DEMOKRASI
PANCASILA & DEMOKRASI TRANSAKSIONAL
Oleh
: Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan dan Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published
Waspada, 20 April 2019
Katanya pemilihan umum, tapi hasil
(output)nya seperti tak umum, meski mekanisme dan prosedurnya umum. Terkesan
terpenjara eksklusif meski berjubah kebebasan (demokrasi)
Instrument, pendekatan,
atau persfektif yang paling dekat memahami mengapa terjadi korupsi, suap, atau
perburuan rente adalah ilmu ekonomi. Disebut seperti itu, karena motif utama
perilaku tercela itu adalah unsur ekonomi, yakni memperkaya diri sendiri
melalui lembaga-lembaga negara, lepas secara sah atau sebaliknya. Kongkritnya
bagaimana supaya kaya raya secara individual (Susan Rose-Ackerman, 2000)
Walaupun tidak
dihubungkan dengan teori liberal-pasar bebasnya Adam Smith, yakni competition
(kompetisi), sesungguhnya itulah argumentasi klasiknya (bukan konsep
sosialismenya Marx). Tidakkah Adam Smith bertitah bahwa persaingan
(kompetisi) antar individu/pribadi itu akan mendatangkan kemakmuran bagi semua
orang via tangan-tangan tak terlihat (invisible
hand)?
Dalam prakteknya teori
itu jauh dari kenyataan. Yang mengemuka, tak lain-tak bukan, persaingan itu hanya
menguntungkan individu yang paling kuat, lihai, dan efisien.Tidak diluarnya, sebagaimana
dititah-teorikan bapak pasar bebas (Adam
Smith) itu yakni, akan mendatangkan kemakmuran bagi semua orang, karena persaingan
antar individu tersebut akan melesatkan barang-barang, komoditas, dan lain-lain
unsur ekonomi yang murah dan bermutu.
Faktanya ternyata tidak seperti
itu, sebab yang muncul dan dominan kemudian adalah monopoli, monopsoni, kartel,
dan lain-lain penyakit kronis ekonomi yang meletakkan kemakmuran itu tetap di
langit. Paul Krugman (1995) dengan
tegas menudingnya sebagai zero sum game (antitese dari positif sum game), alias
menguntungkan yang satu merugikan yang lain.
Susan Rose - Ackerman
yang banyak terlibat dalam bantuan-bantuan ekonomi Bank Dunia (World Bank) kenegara-negara
lain, khususnya kepada negara-negara sedang berkembang (NSB), termasuk
Indonesia, menyebut distorsi demikian menyeruak karena lembaga yang
mempraksiskannya, yakni negara dan swasta (yang disinggahi bantuan tersebut)
tidak berfungsi semestinya.
Negara/pemerintah dan
swasta tidak menjalankan tugas dan fungsi secara konsekwen sebagaimana ideologi,
konstitusi, plus inovasinya (good governance/bisnis pemerintah). Katanya/tertulisnya
demokrasi (kedaulatan rakyat, pasal 1, ayat 2 UUD 1945), namun yang tampil
tidak seperti, atau jauh dari nilai-nilai luhur itu.
Kalau sungguh-sungguh menerapkan
demokrasi dalam sistim politik-pemerintahannya, sebagaimana pengalaman banyak negara
yang menempuhnya, korupsi, suap, dan perburuan rente itu seharusnya berkurang.
Tidak seperti dinegeri ini, korupsi malah membengkak/tereskalasi lewat proses
demokrasi (M. Mahfud MD, 22 jan 2019). Semakin demokratis proses demokrasinya,
semakin membengkak korupsinya. Sungguh suatu dunia yang jungkir balik.
Dunia yang kepala jadi
kaki, kaki jadi kepala, birahi jadi otak-otak jadi birahi, pemilu untuk rakyat
menjadi rakyat untuk pemilu, yang mengental pada pileg 2004, 2009, dan menjadi
pengetahuan umum pada pileg 2014. Betapa tidak ? Katanya pemilihan umum, tapi hasil
(out put)nya seperti tak umum, meski mekanisme dan prosedurnya umum. Terkesan terpenjara
eksklusif meski berjubah kebebasan (demokrasi).
Kampanye yang seharusnya
menjadi ajang, pasar ide, atau domain penyampaian visi, misi, program, track record,
hingga ke kebijakan publik tidak berjalan semestinya. Yang berlangsung, dan
sudah menjadi rahasia umum adalah bangkitnya krisis-krisis/masalah-masalah
primordial, merebaknya jeruk makan jeruk, dan terutama melesatnya issu beli
suara.
Masalah-masalah
primordial/sektarian yang tak muncul pada pemilu 1955 hingga pemilu 1999, dalam
pemilu 2004, 2009, 2014, hingga menjelang pemilu 2019 ini bertiup dengan
kencang. Saling menjelekkan antar suku, terutama agama berlangsung dengan
vulgar dan norak. Begitu pula persaingan (tepatnya perang) antar sesama caleg dari
satu partai (jeruk makan jeruk) memekar bak bunga bangkai yang ultra busuk.
Dan di atas semua itu,
yang paling mengenaskan adalah tampilnya jual beli suara. Sang caleg membeli,
pemilih menjual. Persis seperti diteorikan Susan Rose-Ackerman, motif utamanya
adalah uang (ekonomi). Kedua pihak sama-sama butuh uang, meski tidak pernah
diakui. Bukan pepesan, tong kosong, atau omongan kosong, tapi rill adanya (Ramlan
Surbakti, K, 5 Des 2018)
Dimana-mana orang
menggunjingkannya. Menggunjingkan demokrasi yang tak lazim (uncommon democracy,
Pemple 1980), demokrasi yang ilusif karena penuh anomali (Moh Nurhasim/LIPI, K
5 maret 2019), demokrasi nan dinastik-oligarkhi, demokrasi yang berbuah
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pemerintahan yang buruk, hingga
ketimpangan sosial. Begitu nyaring gunjingannya, sampai-sampai merah telinga
mendengarnya.
Akan tetapi meski
demikian keadaannya, pola nan cenderung biadab ini tetap langgeng, pongah, dan
semakin mencekam. Bahkan, kecenderungannya, ia akan semakin terlembaga alias menggurita,
bak gurita cikeas (George Yunus Aditjondro, 2010) menjelang pileg 2019 ini.
Pileg yang semakin elitis-oligarchis, yang menurut Samsudin Haris semakin lama
dipraktekkan semakin tak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat yang
menjadi tujuannya dan terjerembab hanya pada sirkulasi elit belaka (K, 25 Feb
2019)
Seharusnya, meminjam demokrasi
deliberatifnya Jurgen Habermas (1980),
setiap terjadi distorsi dalam peran, lakon, dan akting demokrasi (pemilu), saat
itu juga harus diretas/dicari jalan keluarnya secara diskursif-komunikatif.
Jangan ditunggu-tunggu atau dibiarkan, karena faktor regulasi, Undang-Undang
(UU) dan lain-lain masalah mekanisme dan prosedur kepemiluan. Bukan itu, bukan
persoalan-persoalan teknis yang tidak substantif itu. Melainkan sesuai tidak
dengan kehendak rakyat (volonte generale).
Jika tidak sesuai,
deliberasikan atau hadapkan dengan rakyat melalui uji publik (idem Habermas).
Sertakan masyarakat seluas mungkin, meski itu tidak detil diatur dalam
regulasi. Setiap saat masyarakat harus aktif sebagai partisipan (Huntington, 1980) jika terjadi ketidak rasionalan.
Sebelum sampai ketahap itu, yakni sebelum sunguh-sungguh menjadi konsensus
masyarakat tidak boleh diputuskan, apalagi dipraksiskan.
Demokrasi
Pancasila
Masalah ada mekanisme
atau prosedur yang ditabrak, namun itu demi kepentingan publik tidak ada
masalah. Untuk apa menghormati mekanisme dan prosedur, tapi sebaliknya tidak
menghormati rakyat? Tak manusiawi dan biadab itu. Tidak cocok, bahkan berlawanan
dengan sila kedua Pancasila (kemanusiaan yang adil dan beradab).
Oleh karena itu supaya
tidak berlawanan dicarikan obat mujarab (panacea)nya. Panacea yang sudah tersedia
dalam sila ke empat Pancasila, yakni “kerakyatan
yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permuswaratan/perwakilan”. Sila
yang mengejawantahkan demokrasi asli Indonesia. Demokrasi yang mencakup politik
dan ekonomi (Bung Karno, 1927).
Bukan seperti demokrasi
yang diterapkan saat ini. Demokrasi yang hanya politis minus ekonomis
(kesejahteraan rakyat). Demokrasi yang Barat sentris, nan liberal-kapitalistik-individualistik.
Yang satu orang, satu suara, dan satu nilai (One Person One Vote and One Value OVOVOP),
atau yang berdasarkan voting-votingan itu.
Demokrasi Pancasila yang digali dari bumi
Indonesia tidak berperangai demikian, melainkan mengutamakan musyawarah, yakni
musyawarah yang dipimpin roh, spirit, atau nuansa yang tidak sekedar rasional,
namun telah diwadahi “religiusitas (sila pertama), humanism (sila kedua), dan
nasionalism (sila ketiga)” melalui lembaga sosial/politik yang dibentuk untuk
keperluan itu. Dengan kata lain, atau kongkritnya dipimpin hikmat
kebijaksanaan.
Rancang bangun seperti
itulah seharusnya yang dipraktekkan. Bukan seperti yang berlangsung saat ini,
yang bermuara kepada konflik primordial, terkam-terkaman sesama caleg satu
partai/jeruk makan jeruk, atau dan terutama melesatnya politik jual beli suara,
alias transaksional. Bukan itu, tapi demokrasi Pancasila. Merdeka !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar