Minggu, 21 April 2019

DEMOKRASI PANCASILA & DEMOKRASI TRANSAKSIONAL



DEMOKRASI PANCASILA & DEMOKRASI TRANSAKSIONAL
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan dan Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published Waspada, 20 April 2019
Katanya pemilihan umum, tapi hasil (output)nya seperti tak umum, meski mekanisme dan prosedurnya umum. Terkesan terpenjara eksklusif meski berjubah kebebasan (demokrasi)

Instrument, pendekatan, atau persfektif yang paling dekat memahami mengapa terjadi korupsi, suap, atau perburuan rente adalah ilmu ekonomi. Disebut seperti itu, karena motif utama perilaku tercela itu adalah unsur ekonomi, yakni memperkaya diri sendiri melalui lembaga-lembaga negara, lepas secara sah atau sebaliknya. Kongkritnya bagaimana supaya kaya raya secara individual (Susan Rose-Ackerman, 2000)
Walaupun tidak dihubungkan dengan teori liberal-pasar bebasnya Adam Smith, yakni competition (kompetisi), sesungguhnya itulah argumentasi klasiknya (bukan konsep sosialismenya Marx). Tidakkah Adam Smith bertitah bahwa persaingan (kompetisi) antar individu/pribadi itu akan mendatangkan kemakmuran bagi semua orang via tangan-tangan tak terlihat (invisible hand)?
Dalam prakteknya teori itu jauh dari kenyataan. Yang mengemuka, tak lain-tak bukan, persaingan itu hanya menguntungkan individu yang paling kuat, lihai, dan efisien.Tidak diluarnya, sebagaimana dititah-teorikan bapak pasar bebas (Adam Smith) itu yakni, akan mendatangkan kemakmuran bagi semua orang, karena persaingan antar individu tersebut akan melesatkan barang-barang, komoditas, dan lain-lain unsur ekonomi yang murah dan bermutu.
Faktanya ternyata tidak seperti itu, sebab yang muncul dan dominan kemudian adalah monopoli, monopsoni, kartel, dan lain-lain penyakit kronis ekonomi yang meletakkan kemakmuran itu tetap di langit. Paul Krugman (1995) dengan tegas menudingnya sebagai zero sum game (antitese dari positif sum game), alias menguntungkan yang satu merugikan yang lain.
Susan Rose - Ackerman yang banyak terlibat dalam bantuan-bantuan ekonomi Bank Dunia (World Bank) kenegara-negara lain, khususnya kepada negara-negara sedang berkembang (NSB), termasuk Indonesia, menyebut distorsi demikian menyeruak karena lembaga yang mempraksiskannya, yakni negara dan swasta (yang disinggahi bantuan tersebut) tidak berfungsi semestinya.
Negara/pemerintah dan swasta tidak menjalankan tugas dan fungsi secara konsekwen sebagaimana ideologi, konstitusi, plus inovasinya (good governance/bisnis pemerintah). Katanya/tertulisnya demokrasi (kedaulatan rakyat, pasal 1, ayat 2 UUD 1945), namun yang tampil tidak seperti, atau jauh dari nilai-nilai luhur itu.
Kalau sungguh-sungguh menerapkan demokrasi dalam sistim politik-pemerintahannya, sebagaimana pengalaman banyak negara yang menempuhnya, korupsi, suap, dan perburuan rente itu seharusnya berkurang. Tidak seperti dinegeri ini, korupsi malah membengkak/tereskalasi lewat proses demokrasi (M. Mahfud MD, 22 jan 2019). Semakin demokratis proses demokrasinya, semakin membengkak korupsinya. Sungguh suatu dunia yang jungkir balik.
Dunia yang kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, birahi jadi otak-otak jadi birahi, pemilu untuk rakyat menjadi rakyat untuk pemilu, yang mengental pada pileg 2004, 2009, dan menjadi pengetahuan umum pada pileg 2014. Betapa tidak ? Katanya pemilihan umum, tapi hasil (out put)nya seperti tak umum, meski mekanisme dan prosedurnya umum. Terkesan terpenjara eksklusif meski berjubah kebebasan (demokrasi).
Kampanye yang seharusnya menjadi ajang, pasar ide, atau domain penyampaian visi, misi, program, track record, hingga ke kebijakan publik tidak berjalan semestinya. Yang berlangsung, dan sudah menjadi rahasia umum adalah bangkitnya krisis-krisis/masalah-masalah primordial, merebaknya jeruk makan jeruk, dan terutama melesatnya issu beli suara.
Masalah-masalah primordial/sektarian yang tak muncul pada pemilu 1955 hingga pemilu 1999, dalam pemilu 2004, 2009, 2014, hingga menjelang pemilu 2019 ini bertiup dengan kencang. Saling menjelekkan antar suku, terutama agama berlangsung dengan vulgar dan norak. Begitu pula persaingan (tepatnya perang) antar sesama caleg dari satu partai (jeruk makan jeruk) memekar bak bunga bangkai yang ultra busuk.
Dan di atas semua itu, yang paling mengenaskan adalah tampilnya jual beli suara. Sang caleg membeli, pemilih menjual. Persis seperti diteorikan Susan Rose-Ackerman, motif utamanya adalah uang (ekonomi). Kedua pihak sama-sama butuh uang, meski tidak pernah diakui. Bukan pepesan, tong kosong, atau omongan kosong, tapi rill adanya (Ramlan Surbakti, K, 5 Des 2018)
Dimana-mana orang menggunjingkannya. Menggunjingkan demokrasi yang tak lazim (uncommon democracy, Pemple 1980), demokrasi yang ilusif karena penuh anomali (Moh Nurhasim/LIPI, K 5 maret 2019), demokrasi nan dinastik-oligarkhi, demokrasi yang berbuah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pemerintahan yang buruk, hingga ketimpangan sosial. Begitu nyaring gunjingannya, sampai-sampai merah telinga mendengarnya.
Akan tetapi meski demikian keadaannya, pola nan cenderung biadab ini tetap langgeng, pongah, dan semakin mencekam. Bahkan, kecenderungannya, ia akan semakin terlembaga alias menggurita, bak gurita cikeas (George Yunus Aditjondro, 2010) menjelang pileg 2019 ini. Pileg yang semakin elitis-oligarchis, yang menurut Samsudin Haris semakin lama dipraktekkan semakin tak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuannya dan terjerembab hanya pada sirkulasi elit belaka (K, 25 Feb 2019)
Seharusnya, meminjam demokrasi deliberatifnya Jurgen Habermas (1980), setiap terjadi distorsi dalam peran, lakon, dan akting demokrasi (pemilu), saat itu juga harus diretas/dicari jalan keluarnya secara diskursif-komunikatif. Jangan ditunggu-tunggu atau dibiarkan, karena faktor regulasi, Undang-Undang (UU) dan lain-lain masalah mekanisme dan prosedur kepemiluan. Bukan itu, bukan persoalan-persoalan teknis yang tidak substantif itu. Melainkan sesuai tidak dengan kehendak rakyat (volonte generale).
Jika tidak sesuai, deliberasikan atau hadapkan dengan rakyat melalui uji publik (idem Habermas). Sertakan masyarakat seluas mungkin, meski itu tidak detil diatur dalam regulasi. Setiap saat masyarakat harus aktif sebagai partisipan (Huntington, 1980) jika terjadi ketidak rasionalan. Sebelum sampai ketahap itu, yakni sebelum sunguh-sungguh menjadi konsensus masyarakat tidak boleh diputuskan, apalagi dipraksiskan.
Demokrasi Pancasila
Masalah ada mekanisme atau prosedur yang ditabrak, namun itu demi kepentingan publik tidak ada masalah. Untuk apa menghormati mekanisme dan prosedur, tapi sebaliknya tidak menghormati rakyat? Tak manusiawi dan biadab itu. Tidak cocok, bahkan berlawanan dengan sila kedua Pancasila (kemanusiaan yang adil dan beradab).
Oleh karena itu supaya tidak berlawanan dicarikan obat mujarab (panacea)nya. Panacea yang sudah tersedia dalam sila ke empat Pancasila, yakni “kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permuswaratan/perwakilan”. Sila yang mengejawantahkan demokrasi asli Indonesia. Demokrasi yang mencakup politik dan ekonomi (Bung Karno, 1927).
Bukan seperti demokrasi yang diterapkan saat ini. Demokrasi yang hanya politis minus ekonomis (kesejahteraan rakyat). Demokrasi yang Barat sentris, nan liberal-kapitalistik-individualistik. Yang satu orang, satu suara, dan satu nilai (One Person One Vote and One Value OVOVOP), atau yang berdasarkan voting-votingan itu.
 Demokrasi Pancasila yang digali dari bumi Indonesia tidak berperangai demikian, melainkan mengutamakan musyawarah, yakni musyawarah yang dipimpin roh, spirit, atau nuansa yang tidak sekedar rasional, namun telah diwadahi “religiusitas (sila pertama), humanism (sila kedua), dan nasionalism (sila ketiga)” melalui lembaga sosial/politik yang dibentuk untuk keperluan itu. Dengan kata lain, atau kongkritnya dipimpin hikmat kebijaksanaan.
Rancang bangun seperti itulah seharusnya yang dipraktekkan. Bukan seperti yang berlangsung saat ini, yang bermuara kepada konflik primordial, terkam-terkaman sesama caleg satu partai/jeruk makan jeruk, atau dan terutama melesatnya politik jual beli suara, alias transaksional. Bukan itu, tapi demokrasi Pancasila. Merdeka !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar