Selasa, 22 Oktober 2019

BANGKITNYA KEMBALI GERAKAN POLITIK MAHASISWA




BANGKITNYA KEMBALI GERAKAN POLITIK MAHASISWA
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 19 okt 2019
Demonstrasi mahasiswa tanggal 23-24 september 2019 di Gedung DPR, yang tuntutannya mayoritas dipenuhi, adalah fakta bahwa gerakan politik mahasiswa telah bangun dari tidur nyenyaknya selama lebih dua dekade. Setelah demo menggulingkan Soeharto akhir 90-an, nyaris tak ada lagi gerakan politiknya yang berarti. Bak resi/petapa/begawan yang turun dari kayangan membawa suara kenabian, setelah tuntutannya tercapai, yakni lengsernya Soeharto ke prabon, mereka kembali kepertapaan atau habitatnya, yakni kampus.
Mereka kembali bersemedi, kontemplasi, meski tatanan, sistem, atau suasana yang mereka tinggalkan itu, kemudian jauh panggang dari api. Kebebasan yang tampil sebagai buah perjuangannya, selain menghasilkan reformasi bagi beberapa bidang, juga, dan ini yang terpenting adalah terbajaknya kembali demokrasi oleh beberapa gelintir elit, yakni tampilnya otoritarian, oligarchi, dan asimetri-asimetri yang lain dalam busana kebebasan (Olle Tornquist, 2005).
Meminjam So Hok Gie setelah kalangan terpelajar demikian sukses melengserkan Soeharto dengan cek kosong, mereka hanya asyik dalam “buku, pesta, dan cinta”. Kegiatannya di pertapaan (kampus) praksis hanya berkutat dengan kuliah dan asesorisnya, seperti, hura-hura, travelling, fashion, kongkow-kongkow di kantin, main musik/karaoke, main futsal/bola/olahraga, hingga memadu kasih, dan sejenisnya, yang alfa dengan kegiatan-kegiatan korektif terhadap kekuasaan.
Kalaupun ada kegiatan yang berbau sosial-politik dilakukan, peran mereka hanyalah sekunder, bahkan tertier. Tidak primer sebagaimana yang berlangsung sebelum-sebelumnya. Peran yang disorot dengan miring, dan sebelah mata, sebab perannya tak lebih tak kurang hanya sebatas event organizer (EO). Yang berperan adalah (lazimnya) para dosennya, pejabat pemerintah, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Mereka praktis hanya pelaksana (EO).
Meluruskan Kekeliruan
Sebagai derivasinya, kalangan terpelajar ini pun sudah terjerembab ke pola yang sangat praktis-pragmatis. Bagaimana mendapat keuntungan sesaat menjadi tema (core) pergerakannya. Mereka sangat doyan, senang dan bergembira ria menjajakan proposal-proposal kegiatan kesana-kemari, khususnya ke otoritas kampusnya.
Peran yang sudah jauh dari idealisnya sebagai kandidat intelektual dan calon pemimpin masa depan. Peran yang diejek Mahfud MD, hanya sebatas mengejar Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi dan cepat lulus. Yang penting IP tinggi, cepat lulus, titik!. Soal seperti apa proses mencapainya tak perlu dihiraukan. Emang gue pikirin kata anak-anak Jakarta.
Nuansa yang kecenderungannya memang tidak permanen. Sebagaimana pesan/tradisi ilmu sejarah (historis) bahwa apa yang terjadi di dunia ini akan selalu berputar dan berulang, menjadi dalih pembenar, bahwa suatu saat mahasiswa akan kembali siuman. Mereka yang dikonotasikan tidur lelap dan khusuk bersemedi pasca penggulingan Soeharto, akan keluar dari pertapaan dan tidurnya.
Persoalan-persoalan kronis, yang dihadapi masyarakat, yang tersumbat penyelesaiannya, dan menjadi trending topic atau public opinion, akan memicu adrenalin dan nalurinya, tidak saja dari ruang kuliahnya/kampus, melainkan juga turun ke jalan. menyuarakan sekaligus memperjuangkan suara kenabiannya par exellence.
Masalah kebebasan/demokrasi yang kebablasan dan terbajak elit, pemilu yang didominasi uang, oligarchi yang congkak, nepotisme yang menjijikkan, dan atau khususnya, tampilnya satu lembaga pemerintahan (DPR),yang seharusnya memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, malah sebaliknya akan melegalkan korupsi, mendorong kalangan terpelajar ini turun ke jalan.
Jalan tidak hanya wahana transportasi atau instrument perjalanan, melainkan juga arena kuliah dan berpolitik dalam arti sebenarnya, yakni menyambung lidah rakyat yang tersumbat ke pemerintah, otoritas, atau negara. Model, pola, atau rancang bangun yang terpaksa harus ditempuh, karena telinga dan mata yang berwenang sudah tidak berfungsi (tuli dan buta).
Kurang apa, 3200-an guru besar/dosen, 33 perguruan tinggi menolak revisi UU KPK, namun DPR bak pulau terapung di samudera masyarakat, ngotot mengundangkannya. Anehnya, pemerintah/presiden yang seharusnya berpikir panjang (60 hari) dengan distorsi itu, entah dikejar siapa buru-buru menyetujuinya, yakni langsung memberi surat persetujuan (surpres).
Jangankan mahasiswa atau guru besar, awam atau anak kecil sekalipun paham bahwa revisi itu bukan menguatkan, tapi sebaliknya melemahkan. Membuat pengawas di atas pengawas adalah tindakan irrasional (contradictio in terminis). Apakah DPR yang banyak nunggak UU, akan dibikin juga pengawasnya?.
KPK sudah punya punya sistim atau metode, yang didalamnya sudah termasuk (include) pengawasan. Untuk apa bikin pengawas lagi. Begitu pula meminta izin penyadapan lebih dulu ke dewan pengawas, akan membuat penyadapan tidak sampai ke tujuannya (menagkap/OTT koruptor). Melainkan akan amburadul, acakkadut, dan berantakan.
Mengharuskan seluruh staf KPK harus dari PNS/ASN dan berada dibawah otoritas eksekutif DPR, akan menghilangkan independensinya. Apa bedanya dengan kepolisian dan kejaksaan? Tidakkah independensinya yang membuat KPK fungsional berdaya guna? Tidakkah juga apabila KPK dibawah otoritas pemerintah, akan mencuat persaingan dengan Kepolisian dan Kejaksaan?
Demikian pula tentang penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam dalam jangka waktu paling lama satu tahun harus dihentikan. Jika ini dipraksiskan sama saja dengan wewenang yang sudah dimiliki kejaksaan dan kepolisian yang sering disorot masyarakat sipil. Apalagi, selama ini KPK telah terbukti selalu berhasil mempertahankan pembuktiannya di setiap sidang tipikor meski tanpa kewenangan SP3.
Oleh karena itu penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) tak ada logikanya/tak perlu, karena proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di KPK telah terhubung satu atap dalam satu kedeputian, yaitu kedeputian penindakan. Dalam artian lain juga sudah sistemik dan ampuh selama ini. Mengapa harus di utak atik? Abraham Samad, K,9 sept 2019)
Analog dengan RUU yang lain, seperti RKHUP, RUU Ketenagakerjaan, UU Pertanahan, UU SDA, dan RUU PKS. RUU yang tidak jelas bagaimana progresnya selama ini, tiba-tiba diakhir jabatannya (injuri time) mau diundangkan semua Tidakkah itu membuat suasana semakin runyam?
Bangkitnya Politik Mahasiswa
Keirrasionalan demikianlah yang memancing masyarakat, khususnya mahasiswa turun ke jalan (demonstrasi,unjuk rasa), menekan DPR supaya mengurungkan RUU irrasionalnya. Dengan berbondong-bondong, kalangan terpelajar ini mengepung Senayan/markas DPR, dan menyampaikan tuntutannya.
Kenyataan tuntutannya direspons pemerintah, yakni Presiden Jokowi langsung meminta ke DPR agar lima RUU, ditunda pengesahannya, sedangkan revisi RUU KPK, masih dicari formula penyelesaiannya. Kabar-kabar burung terdengar, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menjadi bentuk penyelesaiannya.
Masalah seperti apa endingnya, yakni apakah Perppu akan keluar, atau sebaliknya, belum ada yang dapat memastikan, sebab prosesnya masih berjalan. Yang jelas dan pasti mahasiswa sudah bangkit dari pertapaannya, dan menunjukkan dirinya sebagai kekuatan politik. Semoga ke depan terjaga kemurniannya, dan tidak ditunggangi penumpang-penumpang gelap. Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar