MENAKAR KESEJAHTERAAN
PETANI ERA JOKOWI-JK
Oleh: Reinhard Hutapea
Kandidat doktor
Agribisnis UNSRI.
Published, 25 Sept 2017, Harian Waspada
Semasa kecil dulu, persisnya waktu masih SD, penulis pernah
membaca buku dongeng yang bertema “Kodok
hendak jadi Lembu”. Dongeng yang mengisahkan bagaimana suatu binatang kecil
yang bernama kodok bercita-cita menjadi binatang raksasa yang namanya lembu.
Cerita, kisah atau mythosnya begitu menarik sehingga kita kala
itu termangu-mangu, kagum, dan apresiated akan cerita itu. Bagaimana kodok yang
kecil terus menerus memompa badannya
supaya bisa sebesar Lembu sungguh
fantastik yang membuat hati berdebar-debar mengikutinya.
Namun sebagaimana akhir ceritanya , yakni ketika terus menerus sang kodok memompa badannya, dengan
dramatis pecahlah seluruh tubuhnya. Pecah
berkeping-keping bak mercon/petasan yang disulut api. Kodok tidak jadi
lembu, malah sebaliknya/akhirnya raib
dengan tragis.
Mythos atau dongeng yang sejatinya sering mencuat dalam
kehidupan nyata. Tidak masuk akal namun diupayakan supaya masuk akal. Atau
sebaliknya masuk akal, tapi diikhtiarkan supaya tidak masuk akal. Termasuk
dalam pola pembangunan Indonesia, hal-hal seperti itu sering mengemuka. Kehidupan
petani adalah salah satu ilustrasinya.
Balada petani
Sejak merdeka keinginan untuk mensejahterakan kehidupan
petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia telah ditulis dan
dikumandangkan dengan nyaring. Dalam program-program setiap pemerintahan yang
terbentuk, perbaikan kehidupan petani selalu dalam urutan pertama.
Bung Karno pada waktu peletakan batu pertama pembangunan kampus
IPB tahun 1952 dengan lantang menyatakan bahwa pangan (pertanian) adalah “mati
hidupnya suatu bangsa”. Bangsa yang terancam pangan/pertaniannya, akan membawa
bangsa itu ketatanan yang sangat berbahaya. Oleh karena itu kecukupan akan pangan
adalah harga yang tidak bisa ditawar-tawar.
Soeharto yang anti “retorika, verbalism, dan euphemism” tidak
ketinggalan. Ia sebagaimana pendahulunya (Bung Karno) tidak teriak strategi-vitalnya
pertanian, namun langsung mewujudkannya dengan konsep yang kemudian terkenal
dengan “revolusi hijau” (ingat GBHN/Pelita-Pelita Orde Baru). Konsep yang
mengantarkan dirinya mendapat penghargaan PBB/FAO karena berhasil swasembada
beras tahun 1984.
Namun sebagaimana faktanya kemudian, revolusi hijau menimbulkan implikasi serius yang akhirnya
kontra produktif dengan tujuannya semula. Selain kemudian tidak mencapai
pertumbuhan yang diharapakan, malah sebbaliknya mengakibatkan sistim pertanian
rusak, amburadul, hingga porak poranda.
Porak poranda karena;
ketergantungan petani pada bibit unggul, terberangusnya bibit lokal,
terabaikannya pengetahuan/kearifan lokal, semakin rentan terhadap hama,
ketergantungan kepada paket-paket teknologi yang cenderung dipaksakan, ketergantungan
kepada beras, kehancuran keragaman hayati, kerusakan ekologis dan sebagainya.
Semua itu terjadi karena strategi, paradigma, atau praksis
pembangunan yang tidak tepat (kalau tidak membabi buta). Strategi yang focus
hanya kepada “peningkatan produktivitas dan tenaga kerja an sich”. Tidak
melihat lebih jauh kehidupan sosial dan kultural petani yang punya
keterbatasan, seperti lahan yang sempit, sumber daya air yang kurang/hanya
mengandalkan hujan, modal yang terbatas, pendidikan yang rendah, status sosial-ekonomi
yang kurang beruntung, dan penguasaan teknologi yang seadanya (Ellis,1992),
plus sebagaimana disinyalir Stiglitz (1987) informasi nan asimetris, pasar,
kredit, dan asuransi yang tidak sempurna, dan eksternalitas dalam proses
produksi. Dengan kata lain petani hanya dijadikan objek.
Karena hanya dijadikan objek, maka eksistensinya persis
sebagaimana dititahkan sosiolog kondang pertanian, Jamess Scott (1980), bahwa
petani itu sejak lama adalah orang yang berendam dalam air, dimana ketinggian
air sudah sampai pada dagunya. Oleh karena itu sedikit saja goyang, apalagi
digoyang, sang petani sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah
atau terus mengalah, dan pada akhirnya sungguh-sungguh menjadi orang, atau
pihak yang kalah.
Kalah bukan karena ia malas, tidak energik, atau tidak ber
ethos (faktor dirinya), melainkan karena ada kekuatan luar (eksternalitas/struktur
yang membelenggu), yakni sistim, tatanan, dan atau khususnya rezim yang
mencengkramnya.
Sistim atau rezim yang tidak melayani, apalagi memihak pada
kehidupan petani. Mahluk yang seharusnya dilindungi karena kelemahannya, dibiarkan
bersaing secara bebas dengan dua aktor lain, yakni BUMN/BUMD, dan atau
khususnya kalangan swasta yang mendapat privilege dari birokrasipemerintahan.
Petani yang punya keterbatasan dalam hal “modal, akses pasar,
teknologi, informasi, dan manajerial/organisatorial modern”, konsekwensi dan
konsistensinya sudah pasti keok dengan yang memiliki keistimewaan tersebut
(BUMN/BUMD, dan swasta). Pertandingan yang jelas tidak seimbang. Bagaimana
mengadu “petani dengan konglomerat” yang adi kuasa (super power)?
Kembalikan Kemandirian Petani
Meski tidak persis sama atau sedramatis narasi demikian, pada
era Jokowi-JK saat ini pun belum significan bergeming. Pembangunan infra
struktur pertanian yang jor-joran, seperti waduk, irigasi, saprodi (bibit,
pupuk, obat/pestisida, traktor), hingga pemberian dana upsus yang cukup besar, serta
pengikutsertaan AD dalam pengawasannya cenderung, masih sebatas peningkatan
produksi sebagaimana di era Soeharto/revolusi hijau dulu.
Belum menyentuh akar masalah, yakni menjadikan petani sebagai
subjek pembangunan dan memberikan kembali otonomi yang pernah dirampas. Biarkan
petani menentukan sendiri “bibit, pupuk, obat, dan skala pertaniannya”. Tak
usah diajar-ajari, apalagi direkayasa dengan yang katanya pertanian modern
(untuk apa ayam diajarin bertelur?.
Pemerintah/birokrasi sebaiknya cukup sebagai fasilitator.
Memfasilitasi apa yang dibutuhkan petani, seperti akses ke modal, pasar,
informasi, asuransi pertanian, dan lain-lain faktor yang mengikutinya (lihat
Ellis dan Stiglitz). Pemerintah atau
birokrasi Jokowi-JK yang berprinsip berdaulat dalam politik, berdikari dalam
ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, yang telah tertuang dalam Nawa
Cita niscaya dapat mewujudkan itu. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar