Jumat, 18 Agustus 2017

MEMBANGUN PERTANIAN YANG MAJU DAN MODERN




MEMBANGUN  PERTANIAN YANG MAJU DAN MODERN
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar MIP-PPS UNITAS Palembang
Disampaikan pada acara pertemuan-sarasehan Serikat buruh tani dan pekerja kaki lima dalam rangka memanfaatkan dana “upsus” yang disediakan pemerintah/Kementerian Pertanian di Kertapati Palembang tanggal 29 April 2015

PENDAHULUAN
Pertemuan ini adalah saat yang paling tepat bagi kita membicarakan nasib petani dan pertanian umumnya. Mudah-mudahan tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya yang penuh “verbalisme, euphmism dan retorika”. Kita berharap besar pada pemerintahan baru, yang  konon akan memberi prioritas  pada bidang pertanian dalam program pembangunannya. Model pembangunan yang cenderung bertolak belakang dengan model pembangunan yang ditempuh sebelumnya.
 Sebagai realisasinya pembangunan akan dimulai dari pinggir, dari desa, alias dari pertanian, sebagai anti tesa dari model pembangunan yang berlangsung selama ini yakni, yang titik beratnya pada pembangunan “kota, industri manufaktur dan jasa”(Todaro,M & C.Smith, 2005:20)[1].
Konteks demikian dapat dibaca dalam cita ketiga dalam “Nawa Cita pemerintahan Jokowi-Yusuf Kalla[2]”, yang akan diawali salah satu urat nadi pertanian, yakni irigasi. Pemerintahan yang baru akan  membangun waduk sebanyak 39 buah.
 Dalam rapat kerja nasional (rakernas) pembangunan pertanian 17 nopember 2014 lalu telah diputuskan akan melakukan perbaikan sistim irigasi untuk 3 juta hektare lahan sampai akhir 2014 dan sebagai realisasinya akan dikucurkan anggaran untuk lahan lahan, perbaikan pengairan tersebut sebesar- hingga mencapai nominal Rp 500 milyar (Solopos, 17 nop 2014).
Namun jika ditilik lebih jauh, seperti apa detil, konkrit dan persisnya terobosan tersebut  belum saya pahami dengan seksama. Oleh karena itu mari sama-sama kita kaji lebih lanjut. Sama-sama kita cari  way out apa yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah yang sudah lama berlangsung.  
Latar belakang masalah
Tesis awal pembahasan  akan saya mulai dari pendapat seorang pemerhati pertanian, yang sudah lama dikenal di Indonesia, yakni James Scott (1985) . Scott menganalogikan petani di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia sebagai orang yang berendam dalam air dimana ketinggian air pada tubuhnya sudah sampai dagunya. Oleh karena itu sedikit saja goyang apalagi digoyang, sang petani sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah atau terus mengalah dan pada akhirnya sungguh-sungguh menjadi orang atau pihak yang kalah.
 Kalah bukan karena dirinya, melainkan kalah karena  kekuatan diluar dirinya. Kekuatan struktural-sistemik yang sangat sakti, yang terus mencengkeram hidupnya sehingga tidak bisa berbuat banyak/memperbaiki kesejahteraannya, meski  telah berupaya sekuat mungkin[3].
Bisa jadi atau tidak tertutup kemungkinan bahwa para petani sesungghnya telah melakoni etos unggul sebagaimana banyak disuarakan kalangan kulturalis, seperti etos manusia-manusia moderat, nan rasional, disiplin, kerja keras, berorientasi kekayaan materill, hemat, rajin menabung, bersahaja dan lain-lain etos unggul namun tidak pernah berhasil dalam hal kekayaan, harga diri dan kebebasannya.
Dengan kata lain terdapat  “struktur, sistem atau kelembagaan”  yang terus membelenggunya seperti itu[4].
Analogi yang  klasik namun tetap aktual/up date. Meski  sudah lama ditulis dan kejadiannya juga sudah lama berlangsung, mozaik/lukisan petani dan pertanian kita masih tetap seperti itu, tetap tak bergeming. Begitu-begitu saja terus-menerus. Dari  hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun, dan dasawarsa ke dasawarsa tetap tak beranjak maju.
            Sudah banyak muncul orang pintar, ahli-ahli dan professional-professional  pertanian  pasca paradigma Scott. Tidak sedikit yang bergelar doktor, baik alumnus luar negeri maupun dalam negeri yang terus aktif  memberikaan pencerahan. Begitu pula  ahli-ahli di bidang lain lain/diluar pertanian terus bertambah. Artinya dengan tampilnya kalangan terdidik nan profesional ini akan membuat kehidupan petani dan pertanian semakin bermutu. Akan tetapi realitanya, kehidupan petani dan pertanian kita tetap tak bergeming. Tidak  lebih baik dari yang digambarkan Scott tersebut[5].
            Apa, mengapa, bagaimana dan dimana titik krusialnya telah dibahas secara seksama, logis dan rasional setiap waktu. Begitu pula, apa yang seharusnya dilakukan supaya lingkaran setan itu berakhir, lebih dari cukup telah didendangkan. Dari mulai warung kopi, ke hotel berbintang lima, dari pemulung hingga milyarder, dari wong cilik hingga para elit telah mewacanakannya dengan sekian paradigma, konsep atau pendekatan, namun sebagaimana faktanya tetap tak bergeming/begitu-begitu saja terus.
Dari konsep ke konsep,  dari teori ke teori, dari satu paradigma ke paradigma lain yang semuanya hanya bermuara di menara gading. Tidak  pernah empirik[6]. IPB misalnya telah melahirkan sekitar 400-an pembaharuan pertanian sebagai hasil riset yang intensif, namun tak pernah dipakai pemerintah
            Mungkin sangkin seringnya digunjingkan  namun tidak ada perubahan yang berarti orang sudah melupakannya. Sudah tidak mempedulikannya lagi. Untuk apa melakoni yang tidak ada kemajuannya?, mungkin itu yang muncul dibenaknya. Capek, mendingan urus yang lain yang lebih bermanfaat bagi kehidupan praktis.
            Tulisan ini mencoba mengingatkan “ketidakadaban” itu kembali. Kita tidak boleh apatis atau abai terhadap problem-problem yang kita hadapi meski kesesakannya seperti itu. Mumpung pemerintahan baru sedang bersemangat pembaharuan, kita dukung dengan pemikiran-pemikiran yang mungkin dapat membantu penyelesaian masalah yang sudah lama tertinggalkan.
Dunia tidak statis. Perubahan sebagaimana hakikinya pasti terjadi, meski dengan waktu yang lama.   Meminjam novel Marga T  1970-an, Badai pasti berlalu........Oleh karena itu supaya pembicaraan ini ilmiah  kita mulai  dengan tradisi akademis, yakni memajukan pertanyaan pertanyaan sebagai berikut
·         Mengapa petani dan pertanian kita tidak bergerak maju sebagaimana petani dan pertanian di tempat dan dinegara-negara lain ?
·          Apa sesungguhnya masalah krusialnya ? apakah hanya pada diri petani atau justru diluarnya? Atau justru kedua-duanya ?
·          Lalu apa yang dapat dilakukan petani ? hanya menyarankan mereka agar professional , moderat, entrepreneur, teknologis sebagaimana selama ini sering didengungkan para pejabat, elit atau para akademisi?
·         Tidakkah harus  reformasi menyeluruh ?
Hipotesis
            Jawaban sementara (hipotesis/dugaan)  penulis terhadap permasalahan demikian yakni “mengapa masalah-masalah yang tidak sehat tersebut terus lestari, (terstrukur, terlembaga atau sistemik) adalah akibat kebijakan  dan praksis pembangunan yang diterapkan pemerintah  tidak sesuai dengan tatanan sosio-cultural masyarakat. Model pembangunan pertanian yang titik sentralnya pada peningkatan produktivitas semata, tidak menjadikan petani sebagai subjek melainkan objek. Begitu pula “model, taktik, dan strategi pembangunan pertanian yang sangat seragam, serta penyederhanaan realita sosial yang plural adalah masalah krusialnya.
Hulu masalahnya disitu. Sedangkan ekses-ekses yang sering dibicarakan, seperti; harga yang fluktuatif, pasar yang monopolistik, tata niaga yang panjang, organisasi tani yang tidak fungsional, import yang sangat tinggi,saprodi yang jauh dari memadai, infrastruktur yang minim, liberalisasi yang menyeruak, sempitnya lahan, diabaikannya faktor ekologis, minimnya modal, rendahnya SDM dan sejenisnya, atau khususnya tesis  Scott adalah derivasi, akibat, hilir atau konsekwensi logis dari kebijakan yang tidak tepat itu[7].
 Kondisi dan masalah pertanian Indonesia
Sebelum sampai kepada  hipotesis demikian, penulis terlebih dulu akan menguraikan beberapa pendapat yang kredibel terhadap permasalahan itu. Semacam review literatur dari pandangan-pandangan yang telah mereka tulis sebelumnya.
 Pandangan atau pendapat demikian lazimnya datang dari kalangan atau pakar-pakar yang memperhatikan masalah tersebut secara seksama. Kalangan atau pakar-pakar  tersebut antara lain adalah pendapat yang telah dikemukakan oleh “Serikat Petani Indonesia (SPI), Prof Dr Ir Bustanul Arifin, Djoko Suseno dan Hempri Suyatna, Prof Dr Ir Anton Apriantono.
Versi Serikat Petani Indonesia (dalam Welirang Fransiscus, 2012:6)
Menurut serikat perkumpulan petani ini, dunia pertanian atau pangan Indonesia semakin lama bukan semakin baik keadaannya. Dari waktu ke waktu situasinya tidak menunjukkan kemajuan. Malah sebaliknya suasananya semakin buruk. Faktanya adalah sebagai berikut;
Ø  Indonesia terjebak dalam kebijakan pangan yang monokultur. Seakan-akan negeri ini hanya satu kultur, kenyataannya sangat beragam (plural culture), namun kebijakan pangannya diarahkan hanya kepada satu jenis, yakni beras.
Ø  Indonesia terjebak dalam kebijakan harga pangan murah untuk menopang pengembangan industri dan sektor lainnya. Selalu diupayakan agar harga beras murah, tanpa melihat lebih jauh akibatnya bagi petani, pertanian dan ekonomi pada umumnya
Ø  Beras impor lebih murah dibanding produksi lokal. Tanpa berpikir panjang, pemerintah selalu mendekati persoalan dari pendekatan ekonomi, pendekatan pasar, khususnya pendekatan neo klasik. Yang penting murah.
Ø  Petani dan perusahaan didorong untuk menanam tanaman ekspor (sawit dan karet) sebesar-besarnya menggantikan tanaman pangan. Karena pemerintah focusnya growth an sich, ia tidak lagi mempedulikan hal-hal diluarnya. Yang penting tumbuh meski subjek atau aktor pelaksananya tetap melarat
Ø  Pengekspor produksi perkebunan terbesar di dunia, namun sebaliknya menjadi pengimpor pangan terbesar.Konsekwensi logis dari kebijakan yang hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi an sich. Tumbuh tinggi meski memelaratkan yang lain
Ø  Perdagangan alat-alat teknologi pertanian di Indonesia hanya dikuasai segelintir perusahaan Internasional (MNC, Multi National Corporations). Sangat disayangkan, meski sudah lama menjalankan pembangunan, belum berhasil menelorkan perusahaan-perusahaan domestik yang dapat menyaingi perusahaan-perusahaan asing. Kalaupun terdapat perusahaan-perusahaan lokal pada umumnya adalah komprador-perusahaan-perusahaan asing. Alih teknologi yang didengung-dengungkan sejak lama entah mengapa masih jauh panggang dari api. Teknologi, manajemen dan kapital masih tetap didominasi perusahaan asing (Barents, 1974)
Ø  Semakin tergantungnya kondisi pangan Indonesia pada keputusan segelintir perusahaan internasional di Indonesia. Tergantung karena elit-elit atau para pemimpin negeri ini yang menghamba kepada perusahaan-perusahaan tersebut karena mentalnya yang mengharapkan rente (rent seeking)
Ø  Semakin lemahnya peran negara dalam mengatur kebijakan pangan. Konsekwensi logis dari kebijakan yang mengutamakan pertumbuhan, sebab peran swasta akan lebih utama ketimbang peran pemerintah
Ø  Terjadi penguasaan dan pemilikan tanah pada segelintir orang. Juga adalah konsekwensi dari kebijakan pertumbuhan. Mayoritas asset-asset ekonomi akan mereka kuasai sebab merekalah yang mempunyai kemampuan untuk itu
Ø  Membanjirnya impor bahan pangan ke Indonesia yang diproduksi dengan teknologi rekayasa genetika. Derivasi atau konsistensi logis dari perekonomian yang tekanannya kepada kedaulatan pasar.
Versi Bustanul Arifin (2004:74-80)
Dengan penulisan yang agak berbeda dengan pandangan SPI namun saling mengisi sesungguhnya, Bustanul Arifin memberikan pendapat akan permasalahan petani dan pertanian Indonesia. Focus utamanya adalah kebijakan. Menurut beliau kelemahan Indonesia dalam membangun pertanian adalah tidak pernah konsisten dalam kebijakan yang ditetapkan
 Kebijakannya selalu berubah-ubah, plintat-plintut, mencla-mencle, bolak-balik tidak punya pendirian yang teguh. Tidak konsisten. Inkonsistensi ini antara lain dapat dilihat pada;
·         Pangan murah versus kecukupan pangan
·         Harga dasar versus perdagangan internasional
·         Peningkatan produksi versus sistem agribisnis
·         Otonomi daerah versus kepentingan nasional
Versi Djoko Suseno dan Hempri Suyatna
Kedua dosen sosiologi fisipol ugm ini  mendeskripsikan permasalahan pertanian  Indonesia sebagai akibat diterapkannya kebijakan “revolusi hijau” yang lama kelamaan, atau tahap demi tahap  akhirnya kontra produktif dengan tujuan semula.
 Pada awalnya kebijakan tersebut memang berhasil, yakni dengan tercapainya swasembada pangan/beras pada tahun 1984. Revolusi hijau sebagaimana realitanya berhasil menggandakan produksi pertanian sesuai atau melebihi kebutuhan pangan nasional. Akan tetapi, walaupun produksi meningkat  kehidupan petaninya tidak semakin baik. Masalah-masalah selanjutnya adalah;
*      Ketergantungan petani pada bibit unggul
*      Terberangusnya benih lokal
*      Terabaikannya pengetahuan/kearifan lokal
*      Semakin rentan terhadap hama
*      Ketergantungan kepada paket-paket teknologi yang cenderung dipaksakan
*      Ketergantungan kepada beras
*      Kehancuran keragaman hayati
*      Kerusakan ekologis
Untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam kutifan dibawah ini:
Program kebijakan pembangunan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru memang telah berhasil mencapai swasembada pangan. Namun, keberhasilan itu seringkali harus dibayar mahal dan tidak membawa perbaikan riil pada tingkat kehidupan petani. Beberapa dampak negatif dari program revolusi hijau dapat dilihat dari beberapa hal. Penentuan varietas padi oleh pemerintah menyebabkan ketergantungan petani pada bibit unggul yang seragam sehingga meninggalkan bibit lokal yang dimiliki, subsektor tanaman pangan rentan terhadap berbagai hama, petani menjadi bodoh dengan melupakan banyak pengetahuan lokal dan menggantungkan diri pada paket-paket teknologi produk industri dan sebagainya. Larangan penanaman padi varietas lokal oleh birokrasi pemerintah telah mengakibatkan punahnya berbagai jenis varietas padi lokal. Di Indonesia misalnya, sebagai penyumbang keragaman benih terbesar kedua kepada bank benih IRRI (8281 jenis varietas budidaya dan 84 varietas liar) pada tahun 1986 telah mengalami penurunan keragaman jenis varietas padi cukup drastis. Kurang lebih 75% dari lahan sawah di Indonesia telah ditanami dengan varietas padi hibrida dan lebih dari separuhnya hanya ditanami dua varietas yaitu: Cisadane dan PB 36 atau IR 36. Sebagai konsekwensinya tidak kurang dari 1500 varietas padi lokal menjadi langka dalam 15 tahun terakhir ini (Prias dan Velve dalam Soemartono 2001:200). Revolusi hijau yang diterapkan pemerintah juga telah menghancurkan keragaman hayati di lahan pertanian yang menjadi sumber pangan bagi masyarakat dan petani tradisional. Hilangnya keberagaman sumber pangan menjadikan padi hasil revolusi hijau menjadi satu-satunya sumber pangan. Ketergantungan pada satu sumber pangan (beras) menjadikan semakn rentannya ketahanan pangan dalam masyarakat petani. Kebudayaan penduduk di Maluku misalnya untuk menanam tanaman sagu hilang. Akibatnya, ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1998, masyarakat di Indonesia bagian timur resah karena sagu habis sedangkan beras sulit di dapat. Implementasi revolusi hijau dalam hal ketentuan pemakaian jenis pupuk tertentu oleh pemerintah telah menyebabkan kerusakan ekologis yakni hilangnya kerusakan........Selain itu penggunaan pestisida atau herbisida akan meracuni organisme yang menkonsumsinya dan akhirnya berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem (Djoko Suseno & Hempri Suyatna, 2007:271-272)
Versi  Anton Apriantono (2004-2009)
Kalau Djoko Suseno dan Hempri Suyatna tekanannya kepada teknis-teknis pertanian, seperti dampak dari revolusi hijau dan dampak sosial budayanya (terganggunya kearifan, pengetahuan lokal), Anton Apriantono lebih menekankan kepada fenomena ekonomi dan kebijakan/politik pertanian. Fenomena-fenomena ini antara lain adalah semakin tergantungnya komoditas pertanian kepada impor, semakin terpinggirkannya nasib petani, organisasi atau kelembagaan petani yang kurang berfungsi, infrastruktur pertanian yang minim, rendahnya investasi, minim atau rendahnya lembaga keuangan yang dibutuhkan petani, lemahnya akses petani ke pasar dan lain-lain.
