RUANG HIDUP MARHAENISME DALAM
SISTEM KAPITALISME INTERNASIONAL
Oleh: Reinhard Hutapea
Pengantar diskusi
Pergerakan Kebangsaan, 16 Des 2007, Medan
Tema ini diberikan Darwin Bukit ke
saya tanggal, 12 Desember 2017. Tema yang dapat ditelaah secara singkat, namun
juga sebaliknya. Tergantung dari persfektif/pendekatan mana melihatnya.
Atas dasar itu (pandangan demikian) saya
tidak langsung menjawabnya, melainkan memberi satu ilustrasi significan,
yakni tentang perkembangan ekonomi China (RRC) yang sangat mencengangkan. Betapa
tidak ? dikala negara –negara penyembah berhala “pertumbuhan” (growth economy),
pertumbuhannya merosot, negeri tirai bambu ini justru tumbuh dengan tinggi.
Aneh, sungguh-sungguh aneh, namun itulah
faktanya. Sampai-sampai beberapa kalangan menyebutnya sebagai perekonomian yang
menyimpang dari tradisi dan teori-teori ekonomi mainstream. Ekonomi yang hanya mengenal free market, neolib/Washington Consensus[1],
dan sejenisnya.
Lebih jelasnya bagaimana kehebatan
ekonomi China tersebut, Rana Foroohar menyatakan:...Tiongkok
adalah satu-satunya ekonomi utama yang mungkin memperlihatkan pertumbuhan
berarti tahun ini karena negara ini satu-satunya yang secara rutin melanggar
aturan-aturan ekonomi dalam buku teks (Fachry Ali, 1 Okt 2015)
Pernyataan yang dikemukakan Rana Foroohar merujuk krisis finansial
2008[2],
yang membuat kampiun kapitalisme dunia - AS (dengan CS-CS nya ) tersungkur pontang
panting, karena perekonomiannya
terjengkang ke titik nadir/porak poranda, namun sebaliknya dengan China yang
tumbuh dengan cemerlang.
Mengutif Ferguson dalam bukunya The
Great Degeneration (2012), perekonomian
Tiongkok tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan perekonomian utama dunia
lainnya. Tidak saja tumbuh dengan tinggi, yang membuatnya menjadi kekuatan
ekonomi nomor dua dunia setelah Amerika Serikat (AS), namun juga menjadi
lokomotif baru perkembangan ekonomi global pasca krisis 2008, sebab sanggup/dapat
menyerap ekspor berbagai belahan dunia, seperti G-20, dan terutama ekspor
Australia, Brasil, dan Afrika Selatan yang akhirnya sangat tergantung padanya
(Leonid Bershidsky dalam Facri Ali)
Ferguson lebih jauh menyatakan bahwa
negara-negara yang selama ini di kenal sebagai negara kaya sudah berada pada
titik jenuh, alias berhenti tumbuh (stationary state). Dengan blak-blakan
Ferguson nyeletuk:...it is we Westerners
who are in the stationary state (dalam Fachry Ali). Mengapa bisa terjadi
seperti itu?
Sebagaimana disebut di atas bahwa
perekonomian China tidak mengikuti tradisi kalau bukan ideologi ekonomi-politik
yang berlangsung selama ini, yakni pertumbuhan akan langgeng bila mengikuti
mekanisme pasar. China sebagaimana faktanya lebih mengandalkan peran Badan Usaha
Milik Negara (negara/state) dalam “pola-sistem, dan paradigma” perekonomiannya[3].
Bagaimana kehebatan BUMN China tersebut
dapat dilihat dari ekspansi globalnya. Mereka telah menjadi pemain mondial yang
ternyata lebih hebat dari pemain-pemain sebelumnya. Jumlah BUMN China ini
diperkirakan sekitar 150 buah. Lebih lengkapnya akan saya tuliskan kembali
catatan Fachry Ali dibawah ini :....
Dalam faktanya, justru BUMN-BUMN
Tiongkok yang memperlihatkan kemampuan ekspansif tingkat global. The Wall
Streat Journal (31 Agustus- 2 September 2012) melukiskan gerak ekspansi China
National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dengan kemampuan modal raksasa dan
karena itu berani melakukan blockbuster
deal (tindakan bisnis besar). Untuk membeli perusahaan energi Kanada, Nexen Inc, misalnya, CNOOC mampu menyediakan
dana 15 miliar dollar AS. Bahkan, The Economist sendiri mengakui kemampuan
ekspansi BUMN ini.
Dalam terbitan 4 Agustus 2012,
majalah ini melukiskan dua BUMN telekomunikasi Tiongkok, Huawei dan ZTE, telah berekspansi dari pasar dalam negerinya yang
luas untuk menjadi pemain global. Ekspansi ini ditandai kemampuan menangguk
untung besar. Melebihi perusahaan
telekomunikasi yang lebih senior, seperti Ericsson (dengan pendapatan 15,5 miliar dollar AS) pada Juli 2012. Huawei berhasil menangguk pendapatan 16
miliar dollar AS pada periode yang sama. Sementara data mutakhir Huawei tidak diketahui, kekayaan total
CNOOC adalah 671,8 miliar Yuan atau kira-kira 97 miliar dollar AS, pada
pertengahan 2015. Dan, seperti dinyatakan Jonathan
R Woetzel dalam Reasessing China State Owned Enterprises (2008), terdapat 150 BUMN Tiongkok yang
berkemampuan setingkat ini[4].
Relasinya Dengan
Indonesia/Marhaenisme
Kemajuan ekonomi Tiongkok ini masih
dapat kita uraikan/tulis sekian panjang lagi. Namun untuk keperluan diskusi sore
ini kami anggap sudah memadai/cukup, yakni bahwa perekonomian China yang
didasarkan kepada jati dirinya (Sosialisme berkarakter China) sudah sejajar
dengan kekuatan ekonomi AS yang didasarkan kepada liberalisme-kapitalisme
(mechanism and free market).
Tentu kita masih ingat event baru-baru ini , yakni ketika Xi Jin Ping
berkunjung ke AS, Trump senyam senyum, karena negeri ini akan investasi
besar-besaran disana (253 miliar dollar AS). Begitu pula ketika Raja Arab Saudi,
Salman bin Abdulaziz Al Saud, berkunjung ke sana (ke China), negeri ini (Arab
Saudi) membuka investasi sebesar Rp 870 T, hampir sepuluh kali investasinya di
Indonesia (Rp 89 T), pada hal Indonesia telah menyambutnya bak raja diraja
(king of king). Bagaimana dengan Indonesia, khususnya Marhaenisme ?
Untuk ini saya kan melihatnya secara
historik dan konstitusional. Dalam garis besarnya akan diuraikan:
·
Ekonomi
politik era Bung Karno
·
Ekonomi-politik
era Soeharto
·
Ekonomi-politik
era reformasi
·
Era
Jokowi/Trisakti/Nawa cita
[1]
Konsensus Washington adalah keepakatan antara Ronald Reagan dan Margareth
Thatcher akhir 1970-an tentang penyelesaian utang-utang negara-negara Amerika
Latin yang gagal bayar kala itu. Utang itu terjadi karena kesalahan para
pemimpin-pemimpin negara tersebut. Sebagai kesepakatannya ditempuhlah apa yang
populer dengan konsep “deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi”. Oleh John
Williamson dirumuskan dengan sepuluh butir, yakni, disiplin anggaran
pemerintah, pengarahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor
publik, reformasi pajak, tingkat bunga yang ditentukan pasar, nilai tukar yang
kompetitif, liberalisasi pasar, perlakuan yang sama antara investasi asing dan
investasi lokal, privatisasi BUMN, deregulasi, keamanan legal bagi hak
kepemilikan. Konsep yang seharusnya hanya berlaku untuk kasus Amerika Latin,
namun menjadi ideologi ekonomi dunia dengan motornya IMF, Bank Dunia, dan WTO
(Stiglitz, J, 2001). Indonesia sendiri sejak awal 1980-an telah mengadopsi
konsep ini, seperti yang diwujudkan dengan Gebrakan Sumarlin, Pakto, dan
lain-lain. Konsep yang dipaksakan sebab tidak melihat realita masyarakat dan
jauh dari keadilan urai Stiglitz dalam bukunya yang best seller Globalization its Discontents (2001) dan Making Globalization Work (2005)
[2] Krisis
yang dikenal sebagai subprime mortgage
yang menyeret lembaga-lembaga keuangan AS, seperti Lehman Brothers bangkrut, dan akhirnya berdampak tidak saja pada
perekonomian Amerika, namun juga negara-negara lain.
[3] Sering
disebut sebagai kapitalisme negara. Negeri ini sejak lama konsisten dengan
sosialisme, (persisnya sosialisme ala China). Model yang dikembangkan (pasca
Mao Ze Dong) Deng Xiao Ping, yang oleh Joshua Cooper Ramo disebut Beijing Consensus (2004), dengan tujuan
alternatif terhadap model Konsensus
Washington. Beberapa prinsipnya; (1) pengendalian kekuasaan politik secara
ketat guna mencapai stabilitas negara, (2) penerapan kapitalisme negara, (3) pembatasan
jumlah penduduk, (4) pemberian fasilitas khusus untuk karya inovatif melalui
eksperimen terus menerus, (5) penggenjotan ekspor ke seluruh negara.
[4] Dari 10
perusahaan terbesar versi Forbes tahun 2015, 5 dari China. Dari 5 tersebut
menduduki rakning 1 sampai 4, dan 1 lagi ranking 8, yakni ICBC, China
Construction Bank, Agricultural Bank Of China, Bank Of China, Petro China. Yang
lima lagi dari AS, yakni Berkshire Hathaway, JP morggan & Co, Exxon Mobil,
General Elektrik, dan Wells Fargo. Selain itu juga yang sudah meraksasa adalah
Beijing DBN Technology Group, China Fortune Land, China HongQiao Group, China
Zheng Tang Auto Service, GoerTek, Great Wall Motor, Gree Electric Appliances
Group, Heiland Home, Huadong Medicine, Alibaba Group Holdings LTD, Tencent
Holdings, Didi Chuixing, CITIC......dstnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar