PILKADA 2018 DALAM JEBAKAN
KARTEL POLITIK
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol
UDA Medan
Published, Waspada,
17 Januari 2018
Sangkin
asyiknya menentukan balon-balon kepala daerah/ maupun wakilnya, banyak yang
amnesia atau lupa untuk apa sesungguhnya
pilkada dilangsungkan. Mereka sadar atau sebaliknya telah terjerembab
dalam euforia, alfa akan substansi, dan seakan-akan tujuan utama perhelatan
pilkada hanya memenangkan figur, sosok, atau aktor tertentu. Titik !
Sinyalemen
demikian dapat dilihat dari perilaku partai-partai politik yang melakukan
koalisi tanpa mengindahkan ideologi yang dianutnya. Partai-partai yang secara
ideologis seharusnya tidak mungkin berkoalisi karena platform, visi, dan misi
politiknya berbeda, atau bertolak belakang, secara permisif telah melakukan
koalisi. Koalisi model apa itu? Tidakkah koalisi ditempuh atas persamaan visi
dan platform?
Partai
Kartel
Yang
pasti koalisi seperti itu tidak lazim (uncommon) dalam sistim demokrasi, negara
maupun teori-teori politik modern. Bagaimana partai yang beraliran kiri, nyaris
tanpa syarat berkoalisi dengan partai kanan sungguh-sungguh tak masuk akal.
Idem dengan, yang berlabel religius dengan sekuler, atau yang putih dengan
hitam, kuning, hijau, biru dan sebagainya, berkoalisi tanpa mengindahkan jati
dirinya.
Ibarat air dan minyak, atau kucing dengan tikus, tidak mungkin bersatu
dalam satu wahana. Air dan minyak tidak akan larut, kucing akan menerkam tikus
dan lain-lain perumpamaan yang mencerminkan betapa metode seperti itu tidak
mungkin dipersatukan, alias tidak mungkin bekerjasama dalam satu koalisi.
Namun
apapun dalihnya, mereka, yakni partai-partai itu telah berkoalisi mencalonkan
Gubernur, Bupati, atau Walikota idolanya. Persetan dengan demokrasi, dengan
teori, dengan fatsun politik, dan lain-lain bentuk legitimasi, yang penting
jagoan menang, seakan-akan menjadi, atau itulah kredonya.
Celakanya lagi koalisi demikian tidak berhenti
hanya pada waktu kontestasi pemilu/pilkada berlangsung. Pasca pemilu/pilkada,
koalisi nan munafik tersebut kembali dilanjutkan dalam bentuk baru yang lebih
menyeleluruh, yakni koalisi antara partai-partai pemenang pemilu/pilkada dengan
partai-partai yang kalah dalam pemilu/pilkada tersebut.
Fenomenanya
dapat dilihat pada/sejak pilpres 1999 dimana beberapa partai melakukan koalisi
untuk memenangkan presiden pilihannya. Namun setelah presiden terpilih, kembali
lagi terjadi koalisi baru, yakni koalisi seluruh partai. Seluruh partai ,
termasuk partai-partai yang kalah mendapat jatah menteri di kabinet.
Bahasa
politik, atau dengan kata lain tidak ada lagi partai opposisi, yakni partai
diluar pemerintahan/kekuasaan yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap
jalannya pemerintahan, baik di eksekutif (Presiden/kabinet), legislatif (DPR,
DPD, MPR), maupun judicatif (MK, MA).
Dan
Slater (2006), seorang Indonesianist yang meneliti politik dan pemerintahan
Indonesia sejak era reformasi menyebut gejala demikian sebagai “jebakan
pertanggung jawaban” karena hilang atau gagalnya partai-partai politik
melakukan pengawasan dan keseimbangan (cheks and balances) sebagaimana lazimnya
dalam sistim politik demokratis.
Begitu terus-menerus berlangsung, berkelindan,
hingga terlembaga diseluruh level pemerintahan (pusat dan daerah), yakni tidak
ada partai yang menjadi opposisi sebagaimana hakikatnya demokrasi. Kuskridho
Ambardi (2008) yang menulis disertasi di Ohio University menyebut fenomena
pemilu/demokrasi tanpa opposisi, tanpa ideologi sebagai basis koalisi, ini
sebagai partai kartel.
Partai
yang melakukan pengelompokan, baik sebelum maupun sesudah pemilu/pilkada untuk
menghilangkan pengawasan dan persaingan, agar dapat mengeruk finansial/keuangan
sebesar-besarnya untuk kepentingan partai, dan atau khususnya kekayaan para
elit-elitnya (Katz & Mair, 1995)
Mereka
berkoalisi untuk berkolusi, yaitu menggangsir uang negara/pemerintah/rakyat
dengan model yang populer dengan sebutan rent
seeking (perburuan rente) dan korupsi. Korupsi Departemen Kelautan dan
Perikanan, yang menjerumuskan Rohmin Dahuri, Bulog gate I dan II yang
melibatkan Akbar Tanjung adalah beberapa contoh/bukti betapa masalah ini tidak
dapat dibongkar tuntas karena partai-partai yang terlibat saling menutup dan melindungi
(Ambardi, K, 2008)
Ekwivalen,
analog, atau sama dengan kasus-kasus mega korupsi lain, seperti kasus BLBI,
Century, khususnya kasus e-KTP yang sedang marak saat ini. Meski pengadilan belum memutuskannya,
khalayak (public opinion) sudah yakin
bahwa kasus tersebut sukar dituntaskan, karena partai-partai yang (ditengarai)
terlibat di dalamnya (partai kartel) saling melindungi.
Pilkada
2018 Permanen Kartel
Demikian
pula yang terjadi di daerah. Pada waktu kontestasi pemilihan Gubernur, Bupati,
atau Walikota, terbentuk koalisi antar beberapa partai. Akan tetapi setelah
kontestasi selesai (telah terpilih kepala daerahnya), seluruh partai/termasuk
yang kalah, kembali lagi berkoalisi.
Berkoalisi
sebagaimana yang terjadi di pusat tidak didasarkan kepada visi, misi, paltform,
dan progrm kerja, melainkan untuk mengeruk sebesar-besarnya keuangan daerah
untuk kepentingan finansial partai, dan atau khususnya kekayaan elit-elitnya.
Adapun
metode, cara, atau siasat yang digunakan sebagaimana sudah rahasia umum adalah
cincay-cincay antara birokrasi/kepala daerah dengan DPRD dalam penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
APBD
direkayasa sedemikian rupa seakan-akan demi kepentingan masyarakat, pada hal
motif utamanya adalah untuk kepentingan birokrasi dan legislatif itu sendiri. Sinyalemen
ini dapat dilihat ketika APBD yang disahkan ditelusuri item per item atau butir
per butir. Disana banyak anggaran yang irrasional, yang tak jelas
peruntukannya, yang jumlahnya telah di gelembungkan/mark up, yang tumpang
tindih, dan lain-lain yang tak sejalan dengan kepentingan masyarakat.
Kasus
APBD DKI Jaya yang Rp 12,1 T dicoret Ahok adalah kasus yang paling menarik
betapa APBD sering dicincay-cincay, alias disalah gunakan antara birokrasi
daerah dengan DPRD nya. Kalau di ibukota saja masih berlangsung seperti itu,
bagaimana dengan daerah?
Mungkin
sudah tak perlu di bahas lagi, sebab masyarakat sudah letih, jenuh, dan jijk
melihatya. Kunjungan, atau tepatnya jalan-jalan DPRD ke daerah lain yang terus
menerus, yang bisa lima kali dalam sebulan, dan atau semakin banyaknya kepala
daerah yang ter OTT KPK, adalah realita bahwa pemerintahan daerah sudah
terjebak kartel politik. Pilkada 2018, tak lebih tak kurang terjebak disitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar