PILKADA;
KONTEKS KEMISKINAN STRUKTURAL
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 7
Feb 2018
Gegap gempita atau
hiruk pikuk penentuan calon-calon kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) telah
berakhir. Masing-masing partai atau kumpulan partai politik telah menentukan
kandidatnya yang akan bertarung dalam bulan Juni mendatang.
Begitu euforia, hiruk
pikuk atau gegap gempita metode penentuannya, sampai-sampai orang lupa tujuan
sesungguhnya pilkada dilangsungkan. Apakah hanya sekedar (an sich) memilih
pemimpin atau elit? Tidakkah seharusnya mengutamakan “visi, misi, atau program yang
melindungi, mensejahterakan, dan mencerdaskan bangsa sebagaimana tujuan
pemerintahan yang tersurat dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 ?
Pertanyaan demikian
dikemukakan melihat pola penentuan calon-calon kepala daerah yang tak lazim,
yang asal-asalan, yang tanpa platform kebijakan, alias tidak ideologis, pada
hal atas nama partai politik. Bagaimana partai yang berwarna merah berkoalisi
dengan partai yang berwarna hitam, kuning, putih, hijau, biru, tanpa dilandasi
kesepakatan ideologis sama sekali, nyaris tak pernah ditemukan dalam negara
yang demokratis, namun di negeri ini berlangsung
dengan kasat mata.
Partai
Disfungsional
Dalam negara yang
dikategorikan demokratis, yakni yang mengejawantahkan kedaulatan rakyat dalam
pemerintahannya, masing-masing partai politik mempunyai platform, program atau kebijakan (sebagai konsekwensi
dari ideologinya) yang kelak kalau ia berkuasa akan menjalankan kebijakan
tersebut.
Partai merah yang punya
kebijakan yang kemerah-merahan sudah barang tentu akan berbeda dengan partai
hijau yang punya kebijakan, kehijau-hijauhan, partai biru,yang kebiru-biruan dan seterusnya. Akan aneh jika
partai hitam sama kebijakannya dengan partai putih, meski dalam beberapa hal
mungkin ada persamaannya. Meminjam Giovanni Sartori (1963) tergantung dari
jarak ideologi partainya.
Singkatnya sebelum
berkoalisi menentukan calon kepala daerah jagoannya, partai-partai politik
seharusnya terlebih dahulu menyepakati apa kebijakan (policy/program) yang akan
dijalankan kandidat tersebut. Tidak sebagaimana yang berlangsung saat ini,
ujug-ujug/tiba-tiba para elit-elit partai bak turun dari kayangan, langsung
memilih sosok, figur, atau orang. Model apa itu?
Sebagai ilustrasi
betapa kebijakan politik merupakan syarat utama dan pertama dari penentuan
kandidat dapat di lihat dalam kasus Trump dan Angela Merkel yang sedang aktual saat
ini. Trump sebelum terpilih menjadi calon
Partai Republik, dan akhirnya unggul dalam pemilihan Presiden AS, telah
memiliki kebijakan yang telah disosialisasikan kepada khalayak Amerika.
Kebijakan tersebut
adalah; menurunkan pajak korporasi, memberikan subsidi kepada
perusahaan-perusahaan yang menyerap tenaga kerja besar, menggiring
perusahaan-perusahaan AS di luar negeri kembali ke negerinya, menggagalkan
program kesehatan Obama Care, menarik diri dari Trans Pasifik Partnershift,
menarik diri dari organisasi-organisasi internasional, menarik diri dari
persekutuan militer, membangun tembok pemisah di perbatasan Meksiko, menolak
immigran Muslim dan lain-lain.
Idem, meski dengan
versi lain, Angela Merkel yang hingga hari ini (sejak September 2017) belum berhasil
membentuk koalisi pemerintahan karena
belum ada kesepakatan dengan mitranya. Merkel dengan partainya CDU/CSU ngotot/menekankan
bahwa immigran yang terus membanjiri Jerman harus dibatasi, pajak dinaikkan. Sebaliknya
mitra koalisinya, SPD, yang berideologi sosialis, bertahan pada kebijakannya, yakni immigran
jangan dibatasi, dan pajak diturunkan. Dua kebijakan yang hingga penulisan
artikel ini belum menemukan jalan keluar sehingga pemerintahan baru belum
terbentuk.
Aneh bin ajaib, tanpa
pola-pola demikian, partai-partai dinegeri ini telah menentukan kandidat
idolanya dalam pilkada. Lalu apa referensi pemilih/konstituen dalam menentukan
pilihannya ? Mengikuti saja apa yang
dilakukan elit yang tak demokratis dan sentralistik itu? Aneh, sungguh-sungguh
aneh, dan inilah yang membuat sistim politik amburadul, acakkadut,dan kacau
balau saat ini.
Sebagai derivasi atau
turunannya para pemilih (konstituen) tidak lagi memilih gagasan, melainkan
memilih orang. Sistim pemilihan kembali primitif dan kampungan sebab yang
menjadi dasar pilihannya adalah primordialisme, sektarianisme, dan parsialisme.
Model pemilihan jaman purba/kuno yang diterapkan dalam pola
patrimonial/kerajaan, yang seyogianya sudah harus ditinggalkan, malah
dilestarikan.
Masalah-masalah primordialisme, seperti agama,
suku, ras, dan antar golongan sebagai konsekwensinya lebih mengemuka/kental
ketimbang substansi pilkada, yakni terobosan kebijakan sebagai implementasi
ideologi partai-partai bersangkutan. Terobosan yang ada (jika itu hadir), tak
lebih tak kurang hanya sebatas formalitas, asesoris, atau copy paste dari
program-program pemerintahan sebelumnya.
Out put selanjutnya
sudah gampang diduga, yakni masalah-masalah kronis yang sudah lama akut,
seperti kemiskinan, kesenjangan, dan ketidak adilan, tidak akan ada terobosan
yang significan. Tetap seperti yang lalu-lalu, yakni hanya sebatas kebijakan simptomatis-karitatif.
Tidak menyeruak ke akar masalah.
Kemiskinan
Struktural
Gizi buruk dan
menularnya campak yang membawa maut secara massif di Asmat adalah fakta yang
tak terbantahkan betapa masalah kemiskinan tetap fenomenal dan struktural.
Tidak saja di Asmat, beberapa tahun sebelumnya di kawasan yang sama dan
sekitarnya, juga telah terjadi hal yang serupa (gizi buruk)
Kisah busung lapar di
NTT tahun 2015 adalah fakta kemiskinan yang masih mengiang di ingatan.
Bagaimana anak-anak balita dan para ibu yang kekurangan gizi, yang sangat
memilukan saat itu menjadi viral dan kasat mata, karena di blow up media secara
besar-besaran. Sebagaimana yang terjadi di Asmat, bantuan ke NTT pun mengalir
bak jet membelah langit. Namun bagaimana perkembangan selanjutnya, apakah telah
terjadi perubahan yang significan, dalam artian bahwa penyelesaiannya sudah
hlistik dan konseptual, belum ada informasi yang mendukung.
Malah menurut Nila F
Moeloek/Menteri Kesehatan pada tahun 2016, selain NTT provinsi lainnya yang
rutin kurang gizinya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Gorontalo. Di
Indonesia hanya 3 provinsi yang kurang gizinya dapat di toleransi, yakni
Sulawesi Utara, Bali, dan Bengkulu, yang tingkat kerentanannya dibawah 10
persen sebagaimana yang ditentukan oleh WHO. Yang lain, rata-rata 18 persen,
bahkan ada yang 27,5 persen (ibid Nila F Moeloek).
Analog dengan tingkat
pengangguran yang besar, bahkan terus
membengkak, plus tingkat ketimpangan/ketidakadilan dalam pendapatan yang sudah
menjadi rahasia umum, menunjukkan bahwa sejak lama masalahnya tidak pernah
diselesaikan secara komprehensif dan konseptual.
Partai-partai politik
yang seharusnya menjadi instrumen perubahan (agent of change) untuk meretas
penyakit demikian,sebagaimana fungsi yang diembannya, yakni sebagai jembatan
antara masyarakat dan pemerintah tidak pernah terimplementasi. Partai hanya
sibuk dengan dirinya, berkoalisi tanpa kebijakan, dan bagaimana supaya jagonya
menang. Hanya itu.
Horas Lae! Salut, masih terus berkarya! Negeri kita memang sangat parah, karena keparahan itu juga sudah mentradisi jadi terlihat sebagai hal yang lumrah. Tapi mau apa lagi, masyarakat kita termasuk kategori over credulous people (terlalu gampang percaya), makanya dari dulu ditipu baik oleh elit-elit dalam negeri maupun dari kuasa-kuasa dari luar negeri. Soal perilaku elit politik, bukan hanya di negeri kita Lae, di Amerika Serikat pun sama, mereka juga sangat korup. Partai Demokrat dan Republik hanya dua cabang dari pohon yang sama: corporations-oriented dan cabals-servant. Menaruh harapan pada dunia politik berarti memperpanjang mimpi di siang bolong. Salam dari Yogya.
BalasHapus