Selasa, 13 Februari 2018

PILKADA; KONTEKS KEMISKINAN STRUKTURAL



PILKADA;  KONTEKS KEMISKINAN STRUKTURAL
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 7 Feb 2018
Gegap gempita atau hiruk pikuk penentuan calon-calon kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) telah berakhir. Masing-masing partai atau kumpulan partai politik telah menentukan kandidatnya yang akan bertarung dalam bulan Juni mendatang.
Begitu euforia, hiruk pikuk atau gegap gempita metode penentuannya, sampai-sampai orang lupa tujuan sesungguhnya pilkada dilangsungkan. Apakah hanya sekedar (an sich) memilih pemimpin atau elit? Tidakkah seharusnya mengutamakan “visi, misi, atau program yang melindungi, mensejahterakan, dan mencerdaskan bangsa sebagaimana tujuan pemerintahan yang tersurat dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 ?
Pertanyaan demikian dikemukakan melihat pola penentuan calon-calon kepala daerah yang tak lazim, yang asal-asalan, yang tanpa platform kebijakan, alias tidak ideologis, pada hal atas nama partai politik. Bagaimana partai yang berwarna merah berkoalisi dengan partai yang berwarna hitam, kuning, putih, hijau, biru, tanpa dilandasi kesepakatan ideologis sama sekali, nyaris tak pernah ditemukan dalam negara yang demokratis, namun di negeri  ini berlangsung dengan kasat mata.
Partai Disfungsional
Dalam negara yang dikategorikan demokratis, yakni yang mengejawantahkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahannya, masing-masing partai politik mempunyai platform,  program atau kebijakan (sebagai konsekwensi dari ideologinya) yang kelak kalau ia berkuasa akan menjalankan kebijakan tersebut.
Partai merah yang punya kebijakan yang kemerah-merahan sudah barang tentu akan berbeda dengan partai hijau yang punya kebijakan, kehijau-hijauhan, partai  biru,yang  kebiru-biruan dan seterusnya. Akan aneh jika partai hitam sama kebijakannya dengan partai putih, meski dalam beberapa hal mungkin ada persamaannya. Meminjam Giovanni Sartori (1963) tergantung dari jarak ideologi partainya.
Singkatnya sebelum berkoalisi menentukan calon kepala daerah jagoannya, partai-partai politik seharusnya terlebih dahulu menyepakati apa kebijakan (policy/program) yang akan dijalankan kandidat tersebut. Tidak sebagaimana yang berlangsung saat ini, ujug-ujug/tiba-tiba para elit-elit partai bak turun dari kayangan, langsung memilih sosok, figur, atau orang. Model apa itu?
Sebagai ilustrasi betapa kebijakan politik merupakan syarat utama dan pertama dari penentuan kandidat dapat di lihat dalam kasus Trump dan Angela Merkel yang sedang aktual saat ini.  Trump sebelum terpilih menjadi calon Partai Republik, dan akhirnya unggul dalam pemilihan Presiden AS, telah memiliki kebijakan yang telah disosialisasikan kepada khalayak Amerika.
Kebijakan tersebut adalah; menurunkan pajak korporasi, memberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan yang menyerap tenaga kerja besar, menggiring perusahaan-perusahaan AS di luar negeri kembali ke negerinya, menggagalkan program kesehatan Obama Care, menarik diri dari Trans Pasifik Partnershift, menarik diri dari organisasi-organisasi internasional, menarik diri dari persekutuan militer, membangun tembok pemisah di perbatasan Meksiko, menolak immigran Muslim dan lain-lain.
Idem, meski dengan versi lain, Angela Merkel yang hingga hari ini (sejak September 2017) belum berhasil membentuk koalisi  pemerintahan karena belum ada kesepakatan dengan mitranya. Merkel dengan partainya CDU/CSU ngotot/menekankan bahwa immigran yang terus membanjiri Jerman harus dibatasi, pajak dinaikkan. Sebaliknya mitra koalisinya, SPD, yang berideologi sosialis,  bertahan pada kebijakannya, yakni immigran jangan dibatasi, dan pajak diturunkan. Dua kebijakan yang hingga penulisan artikel ini belum menemukan jalan keluar sehingga pemerintahan baru belum terbentuk.
Aneh bin ajaib, tanpa pola-pola demikian, partai-partai dinegeri ini telah menentukan kandidat idolanya dalam pilkada. Lalu apa referensi pemilih/konstituen dalam menentukan pilihannya ?  Mengikuti saja apa yang dilakukan elit yang tak demokratis dan sentralistik itu? Aneh, sungguh-sungguh aneh, dan inilah yang membuat sistim politik amburadul, acakkadut,dan kacau balau saat ini.
Sebagai derivasi atau turunannya para pemilih (konstituen) tidak lagi memilih gagasan, melainkan memilih orang. Sistim pemilihan kembali primitif dan kampungan sebab yang menjadi dasar pilihannya adalah primordialisme, sektarianisme, dan parsialisme. Model pemilihan jaman purba/kuno yang diterapkan dalam pola patrimonial/kerajaan, yang seyogianya sudah harus ditinggalkan, malah dilestarikan.
 Masalah-masalah primordialisme, seperti agama, suku, ras, dan antar golongan sebagai konsekwensinya lebih mengemuka/kental ketimbang substansi pilkada, yakni terobosan kebijakan sebagai implementasi ideologi partai-partai bersangkutan. Terobosan yang ada (jika itu hadir), tak lebih tak kurang hanya sebatas formalitas, asesoris, atau copy paste dari program-program pemerintahan sebelumnya.
Out put selanjutnya sudah gampang diduga, yakni masalah-masalah kronis yang sudah lama akut, seperti kemiskinan, kesenjangan, dan ketidak adilan, tidak akan ada terobosan yang significan. Tetap seperti yang lalu-lalu, yakni hanya sebatas kebijakan simptomatis-karitatif. Tidak menyeruak ke akar masalah.
Kemiskinan Struktural
Gizi buruk dan menularnya campak yang membawa maut secara massif di Asmat adalah fakta yang tak terbantahkan betapa masalah kemiskinan tetap fenomenal dan struktural. Tidak saja di Asmat, beberapa tahun sebelumnya di kawasan yang sama dan sekitarnya, juga telah terjadi hal yang serupa (gizi buruk)
Kisah busung lapar di NTT tahun 2015 adalah fakta kemiskinan yang masih mengiang di ingatan. Bagaimana anak-anak balita dan para ibu yang kekurangan gizi, yang sangat memilukan saat itu menjadi viral dan kasat mata, karena di blow up media secara besar-besaran. Sebagaimana yang terjadi di Asmat, bantuan ke NTT pun mengalir bak jet membelah langit. Namun bagaimana perkembangan selanjutnya, apakah telah terjadi perubahan yang significan, dalam artian bahwa penyelesaiannya sudah hlistik dan konseptual, belum ada informasi yang mendukung.
Malah menurut Nila F Moeloek/Menteri Kesehatan pada tahun 2016, selain NTT provinsi lainnya yang rutin kurang gizinya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Gorontalo. Di Indonesia hanya 3 provinsi yang kurang gizinya dapat di toleransi, yakni Sulawesi Utara, Bali, dan Bengkulu, yang tingkat kerentanannya dibawah 10 persen sebagaimana yang ditentukan oleh WHO. Yang lain, rata-rata 18 persen, bahkan ada yang 27,5 persen (ibid Nila F Moeloek).
Analog dengan tingkat pengangguran yang besar,  bahkan terus membengkak, plus tingkat ketimpangan/ketidakadilan dalam pendapatan yang sudah menjadi rahasia umum, menunjukkan bahwa sejak lama masalahnya tidak pernah diselesaikan secara komprehensif dan konseptual.
Partai-partai politik yang seharusnya menjadi instrumen perubahan (agent of change) untuk meretas penyakit demikian,sebagaimana fungsi yang diembannya, yakni sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah tidak pernah terimplementasi. Partai hanya sibuk dengan dirinya, berkoalisi tanpa kebijakan, dan bagaimana supaya jagonya menang. Hanya itu.    

1 komentar:

  1. Horas Lae! Salut, masih terus berkarya! Negeri kita memang sangat parah, karena keparahan itu juga sudah mentradisi jadi terlihat sebagai hal yang lumrah. Tapi mau apa lagi, masyarakat kita termasuk kategori over credulous people (terlalu gampang percaya), makanya dari dulu ditipu baik oleh elit-elit dalam negeri maupun dari kuasa-kuasa dari luar negeri. Soal perilaku elit politik, bukan hanya di negeri kita Lae, di Amerika Serikat pun sama, mereka juga sangat korup. Partai Demokrat dan Republik hanya dua cabang dari pohon yang sama: corporations-oriented dan cabals-servant. Menaruh harapan pada dunia politik berarti memperpanjang mimpi di siang bolong. Salam dari Yogya.

    BalasHapus