Penekanan fenomena demikian dikemukakan mungkin karena beliau adalah Menteri pertanian yang akan menjalankan kebijakan pertanian yang ditempuh kabinet SBY-JK. Masalah-masalah ini lebih jelasnya adalah
v  Import sangat tinggi
v  Petani terpinggirkan
v  Organisasi tani kurang berfungsi
v  Infrastruktur pertanian terabaikan
v  Investasi rendah
v  Akses pasar lemah
v  Akses lembaga keuangan lemah.
Akan tetapi secara umum masalah petani dan pertanian di Indonesia menurut Anton Apriantono adalah:
1.      Birokrasi Kementerian pertanian yang belum fungsional. Terjadi KKN, lemah eksekusi, lemah koordinasi antar lembaga, dan terlalu gemuk[8].
2.      Kepemilikan lahan yang sempit
3.      Jumlah petani yang terlalu besar
4.      Mentalitas petani, yakni lemah memperjuangkan haknya, lemah kewirausahaannya
5.      Ketrampilan yang minim/kurang
6.      Modal yang terbatas
7.      Pasar dan tata niaga yang tidak mendukung. Harga selalu fluktuatif, pasar pada umumnya selalu dikuasai para pedagang dan tengkulak. Tata niaga yang tidak praktis karena terlalu panjang.
8.      Organisasi tani yang belum fungsional. Lemahnya kesadaran berorganisasi, tidak mandiri
9.      Informasi yang didapatkan petani sangat terbatas
10.  Kebijakan yang distortif -belum optimal (Cat; diuraikan lebih detil dibawah ini)
Kebijakan yang distortif
Sebagaimana dikatakan di depan, yakni pada hipotesis, bahwa masalah terbesar pertanian Indonesia terletak pada kebijakan yang tidak sesuai dengan suasana, situasi atau tatanan masyarakat, mendapat pembenarannya pada pengakuan  Anton Apriantono. Lebih jelasnya Anton menyatakan;
o   Kebijakan pertanahan (skala usaha tani, alih fungsi lahan, rencana tata ruang wilayah, reformasi administrasi/sertifikat, pengakuan hak ulayat) belum dilaksanakan
o   Kebijakan infrastruktur (irigasi, transportasi, komunikasi) belum maksimal. Masih sangat jauh dari yang seharusnya.
o   Trade off dari otonomi daerah terkait dengan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pertanian
o   Kebijakan payung hukum yang belum optimal terhadap organisasi tani
o   Kebijakan pemerintah yang belum optimal bagi petani dalam hal akses pasar, informasi, subsidi saprotan dan proteksi (perdagangan internasional)
o   Mall praktek dalam kebijakan food security (pangan sebagai komoditas politik)
o   Kebijakan perbankan belum kondusif untuk petani
o   Kebijakan industrialisasi yang belum berpihak pada industri pertanian
o   Undang_undang Sumber Daya Air kurang berpihak pada petani.
Semua gambaran tersebut hingga pertemuan hari ini masih tetap seperti itu. Kondisi petani dan pertanian tetap menyedihkan sebagaimana ditulis Dwi Andreas Santosa dalam Kompas 29 September 2014 yang lalu[9].
Dalam tulisan tersebut antara lain dikatakan sebanyak 62,8 persen dari 28,55 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia (2013) petani, sedangkan sebagian besar sisanya juga petani yang terpaksa keluar dari lahan garapan mereka. Sensus pertanian menunjukkan tercerabutnya keluarga tani dari lahan garapan mereka sejumlah 500.000 rumah tangga pertahun selama 10 tahun terakhir. Sebaliknya impor pangan meningkat 173 persen dalam 10 tahun terakhir untuk 8 pangan utama, sedangkan nilai devisa yang digunakan meningkat tajam dari 3,34 milyar dollar AS (2003) menjadi 14,90 miliar dollar AS (2013) atau hampir 4,5 kali lipat.  Pesan lain tulisan ini adalah harapan petani yang tertuang dalam deklarasi Aliansi Tani Indonesia Hebat, 1 Juni 2014 yang berbunyi;
Mewujudkan kedaulatan pangan dan reforma agraria untuk melayani dan memenuhi hak seluruh rakyat atas pangan yang menyehatkan serta peningkatan kesejahteraan keluarga tani melalui dukungan penuh negara terhadap redistribusi tanah untuk petani, pengarusutamaan pertanian keluarga dan agro ekologi serta perlindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil
Tidak hanya tidak beranjak, malah sebaliknya semakin memburuk. Sinyalemen ini dapat dilihat dari pandangan beberapa pakar pertanian, seperti syarifuddin Baharsyah, Khudori  dan Dwi Andreas Santosa akhir-akhir ini. Syafrudin Baharsyah misalnya melihat bahwa sejak tahun 1999 Indonesia sudah tidak punya politik pertanian lagi, sudah sangat liberal, tunduk pada perintah IGGI dan IMF yang memberi bantuan. Semuanya diserahkan pada pasar, tidak ada lagi pemihakan kepada petani. Para pengambil kebijakan hanya membuat keputusan sesaat, tanpa peduli jangka panjang. Kesemua ini terjadi karena tidak adanya kesepakatan tentang tujuan jangka panjang pembangunan pertanian, lanjutnya (Antara, 17 September 2013)
 Disisi lain, Khudori melihat kelemahan pembangunan pertanian pasca berlakunya otonomi daerah. Era yang seharusnya mengembangkan pertanian lebih maju dibandingkan era otoriter sebelumnya, justru sebaliknya yang terjadi. Para  pemimpin-pemimpin atau kepala daerah kecenderungannya semakin tidak memperhatikan pertanian. Lebih jelasnya Khudori mengatakan:
Otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah. Pada hal elit daerah tidak menjadikan daerah dan pangan sebagai motor pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh berbagai daerah. Karena itu mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian lahir dari daerah. Ini memperparah produksi pangan domestik yang ujung-ujungnya mempengaruhi kinerja pangan secara keseluruhan (Kompas, 6 Mei 2013)[10]
Demikian pula pendapat Dwi Andreas Santosa  21 Januar 2014 yang lalu yang menguatkan pendapat tersebut. Ia melihat kekurang seriusan elit pimpinan daerah mengurus sektor pertanian. Kealfaan elit ini seperti; bagaimana yang seharusnya tidak boleh terlambat dilakukan, namun dalam pelaksanannya kerapkali terjadi.
 Keterlambatan demikian misalnya adalah peraturan, ketentuan atau legislasi yang selalu tidak tepat waktu. Para kepala daerah tidak responsif dalam mengeluarkan dasar hukum sebagai tempat berpijak kebijakan dilakukan. Konsekwensinya penyaluran atau distribusi sarana-sarana produkasi pertanian, seperti pupuk, benih dan pestisida penyalurannya tidak tepat waktu sehingga mengganggu produksi (Kompas, 21 Januari 2014).
Produksi tidak meningkat. Ketahanan pangan yang didengung-dengungkan hanya dalam tataran konsep dan retorika. Otonomi daerah yang seharusnya lebih mempercepat proses-prosess pembangunan, khususnya pembangunan pertanian jauh dari harapan. Pemerintah daerah kecenderungannya mengutamakan bidang-bidang lain, diluar sektor pertanian untuk mengisi pembangunannya. Mereka  kecenderungannya semakin lama semakin menganaktirikan sektor pertanian, dibandingkan sektor industri-manufaktur dan jasa pada umumnya.
Konteks tersebut plus semakin liberalnya pertanian indonesia, menjauhkan kehidupan petani dari pemihakan pemerintah. Pemerintah apakah karena menganggap petani sudah kuat maka tak perlu dibantu, atau ada faktor-faktor lain tidak jelas argumentasinya, padahal pemihakan itu adalah kondisi yang sangat diharapkan petani dan pertanian memajukan usahanya. Mengapa diberi alasan seperti itu lebih seksama akan diteruskan dalam sub bab dibawah ini
Dalih pentingnya intervensi-pemihakan Pemerintah.
Menurut Prof Dr Tumari Jatileksono MSc, MA (2000:465) petani dan pertanian tidak mungkin diliberalkan sebagaimana komoditas-komoditas ekonomi lainnya. Pertanian mempunyai kekhususan yang berbeda dengan barang-barang atau jasa privat,karena sifatnya yang melekat pada kepentingan publik. Oleh karena itu pemerintah harus memihak-mengintervensi sektor ini demi kebaikan bersama. Lebih jauh alasannya adalah:
1.      Pasar beberapa produk pertanian masih kurang kompetitif jika dibandingkan pasar luar negeri, seperti pasar produk buah-buahan, juga pasar beberapa input pertanian belum mendekati kondisi persaingan sempurna, seperti pasar pupuk dan pestisida masih oligopolistik/monopolistik. Bagaimana mungkin petani dan pertanian bersaing dengan keadaan itu. Apakah para petani akan terjun dari udara tanpa parasut ?
2.      Input pertanian ada yang berupa barang publik, seperti irigasi, teknologi dan informasi pertanian. Begitu juga produk pertanian, seperti zat oksigen yang menyegarkan udara, pemandangan yang indah ketika padi sawah tampak kehijauan, suasana yang sejuk di sekitar perkebunan, dan tempat rekreasi dilereng-lereng pegunungan yang sarat dengan berbagai jenis tanaman. Suasana ini, yakni suasana publik ini akan rusak apabila semata-mata diserahkan pada mekanisme pasar.
3.      Produk pertanian juga menghasilkan eksternalitas, seperti pencegahan erosi tanah dan bahaya banjir. Jika diberikan semata-mata ke pasar, maka para aktor-aktor ekonomi, apakah itu para pengusaha dan sejenisnya tidak akan mempertimbangkan hal-hal yang diluar sektor bisnisnya. Masalah-masalah sosial akan luput dari perhatiannya.
4.      Keberhasilan pertanian juga memberikan dampak ganda bagi pengembangan sektor industri, jasa dan peternakan. Dalam setting historisnya masing-masing negara yang berhasil, selalu mendahulukan pembangunan pertaniannya. Setelah sektor ini mapan, barulah sektor lain dibenahi. Tidk langsung meloncat ke industri atau jasa.
5.      Produksi pertanian sangat tergantung pada kondisi alam sehingga mengandung resiko dan ketidakpastian yang pada akhirnya ada potensi instabilitas produksi dan fluktuasi harga
6.      Pemilikan tanah oleh petani pada umumnya sangat sempit sehingga mereka berpendapatan rendah, kekurangan modal, dan kemampuan melakukan investasi rendah
7.      Berbagai produksi pertanian perkebunan pada umumnya memerlukan rentang waktu yang cukup panjang antara saat dimulainya kegiatan produksi sampai saat dihasilkan produknya sehingga kurang menarik minat investor perorangan
8.      Penemuan teknologi baru sukar dilaksanakan petani karena berbagai teknologi baru memerlukan riset yang tidak mampu dilakukan oleh para petani sendiri
9.      Untuk memperlancar pembangunan pertanian diperlukan pengembangan kelembagaan pendukung yang secara cepat ditangani pemerintah
10.  Karena para petani pada umumnya termasuk masyarakat berpenghasilan rendah, maka investasi pada sumberdaya manusia keluarga tani, juga memerlukan bantuan
11.  Untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang berkualitas dan memenuhi syarat kesehatan diperlukan pengawasan mutu benih dan pengawasan penggunaan pestisida
12.  Untuk mencegah meledaknya hama atau penyakit tumbuhan diperlukan monitoring dan pengendalian secara terpadu
13.  Diperlukan pengawasan untuk mencegah pengusahaan tanaman yang membahayakan, seperti ganja dan opium
14.  Hasil pembangunan pertanian dengan menggunakan teknologi mutakhir mempunyai potensi untuk menciptakan kebanggan nasional, seperti pengiriman bantuan pangan kenegara lain, pembentukan citra Indonesia melalui nama buah asli Indonesia yang berkualitas, seperti rambutan binjai Indonesia, mangga Arum manis Indonesia, dan salak pondoh Yogyakarta
15.  Perekonomian Indonesia sedang bergeser dari sifat agraris yang mendekati pasar persaingan sempurna menuju ke tahap industrialisasi yang mengarah oligopolistik dan bahkan ada potensi monopolistik
Tidak hanya di Indonesia, dinegara-negara lainpun pertanian dan petaninya dilindungi oleh pemerintahnya. Termasuk negara yang sudah maju, yang selalu melantunkan pasar bebas, faktanya masih melindungi petaninya. Di Eropa menurut Stiglitz, anjing saja disubsidi $ 2 sehari (2007:152). Begitu pula yang terjadi di Amerika Serikat, Australia dan atau khususnya Jepang.
Jepang adalah contoh bagaimana besar perhatian pemerintah terhadap petaninya. Harga yang dibeli pemerintah terhadap petani bisa 5,6 kali harga Internasional, yang selanjutnya dijual dengan harga yang berlaku di pasar.
Uraian demikian, yakni intervensi pemerintah terhadap petani masih dapat dideskripsika sekian panjang lagi, namun intinya adalah petani dan pertanian kita tetap terpuruk. Lalu apa kira-kira celah yang mungkin dapat dilakukan petani supaya nasibnya lebih baik. Menjadi wiraswastawan pertanian misalnya ? atau ? mari sama-sama kita diskusikan.
 Terlindungi, Sejahtera dan Cerdas: Model Pertanian Maju dan Modern
Sebagai insan yang optimis tidak ada kata menyerah terhadap keadaan, meski situasinya sangat menyesakkan. Agar tidak pesimis kita anggap saja deskripsi diatas (untuk sementara) hanyalah sekedar kegenitan akademik yang mungkin tidak akan pernah empirik. Pandangan yang  kepastiannya mungkin juga jauh dari realita. 
Atau secara akademik juga kita pakai  satu pendekatan, yakni pendekatan kultural. Pendekatan yang meneropong dari dalam, yakni dari dalam diri dan kalangan petani itu sendiri. Dalam artian lain pandangan ini sering juga disebut pandangan kalangan modernis yang pengikutnya besar dinegeri ini.
Petani kita sebagaimana diuraikan diatas belum memiliki mental, karakter atau sifat yang seharusnya dimiliki seorang petani yang handal, seperti misalnya petani dinegara-negara yang maju pertaniannya. Petani kita masih lemah dalam hampir segala hal. Salah satunya adalah belum bermental saudagar, dagang atau bisnis.
Mental atau budaya mereka masih mental dan budaya petani sebagaimana dikenal selama ini sesuai namanya, yakni mental agricultuur. Mental yang masih jauh dari inovasi, spekulasi  dan orientasi kepada kekayaan materiil sebagaimana  prasyarat atau focus bisnis. Mereka masih terikat dengan sikap, karakter atau mental orisinalnya, yakni yang selalu  menyesuaikan diri dan selaras dengan alam (given). Demikian pula  (khususnya) perilaku dengan sesamanya selalu menyesuaikan diri.
Sebaliknya dengan mentalitas saudagar yang penuh dengan inovasi, spekulasi dan orientasi kepada kekayaan materiil. Kalangan ini selalu rasional, spekulatif, individualistik, gemar bersaing terhadap sesamanya, sebagaimana yang diajarkan dalam teks-teks ilmu pengetahuan dan teknologi mainstream.
 Dengan kata lain dibutuhkan budaya unggul, budaya rasional, budaya teknologis, budaya industrial yang menjadi arus utama (mainstream) dalam pola pembangunan yang berlangsung saat ini.
Dalam praksisnya sebagaimana sering dikemukakan, mentalitas petani seperti itu tidak mungkin menjadikan dirinya kaya raya bergelimang harta, karena  selalu menjaga harmoni dengan sesamanya, dengan habitatnya, dengan alamnya dan dengan segala-gala yang ada dalam lingkungannya.
 Pada umumnya dalam kehidupan sehari-hari mereka selalu berupaya menjauhkan diri dari konfrontasi, termasuk konfrontasi dalam berpikir sebab enggan atau tidak mau tersinggung komunitasnya. Kalau ada anggota komunitasnya yang keliru misalnya, dicari upaya bagaimana cara menyampaikannya agar anggota komunitas tersebut tidak tersinggung.
 Pikirannya  selalu diupayakan agar sesuai  dengan pikiran yang sedang berlaku dalam komunitas tersebut. Konsekwensi logisnya sudah tentu akan menjauhkan  diri dari debat, kritik langsung dan nilai-nilai sejenisnya yang sangat diperlukan dalam khazanah ilmiah.
Singkatnya dapat dikatakan mereka masih jauh dari tradisi-tradisi ilmiah yang rasional, objektif, inovatif dan sejenisnya. Derivasinya sudah pasti jauh dari nilai-nilai industri, bisnis modern atau mekanisme pasar bebas yang menjadi arus utama trend ekonomi-politik dunia.
Oleh karena itu apabila petani kita ingin lebih maju, lebih bermutu, atau lebih kaya, tidak seperti selama ini gurem, subsisten alias marjinal terus , harus menguasai nilai-nilai modern tersebut, yakni bermental industrial, mental bisnis melalui persaingan pasar bebas/pasar sempurna[11].
 Pertanyaan besarnya “setujukah kita dengan paradigma seperti itu ?.tidakkah itu berlawanan dengan karakter bangsa kita yang Pancasilais, yang kekeluargaan dan yang gotong royong ?.  Sukar dan panjang menjawabnya[12]. Perlu mendatangkan berbagai pendekatan dan berbagai pakar. Namun karena kita juga harus mencari jawaban, secara singkat kita gunakan/pakai saja 1 (satu) ukuran.
Ukuran ini adalah “ideologi dan konstitusi – Pancasila dan UUD 1945”. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat tertulis tujuan Negara atau Pemerintahan, yakni.....”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”.........
Itulah dasar, prinsip atau tujuannya. Pertanian mau apapun pendekatannya itulah hakikinya, yakni....terlindungi, sejahtera dan cerdas....itulah pertanian yang maju dan modern. Sudah seperti itu? Uraian-uraian di atas telah membahasnya. Sekian dan terima kasih.



[1] Model pembangunan yang sudah dianggap gagal, namun entah mengapa masih terus dipraksiskan. Model ini adalah model pembangunan ekonomi yang indikator utamanya adalah “struktur produksi dan tenaga kerja yang diupayakan secara terencana. Dalam proses seperti ini lazimnya peranan sektor pertanian akan menurun, sebab pertumbuhannya akan kalah cepat dengan sektor manufaktur dan jasa. Strategi yang dikenal sebagai jalan industrialisasi ini pada akhirnya meminggirkan pertanian dan pedesaan ke tingkat yang sangat marjinal yang sesungguhnya tidak boleh terjadi. Dalam pengertian lain sering juga disebut dengan Top down approach
[2] Urutan ketiga dalam program nawa cita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan
[3] Air yang mengelilinginya itu. Dapat juga disebut lingkungannya, wilayahnya, habitatnya. Jadi jika petani mau lebih baik, airnya itu harus dikurangi. Dikurangi sesuai dengan kebutuhan petani itu. Siapa sesungguhnya air itu? Yah penguasa wilayah itu, pemerintah wilayah itu, birokrasi wilayah itu. Penguasa ini harus sungguh-sungguh menjalankan fungsinya sebagaimana layaknya sauatu pemerintah, birokrasi yang melayani, yang betul-betul melakukan fungsinya sebagai
[4] Pendekatan seperti ini sering disebut dengan pendekatan “strukturalis, ketergantungan/Dependencia” (dari luar), sebagai antitese dari pendekatan kultural (dari dalam). Masalah utamanya bukan dalam diri petani, melainkan diluarnya, yakni ada suatu tatanan yang membuatnya seperti itu. Tatanan seperti apa itu?, jawabannya tidak hitam putih. Salah satu tatanan tersebut adalah seperti yang ditulis dalam footnote 1, yakni ditempuhnya strategi pembangunan yang focus, titik sentral atau tekanannya kepada proses “produktivitas dan tenaga kerja” semata. Tidak melihat lebih jauh kehidupan sosial dan kultural petani. Suatu strategi/Proses yang akhirnya membuat petani hanya jadi objek. Tatanan lain adalah (konsekwensi dari strategi tersebut) absennya “pemihakan atau intervensi” pemerintah terhadap kebutuhan,keperluan atau kepentingan petani . Pemihakan yang seharusnya dilakukankni karena keterbatasannya, sepert  petani yang umumnya berlahan sempit, sumber daya air yang sangat tergantung kepada air hujan, modal terbatas, pendidikan rendah, sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan dan penguasaan teknologi yang seadanya (Ellis, 1992). Demikin juga Stiglitz (1987) menyatakan bahwa intervensi  harus dilakukan karena; pasar kredit dan asuransi pertanian yang kurang sempurna, sifat barang publik pada input dan out put pertanian, adanya informasi yang tidak sempurna, eksternalitas dalam proses produksi pertanian dan untuk perbaikan distribusi pendapatan.
[5] Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Jonathan R Pincus (2004:107) yang meneliti pengalaman pembangunan pertanian Indonesia yang bergelimang penyalahgunaan, seperti “distorsi kebijakan yang akhirnya bermuara pada korupsi”. Penyalahgunaan yang dilakukan pihak pembantu/donor, yakni Bank Dunia bekerjasama dengan elit-elit departemen Indonesia berjalan terstruktur dan sistemik. Kedua pelaku, yakni Bank Dunia dan Elit-elit Indonesia kong kali kong menjalankan proyek tanpa menghiraukan out put proyek itu berguna atau tidak bagi masyarakat”. Yang penting proyeknya berjalan. Dalam terminologi Scott (dalam Pincus,2004 :114) dilukiskan  bagaimana para modernis memanfaatkan kelemahan masyarakat untuk menjalankan keinginan-keinginannya yang justru difasilitasi oleh elit-elit masyarakat tersebut dan selanjutnya masyarakat yang tak berdaya itu memberikan tanahnya untuk proyek pertanian. Untuk lebih detill dan jelasnya dapat dibaca dalam tulisan tersebut
[6] Konsep-konsep ini adalah yang ditawarkan para ahli pertanian, seperti M.Prakosa (mantan Menteri pertanian di era Megawati), Bustanul Arifin (akademisi pertanian dari FP Unila), Khudori (anggota dewan pangan RI), Dahlan Iskan (mantan menteri BUMN di era SBY), Syarifudin Baharsyah (mantan menteri pertanian terakhir era Soeharto) dan Dwi Andreas Santosa (pakar pertanian/benih IPB). Prakosa menawarkan konsep “corporate farming”, Bustanul mengusulkan kebijakan harga, Khudori “penguatan lembaga setingkat dirjen” dan Dahlan iskan “membangun BUMN pangan dan holtikultura” (Dwi Putro Priadi, 2014:44).syarifudin Baharsyah menyarankan a, kembalikan kemandirian petani, b, pengusaha harus menjadi pemangku kepentingan, bukan pemburu rente, c, menjamin akses petani ke sumber daya lahan dan air, d, penguatan SDM petani, e, menghilangkan distorsi pasar dan f, pembenahan statistik pertanian. Dwi Andreas santosa tidak begitu berbeda dengan pakar-pakar sebelumnya menyarankan; kembalikan hak dan kedaulatan petani, hapuskan subsidi benih dan pupuk sehingga dana tersebut bisa langsung dikelola oleh petani, jamin stabilitas harga, kembangkan sistem pertanian agroekologi, dan tidak kalah penting laksanakan reforma agraria (Kompas, 21 Januari 2014)  Sedangkan konsep-konsep klasik sebelumnya sudah banyak dikemukakan, seperti misalnya oleh Mellon (1966). Mellon menawarkan konsep modernisasi pertanian dengan syarat; insentif ekonomi untuk berproduksi, riset memperbaiki teknik berproduksi, penyediaan input baru, penyediaan biaya perluasan produksi, pengembangan pemasaran dan kelembagaannya, peningkatan pelayanan pendidikan, pengembangan kelembagaan untuk mencari skala usaha tani yang tepat dan perencanaan pembangunan pertanian.
[7] Lihat foot note no 1, 3 dan 4  yang sesungguhnya adalah kerangka berpikir makalah ini. Deskripsi lebih luas akan ditulis dibawah atau halaman berikut ini
[8] Bandingkan dengan pernyataan Eko Prasojo, mantan wakil menteri PAN &Reformasi Birokrasi (Kompas, 25 Nopember 2014) yang mengatakan bahwa persoalan birokrasi di Indonesia sangatlah kompleks, terbentang dari masalah mengubah kultur birokrasi yang tidak berintegritas, tumpang tindih peraturan perundang-undangan, struktur organisasi yang gemuk dan boros, proses bisnis pemerintahan yang yang lamban dan tidak efisien, sumber daya manusia yang tidak kompeten dan tak profesional, penyakit KKN, hingga persoalan pelayanan ke publik yang tak responsif dan tak akuntabel. Semua ini dapat dibuktikan melalui beberapa indikator global, seperti survey Political Economic Risk Consultacy pada 2012, Indeks efisiensi pemerintahan di Indonesia adalah 8,37 (dari skor 1 terbaik dan 10 terburuk), Indeks keefektifan pemerintahan di Indonesia pada 2013 menurut Forum Ekonomi Dunia adalah 42 (dari skala 1 terburuk hingga 100 terbaik), Indeks persepsi korupsi menurut IT pada 2013 adalah 32 (dari skala 1 terburuk dan hingga 100 terbaik, sementara untuk kemudahan berbisnis pada 2014 menurut Bank Dunia berada pada peringkat ke -120. Sungguh ironis, dalam segala hal tidak ada yang standard. Semua serba minus. Bagaimana mengharapkan salah satu bagian, unsur atau subsistem, seperti petani dan pertaniannya berkembang jika tatanannya seperti itu ? mungkin bisa saja terjadi bahwa salah satu unsur, subsistem atau bagian itu berhasil karena ada (barangkali) elit yang sangat istimewa, namun jika elit tersebut berakhir, maka tatanan tidak sehat itu akan kembali lagi ke suasana semula.
[9] Beberapa bulan sebelumnya (Kompas, 21 januari 2014) penulis yang sama telah menguraikan betapa kebijakan pemerintah terhadap pertanian sangat minim. Hal ini dapat dilihat dalam anggaran yang diberikan dalam sektor ini. Anggarannya sangat jauh dari memadai, yakni hanya 1,07 persen dari total APBN 2014. Kalkulasinya adalah subsidi pupuk Rp 18,05 triliun dan subsidi benih Rp 1,07 triliun, yng digunakan untuk membantu 26,17 jut keluarga tani atau 91 juta jiwa. Bandingkan dengan anggaran pendidikan yang mencapai Rp 368,9 triliun yang dalam banyak kasus tidak jelas pemanfaatannya.
[10] Syarifudin Baharsyah bingung dengan konsep baru pertanian yang tidak jelas. Ditekankan swasembada, namun unsur pendukungnya, seperti lahan tidak diberikan. Bagaimana swasembada terjadi kalau metodenya seperti itu ?
[11] Berbicara masalah mentalitas ada baiknya dibaca pendapat Prof Dr Koentjaraningrat (1984:45) yang melihat kelemahan mental bangsa Indonesia secara umum. Mentalitas ini adalah mentalitas yang terlalu berorientasi ke atas (vertical oriented), meremehkan mutu, gemar menerabas, sifat tak percaya kepada diri sendiri, sifat tak berdisiplin murni, dan sikap yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh
[12] Yang sukses melakukan pola seperti itu adalah kalangan yang populer dengan sebutan “kapitalis”. Karakternya sungguh kapitalistik. Bagaimana menggandakan keuntungan sebesar-besarnya adalah primat utamanya. Contoh klasik sekaligus aktual adalah para manajer perusahaan-perusahaan besar, perusahaan-perusahaan yang bergerak lintas negara. Manajer ini  dapat mengatur uang/kapital, teknologi,
pemasaran/organisasi dengan sangat efisien. Apakah petani kita juga diarahkan kesana?. Adakah prasyarat-prasyarat untuk itu dinegeri ini. Tidakkah secara historis, karakter, suasana atau nuansa demikian tidak dimiliki negeri ini? Para strukturalis selalu melihat bahwa jiwa-jiwa kapitalistik yang tidak berkembang dinegeri-negeri ex jajahan tidak muncuk karena penghisapan oleh negara-negara besar, negara pusat atau negara-negara yang industrialis. Para kulturalis melihat sebaliknya, yakni berasal dari habitat petani itu sendiri, dimana sejak lama kehidupannya telah tercekam feodalisme dan lain-lain sistim yang tidak membuatnya dapat menjadi kapitalis.





































Tidak ada komentar:

Posting Komentar