Rabu, 18 Oktober 2017

PEJABAT HABIS JIKA KPK TERUS OTT ?




PEJABAT HABIS JIKA KPK TERUS OTT ?
Oleh: Reinhard Hutapea
Kandidat doktor agribisnis Unsri dan staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 17 Okt 2017

Judul ini adalah headline Analisa, 11 Oktober 2017. Tema yang diangkat dari orasi Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan di Universitas Hasanuddin. Beliau (Zulkifli H) melihat dalam dua pekan saja ter OTT enam kepala daerah, bagaimana jika setahun?...bisa ratusan orang...bisa habis. Sinyalemen yang menarik, dan secara hipotesis mengandung kebenaran, paling tidak jika didekati dari  persfektif sejarah/kultur/mentalitas, plus sistim pemilihan  umum yang mahal, dan atau khususnya penyusunan anggaran (APBD) yang direkayasa
Persfektif Sejarah
Penulis termasuk yang percaya bahwa korupsi dinegeri ini sudah sistemik dan kultural. Ia sudah include dalam perkembangan masyarakat itu sendiri. Pendapat yang sesungguhnya bukan monopoli penulis, melainkan juga pandangan beberapa tokoh, ilmuwan, budayawan dan sebagainya. Tokoh yang menohok bahwa korupsi sudah membudaya adalah mantan wakil Presiden Moh Hatta, yang selanjutnya diramaikan Mohtar Lubus dalam artikel-artikelnya, ketika ia menulis masalah-masalah korupsi yang membuncah di era Soeharto.
Memperkuat sinyalemen demikian, meskipun jarang diketahui publik , adalah kesimpulan salah satu universitas terkemuka negeri ini (Fisipol UGM, 2005), yang menyatakan bahwa korupsi sudah merupakan motivasi kerja. Motivasi yang muncul sejak lama, tidak saja sewaktu era reformasi, melainkan jauh sebelum itu. Hal ini dapat dilihat dari tulisan-tulisan atau dokumen-dokumen yang ditulis para pakar, tokoh dan sejarawan, seperti Prof Sartono Kartodirdjo, Suhartono, Ong Hok Ham, hingga Hendaru Tri Hanggoro. Mereka berkeyakinan (setelah melakukan penelitian mendalam) bahwa korupsi itu sudah masif jauh sebelum kolonial menjajah negeri ini.
Konstatasi/kemasifan yang selanjutnya  dimanfaatkan kolonial, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie/Kompeni Dagang Hindia Belanda) lebih dahsyat lagi merekayasa masyarakat agar korupsi di segala bidang. VOC yang misinya hanya profit semata, menggiring masyarakat sedemikian rupa untuk an sich hanya mengakumulasi kapital. Yang utama adalah bagaimana agar VOC untung, soal yang lain buntung (penduduk pribumi) tidak perlu dipikirkan.                  
Begitu malingnya organisasi tersebut, sampai-sampai ada ejekan yang menyebutnya sebagai, Vergaan Onder Corruptie (VOC baru), yang artinya hancur karena korupsi. Sebagaimana faktnya VOC memang hancur karena korupsi, bukan karena perlawanan rakyat, melainkan karena korupsi  dalam organisasinya sendiri. Organisasi yang menurut istilah saat ini (mungkin) adalah konglomeraat hitam atau business animal. 
Perusahaan yang dalam sepak terjangnya tidak segan-segan menghalalkan segala cara, hingga mendehumanisasi kemanusiaan, yang penting dapat untung. Siasat ini dipraktekkan VOC, yakni dengan merekrut kaum pribumi yang loyal ke perusahaannya sebagai pegawai pemungut pajak. Pegawai yang selanjutnya (supaya juga dapat untung secara pribadi) menggelembungkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh rakyat yang bertepatan masih buta huruf. Ong Hok Ham menengarai bahwa korban utama para pemungut pajak yang disebut “mangilala drwya” adalah para petani.
Menurut catatan yang ada, pada era tanam paksa petani hanya memperoleh 20 persen hasil panennya. Begitu pula yang disetor kenegeri induknya/Kerajaan Belanda, juga hanya 20persen. Selebihnya , yakni yang 60 persen lagi dikorup para pejabat lokal/mangilala drwya tersebut, dari tingkat desa hingga Kabupaten.
Ketika fasist Jepang berkuasa selama 3, 5 tahun, pola-pola yang dijalankan kompeni Belanda inipun tetap diteruskan. Yakni menggunakan aparatur lokal yang berpengetahuan rendah dan berperilaku serakah menjadi pemungut pajak, yang muaranya sudah dapat di duga, yakni akan menyuburkan korupsi, pasar gelap, dan penyimpangan-penyimpangan lain.
Pada waktu negeri ini merdeka tahun 1945 yang menjadi cikal-bakal pegawai atau birokrat-birokrat waktu itu,  adalah warisan aparatur-aparatur demikian. Yakni pegawai hasil rekrutmen Belanda dan Jepang yang sudah terstruktur korup. Jadi wajar saja jika pada waktu itu, korupsi sudah fenomenal.
Tertangkapnya sosok-sosok besar, seperti Menteri Perekonomin Iskaq Tjokrohadisuryo pada tanggal 14 April 1958, karena kepemilikan devisa di luar negeri, menteri Kehakiman Mr Djodi Gondokusumo tahun 1955, karena memberikan gratifikasi kepada pengusaha Hongkong (Bong Kim Tjong), dan tokoh Masyumi, Jusuf Wibisono, adalah fakta korupsi sudah sistemik, walaupun pada waktu itu sudah dibentuk lembaga anti korupsi, yakni Paran dan Operasi Budhi yang diketuai Jend AH Nasution dan dua orang anggota, yakni M. Yamin dan Ruslan Abdulgani
Naiknya Soeharto ke pentas kekuasaan tahun 1967 yang berketapan hati meretas korupsi yang sudah fenomenal pada era sebelumnya tidak bisa berbuat banyak. Malah sebaliknya yang terjadi, yakni korupsi semakin terstruktur, sistemik, dan masif, meski ia membentuk berbagai tim anti korupsi, seperti Tim Pemberantasan Korupsi tanggal 2 Desember 67.
Selanjutnya tahun 1970 dibentuk Komisi 4, yang diketuai Wilopo dengan anggota IJ Kasimo, Prof Johannes, dan Mayjen Sutopo Yuwono. Selain itu, tim ini juga diperkuat Komite Anti Korupsi, yang menghimpun aktivis angkatan 66 yang menggulingkan Bung Karno.  Karena dianggap kurang kuat, pada tahun 1977 dibentuk Opstib yang dipimpin Menpan dan Pangkopkamtib. Namun apa yang kemudian terjadi, praksis korupsi tetap menggila. Semua tim yang dibentuk pada akhirnya hanya menjadi macan ompong.
Akan ompong sebagaimana disinyalir Raffles dalam bukunya History of Java (1815), karena penyakit sosial ini sudah include dalam sistim masyarakat. Lebih jelasnya Raffles menulis...”tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui...”.Dengan kata lain mentalitas garong tersebut sudah terstruktur dalam sistim masyarakat, yang kemudian tercermin dalam sistim pemerintahan yang dipimpin para bangsawan yang gemar menumpuk harta, dan memelihara abdi dalem/pegawai istana yang orientasinya hanya mengabdi ke raja dan mencari perhatian ke majikannya.
Meski menyakitkan argumentasi Raffles demikian mendekati kebenaran, yakni akar, hulu, dan inti masalah adalah masalah mentalitas, alias masalah kebudayaan. Masalah yang jauh lebih luas daripada sekedar masalah politis, apalagi ekonomis. Masalah yang sesungguhnya sudah pernah di retas Bung Karno dengan konsep “nation and character building”, yakni konsep pembangunan bangsa dan karakter.
Namun sayang seribu sayang, konsep itu tak jalan karena Bung Karno keburu  dijatuhkan, dan digantikan konsep yang bertolak belakang dengannya, yakni konsep pembangunan ekonomi yang berfocus pertumbuhan (growth economy). Konsep yang dalam perkembangannya di ejek dengan sebutan “developmentalis”, karena model tersebut ternyata bukan membangun Indonesia, melainkan membangun di Indonesia (Sri Edi Swasono, 1990)
Pembangunan yang tampil dengan pertumbuhan yang tinggi, tapi tidak mensejahterakan rakyat. Oleh karena itulah, ekonom Australia (HW.Ardnt, 1985) menyebutnya sebagai pertumbuhan yang menyengsarakan. Pertumbuhan yang dinikmati hanya segelintir elit politik, birokrasi, dan konglomeraat, yang dalam derivasinya memaksa pemerintahan bertindak otoriter, dan sebagai konsekwensinya menjadi ajang menjamurnya korupsi.
Bangkitnya Macan Tidur
Ketika era reformasi berhembus, memang terjadi perubahan nan significan, yakni sistim politiknya di demokratiskan sedemikian rupa hingga menjadi super liberal, namun tidak akan model pembangunan ekonominya. Paradigma ekonomi yang berjalan sebelumnya sama sekali tidak berubah, kalau tidak semakin kapitalistik, yang selanjutnya menjadi determinant politik. Artinya kekuatan ekonomilah yang menentukan politik, bukan sebaliknya.
Sebagai konsekwensi logisnya, kehidupan politik yang sudah diliberalkan tersebut, seperti pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, dan anggota DPR/DPRD secara langsung akan meliberalkan juga tatanan korupsi yang telah fenomenal sebelumnya. Begitu pula dengan diberikannya otonomi daerah ke tingkat Kabupaten/Waikota, akan meratakan korupsi hingga ke daerah-daerah.
Seorang kepala daerah yang terpilih jadi Gubernur, Bupati, atau Walikota, karena biaya yang dikeluarkannya sangat besar, sangat masuk akal apabila lebih mengutamakan pengembalian uangnya daripada menjalankan fungsinya sebagai kepala daerah. Ia akan menempuh segala cara, termasuk merekayasa anggaran (APBD) agar ia dapat uang.
Sayang kepala-kepala daerah dan elit-elit politik yang lain lupa bahwa KPK yang dipimpin Agus Rahardjo sekarang bukanlah macan ompong sebagaimana lembaga-lembaga sejenis sebelumnya. Macan sudah mengaum, akan menerkan mangsa-mangsanya sampai habis sebagaimana didengungkan Ketua MPR, Zulkifli Hasan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar