Kamis, 28 Desember 2017

PILKADA 2018, KONFLIK ATAU KONSENSUS ?




PILKADA 2018, KONFLIK ATAU KONSENSUS ?
Oleh: Reinhard Hutapea
Kandidat doktor Unsri. Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, 27 Des 2017 di Waspada
Tidak berapa lama lagi kita akan melewati tahun 2017. Konon menurut beberapa pakar/survey, setelah itu  akan memasuki tahun panas politik. Tahun yang diprediksikan akan marak dengan gesekan, perseteruan, hingga akrobat politik, sebagai konsekwensi logis  perhelatan  pilkada 2018.
Dalam prediksinya, para pakar dan survey tersebut melihat bahwa dalam tahun 2018 akan melesat konflik antara pendukung kekuatan politik yang satu versus pendukung kekuatan politik yang lain secara masif, sebagaimana yang tercermin dalam pilkada Jakarta beberapa waktu yang lalu.
 Konflik yang tak sekedar menyangkut teknis-teknis politik kepartaian/kepemiluan, namun juga   merasuk ke hal-hal diluarnya, seperti masalah-masalah identitas/kultural, khususnya  problem-problem agama yang sangat sensitif, yang akhirnya membuat masyarakat terbelah. Akan kah seperti itu ?
Partai Politik Ideal
Merujuk kasus  Jakarta mungkin ada benarnya. Hingga detik ini keterbelahan tersebut masih terus berlangsung. Apapun yang dikerjakan Anis-Sandi kecenderungannya akan tetap salah dimata pendukung-pendukung lawannya (Ahok-Djarot). Begitu pula sebaliknya, apapun yang dilakukan Ahok - Djarot sewaktu menjabat Gubernur, tidak ada yang benar bagi pendukung Anis - Sandi. Masing-masing pihak menganggap diri, kelompok, dan faksinya yang benar, sedangkan  yang lain adalah salah.
Suasana anarchis-antagonistik, yang tahun 70-an telah diingatkan oleh Alm Alfian, pakar politik dari LIPI. Menurut beliau (Alfian) masyarakat Indonesia  belum mengenal kultur opposisi sebagaimana berlangsung di Barat/Amerika, yakni  jika kalah dalam suatu kontestasi, khususnya dalam pemilu, maka secara langsung (automaticly), atau tanpa syarat mendukung yang menang. Sedangkan partai politik yang didukungnya menjadi opposisi, yakni menjadi pengawas partai pemenang dalam kebijakan-kebijakannya, apakah sesuai dengan janji-janji kampanye/politiknya.
Jika partai berkuasa sesuai dengan janji-janji kampanyenya, maka fungsi partai opposisi dalam pemilu berikutnya adalah menyiapkan konsep, gagasan, atau program yang lebih baik dari partai berkuasa (petahana) supaya dapat mengalahkan partai petahanal dan dapat menjalankan kebijakan-kebijakannya.
 Begitu terus menerus secara reguler, sehingga bak spiral yang terus naik ke atas ia akan mewujudkan “kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan” bagi masyarakat, sebagaimana diteorikan David Easton (1950) tentang sistim politik.
Sentral Masalah
Sayang seribu sayang, teori itu kayaknya hanya berlaku di perguruan-perguruan tinggi atau di menara gading (ivory tower). Masyarakat Barat/Amerika tempat lahirnya teori tersebut bukanlah masyarakat Indonesia. Barat adalah barat, Indonesia adalah Indonesia. Dua tatanan masyarakat yang socio-culturalnya sangat berbeda, bahkan bertolak belakang.
Masyarakat Barat, khususnya Amerika Serikat, selain tempat lahirnya lembaga-lembaga pemerintahan modern, cenderung sudah egaliter (horizontal). Sebaliknya masyarakat Indonesia dan Timur pada umumnya, masih terbelenggu dengan sistim masyarakat yang berorientasi ke atas (vertical oriented), berkasta-kasta, kalau bukan feodal.
Artinya, secara umum masyarakat Barat/Amerika telah terbiasa berpikir dan bertindak secara individual dengan bebas, tanpa tergantung kepada siapapun. Lain hal dengan masyarakat Indonesia yang masih terikat, tergantung, hingga terjerembab dengan pendapat/pandangan patron, pujaan, atau klin-kelasnya (patron-klin).
Implikasi atau konsekwensinya ke sistim pemilu/pilkada yang diterapkan saat ini yang berprinsip“satu orang, satu suara, dan satu nilai, alias One Vote One Value One Person (OVOVOP), yang sangat liberal-individualistik, yang cocoknya untuk masyarakat Barat, sudah pasti akan mengalami turbulensi dalam praksisnya.
Secara formal, hukum, atau regulasi, ia telah demokratis (apalagi dengan embel-embel “langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil). Namun secara substantif atau hakiki, yakni (dalam arti) bahwa tujuan pemilu adalah kesejahteraan dan keadilan,  ia masih sangat jauh. Disini sentral masalah.
Konflik atau Konsensus
            Selama sentral masalah demikian tidak dituntaskan, bagaimanapun canggihnya metode, sistim, dan model pemilu/pilkada/demokrasi yang dipentaskan tidak akan pernah sampai ke tujuannya. Malah sebaliknya yang mengemuka, yakni semakin lama sistim pemilu yang katanya sangat modern itu diterapkan, semakin kasat mata dan vulgar ekses negatifnya (lihat kasus pilkada Jakarta).
Sinyalemen demikian diperkuat Prof Olle Tornquist (2017), seorang Indonesianist dari Norwegia, yang  mengamati perpolitikan Indonesia sejak era reformasi hingga hari ini. Menurutnya beberapa tahun terakhir ini, demokrasi Indonesia mengalami perlambatan dan stagnasi, karena mandeknya kualitas lembaga inti yang menangani urusan kewarganegaraan, hukum, dan terutama tata kelola pemerintahan, serta keterwakilan (K,18 des 2017)
Dengan kata lain lembaga-lembaga pemerintah yang merupakan keluaran (out put) pemilu dan pilkada yang (katanya) sangat demokratis itu, yang seharusnya semakin berkualitas, realitanya semakin disfungsional. Banyaknya aparatur negara, politisi, pengusaha yang ter OTT KPK, minimnya lapangan kerja, melesatnya ketimpangan, adalah realita dari disfungsionalnya lembaga-lembaga pemerintah.
Oleh karena itu, pilkada 2018 yang polanya masih sama dengan model pilkada-pilkada sebelumnya di duga tidak akan banyak artinya bagi rakyat. Rakyat permanen hanya menjadi penonton dari lakon-lakon elitist nan konfliktual, yang semakin jauh dari konsensus. Semoga tidak seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar