MEMBANGUN PERTANIAN YANG MAJU DAN MODERN
Oleh :
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar MIP-PPS UNITAS Palembang
Disampaikan
pada acara pertemuan-sarasehan Serikat buruh tani dan pekerja kaki lima dalam
rangka memanfaatkan dana “upsus” yang disediakan pemerintah/Kementerian
Pertanian di Kertapati Palembang tanggal 29 April 2015
PENDAHULUAN
Pertemuan ini adalah saat yang paling
tepat bagi kita membicarakan nasib petani dan pertanian umumnya. Mudah-mudahan
tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya yang penuh “verbalisme, euphmism
dan retorika”. Kita berharap besar pada pemerintahan baru, yang konon akan memberi prioritas pada bidang pertanian dalam program
pembangunannya. Model pembangunan yang cenderung bertolak belakang dengan model
pembangunan yang ditempuh sebelumnya.
Sebagai realisasinya pembangunan akan dimulai
dari pinggir, dari desa, alias dari pertanian, sebagai anti tesa dari model
pembangunan yang berlangsung selama ini yakni, yang titik beratnya pada
pembangunan “kota, industri manufaktur dan jasa”(Todaro,M & C.Smith,
2005:20)[1].
Konteks demikian dapat dibaca dalam cita
ketiga dalam “Nawa Cita pemerintahan Jokowi-Yusuf Kalla[2]”,
yang akan diawali salah satu urat nadi pertanian, yakni irigasi. Pemerintahan
yang baru akan membangun waduk sebanyak
39 buah.
Dalam rapat kerja nasional (rakernas)
pembangunan pertanian 17 nopember 2014 lalu telah diputuskan akan melakukan
perbaikan sistim irigasi untuk 3 juta hektare lahan sampai akhir 2014 dan sebagai
realisasinya akan dikucurkan anggaran untuk lahan lahan, perbaikan pengairan tersebut
sebesar- hingga mencapai nominal Rp 500 milyar (Solopos, 17 nop 2014).
Namun jika ditilik lebih jauh, seperti
apa detil, konkrit dan persisnya terobosan tersebut belum saya pahami dengan seksama. Oleh karena
itu mari sama-sama kita kaji lebih lanjut. Sama-sama kita cari way out
apa yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah yang sudah lama berlangsung.
Latar belakang masalah
Tesis awal pembahasan akan saya mulai dari pendapat seorang pemerhati
pertanian, yang sudah lama dikenal di Indonesia, yakni James Scott (1985) . Scott menganalogikan petani di Asia Tenggara,
khususnya di Indonesia sebagai orang yang berendam dalam air dimana ketinggian
air pada tubuhnya sudah sampai dagunya. Oleh karena itu sedikit saja goyang
apalagi digoyang, sang petani sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah
atau terus mengalah dan pada akhirnya sungguh-sungguh menjadi orang atau pihak
yang kalah.
Kalah bukan karena dirinya, melainkan kalah karena kekuatan diluar dirinya. Kekuatan
struktural-sistemik yang sangat sakti, yang terus mencengkeram hidupnya sehingga
tidak bisa berbuat banyak/memperbaiki kesejahteraannya, meski telah berupaya sekuat mungkin[3].
Bisa jadi atau tidak tertutup
kemungkinan bahwa para petani sesungghnya telah melakoni etos unggul
sebagaimana banyak disuarakan kalangan kulturalis, seperti etos manusia-manusia
moderat, nan rasional, disiplin, kerja keras, berorientasi kekayaan materill,
hemat, rajin menabung, bersahaja dan lain-lain etos unggul namun tidak pernah berhasil
dalam hal kekayaan, harga diri dan kebebasannya.
Dengan kata lain terdapat “struktur, sistem atau kelembagaan” yang terus membelenggunya seperti itu[4].
Analogi yang klasik namun tetap aktual/up date. Meski sudah lama ditulis dan kejadiannya juga sudah
lama berlangsung, mozaik/lukisan petani dan pertanian kita masih tetap seperti
itu, tetap tak bergeming. Begitu-begitu saja terus-menerus. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke
bulan, tahun ke tahun, dan dasawarsa ke dasawarsa tetap tak beranjak maju.
Sudah banyak muncul orang pintar, ahli-ahli
dan professional-professional pertanian pasca paradigma Scott. Tidak sedikit yang
bergelar doktor, baik alumnus luar negeri maupun dalam negeri yang terus aktif memberikaan pencerahan. Begitu pula ahli-ahli di bidang lain lain/diluar pertanian
terus bertambah. Artinya dengan tampilnya kalangan terdidik nan profesional ini
akan membuat kehidupan petani dan pertanian semakin bermutu. Akan tetapi
realitanya, kehidupan petani dan pertanian kita tetap tak bergeming. Tidak lebih baik dari yang digambarkan Scott tersebut[5].
Apa, mengapa, bagaimana dan dimana titik
krusialnya telah dibahas secara seksama, logis dan rasional setiap waktu.
Begitu pula, apa yang seharusnya dilakukan supaya lingkaran setan itu berakhir,
lebih dari cukup telah didendangkan. Dari mulai warung kopi, ke hotel
berbintang lima, dari pemulung hingga milyarder, dari wong cilik hingga para
elit telah mewacanakannya dengan sekian paradigma, konsep atau pendekatan,
namun sebagaimana faktanya tetap tak bergeming/begitu-begitu saja terus.
Dari konsep ke konsep, dari teori ke teori, dari satu paradigma ke
paradigma lain yang semuanya hanya bermuara di menara gading. Tidak pernah empirik[6].
IPB misalnya telah melahirkan sekitar 400-an pembaharuan pertanian sebagai
hasil riset yang intensif, namun tak pernah dipakai pemerintah
Mungkin sangkin seringnya
digunjingkan namun tidak ada perubahan yang
berarti orang sudah melupakannya. Sudah tidak mempedulikannya lagi. Untuk apa melakoni
yang tidak ada kemajuannya?, mungkin itu yang muncul dibenaknya. Capek,
mendingan urus yang lain yang lebih bermanfaat bagi kehidupan praktis.
Tulisan ini mencoba mengingatkan “ketidakadaban”
itu kembali. Kita tidak boleh apatis atau abai terhadap problem-problem yang
kita hadapi meski kesesakannya seperti itu. Mumpung pemerintahan baru sedang
bersemangat pembaharuan, kita dukung dengan pemikiran-pemikiran yang mungkin
dapat membantu penyelesaian masalah yang sudah lama tertinggalkan.
Dunia tidak statis. Perubahan sebagaimana
hakikinya pasti terjadi, meski dengan waktu yang lama. Meminjam novel Marga T 1970-an, Badai pasti berlalu........Oleh
karena itu supaya pembicaraan ini ilmiah kita mulai dengan tradisi akademis, yakni memajukan
pertanyaan pertanyaan sebagai berikut
·
Mengapa
petani dan pertanian kita tidak bergerak maju sebagaimana petani dan pertanian di
tempat dan dinegara-negara lain ?
·
Apa sesungguhnya masalah krusialnya ? apakah
hanya pada diri petani atau justru diluarnya? Atau justru kedua-duanya ?
·
Lalu apa yang dapat dilakukan petani ? hanya
menyarankan mereka agar professional , moderat, entrepreneur, teknologis
sebagaimana selama ini sering didengungkan para pejabat, elit atau para
akademisi?
·
Tidakkah
harus reformasi menyeluruh ?
Hipotesis
Jawaban sementara (hipotesis/dugaan) penulis terhadap permasalahan demikian yakni “mengapa
masalah-masalah yang tidak sehat tersebut terus lestari, (terstrukur,
terlembaga atau sistemik) adalah akibat kebijakan dan praksis pembangunan yang diterapkan
pemerintah tidak sesuai dengan tatanan
sosio-cultural masyarakat. Model pembangunan pertanian yang titik sentralnya
pada peningkatan produktivitas semata, tidak menjadikan petani sebagai subjek
melainkan objek. Begitu pula “model, taktik, dan strategi pembangunan pertanian
yang sangat seragam, serta penyederhanaan realita sosial yang plural adalah
masalah krusialnya.
Hulu masalahnya disitu. Sedangkan
ekses-ekses yang sering dibicarakan, seperti; harga yang fluktuatif, pasar yang
monopolistik, tata niaga yang panjang, organisasi tani yang tidak fungsional,
import yang sangat tinggi,saprodi yang jauh dari memadai, infrastruktur yang
minim, liberalisasi yang menyeruak, sempitnya lahan, diabaikannya faktor
ekologis, minimnya modal, rendahnya SDM dan sejenisnya, atau khususnya tesis Scott adalah derivasi, akibat, hilir atau konsekwensi
logis dari kebijakan yang tidak tepat itu[7].
Kondisi dan masalah pertanian Indonesia
Sebelum sampai kepada hipotesis demikian, penulis terlebih dulu akan
menguraikan beberapa pendapat yang kredibel terhadap permasalahan itu. Semacam
review literatur dari pandangan-pandangan yang telah mereka tulis sebelumnya.
Pandangan atau pendapat demikian lazimnya
datang dari kalangan atau pakar-pakar yang memperhatikan masalah tersebut
secara seksama. Kalangan atau pakar-pakar tersebut antara lain adalah pendapat yang
telah dikemukakan oleh “Serikat Petani Indonesia (SPI), Prof Dr Ir Bustanul
Arifin, Djoko Suseno dan Hempri Suyatna, Prof Dr Ir Anton Apriantono.
Versi Serikat Petani Indonesia (dalam Welirang Fransiscus, 2012:6)
Menurut serikat perkumpulan petani
ini, dunia pertanian atau pangan Indonesia semakin lama bukan semakin baik
keadaannya. Dari waktu ke waktu situasinya tidak menunjukkan kemajuan. Malah sebaliknya
suasananya semakin buruk. Faktanya adalah sebagai berikut;
Ø Indonesia terjebak dalam kebijakan
pangan yang monokultur. Seakan-akan negeri ini hanya satu kultur, kenyataannya
sangat beragam (plural culture), namun kebijakan pangannya diarahkan hanya
kepada satu jenis, yakni beras.
Ø Indonesia terjebak dalam kebijakan
harga pangan murah untuk menopang pengembangan industri dan sektor lainnya.
Selalu diupayakan agar harga beras murah, tanpa melihat lebih jauh akibatnya
bagi petani, pertanian dan ekonomi pada umumnya
Ø Beras impor lebih murah dibanding
produksi lokal. Tanpa berpikir panjang, pemerintah selalu mendekati persoalan
dari pendekatan ekonomi, pendekatan pasar, khususnya pendekatan neo klasik.
Yang penting murah.
Ø Petani dan perusahaan didorong untuk
menanam tanaman ekspor (sawit dan karet) sebesar-besarnya menggantikan tanaman
pangan. Karena pemerintah focusnya growth
an sich, ia tidak lagi mempedulikan hal-hal diluarnya. Yang penting tumbuh
meski subjek atau aktor pelaksananya tetap melarat
Ø Pengekspor produksi perkebunan
terbesar di dunia, namun sebaliknya menjadi pengimpor pangan terbesar.Konsekwensi
logis dari kebijakan yang hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi an sich.
Tumbuh tinggi meski memelaratkan yang lain
Ø Perdagangan alat-alat teknologi
pertanian di Indonesia hanya dikuasai segelintir perusahaan Internasional (MNC,
Multi National Corporations). Sangat disayangkan, meski sudah lama menjalankan pembangunan,
belum berhasil menelorkan perusahaan-perusahaan domestik yang dapat menyaingi
perusahaan-perusahaan asing. Kalaupun terdapat perusahaan-perusahaan lokal pada
umumnya adalah komprador-perusahaan-perusahaan asing. Alih teknologi yang
didengung-dengungkan sejak lama entah mengapa masih jauh panggang dari api.
Teknologi, manajemen dan kapital masih tetap didominasi perusahaan asing (Barents, 1974)
Ø Semakin tergantungnya kondisi pangan
Indonesia pada keputusan segelintir perusahaan internasional di Indonesia.
Tergantung karena elit-elit atau para pemimpin negeri ini yang menghamba kepada
perusahaan-perusahaan tersebut karena mentalnya yang mengharapkan rente (rent seeking)
Ø Semakin lemahnya peran negara dalam
mengatur kebijakan pangan. Konsekwensi logis dari kebijakan yang mengutamakan
pertumbuhan, sebab peran swasta akan lebih utama ketimbang peran pemerintah
Ø Terjadi penguasaan dan pemilikan
tanah pada segelintir orang. Juga adalah konsekwensi dari kebijakan
pertumbuhan. Mayoritas asset-asset ekonomi akan mereka kuasai sebab merekalah
yang mempunyai kemampuan untuk itu
Ø Membanjirnya impor bahan pangan ke
Indonesia yang diproduksi dengan teknologi rekayasa genetika. Derivasi atau konsistensi
logis dari perekonomian yang tekanannya kepada kedaulatan pasar.
Versi Bustanul Arifin (2004:74-80)
Dengan penulisan yang agak berbeda
dengan pandangan SPI namun saling mengisi sesungguhnya, Bustanul Arifin
memberikan pendapat akan permasalahan petani dan pertanian Indonesia. Focus
utamanya adalah kebijakan. Menurut beliau kelemahan Indonesia dalam membangun pertanian
adalah tidak pernah konsisten dalam kebijakan yang ditetapkan
Kebijakannya selalu berubah-ubah, plintat-plintut,
mencla-mencle, bolak-balik tidak punya pendirian yang teguh. Tidak konsisten. Inkonsistensi
ini antara lain dapat dilihat pada;
·
Pangan
murah versus kecukupan pangan
·
Harga
dasar versus perdagangan internasional
·
Peningkatan
produksi versus sistem agribisnis
·
Otonomi
daerah versus kepentingan nasional
Versi Djoko Suseno dan Hempri Suyatna
Kedua dosen sosiologi fisipol ugm
ini mendeskripsikan permasalahan
pertanian Indonesia sebagai akibat diterapkannya
kebijakan “revolusi hijau” yang lama kelamaan, atau tahap demi tahap akhirnya kontra produktif dengan tujuan
semula.
Pada awalnya kebijakan tersebut memang
berhasil, yakni dengan tercapainya swasembada pangan/beras pada tahun 1984.
Revolusi hijau sebagaimana realitanya berhasil menggandakan produksi pertanian
sesuai atau melebihi kebutuhan pangan nasional. Akan tetapi, walaupun produksi
meningkat kehidupan petaninya tidak
semakin baik. Masalah-masalah selanjutnya adalah;
Ketergantungan
petani pada bibit unggul
Terberangusnya
benih lokal
Terabaikannya
pengetahuan/kearifan lokal
Semakin
rentan terhadap hama
Ketergantungan
kepada paket-paket teknologi yang cenderung dipaksakan
Ketergantungan
kepada beras
Kehancuran
keragaman hayati
Kerusakan
ekologis
Untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam kutifan dibawah ini:
Program kebijakan pembangunan pertanian yang dilakukan
oleh pemerintah Orde Baru memang telah berhasil mencapai swasembada pangan.
Namun, keberhasilan itu seringkali harus dibayar mahal dan tidak membawa
perbaikan riil pada tingkat kehidupan petani. Beberapa dampak negatif dari
program revolusi hijau dapat dilihat dari beberapa hal. Penentuan varietas padi
oleh pemerintah menyebabkan ketergantungan petani pada bibit unggul yang
seragam sehingga meninggalkan bibit lokal yang dimiliki, subsektor tanaman
pangan rentan terhadap berbagai hama, petani menjadi bodoh dengan melupakan
banyak pengetahuan lokal dan menggantungkan diri pada paket-paket teknologi
produk industri dan sebagainya. Larangan penanaman padi varietas lokal oleh
birokrasi pemerintah telah mengakibatkan punahnya berbagai jenis varietas padi
lokal. Di Indonesia misalnya, sebagai penyumbang keragaman benih terbesar kedua
kepada bank benih IRRI (8281 jenis varietas budidaya dan 84 varietas liar) pada
tahun 1986 telah mengalami penurunan keragaman jenis varietas padi cukup
drastis. Kurang lebih 75% dari lahan sawah di Indonesia telah ditanami dengan
varietas padi hibrida dan lebih dari separuhnya hanya ditanami dua varietas
yaitu: Cisadane dan PB 36 atau IR 36. Sebagai konsekwensinya tidak kurang dari
1500 varietas padi lokal menjadi langka dalam 15 tahun terakhir ini (Prias dan
Velve dalam Soemartono 2001:200). Revolusi hijau yang diterapkan pemerintah
juga telah menghancurkan keragaman hayati di lahan pertanian yang menjadi
sumber pangan bagi masyarakat dan petani tradisional. Hilangnya keberagaman
sumber pangan menjadikan padi hasil revolusi hijau menjadi satu-satunya sumber
pangan. Ketergantungan pada satu sumber pangan (beras) menjadikan semakn
rentannya ketahanan pangan dalam masyarakat petani. Kebudayaan penduduk di Maluku
misalnya untuk menanam tanaman sagu hilang. Akibatnya, ketika terjadi krisis
ekonomi tahun 1998, masyarakat di Indonesia bagian timur resah karena sagu
habis sedangkan beras sulit di dapat. Implementasi revolusi hijau dalam hal
ketentuan pemakaian jenis pupuk tertentu oleh pemerintah telah menyebabkan
kerusakan ekologis yakni hilangnya kerusakan........Selain itu penggunaan
pestisida atau herbisida akan meracuni organisme yang menkonsumsinya dan
akhirnya berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem (Djoko Suseno & Hempri
Suyatna, 2007:271-272)
Versi Anton Apriantono (2004-2009)
Kalau Djoko Suseno dan Hempri Suyatna
tekanannya kepada teknis-teknis pertanian, seperti dampak dari revolusi hijau
dan dampak sosial budayanya (terganggunya kearifan, pengetahuan lokal), Anton
Apriantono lebih menekankan kepada fenomena ekonomi dan kebijakan/politik
pertanian. Fenomena-fenomena ini antara lain adalah semakin tergantungnya
komoditas pertanian kepada impor, semakin terpinggirkannya nasib petani,
organisasi atau kelembagaan petani yang kurang berfungsi, infrastruktur
pertanian yang minim, rendahnya investasi, minim atau rendahnya lembaga
keuangan yang dibutuhkan petani, lemahnya akses petani ke pasar dan lain-lain.
Penekanan fenomena demikian dikemukakan
mungkin karena beliau adalah Menteri pertanian yang akan menjalankan kebijakan
pertanian yang ditempuh kabinet SBY-JK. Masalah-masalah ini lebih jelasnya
adalah
v Import sangat tinggi
v Petani terpinggirkan
v Organisasi tani kurang berfungsi
v Infrastruktur pertanian terabaikan
v Investasi rendah
v Akses pasar lemah
v Akses lembaga keuangan lemah.
Akan tetapi secara umum masalah petani dan pertanian di
Indonesia menurut Anton Apriantono adalah:
1.
Birokrasi
Kementerian pertanian yang belum fungsional. Terjadi KKN, lemah eksekusi, lemah
koordinasi antar lembaga, dan terlalu gemuk[8].
2.
Kepemilikan
lahan yang sempit
3.
Jumlah
petani yang terlalu besar
4.
Mentalitas
petani, yakni lemah memperjuangkan haknya, lemah kewirausahaannya
5.
Ketrampilan
yang minim/kurang
6.
Modal
yang terbatas
7.
Pasar
dan tata niaga yang tidak mendukung. Harga selalu fluktuatif, pasar pada
umumnya selalu dikuasai para pedagang dan tengkulak. Tata niaga yang tidak
praktis karena terlalu panjang.
8.
Organisasi
tani yang belum fungsional. Lemahnya kesadaran berorganisasi, tidak mandiri
9.
Informasi
yang didapatkan petani sangat terbatas
10. Kebijakan yang distortif -belum
optimal (Cat; diuraikan lebih detil dibawah ini)
Kebijakan yang distortif
Sebagaimana dikatakan di depan, yakni
pada hipotesis, bahwa masalah terbesar pertanian Indonesia terletak pada
kebijakan yang tidak sesuai dengan suasana, situasi atau tatanan masyarakat,
mendapat pembenarannya pada pengakuan Anton Apriantono. Lebih jelasnya Anton
menyatakan;
o
Kebijakan
pertanahan (skala usaha tani, alih fungsi lahan, rencana tata ruang wilayah,
reformasi administrasi/sertifikat, pengakuan hak ulayat) belum dilaksanakan
o
Kebijakan
infrastruktur (irigasi, transportasi, komunikasi) belum maksimal. Masih sangat
jauh dari yang seharusnya.
o
Trade off dari otonomi daerah terkait dengan
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pertanian
o
Kebijakan
payung hukum yang belum optimal terhadap organisasi tani
o
Kebijakan
pemerintah yang belum optimal bagi petani dalam hal akses pasar, informasi,
subsidi saprotan dan proteksi (perdagangan internasional)
o
Mall
praktek dalam kebijakan food security
(pangan sebagai komoditas politik)
o
Kebijakan
perbankan belum kondusif untuk petani
o
Kebijakan
industrialisasi yang belum berpihak pada industri pertanian
o
Undang_undang
Sumber Daya Air kurang berpihak pada petani.
Semua gambaran tersebut hingga
pertemuan hari ini masih tetap seperti itu. Kondisi petani dan pertanian tetap
menyedihkan sebagaimana ditulis Dwi Andreas Santosa dalam Kompas 29 September
2014 yang lalu[9].
Dalam tulisan tersebut antara lain dikatakan
sebanyak 62,8 persen dari 28,55 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia (2013)
petani, sedangkan sebagian besar sisanya juga petani yang terpaksa keluar dari
lahan garapan mereka. Sensus pertanian menunjukkan tercerabutnya keluarga tani
dari lahan garapan mereka sejumlah 500.000 rumah tangga pertahun selama 10
tahun terakhir. Sebaliknya impor pangan meningkat 173 persen dalam 10 tahun
terakhir untuk 8 pangan utama, sedangkan nilai devisa yang digunakan meningkat
tajam dari 3,34 milyar dollar AS (2003) menjadi 14,90 miliar dollar AS (2013)
atau hampir 4,5 kali lipat. Pesan lain
tulisan ini adalah harapan petani yang tertuang dalam deklarasi Aliansi Tani
Indonesia Hebat, 1 Juni 2014 yang berbunyi;
Mewujudkan kedaulatan pangan dan reforma agraria untuk
melayani dan memenuhi hak seluruh rakyat atas pangan yang menyehatkan serta
peningkatan kesejahteraan keluarga tani melalui dukungan penuh negara terhadap
redistribusi tanah untuk petani, pengarusutamaan pertanian keluarga dan agro ekologi
serta perlindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil
Tidak hanya tidak beranjak, malah
sebaliknya semakin memburuk. Sinyalemen ini dapat dilihat dari pandangan
beberapa pakar pertanian, seperti syarifuddin Baharsyah, Khudori dan Dwi Andreas Santosa akhir-akhir ini.
Syafrudin Baharsyah misalnya melihat bahwa sejak tahun 1999 Indonesia sudah tidak
punya politik pertanian lagi, sudah sangat liberal, tunduk pada perintah IGGI
dan IMF yang memberi bantuan. Semuanya diserahkan pada pasar, tidak ada lagi
pemihakan kepada petani. Para pengambil kebijakan hanya membuat keputusan
sesaat, tanpa peduli jangka panjang. Kesemua ini terjadi karena tidak adanya
kesepakatan tentang tujuan jangka panjang pembangunan pertanian, lanjutnya
(Antara, 17 September 2013)
Disisi lain, Khudori melihat kelemahan pembangunan
pertanian pasca berlakunya otonomi daerah. Era yang seharusnya mengembangkan
pertanian lebih maju dibandingkan era otoriter sebelumnya, justru sebaliknya
yang terjadi. Para pemimpin-pemimpin
atau kepala daerah kecenderungannya semakin tidak memperhatikan pertanian.
Lebih jelasnya Khudori mengatakan:
Otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus
daerah. Pada hal elit daerah tidak menjadikan daerah dan pangan sebagai motor
pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan
beragam oleh berbagai daerah. Karena itu mustahil berharap inovasi pembangunan
pertanian lahir dari daerah. Ini memperparah produksi pangan domestik yang
ujung-ujungnya mempengaruhi kinerja pangan secara keseluruhan (Kompas, 6 Mei
2013)[10]
Demikian pula pendapat Dwi Andreas
Santosa 21 Januar 2014 yang lalu yang
menguatkan pendapat tersebut. Ia melihat kekurang seriusan elit pimpinan daerah
mengurus sektor pertanian. Kealfaan elit ini seperti; bagaimana yang seharusnya
tidak boleh terlambat dilakukan, namun dalam pelaksanannya kerapkali terjadi.
Keterlambatan demikian misalnya adalah
peraturan, ketentuan atau legislasi yang selalu tidak tepat waktu. Para kepala
daerah tidak responsif dalam mengeluarkan dasar hukum sebagai tempat berpijak
kebijakan dilakukan. Konsekwensinya penyaluran atau distribusi sarana-sarana
produkasi pertanian, seperti pupuk, benih dan pestisida penyalurannya tidak
tepat waktu sehingga mengganggu produksi (Kompas, 21 Januari 2014).
Produksi tidak meningkat. Ketahanan
pangan yang didengung-dengungkan hanya dalam tataran konsep dan retorika. Otonomi
daerah yang seharusnya lebih mempercepat proses-prosess pembangunan, khususnya
pembangunan pertanian jauh dari harapan. Pemerintah daerah kecenderungannya
mengutamakan bidang-bidang lain, diluar sektor pertanian untuk mengisi
pembangunannya. Mereka kecenderungannya semakin
lama semakin menganaktirikan sektor pertanian, dibandingkan sektor
industri-manufaktur dan jasa pada umumnya.
Konteks tersebut plus semakin
liberalnya pertanian indonesia, menjauhkan kehidupan petani dari pemihakan
pemerintah. Pemerintah apakah karena menganggap petani sudah kuat maka tak
perlu dibantu, atau ada faktor-faktor lain tidak jelas argumentasinya, padahal
pemihakan itu adalah kondisi yang sangat diharapkan petani dan pertanian
memajukan usahanya. Mengapa diberi alasan seperti itu lebih seksama akan
diteruskan dalam sub bab dibawah ini
Dalih pentingnya
intervensi-pemihakan Pemerintah.
Menurut Prof Dr Tumari Jatileksono
MSc, MA (2000:465) petani dan pertanian tidak mungkin diliberalkan sebagaimana
komoditas-komoditas ekonomi lainnya. Pertanian mempunyai kekhususan yang
berbeda dengan barang-barang atau jasa privat,karena sifatnya yang melekat pada
kepentingan publik. Oleh karena itu pemerintah harus memihak-mengintervensi
sektor ini demi kebaikan bersama. Lebih jauh alasannya adalah:
1. Pasar beberapa produk pertanian masih
kurang kompetitif jika dibandingkan pasar luar negeri, seperti pasar produk
buah-buahan, juga pasar beberapa input pertanian belum mendekati kondisi
persaingan sempurna, seperti pasar pupuk dan pestisida masih
oligopolistik/monopolistik. Bagaimana mungkin petani dan pertanian bersaing
dengan keadaan itu. Apakah para petani akan terjun dari udara tanpa parasut ?
2. Input pertanian ada yang berupa
barang publik, seperti irigasi, teknologi dan informasi pertanian. Begitu juga
produk pertanian, seperti zat oksigen yang menyegarkan udara, pemandangan yang
indah ketika padi sawah tampak kehijauan, suasana yang sejuk di sekitar
perkebunan, dan tempat rekreasi dilereng-lereng pegunungan yang sarat dengan
berbagai jenis tanaman. Suasana ini, yakni suasana publik ini akan rusak
apabila semata-mata diserahkan pada mekanisme pasar.
3. Produk pertanian juga menghasilkan
eksternalitas, seperti pencegahan erosi tanah dan bahaya banjir. Jika diberikan
semata-mata ke pasar, maka para aktor-aktor ekonomi, apakah itu para pengusaha
dan sejenisnya tidak akan mempertimbangkan hal-hal yang diluar sektor
bisnisnya. Masalah-masalah sosial akan luput dari perhatiannya.
4. Keberhasilan pertanian juga
memberikan dampak ganda bagi pengembangan sektor industri, jasa dan peternakan.
Dalam setting historisnya masing-masing negara yang berhasil, selalu
mendahulukan pembangunan pertaniannya. Setelah sektor ini mapan, barulah sektor
lain dibenahi. Tidk langsung meloncat ke industri atau jasa.
5. Produksi pertanian sangat tergantung
pada kondisi alam sehingga mengandung resiko dan ketidakpastian yang pada
akhirnya ada potensi instabilitas produksi dan fluktuasi harga
6. Pemilikan tanah oleh petani pada
umumnya sangat sempit sehingga mereka berpendapatan rendah, kekurangan modal,
dan kemampuan melakukan investasi rendah
7. Berbagai produksi pertanian
perkebunan pada umumnya memerlukan rentang waktu yang cukup panjang antara saat
dimulainya kegiatan produksi sampai saat dihasilkan produknya sehingga kurang
menarik minat investor perorangan
8. Penemuan teknologi baru sukar
dilaksanakan petani karena berbagai teknologi baru memerlukan riset yang tidak
mampu dilakukan oleh para petani sendiri
9. Untuk memperlancar pembangunan
pertanian diperlukan pengembangan kelembagaan pendukung yang secara cepat
ditangani pemerintah
10. Karena para petani pada umumnya
termasuk masyarakat berpenghasilan rendah, maka investasi pada sumberdaya
manusia keluarga tani, juga memerlukan bantuan
11. Untuk menghasilkan produk-produk
pertanian yang berkualitas dan memenuhi syarat kesehatan diperlukan pengawasan
mutu benih dan pengawasan penggunaan pestisida
12. Untuk mencegah meledaknya hama atau
penyakit tumbuhan diperlukan monitoring dan pengendalian secara terpadu
13. Diperlukan pengawasan untuk mencegah
pengusahaan tanaman yang membahayakan, seperti ganja dan opium
14. Hasil pembangunan pertanian dengan
menggunakan teknologi mutakhir mempunyai potensi untuk menciptakan kebanggan
nasional, seperti pengiriman bantuan pangan kenegara lain, pembentukan citra
Indonesia melalui nama buah asli Indonesia yang berkualitas, seperti rambutan
binjai Indonesia, mangga Arum manis Indonesia, dan salak pondoh Yogyakarta
15. Perekonomian Indonesia sedang
bergeser dari sifat agraris yang mendekati pasar persaingan sempurna menuju ke
tahap industrialisasi yang mengarah oligopolistik dan bahkan ada potensi
monopolistik
Tidak hanya di Indonesia,
dinegara-negara lainpun pertanian dan petaninya dilindungi oleh pemerintahnya.
Termasuk negara yang sudah maju, yang selalu melantunkan pasar bebas, faktanya
masih melindungi petaninya. Di Eropa menurut Stiglitz, anjing saja disubsidi $ 2 sehari (2007:152). Begitu pula
yang terjadi di Amerika Serikat, Australia dan atau khususnya Jepang.
Jepang adalah contoh bagaimana besar
perhatian pemerintah terhadap petaninya. Harga yang dibeli pemerintah terhadap
petani bisa 5,6 kali harga Internasional, yang selanjutnya dijual dengan harga
yang berlaku di pasar.
Uraian demikian, yakni intervensi
pemerintah terhadap petani masih dapat dideskripsika sekian panjang lagi, namun
intinya adalah petani dan pertanian kita tetap terpuruk. Lalu apa kira-kira celah
yang mungkin dapat dilakukan petani supaya nasibnya lebih baik. Menjadi
wiraswastawan pertanian misalnya ? atau ? mari sama-sama kita diskusikan.
Terlindungi, Sejahtera dan Cerdas: Model
Pertanian Maju dan Modern
Sebagai insan yang optimis tidak ada
kata menyerah terhadap keadaan, meski situasinya sangat menyesakkan. Agar tidak
pesimis kita anggap saja deskripsi diatas (untuk sementara) hanyalah sekedar kegenitan
akademik yang mungkin tidak akan pernah empirik. Pandangan yang kepastiannya mungkin juga jauh dari
realita.
Atau secara akademik juga kita pakai satu pendekatan, yakni pendekatan kultural.
Pendekatan yang meneropong dari dalam, yakni dari dalam diri dan kalangan petani
itu sendiri. Dalam artian lain pandangan ini sering juga disebut pandangan
kalangan modernis yang pengikutnya besar dinegeri ini.
Petani kita sebagaimana diuraikan
diatas belum memiliki mental, karakter atau sifat yang seharusnya dimiliki
seorang petani yang handal, seperti misalnya petani dinegara-negara yang maju
pertaniannya. Petani kita masih lemah dalam hampir segala hal. Salah satunya
adalah belum bermental saudagar, dagang atau bisnis.
Mental atau budaya mereka masih
mental dan budaya petani sebagaimana dikenal selama ini sesuai namanya, yakni
mental agricultuur. Mental yang masih
jauh dari inovasi, spekulasi dan
orientasi kepada kekayaan materiil sebagaimana
prasyarat atau focus bisnis. Mereka masih terikat dengan sikap, karakter
atau mental orisinalnya, yakni yang selalu menyesuaikan diri dan selaras dengan alam
(given). Demikian pula (khususnya)
perilaku dengan sesamanya selalu menyesuaikan diri.
Sebaliknya dengan mentalitas saudagar
yang penuh dengan inovasi, spekulasi dan orientasi kepada kekayaan materiil.
Kalangan ini selalu rasional, spekulatif, individualistik, gemar bersaing
terhadap sesamanya, sebagaimana yang diajarkan dalam teks-teks ilmu pengetahuan
dan teknologi mainstream.
Dengan kata lain dibutuhkan budaya unggul,
budaya rasional, budaya teknologis, budaya industrial yang menjadi arus utama (mainstream) dalam pola pembangunan yang
berlangsung saat ini.
Dalam praksisnya sebagaimana sering
dikemukakan, mentalitas petani seperti itu tidak mungkin menjadikan dirinya
kaya raya bergelimang harta, karena selalu menjaga harmoni dengan sesamanya,
dengan habitatnya, dengan alamnya dan dengan segala-gala yang ada dalam
lingkungannya.
Pada umumnya dalam kehidupan sehari-hari
mereka selalu berupaya menjauhkan diri dari konfrontasi, termasuk konfrontasi
dalam berpikir sebab enggan atau tidak mau tersinggung komunitasnya. Kalau ada anggota
komunitasnya yang keliru misalnya, dicari upaya bagaimana cara menyampaikannya
agar anggota komunitas tersebut tidak tersinggung.
Pikirannya selalu diupayakan agar sesuai dengan pikiran yang sedang berlaku dalam
komunitas tersebut. Konsekwensi logisnya sudah tentu akan menjauhkan diri dari debat, kritik langsung dan nilai-nilai
sejenisnya yang sangat diperlukan dalam khazanah ilmiah.
Singkatnya dapat dikatakan mereka masih
jauh dari tradisi-tradisi ilmiah yang rasional, objektif, inovatif dan
sejenisnya. Derivasinya sudah pasti jauh dari nilai-nilai industri, bisnis
modern atau mekanisme pasar bebas yang menjadi arus utama trend ekonomi-politik
dunia.
Oleh karena itu apabila petani kita
ingin lebih maju, lebih bermutu, atau lebih kaya, tidak seperti selama ini
gurem, subsisten alias marjinal terus , harus menguasai nilai-nilai modern
tersebut, yakni bermental industrial, mental bisnis melalui persaingan pasar
bebas/pasar sempurna[11].
Pertanyaan besarnya “setujukah kita dengan paradigma
seperti itu ?.tidakkah itu berlawanan dengan karakter bangsa kita yang
Pancasilais, yang kekeluargaan dan yang gotong royong ?. Sukar dan panjang menjawabnya[12].
Perlu mendatangkan berbagai pendekatan dan berbagai pakar. Namun karena kita
juga harus mencari jawaban, secara singkat kita gunakan/pakai saja 1 (satu)
ukuran.
Ukuran ini adalah “ideologi dan
konstitusi – Pancasila dan UUD 1945”. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat
tertulis tujuan Negara atau Pemerintahan, yakni.....”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”.........
Itulah dasar, prinsip atau tujuannya.
Pertanian mau apapun pendekatannya itulah hakikinya, yakni....terlindungi,
sejahtera dan cerdas....itulah pertanian yang maju dan modern. Sudah seperti
itu? Uraian-uraian di atas telah membahasnya. Sekian dan terima kasih.
[1] Model
pembangunan yang sudah dianggap gagal, namun entah mengapa masih terus dipraksiskan.
Model ini adalah model pembangunan ekonomi yang indikator utamanya adalah
“struktur produksi dan tenaga kerja yang diupayakan secara terencana. Dalam
proses seperti ini lazimnya peranan sektor pertanian akan menurun, sebab
pertumbuhannya akan kalah cepat dengan sektor manufaktur dan jasa. Strategi yang
dikenal sebagai jalan industrialisasi ini pada akhirnya meminggirkan pertanian
dan pedesaan ke tingkat yang sangat marjinal yang sesungguhnya tidak boleh
terjadi. Dalam pengertian lain sering juga disebut dengan Top down approach
[2] Urutan
ketiga dalam program nawa cita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan
[3] Air yang
mengelilinginya itu. Dapat juga disebut lingkungannya, wilayahnya, habitatnya.
Jadi jika petani mau lebih baik, airnya itu harus dikurangi. Dikurangi sesuai
dengan kebutuhan petani itu. Siapa sesungguhnya air itu? Yah penguasa wilayah
itu, pemerintah wilayah itu, birokrasi wilayah itu. Penguasa ini harus
sungguh-sungguh menjalankan fungsinya sebagaimana layaknya sauatu pemerintah,
birokrasi yang melayani, yang betul-betul melakukan fungsinya sebagai
[4]
Pendekatan seperti ini sering disebut dengan pendekatan “strukturalis,
ketergantungan/Dependencia” (dari luar), sebagai antitese dari pendekatan
kultural (dari dalam). Masalah utamanya bukan dalam diri petani, melainkan diluarnya,
yakni ada suatu tatanan yang membuatnya seperti itu. Tatanan seperti apa itu?,
jawabannya tidak hitam putih. Salah satu tatanan tersebut adalah seperti yang
ditulis dalam footnote 1, yakni ditempuhnya strategi pembangunan yang focus,
titik sentral atau tekanannya kepada proses “produktivitas dan tenaga kerja”
semata. Tidak melihat lebih jauh kehidupan sosial dan kultural petani. Suatu strategi/Proses
yang akhirnya membuat petani hanya jadi objek. Tatanan lain adalah (konsekwensi
dari strategi tersebut) absennya “pemihakan atau intervensi” pemerintah
terhadap kebutuhan,keperluan atau kepentingan petani . Pemihakan yang
seharusnya dilakukankni karena keterbatasannya, sepert petani yang umumnya berlahan sempit, sumber
daya air yang sangat tergantung kepada air hujan, modal terbatas, pendidikan
rendah, sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan dan penguasaan teknologi yang seadanya
(Ellis, 1992). Demikin juga Stiglitz (1987) menyatakan bahwa intervensi harus dilakukan karena; pasar kredit dan
asuransi pertanian yang kurang sempurna, sifat barang publik pada input dan out
put pertanian, adanya informasi yang tidak sempurna, eksternalitas dalam proses
produksi pertanian dan untuk perbaikan distribusi pendapatan.
[5] Hal ini
dapat dilihat dalam tulisan Jonathan R Pincus (2004:107) yang meneliti
pengalaman pembangunan pertanian Indonesia yang bergelimang penyalahgunaan,
seperti “distorsi kebijakan yang akhirnya bermuara pada korupsi”.
Penyalahgunaan yang dilakukan pihak pembantu/donor, yakni Bank Dunia
bekerjasama dengan elit-elit departemen Indonesia berjalan terstruktur dan
sistemik. Kedua pelaku, yakni Bank Dunia dan Elit-elit Indonesia kong kali kong
menjalankan proyek tanpa menghiraukan out put proyek itu berguna atau tidak
bagi masyarakat”. Yang penting proyeknya berjalan. Dalam terminologi Scott (dalam
Pincus,2004 :114) dilukiskan bagaimana
para modernis memanfaatkan kelemahan masyarakat untuk menjalankan
keinginan-keinginannya yang justru difasilitasi oleh elit-elit masyarakat
tersebut dan selanjutnya masyarakat yang tak berdaya itu memberikan tanahnya
untuk proyek pertanian. Untuk lebih detill dan jelasnya dapat dibaca dalam
tulisan tersebut
[6]
Konsep-konsep ini adalah yang ditawarkan para ahli pertanian, seperti M.Prakosa
(mantan Menteri pertanian di era Megawati), Bustanul Arifin (akademisi
pertanian dari FP Unila), Khudori (anggota dewan pangan RI), Dahlan Iskan (mantan
menteri BUMN di era SBY), Syarifudin Baharsyah (mantan menteri pertanian
terakhir era Soeharto) dan Dwi Andreas Santosa (pakar pertanian/benih IPB).
Prakosa menawarkan konsep “corporate farming”, Bustanul mengusulkan kebijakan
harga, Khudori “penguatan lembaga setingkat dirjen” dan Dahlan iskan “membangun
BUMN pangan dan holtikultura” (Dwi Putro Priadi, 2014:44).syarifudin Baharsyah
menyarankan a, kembalikan kemandirian petani, b, pengusaha harus menjadi
pemangku kepentingan, bukan pemburu rente, c, menjamin akses petani ke sumber
daya lahan dan air, d, penguatan SDM petani, e, menghilangkan distorsi pasar
dan f, pembenahan statistik pertanian. Dwi Andreas santosa tidak begitu berbeda
dengan pakar-pakar sebelumnya menyarankan; kembalikan hak dan kedaulatan
petani, hapuskan subsidi benih dan pupuk sehingga dana tersebut bisa langsung
dikelola oleh petani, jamin stabilitas harga, kembangkan sistem pertanian agroekologi,
dan tidak kalah penting laksanakan reforma agraria (Kompas, 21 Januari 2014) Sedangkan konsep-konsep klasik sebelumnya
sudah banyak dikemukakan, seperti misalnya oleh Mellon (1966). Mellon
menawarkan konsep modernisasi pertanian dengan syarat; insentif ekonomi untuk
berproduksi, riset memperbaiki teknik berproduksi, penyediaan input baru,
penyediaan biaya perluasan produksi, pengembangan pemasaran dan kelembagaannya,
peningkatan pelayanan pendidikan, pengembangan kelembagaan untuk mencari skala
usaha tani yang tepat dan perencanaan pembangunan pertanian.
[7] Lihat
foot note no 1, 3 dan 4 yang
sesungguhnya adalah kerangka berpikir makalah ini. Deskripsi lebih luas akan
ditulis dibawah atau halaman berikut ini
[8]
Bandingkan dengan pernyataan Eko Prasojo, mantan wakil menteri PAN
&Reformasi Birokrasi (Kompas, 25 Nopember 2014) yang mengatakan bahwa
persoalan birokrasi di Indonesia sangatlah kompleks, terbentang dari masalah
mengubah kultur birokrasi yang tidak berintegritas, tumpang tindih peraturan
perundang-undangan, struktur organisasi yang gemuk dan boros, proses bisnis
pemerintahan yang yang lamban dan tidak efisien, sumber daya manusia yang tidak
kompeten dan tak profesional, penyakit KKN, hingga persoalan pelayanan ke
publik yang tak responsif dan tak akuntabel. Semua ini dapat dibuktikan melalui
beberapa indikator global, seperti survey Political Economic Risk Consultacy
pada 2012, Indeks efisiensi pemerintahan di Indonesia adalah 8,37 (dari skor 1
terbaik dan 10 terburuk), Indeks keefektifan pemerintahan di Indonesia pada
2013 menurut Forum Ekonomi Dunia adalah 42 (dari skala 1 terburuk hingga 100
terbaik), Indeks persepsi korupsi menurut IT pada 2013 adalah 32 (dari skala 1
terburuk dan hingga 100 terbaik, sementara untuk kemudahan berbisnis pada 2014
menurut Bank Dunia berada pada peringkat ke -120. Sungguh ironis, dalam segala
hal tidak ada yang standard. Semua serba minus. Bagaimana mengharapkan salah
satu bagian, unsur atau subsistem, seperti petani dan pertaniannya berkembang
jika tatanannya seperti itu ? mungkin bisa saja terjadi bahwa salah satu unsur,
subsistem atau bagian itu berhasil karena ada (barangkali) elit yang sangat
istimewa, namun jika elit tersebut berakhir, maka tatanan tidak sehat itu akan
kembali lagi ke suasana semula.
[9] Beberapa
bulan sebelumnya (Kompas, 21 januari 2014) penulis yang sama telah menguraikan
betapa kebijakan pemerintah terhadap pertanian sangat minim. Hal ini dapat
dilihat dalam anggaran yang diberikan dalam sektor ini. Anggarannya sangat jauh
dari memadai, yakni hanya 1,07 persen dari total APBN 2014. Kalkulasinya adalah
subsidi pupuk Rp 18,05 triliun dan subsidi benih Rp 1,07 triliun, yng digunakan
untuk membantu 26,17 jut keluarga tani atau 91 juta jiwa. Bandingkan dengan
anggaran pendidikan yang mencapai Rp 368,9 triliun yang dalam banyak kasus
tidak jelas pemanfaatannya.
[10]
Syarifudin Baharsyah bingung dengan konsep baru pertanian yang tidak jelas.
Ditekankan swasembada, namun unsur pendukungnya, seperti lahan tidak diberikan.
Bagaimana swasembada terjadi kalau metodenya seperti itu ?
[11]
Berbicara masalah mentalitas ada baiknya dibaca pendapat Prof Dr
Koentjaraningrat (1984:45) yang melihat kelemahan mental bangsa Indonesia
secara umum. Mentalitas ini adalah mentalitas yang terlalu berorientasi ke atas
(vertical oriented), meremehkan mutu, gemar menerabas, sifat tak percaya kepada
diri sendiri, sifat tak berdisiplin murni, dan sikap yang suka mengabaikan tanggung
jawab yang kokoh
[12] Yang sukses
melakukan pola seperti itu adalah kalangan yang populer dengan sebutan
“kapitalis”. Karakternya sungguh kapitalistik. Bagaimana menggandakan
keuntungan sebesar-besarnya adalah primat utamanya. Contoh klasik sekaligus
aktual adalah para manajer perusahaan-perusahaan besar, perusahaan-perusahaan
yang bergerak lintas negara. Manajer ini
dapat mengatur uang/kapital, teknologi,
pemasaran/organisasi dengan sangat efisien. Apakah
petani kita juga diarahkan kesana?. Adakah prasyarat-prasyarat untuk itu
dinegeri ini. Tidakkah secara historis, karakter, suasana atau nuansa demikian
tidak dimiliki negeri ini? Para strukturalis selalu melihat bahwa jiwa-jiwa
kapitalistik yang tidak berkembang dinegeri-negeri ex jajahan tidak muncuk
karena penghisapan oleh negara-negara besar, negara pusat atau negara-negara
yang industrialis. Para kulturalis melihat sebaliknya, yakni berasal dari
habitat petani itu sendiri, dimana sejak lama kehidupannya telah tercekam
feodalisme dan lain-lain sistim yang tidak membuatnya dapat menjadi kapitalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar