PEJABAT
HABIS JIKA KPK TERUS OTT ?
Oleh:
Reinhard Hutapea
Kandidat
doktor agribisnis Unsri dan staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 17 Okt 2017
Judul ini adalah
headline Analisa, 11 Oktober 2017. Tema yang diangkat dari orasi Ketua MPR RI, Zulkifli
Hasan di Universitas Hasanuddin. Beliau (Zulkifli H) melihat dalam dua pekan
saja ter OTT enam kepala daerah, bagaimana jika setahun?...bisa ratusan
orang...bisa habis. Sinyalemen yang menarik, dan secara hipotesis mengandung
kebenaran, paling tidak jika didekati dari persfektif sejarah/kultur/mentalitas, plus sistim
pemilihan umum yang mahal, dan atau
khususnya penyusunan anggaran (APBD) yang direkayasa
Persfektif
Sejarah
Penulis termasuk yang
percaya bahwa korupsi dinegeri ini sudah sistemik dan kultural. Ia sudah
include dalam perkembangan masyarakat itu sendiri. Pendapat yang sesungguhnya
bukan monopoli penulis, melainkan juga pandangan beberapa tokoh, ilmuwan,
budayawan dan sebagainya. Tokoh yang menohok bahwa korupsi sudah membudaya
adalah mantan wakil Presiden Moh Hatta, yang selanjutnya diramaikan Mohtar
Lubus dalam artikel-artikelnya, ketika ia menulis masalah-masalah korupsi yang
membuncah di era Soeharto.
Memperkuat sinyalemen
demikian, meskipun jarang diketahui publik , adalah kesimpulan salah satu
universitas terkemuka negeri ini (Fisipol UGM, 2005), yang menyatakan bahwa
korupsi sudah merupakan motivasi kerja. Motivasi yang muncul sejak lama, tidak
saja sewaktu era reformasi, melainkan jauh sebelum itu. Hal ini dapat dilihat
dari tulisan-tulisan atau dokumen-dokumen yang ditulis para pakar, tokoh dan
sejarawan, seperti Prof Sartono Kartodirdjo, Suhartono, Ong Hok Ham, hingga
Hendaru Tri Hanggoro. Mereka berkeyakinan (setelah melakukan penelitian
mendalam) bahwa korupsi itu sudah masif jauh sebelum kolonial menjajah negeri
ini.
Konstatasi/kemasifan yang
selanjutnya dimanfaatkan kolonial, VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie/Kompeni Dagang Hindia Belanda) lebih dahsyat
lagi merekayasa masyarakat agar korupsi di segala bidang. VOC yang misinya
hanya profit semata, menggiring masyarakat sedemikian rupa untuk an sich hanya mengakumulasi kapital.
Yang utama adalah bagaimana agar VOC untung, soal yang lain buntung (penduduk
pribumi) tidak perlu dipikirkan.
Begitu malingnya
organisasi tersebut, sampai-sampai ada ejekan yang menyebutnya sebagai, Vergaan Onder Corruptie (VOC baru), yang
artinya hancur karena korupsi. Sebagaimana faktnya VOC memang hancur karena
korupsi, bukan karena perlawanan rakyat, melainkan karena korupsi dalam organisasinya sendiri. Organisasi yang
menurut istilah saat ini (mungkin) adalah konglomeraat
hitam atau business animal.
Perusahaan yang dalam
sepak terjangnya tidak segan-segan menghalalkan segala cara, hingga
mendehumanisasi kemanusiaan, yang penting dapat untung. Siasat ini dipraktekkan
VOC, yakni dengan merekrut kaum pribumi yang loyal ke perusahaannya sebagai
pegawai pemungut pajak. Pegawai yang selanjutnya (supaya juga dapat untung
secara pribadi) menggelembungkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh rakyat
yang bertepatan masih buta huruf. Ong Hok Ham menengarai bahwa korban utama
para pemungut pajak yang disebut “mangilala
drwya” adalah para petani.
Menurut catatan yang
ada, pada era tanam paksa petani hanya memperoleh 20 persen hasil panennya.
Begitu pula yang disetor kenegeri induknya/Kerajaan Belanda, juga hanya
20persen. Selebihnya , yakni yang 60 persen lagi dikorup para pejabat
lokal/mangilala drwya tersebut, dari tingkat desa hingga Kabupaten.
Ketika fasist Jepang berkuasa
selama 3, 5 tahun, pola-pola yang dijalankan kompeni Belanda inipun tetap
diteruskan. Yakni menggunakan aparatur lokal yang berpengetahuan rendah dan
berperilaku serakah menjadi pemungut pajak, yang muaranya sudah dapat di duga,
yakni akan menyuburkan korupsi, pasar gelap, dan penyimpangan-penyimpangan
lain.
Pada waktu negeri ini
merdeka tahun 1945 yang menjadi cikal-bakal pegawai atau birokrat-birokrat
waktu itu, adalah warisan
aparatur-aparatur demikian. Yakni pegawai hasil rekrutmen Belanda dan Jepang
yang sudah terstruktur korup. Jadi wajar saja jika pada waktu itu, korupsi
sudah fenomenal.
Tertangkapnya
sosok-sosok besar, seperti Menteri Perekonomin Iskaq Tjokrohadisuryo pada
tanggal 14 April 1958, karena kepemilikan devisa di luar negeri, menteri
Kehakiman Mr Djodi Gondokusumo tahun 1955, karena memberikan gratifikasi kepada
pengusaha Hongkong (Bong Kim Tjong), dan tokoh Masyumi, Jusuf Wibisono, adalah
fakta korupsi sudah sistemik, walaupun pada waktu itu sudah dibentuk lembaga
anti korupsi, yakni Paran dan Operasi Budhi yang diketuai Jend AH Nasution dan
dua orang anggota, yakni M. Yamin dan Ruslan Abdulgani
Naiknya Soeharto ke
pentas kekuasaan tahun 1967 yang berketapan hati meretas korupsi yang sudah
fenomenal pada era sebelumnya tidak bisa berbuat banyak. Malah sebaliknya yang
terjadi, yakni korupsi semakin terstruktur, sistemik, dan masif, meski ia
membentuk berbagai tim anti korupsi, seperti Tim Pemberantasan Korupsi tanggal
2 Desember 67.
Selanjutnya tahun 1970
dibentuk Komisi 4, yang diketuai Wilopo dengan anggota IJ Kasimo, Prof
Johannes, dan Mayjen Sutopo Yuwono. Selain itu, tim ini juga diperkuat Komite
Anti Korupsi, yang menghimpun aktivis angkatan 66 yang menggulingkan Bung
Karno. Karena dianggap kurang kuat, pada
tahun 1977 dibentuk Opstib yang dipimpin Menpan dan Pangkopkamtib. Namun apa
yang kemudian terjadi, praksis korupsi tetap menggila. Semua tim yang dibentuk
pada akhirnya hanya menjadi macan ompong.
Akan ompong sebagaimana
disinyalir Raffles dalam bukunya History of Java (1815), karena penyakit sosial
ini sudah include dalam sistim masyarakat. Lebih jelasnya Raffles menulis...”tidak terus terang, suka menyembunyikan
persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala
orang lain tidak mengetahui...”.Dengan kata lain mentalitas garong tersebut
sudah terstruktur dalam sistim masyarakat, yang kemudian tercermin dalam sistim
pemerintahan yang dipimpin para bangsawan yang gemar menumpuk harta, dan
memelihara abdi dalem/pegawai istana yang orientasinya hanya mengabdi ke raja dan
mencari perhatian ke majikannya.
Meski menyakitkan
argumentasi Raffles demikian mendekati kebenaran, yakni akar, hulu, dan inti
masalah adalah masalah mentalitas, alias masalah kebudayaan. Masalah yang jauh
lebih luas daripada sekedar masalah politis, apalagi ekonomis. Masalah yang
sesungguhnya sudah pernah di retas Bung Karno dengan konsep “nation and
character building”, yakni konsep pembangunan bangsa dan karakter.
Namun sayang seribu sayang,
konsep itu tak jalan karena Bung Karno keburu dijatuhkan, dan digantikan konsep yang
bertolak belakang dengannya, yakni konsep pembangunan ekonomi yang berfocus
pertumbuhan (growth economy). Konsep yang dalam perkembangannya di ejek dengan
sebutan “developmentalis”, karena model tersebut ternyata bukan membangun
Indonesia, melainkan membangun di Indonesia (Sri Edi Swasono, 1990)
Pembangunan yang tampil
dengan pertumbuhan yang tinggi, tapi tidak mensejahterakan rakyat. Oleh karena
itulah, ekonom Australia (HW.Ardnt, 1985) menyebutnya sebagai pertumbuhan yang
menyengsarakan. Pertumbuhan yang dinikmati hanya segelintir elit politik,
birokrasi, dan konglomeraat, yang dalam derivasinya memaksa pemerintahan bertindak
otoriter, dan sebagai konsekwensinya menjadi ajang menjamurnya korupsi.
Bangkitnya
Macan Tidur
Ketika era reformasi
berhembus, memang terjadi perubahan nan significan, yakni sistim politiknya di
demokratiskan sedemikian rupa hingga menjadi super liberal, namun tidak akan
model pembangunan ekonominya. Paradigma ekonomi yang berjalan sebelumnya sama
sekali tidak berubah, kalau tidak semakin kapitalistik, yang selanjutnya
menjadi determinant politik. Artinya kekuatan ekonomilah yang menentukan
politik, bukan sebaliknya.
Sebagai konsekwensi
logisnya, kehidupan politik yang sudah diliberalkan tersebut, seperti pemilihan
Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, dan anggota DPR/DPRD secara langsung akan
meliberalkan juga tatanan korupsi yang telah fenomenal sebelumnya. Begitu pula
dengan diberikannya otonomi daerah ke tingkat Kabupaten/Waikota, akan meratakan
korupsi hingga ke daerah-daerah.
Seorang kepala daerah
yang terpilih jadi Gubernur, Bupati, atau Walikota, karena biaya yang
dikeluarkannya sangat besar, sangat masuk akal apabila lebih mengutamakan
pengembalian uangnya daripada menjalankan fungsinya sebagai kepala daerah. Ia
akan menempuh segala cara, termasuk merekayasa anggaran (APBD) agar ia dapat
uang.
Sayang kepala-kepala
daerah dan elit-elit politik yang lain lupa bahwa KPK yang dipimpin Agus
Rahardjo sekarang bukanlah macan ompong sebagaimana lembaga-lembaga sejenis
sebelumnya. Macan sudah mengaum, akan menerkan mangsa-mangsanya sampai habis
sebagaimana didengungkan Ketua MPR, Zulkifli Hasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar