Kamis, 28 September 2017

MENAKAR KESEJAHTERAAN PETANI ERA JOKOWI-JK




MENAKAR KESEJAHTERAAN PETANI  ERA JOKOWI-JK
Oleh: Reinhard Hutapea
Kandidat doktor Agribisnis UNSRI.
Published, 25 Sept 2017, Harian Waspada

Semasa kecil dulu, persisnya waktu masih SD, penulis pernah membaca buku dongeng  yang bertema “Kodok hendak jadi Lembu”. Dongeng yang mengisahkan bagaimana suatu binatang kecil yang bernama kodok bercita-cita menjadi binatang raksasa yang namanya lembu.
Cerita, kisah atau mythosnya begitu menarik sehingga kita kala itu termangu-mangu, kagum, dan apresiated akan cerita itu. Bagaimana kodok yang kecil  terus menerus memompa badannya supaya bisa  sebesar Lembu sungguh fantastik yang membuat hati berdebar-debar mengikutinya.
Namun sebagaimana akhir ceritanya , yakni ketika  terus menerus sang kodok memompa badannya, dengan dramatis pecahlah seluruh tubuhnya. Pecah  berkeping-keping bak mercon/petasan yang disulut api. Kodok tidak jadi lembu, malah sebaliknya/akhirnya raib  dengan tragis.
Mythos atau dongeng yang sejatinya sering mencuat dalam kehidupan nyata. Tidak masuk akal namun diupayakan supaya masuk akal. Atau sebaliknya masuk akal, tapi diikhtiarkan supaya tidak masuk akal. Termasuk dalam pola pembangunan Indonesia, hal-hal seperti itu sering mengemuka. Kehidupan petani adalah salah satu ilustrasinya.

Balada petani
Sejak merdeka keinginan untuk mensejahterakan kehidupan petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia telah ditulis dan dikumandangkan dengan nyaring. Dalam program-program setiap pemerintahan yang terbentuk, perbaikan kehidupan petani selalu dalam urutan pertama.
Bung Karno pada waktu peletakan batu pertama pembangunan kampus IPB tahun 1952 dengan lantang menyatakan bahwa pangan (pertanian) adalah “mati hidupnya suatu bangsa”. Bangsa yang terancam pangan/pertaniannya, akan membawa bangsa itu ketatanan yang sangat berbahaya. Oleh karena itu kecukupan akan pangan adalah harga yang tidak bisa ditawar-tawar.
Soeharto yang anti “retorika, verbalism, dan euphemism” tidak ketinggalan. Ia sebagaimana pendahulunya (Bung Karno) tidak teriak strategi-vitalnya pertanian, namun langsung mewujudkannya dengan konsep yang kemudian terkenal dengan “revolusi hijau” (ingat GBHN/Pelita-Pelita Orde Baru). Konsep yang mengantarkan dirinya mendapat penghargaan PBB/FAO karena berhasil swasembada beras tahun 1984.
Namun sebagaimana faktanya kemudian, revolusi hijau  menimbulkan implikasi serius yang akhirnya kontra produktif dengan tujuannya semula. Selain kemudian tidak mencapai pertumbuhan yang diharapakan, malah sebbaliknya mengakibatkan sistim pertanian rusak, amburadul, hingga porak poranda.
 Porak poranda karena; ketergantungan petani pada bibit unggul, terberangusnya bibit lokal, terabaikannya pengetahuan/kearifan lokal, semakin rentan terhadap hama, ketergantungan kepada paket-paket teknologi yang cenderung dipaksakan, ketergantungan kepada beras, kehancuran keragaman hayati, kerusakan ekologis dan sebagainya.
Semua itu terjadi karena strategi, paradigma, atau praksis pembangunan yang tidak tepat (kalau tidak membabi buta). Strategi yang focus hanya kepada “peningkatan produktivitas dan tenaga kerja an sich”. Tidak melihat lebih jauh kehidupan sosial dan kultural petani yang punya keterbatasan, seperti lahan yang sempit, sumber daya air yang kurang/hanya mengandalkan hujan, modal yang terbatas, pendidikan yang rendah, status sosial-ekonomi yang kurang beruntung, dan penguasaan teknologi yang seadanya (Ellis,1992), plus sebagaimana disinyalir Stiglitz (1987) informasi nan asimetris, pasar, kredit, dan asuransi yang tidak sempurna, dan eksternalitas dalam proses produksi. Dengan kata lain petani hanya dijadikan objek.
Karena hanya dijadikan objek, maka eksistensinya persis sebagaimana dititahkan sosiolog kondang pertanian, Jamess Scott (1980), bahwa petani itu sejak lama adalah orang yang berendam dalam air, dimana ketinggian air sudah sampai pada dagunya. Oleh karena itu sedikit saja goyang, apalagi digoyang, sang petani sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah atau terus mengalah, dan pada akhirnya sungguh-sungguh menjadi orang, atau pihak yang kalah.
Kalah bukan karena ia malas, tidak energik, atau tidak ber ethos (faktor dirinya), melainkan karena ada kekuatan luar (eksternalitas/struktur yang membelenggu), yakni sistim, tatanan, dan atau khususnya rezim yang mencengkramnya.
Sistim atau rezim yang tidak melayani, apalagi memihak pada kehidupan petani. Mahluk yang seharusnya dilindungi karena kelemahannya, dibiarkan bersaing secara bebas dengan dua aktor lain, yakni BUMN/BUMD, dan atau khususnya kalangan swasta yang mendapat privilege dari birokrasipemerintahan.
Petani yang punya keterbatasan dalam hal “modal, akses pasar, teknologi, informasi, dan manajerial/organisatorial modern”, konsekwensi dan konsistensinya sudah pasti keok dengan yang memiliki keistimewaan tersebut (BUMN/BUMD, dan swasta). Pertandingan yang jelas tidak seimbang. Bagaimana mengadu “petani dengan konglomerat” yang adi kuasa (super power)?

Kembalikan Kemandirian Petani
Meski tidak persis sama atau sedramatis narasi demikian, pada era Jokowi-JK saat ini pun belum significan bergeming. Pembangunan infra struktur pertanian yang jor-joran, seperti waduk, irigasi, saprodi (bibit, pupuk, obat/pestisida, traktor), hingga pemberian dana upsus yang cukup besar, serta pengikutsertaan AD dalam pengawasannya cenderung, masih sebatas peningkatan produksi sebagaimana di era Soeharto/revolusi hijau dulu.
Belum menyentuh akar masalah, yakni menjadikan petani sebagai subjek pembangunan dan memberikan kembali otonomi yang pernah dirampas. Biarkan petani menentukan sendiri “bibit, pupuk, obat, dan skala pertaniannya”. Tak usah diajar-ajari, apalagi direkayasa dengan yang katanya pertanian modern (untuk apa ayam diajarin bertelur?.
Pemerintah/birokrasi sebaiknya cukup sebagai fasilitator. Memfasilitasi apa yang dibutuhkan petani, seperti akses ke modal, pasar, informasi, asuransi pertanian, dan lain-lain faktor yang mengikutinya (lihat Ellis dan Stiglitz).  Pemerintah atau birokrasi Jokowi-JK yang berprinsip berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, yang telah tertuang dalam Nawa Cita niscaya dapat mewujudkan itu. Merdeka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar