Jumat, 15 Desember 2017

RUANG HIDUP MARHAENISME DALAM SISTIM KAPITALISME INTERNASIONAL




RUANG HIDUP MARHAENISME DALAM
SISTEM KAPITALISME INTERNASIONAL
Oleh: Reinhard Hutapea
Pengantar diskusi Pergerakan Kebangsaan, 16 Des 2007, Medan

Tema ini diberikan Darwin Bukit ke saya tanggal, 12 Desember 2017. Tema yang dapat ditelaah secara singkat, namun juga sebaliknya. Tergantung dari persfektif/pendekatan mana melihatnya.
Atas dasar itu (pandangan demikian) saya tidak langsung menjawabnya, melainkan memberi satu  ilustrasi significan, yakni tentang perkembangan ekonomi China (RRC) yang sangat mencengangkan. Betapa tidak ? dikala negara –negara penyembah berhala “pertumbuhan” (growth economy), pertumbuhannya merosot, negeri tirai bambu ini justru tumbuh dengan tinggi.
Aneh, sungguh-sungguh aneh, namun itulah faktanya. Sampai-sampai beberapa kalangan menyebutnya sebagai perekonomian yang menyimpang dari tradisi dan teori-teori ekonomi mainstream. Ekonomi yang hanya mengenal free market, neolib/Washington Consensus[1], dan sejenisnya.
Lebih jelasnya bagaimana kehebatan ekonomi China tersebut,  Rana Foroohar menyatakan:...Tiongkok adalah satu-satunya ekonomi utama yang mungkin memperlihatkan pertumbuhan berarti tahun ini karena negara ini satu-satunya yang secara rutin melanggar aturan-aturan ekonomi dalam buku teks (Fachry Ali, 1 Okt 2015)
Pernyataan yang dikemukakan Rana Foroohar merujuk krisis finansial 2008[2], yang membuat kampiun kapitalisme dunia - AS (dengan CS-CS nya ) tersungkur pontang panting, karena  perekonomiannya terjengkang ke titik nadir/porak poranda, namun sebaliknya dengan China yang tumbuh dengan cemerlang.
Mengutif Ferguson dalam bukunya The Great Degeneration (2012), perekonomian  Tiongkok tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan perekonomian utama dunia lainnya. Tidak saja tumbuh dengan tinggi, yang membuatnya menjadi kekuatan ekonomi nomor dua dunia setelah Amerika Serikat (AS), namun juga menjadi lokomotif baru perkembangan ekonomi global pasca krisis 2008, sebab sanggup/dapat menyerap ekspor berbagai belahan dunia, seperti G-20, dan terutama ekspor Australia, Brasil, dan Afrika Selatan yang akhirnya sangat tergantung padanya (Leonid Bershidsky dalam Facri Ali)
Ferguson lebih jauh menyatakan bahwa negara-negara yang selama ini di kenal sebagai negara kaya sudah berada pada titik jenuh, alias  berhenti tumbuh (stationary state). Dengan blak-blakan Ferguson nyeletuk:...it is we Westerners who are in the stationary state (dalam Fachry Ali). Mengapa bisa terjadi seperti itu?
Sebagaimana disebut di atas bahwa perekonomian China tidak mengikuti tradisi kalau bukan ideologi ekonomi-politik yang berlangsung selama ini, yakni pertumbuhan akan langgeng bila mengikuti mekanisme pasar. China sebagaimana faktanya lebih mengandalkan peran Badan Usaha Milik Negara (negara/state) dalam “pola-sistem, dan paradigma” perekonomiannya[3].
Bagaimana kehebatan BUMN China tersebut dapat dilihat dari ekspansi globalnya. Mereka telah menjadi pemain mondial yang ternyata lebih hebat dari pemain-pemain sebelumnya. Jumlah BUMN China ini diperkirakan sekitar 150 buah. Lebih lengkapnya akan saya tuliskan kembali catatan Fachry Ali dibawah ini :....
Dalam faktanya, justru BUMN-BUMN Tiongkok yang memperlihatkan kemampuan ekspansif tingkat global. The Wall Streat Journal (31 Agustus- 2 September 2012) melukiskan gerak ekspansi China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dengan kemampuan modal raksasa dan karena itu berani melakukan blockbuster deal (tindakan bisnis besar). Untuk membeli perusahaan energi Kanada, Nexen Inc, misalnya, CNOOC mampu menyediakan dana 15 miliar dollar AS. Bahkan, The Economist sendiri mengakui kemampuan ekspansi BUMN ini.
Dalam terbitan 4 Agustus 2012, majalah ini melukiskan dua BUMN telekomunikasi Tiongkok, Huawei dan ZTE, telah berekspansi dari pasar dalam negerinya yang luas untuk menjadi pemain global. Ekspansi ini ditandai kemampuan menangguk untung besar. Melebihi perusahaan  telekomunikasi yang lebih senior, seperti Ericsson (dengan pendapatan 15,5 miliar dollar AS) pada Juli 2012. Huawei berhasil menangguk pendapatan 16 miliar dollar AS pada periode yang sama. Sementara data mutakhir Huawei tidak diketahui, kekayaan total CNOOC adalah 671,8 miliar Yuan atau kira-kira 97 miliar dollar AS, pada pertengahan 2015. Dan, seperti dinyatakan Jonathan R Woetzel dalam Reasessing China  State Owned Enterprises  (2008), terdapat 150 BUMN Tiongkok yang berkemampuan setingkat ini[4].
Relasinya Dengan Indonesia/Marhaenisme
Kemajuan ekonomi Tiongkok ini masih dapat kita uraikan/tulis sekian panjang lagi. Namun untuk keperluan diskusi sore ini kami anggap sudah memadai/cukup, yakni bahwa perekonomian China yang didasarkan kepada jati dirinya (Sosialisme berkarakter China) sudah sejajar dengan kekuatan ekonomi AS yang didasarkan kepada liberalisme-kapitalisme (mechanism and free market).
 Tentu kita masih ingat event  baru-baru ini , yakni ketika Xi Jin Ping berkunjung ke AS, Trump senyam senyum, karena negeri ini akan investasi besar-besaran disana (253 miliar dollar AS). Begitu pula ketika Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al Saud, berkunjung ke sana (ke China), negeri ini (Arab Saudi) membuka investasi sebesar Rp 870 T, hampir sepuluh kali investasinya di Indonesia (Rp 89 T), pada hal Indonesia telah menyambutnya bak raja diraja (king of king). Bagaimana dengan Indonesia, khususnya Marhaenisme ?
Untuk ini saya kan melihatnya secara historik dan konstitusional. Dalam garis besarnya akan diuraikan:
·         Ekonomi politik era Bung Karno
·         Ekonomi-politik era Soeharto
·         Ekonomi-politik era reformasi
·         Era Jokowi/Trisakti/Nawa cita



[1] Konsensus Washington adalah keepakatan antara Ronald Reagan dan Margareth Thatcher akhir 1970-an tentang penyelesaian utang-utang negara-negara Amerika Latin yang gagal bayar kala itu. Utang itu terjadi karena kesalahan para pemimpin-pemimpin negara tersebut. Sebagai kesepakatannya ditempuhlah apa yang populer dengan konsep “deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi”. Oleh John Williamson dirumuskan dengan sepuluh butir, yakni, disiplin anggaran pemerintah, pengarahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, reformasi pajak, tingkat bunga yang ditentukan pasar, nilai tukar yang kompetitif, liberalisasi pasar, perlakuan yang sama antara investasi asing dan investasi lokal, privatisasi BUMN, deregulasi, keamanan legal bagi hak kepemilikan. Konsep yang seharusnya hanya berlaku untuk kasus Amerika Latin, namun menjadi ideologi ekonomi dunia dengan motornya IMF, Bank Dunia, dan WTO (Stiglitz, J, 2001). Indonesia sendiri sejak awal 1980-an telah mengadopsi konsep ini, seperti yang diwujudkan dengan Gebrakan Sumarlin, Pakto, dan lain-lain. Konsep yang dipaksakan sebab tidak melihat realita masyarakat dan jauh dari keadilan urai Stiglitz dalam bukunya yang best seller Globalization its Discontents (2001) dan Making Globalization Work (2005)
[2] Krisis yang dikenal sebagai subprime mortgage yang menyeret lembaga-lembaga keuangan AS, seperti Lehman Brothers bangkrut, dan akhirnya berdampak tidak saja pada perekonomian Amerika, namun juga negara-negara lain.
[3] Sering disebut sebagai kapitalisme negara. Negeri ini sejak lama konsisten dengan sosialisme, (persisnya sosialisme ala China). Model yang dikembangkan (pasca Mao Ze Dong) Deng Xiao Ping, yang oleh Joshua Cooper Ramo disebut Beijing Consensus (2004), dengan tujuan alternatif terhadap model Konsensus Washington. Beberapa prinsipnya; (1) pengendalian kekuasaan politik secara ketat guna mencapai stabilitas negara, (2) penerapan kapitalisme negara, (3) pembatasan jumlah penduduk, (4) pemberian fasilitas khusus untuk karya inovatif melalui eksperimen terus menerus, (5) penggenjotan ekspor ke seluruh negara.
[4] Dari 10 perusahaan terbesar versi Forbes tahun 2015, 5 dari China. Dari 5 tersebut menduduki rakning 1 sampai 4, dan 1 lagi ranking 8, yakni ICBC, China Construction Bank, Agricultural Bank Of China, Bank Of China, Petro China. Yang lima lagi dari AS, yakni Berkshire Hathaway, JP morggan & Co, Exxon Mobil, General Elektrik, dan Wells Fargo. Selain itu juga yang sudah meraksasa adalah Beijing DBN Technology Group, China Fortune Land, China HongQiao Group, China Zheng Tang Auto Service, GoerTek, Great Wall Motor, Gree Electric Appliances Group, Heiland Home, Huadong Medicine, Alibaba Group Holdings LTD, Tencent Holdings, Didi Chuixing, CITIC......dstnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar