG KONSTITUSIONAL
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan. Staf ahli DPR RI 2000-2009
Published,
30 Agust 2017 Harian Analisa
Harian ini
(Analisa, 23 Agustus, 2017) menurunkan tema “Habibie: Indonesia Perlu Miliki
GBHN”. Adapun dalihnya adalah agar kontinuitas pembangunan lebih focus dan
berkesinambungan (suistainable). Tidak
sebagaimana yang terjadi saat ini setiap ganti pemerintahan/presiden ganti
programnya
Dalam terminologi
ilmiah, mungkin diperlukan semacam “blue
print, grand design, platform entah apalah namanya”, yang menjadi penuntun program yang dicanangkan oleh Presiden
terpilih. Presiden terpilih, termasuk calon-calon presiden yang lain jika
membuat program harus berdasarkan GBHN.
Pertanyaannya
siapa yang membuat GBHN? Bukankah dulu MPR sebagai lembaga tertinggi negara? Apakah
pemrakarsa juga menginginkan hal tersebut, yakni melalui amandemen UUD 1945? Jangan-jangan sebenarnya tujuan utamanya kesitu
(amandemen)?
Jika itu juga
tujuannya maka persoalannya menjadi rumit. Sudah pasti kontroversial, ramai,
karena akan menimbulkan pro kontra yang dahsyat. Oleh karena itu untuk sementara
kita ambil dua opsi, yakni (1) tidak perlu amandemen, dan (2) segera/harus
amandemen.
Kalau tanpa
amandemen (opsi 1), pertanyaan kembali seperti di atas yakni; siapa yang
membuat GBHN?, apakah MPR juga ?. Jika demikian, (yakni oleh MPR juga), secara
praktik dan hukum tata negara sudah bertentangan, karena masing-masing lembaga tersebut sudah punya fungsi tersendiri.
Akan tetapi untuk pembahasan ini kita
anggap saja dapat dilaksanakan. Dengan segala kompromi yang ada saat ini antara
eksekutif (Kabinet) dan legislatif (DPR/MPR), keinginan itu mungkin dapat diwujudkan. MPR akan segera bekerja
membuat GBHN. Mereview GBHN yang dibuat Orde
Baru ?. Disinilah problematiknya.
Fakta
Empirik Historis
Orde Baru dengan
jargonnya yang terkenal “Politik no, Ekonomi yes atau Politik no, Pembangunan
yes” telah sukses membuat GBHN yang sangat komprehensif dan konseptual. Secara
ilmiah GBHN tersebut dapat dikatakan cukup kredibel. Dari mulai latar belakang,
permasalahan, penguraian hingga tahap-tahap penyelesaian cukup holistik. Tinggal
implementasinya (uji empirik) sesuai atau tidak dengan konsep tersebut.
Walaupun tidak
pernah diakui, GBHN yang ditelorkan Orde Baru itu kecenderungannya adalah
mengikuti konsep WW Rostow, seorang economic historian dari Amerika serikat.
Sinyalemen ini kita lihat dari tahapan-tahapan yang dibuat dalam GBHN tersebut,
seperti pola-pola Pembangunan Lima tahun (Pelita). Pelita I, II dan seterusnya.
Dan atau terutama
adalah pada tahapan yang populer dengan sebutan “tinggal landas (take off)”. Tinggal landas sebagaimana
yang diakui banyak kalangan adalah benchmark
Rostow yang tidak dimiliki
pakar-pakar lain. Menurut Rostow, tinggal
landas ini akan tercapai setelah tahapan
masyarakat primitif dan pra tinggal landas.
Meminjam analogi
pesawat terbang, pada tahap ini kebutuhan-kebutuhan dasar manusia telah
terpenuhi dan siap-siap terbang ke tahapan yang lebih maju yang disebut sebagai
tahapan kedewasaan. Oleh perancang GBHN ,
level ini konon akan tercapai pada pelita keenam, yakni sekitar tahun 1997.
Dalam era ini, yakni sekitar tahun 1997 bangsa Indonesia
sebagaimana teori Rostow tersebut setelah terpenuhi kebutuhan dasarnya akan siap-siap
melesat bak pesawat terbang menuju pertumbuhan ekonomi yang semakin bermutu. Mungkin mendekati pesan alinea ke empat pemb UUD 1945,
yakni masyarakat yang telah “terlindungi, sejahtera dan cerdas”
Namun
sebagaimana faktanya, harapan itu jauh dari kenyataan. Tinggal landas itu hanya
ada di atas kertas yaitu di atas grand
design, blue print, dan platform yang namanya GBHN. Pertumbuhan terjadi tapi hanya untuk segelintir
orang, khususnya yang disebut dengan konglomerat.
Tidak merata untuk seluruh masyarakat.
Pertumbuhan
investasi yang seharusnya diikuti pertumbuhan industri/manufaktur dan juga
pertumbuah kerangka sosial-politik yang aktual dengan perkembangan masyarakati
sebagaimana teori Rostow tidak terwujud
sama sekali. Pada hal untuk kasus Indonesia, kedua syarat tersebut adalah syarat
utama (Sarbini Sumawinata, 1980).
Kongkritnya
sebagaimana dilesatkan H.W.Arndt (1980) adalah mengemukanya pertumbuhan yang menyengsarakan. Pertumbuhan
yang hanya dinikmati segelintir orang, segelintir pejabat, segelintir
konglomerat dan sebaliknya menyengsarakan sebagian besar masyarakat.
Dengan tidak
mengecilkan maksud penggagas GBHN, menurut penulis yang terutama dan utama
dikaji ulang adalah kesungguhan kita kepada dasar negara dan konstitusi (UUD
1945). Tidakkah kedua nilai luhur itu lebih dari cukup sebagai dasar, pedoman dan
tujuan pembangunan?. Untuk apa lagi
mencari bentuk-bentuk yang lain?.
Memanfaatkan dan
memperbaharui yang sudah ada jauh lebih berhasil guna dari pada membentuk yang
baru, yang belum teruji apalagi dalam sejarahnya terbukti sudah gagal.
Penghayatan dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 (dalam arti sesesungguhnya) jauh
lebih penting daripada sekedar membentuk GBHN.
Oleh karena itu
yang harus dilakukan terus menerus adalah agar setiap insan Indonesia,
khususnya para pemimpin bangsa dari tingkat RT sampai Presiden harus sanggup
mempraksiskan Pancasila dan UUD 1945 dalam seluruh perilakunya. Jangan teriak
kekeluargaan dan gotong royong tapi yang dipraktekkan individualisme dan pasar
bebas. Begitu pula masalah kedaulatan rakyat, tertulisnya “hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan, tapi dalam praksisnya dominan kepada voting dan “one person, one vote, one value” (OPOVOV).
Dan sebagainya, dan sebagainya inkonsistensi (masih banyak).
Kongkritnya kita
harus konsisten dengan apa yang sudah kita sepakati. Pendidikan
politik,khususnya “nation and character
building” yang sudah pernah dipraksiskan para pendiri republik agar terus
didinamiskan. Begitu pula pelembagaan nilai-nilai institusi kenegaraan, agar
terus diperkuat.
Pelembagaan
Konstitusi
Artinya gagasan GBHN
ini harus didudukkan secara
konstitusional. Sesuai konstitusi/UUD 1945, institusi yang legal dan legitimate membuat program pembangunan, karena
sudah dipilih rakyat secara langsung adalah lembaga kepresidenan. Sejak era
reformasi, khususnya sejak pemilu 2004, GBHN telah dihapus dan diganti dengan program
presiden.
Akan tetapi sebagaimana
barang baru tidak akan luput dari kelemahan. Program pembangunan yang dibuat
presiden bersama partai pengusungnya masih jauh dari harapan. Setidak-tidaknya
kalau dibandingkan dengan konsep GBHN yang sangat sistimatis. GBHN sebagaimana
sejarahnya telah dipersiapkan secara runtut oleh tim khusus dengan waktu kerja
yang sangat kondusif sebelum disahkan oleh MPR.
Sebaliknya
program pembangunan presiden karena waktu, dan pakar yang terbatas masih jauh dari ideal. Apalagi partai-partai
politik pengusung selama ini belum ada pengalaman membuat
program pembangunan, sempurnalah kelemahan tersebut. Oleh karena itu kondisi
ini yang harus diperbaiki. Bukan pada model pembangunan yang harus berbentuk
GBHN atau non GBHN, yang langsung oleh presiden atau bukan presiden dan
lain-lain model pembangunan.
Kedepan
pelembagaan partai politik sudah harus mapan. Sudah harus mewujudkan tujuan dan
fungsinya sebagaimana diamanatkan UUD, khususnya UU Kepartaian. Tidak lagi
seperti sekarang ini dimana dari lima fungsi yang dilekatkan padanya, hanya
satu yang jalan, yakni fungsi sebagai penyedia jabatan-jabatan politik. Fungsi yang
lain, seperti “pendidikan politik, produsen program kerja, agregasi-artikulasi
politik dan instrumen demokrasi masyarakat nyaris tak jalan sama sekali”.
Begitu pula
mitranya yakni MPR/DPR/DPD dan lembaga kehakiman/pengadilan/MA sebagaimana
pembagian kekuasaan yang kita anut harus menjalankan fungsinya sesuai roh dan imperatif
UUD 1945. Dengan demikian ide-ide extra konstitusional, seperti adanya keinginan beberapa kalangan menghidupkan kembali GBHN tidak perlu lagi
terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar