PILKADA 2018, KONFLIK ATAU
KONSENSUS ?
Oleh:
Reinhard Hutapea
Kandidat
doktor Unsri. Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published,
27 Des 2017 di Waspada
Tidak berapa lama lagi
kita akan melewati tahun 2017. Konon menurut beberapa pakar/survey, setelah itu akan memasuki tahun panas politik. Tahun yang
diprediksikan akan marak dengan gesekan, perseteruan, hingga akrobat politik,
sebagai konsekwensi logis perhelatan pilkada 2018.
Dalam prediksinya, para
pakar dan survey tersebut melihat bahwa dalam tahun 2018 akan melesat konflik
antara pendukung kekuatan politik yang satu versus pendukung kekuatan politik yang
lain secara masif, sebagaimana yang tercermin dalam pilkada Jakarta beberapa
waktu yang lalu.
Konflik yang tak sekedar menyangkut
teknis-teknis politik kepartaian/kepemiluan, namun juga merasuk
ke hal-hal diluarnya, seperti masalah-masalah identitas/kultural,
khususnya problem-problem agama yang
sangat sensitif, yang akhirnya membuat masyarakat terbelah. Akan kah seperti
itu ?
Partai
Politik Ideal
Merujuk kasus Jakarta mungkin ada benarnya. Hingga detik
ini keterbelahan tersebut masih terus berlangsung. Apapun yang dikerjakan
Anis-Sandi kecenderungannya akan tetap salah dimata pendukung-pendukung lawannya
(Ahok-Djarot). Begitu pula sebaliknya, apapun yang dilakukan Ahok - Djarot
sewaktu menjabat Gubernur, tidak ada yang benar bagi pendukung Anis - Sandi.
Masing-masing pihak menganggap diri, kelompok, dan faksinya yang benar,
sedangkan yang lain adalah salah.
Suasana anarchis-antagonistik,
yang tahun 70-an telah diingatkan oleh Alm Alfian, pakar politik dari LIPI.
Menurut beliau (Alfian) masyarakat Indonesia belum mengenal kultur opposisi sebagaimana
berlangsung di Barat/Amerika, yakni jika
kalah dalam suatu kontestasi, khususnya dalam pemilu, maka secara langsung
(automaticly), atau tanpa syarat mendukung yang menang. Sedangkan partai
politik yang didukungnya menjadi opposisi, yakni menjadi pengawas partai
pemenang dalam kebijakan-kebijakannya, apakah sesuai dengan janji-janji
kampanye/politiknya.
Jika partai berkuasa sesuai
dengan janji-janji kampanyenya, maka fungsi partai opposisi dalam pemilu
berikutnya adalah menyiapkan konsep, gagasan, atau program yang lebih baik dari
partai berkuasa (petahana) supaya dapat mengalahkan partai petahanal dan dapat
menjalankan kebijakan-kebijakannya.
Begitu terus menerus secara reguler, sehingga
bak spiral yang terus naik ke atas ia akan mewujudkan “kemajuan, kesejahteraan,
dan keadilan” bagi masyarakat, sebagaimana diteorikan David Easton (1950) tentang sistim politik.
Sentral
Masalah
Sayang seribu sayang,
teori itu kayaknya hanya berlaku di perguruan-perguruan tinggi atau di menara
gading (ivory tower). Masyarakat Barat/Amerika tempat lahirnya teori tersebut bukanlah
masyarakat Indonesia. Barat adalah barat, Indonesia adalah Indonesia. Dua
tatanan masyarakat yang socio-culturalnya
sangat berbeda, bahkan bertolak belakang.
Masyarakat Barat,
khususnya Amerika Serikat, selain tempat lahirnya lembaga-lembaga pemerintahan modern,
cenderung sudah egaliter (horizontal). Sebaliknya masyarakat Indonesia dan
Timur pada umumnya, masih terbelenggu dengan sistim masyarakat yang
berorientasi ke atas (vertical oriented),
berkasta-kasta, kalau bukan feodal.
Artinya, secara umum
masyarakat Barat/Amerika telah terbiasa berpikir dan bertindak secara individual
dengan bebas, tanpa tergantung kepada siapapun. Lain hal dengan masyarakat
Indonesia yang masih terikat, tergantung, hingga terjerembab dengan
pendapat/pandangan patron, pujaan, atau klin-kelasnya (patron-klin).
Implikasi atau konsekwensinya
ke sistim pemilu/pilkada yang diterapkan saat ini yang berprinsip“satu orang,
satu suara, dan satu nilai, alias One Vote One Value One Person (OVOVOP), yang
sangat liberal-individualistik, yang cocoknya untuk masyarakat Barat, sudah
pasti akan mengalami turbulensi dalam praksisnya.
Secara formal, hukum,
atau regulasi, ia telah demokratis (apalagi dengan embel-embel “langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil). Namun secara substantif atau hakiki, yakni
(dalam arti) bahwa tujuan pemilu adalah kesejahteraan dan keadilan, ia masih sangat jauh. Disini sentral masalah.
Konflik
atau Konsensus
Selama
sentral masalah demikian tidak dituntaskan, bagaimanapun canggihnya metode,
sistim, dan model pemilu/pilkada/demokrasi yang dipentaskan tidak akan pernah sampai
ke tujuannya. Malah sebaliknya yang mengemuka, yakni semakin lama sistim pemilu
yang katanya sangat modern itu diterapkan, semakin kasat mata dan vulgar ekses
negatifnya (lihat kasus pilkada Jakarta).
Sinyalemen demikian
diperkuat Prof Olle Tornquist (2017),
seorang Indonesianist dari Norwegia,
yang mengamati perpolitikan Indonesia
sejak era reformasi hingga hari ini. Menurutnya beberapa tahun terakhir ini,
demokrasi Indonesia mengalami perlambatan dan stagnasi, karena mandeknya
kualitas lembaga inti yang menangani urusan kewarganegaraan, hukum, dan
terutama tata kelola pemerintahan, serta keterwakilan (K,18 des 2017)
Dengan kata lain
lembaga-lembaga pemerintah yang merupakan keluaran (out put) pemilu dan pilkada
yang (katanya) sangat demokratis itu, yang seharusnya semakin berkualitas,
realitanya semakin disfungsional. Banyaknya aparatur negara, politisi,
pengusaha yang ter OTT KPK, minimnya lapangan kerja, melesatnya ketimpangan, adalah
realita dari disfungsionalnya lembaga-lembaga pemerintah.
Oleh karena itu,
pilkada 2018 yang polanya masih sama dengan model pilkada-pilkada sebelumnya di
duga tidak akan banyak artinya bagi rakyat. Rakyat permanen hanya menjadi
penonton dari lakon-lakon elitist nan konfliktual, yang semakin jauh dari konsensus.
Semoga tidak seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar