BANGKITNYA
KEMBALI GERAKAN POLITIK MAHASISWA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 19
okt 2019
Demonstrasi mahasiswa
tanggal 23-24 september 2019 di Gedung DPR, yang tuntutannya mayoritas
dipenuhi, adalah fakta bahwa gerakan politik mahasiswa telah bangun dari tidur
nyenyaknya selama lebih dua dekade. Setelah demo menggulingkan Soeharto akhir
90-an, nyaris tak ada lagi gerakan politiknya yang berarti. Bak resi/petapa/begawan
yang turun dari kayangan membawa suara kenabian, setelah tuntutannya tercapai,
yakni lengsernya Soeharto ke prabon, mereka kembali kepertapaan atau habitatnya,
yakni kampus.
Mereka kembali bersemedi,
kontemplasi, meski tatanan, sistem, atau suasana yang mereka tinggalkan itu,
kemudian jauh panggang dari api. Kebebasan yang tampil sebagai buah
perjuangannya, selain menghasilkan reformasi bagi beberapa bidang, juga, dan
ini yang terpenting adalah terbajaknya kembali demokrasi oleh beberapa gelintir
elit, yakni tampilnya otoritarian,
oligarchi, dan asimetri-asimetri yang lain dalam busana kebebasan (Olle Tornquist, 2005).
Meminjam So Hok Gie
setelah kalangan terpelajar demikian sukses melengserkan Soeharto dengan cek
kosong, mereka hanya asyik dalam “buku, pesta, dan cinta”. Kegiatannya di
pertapaan (kampus) praksis hanya berkutat dengan kuliah dan asesorisnya,
seperti, hura-hura, travelling, fashion,
kongkow-kongkow di kantin, main musik/karaoke, main futsal/bola/olahraga, hingga
memadu kasih, dan sejenisnya, yang alfa dengan kegiatan-kegiatan korektif
terhadap kekuasaan.
Kalaupun ada kegiatan
yang berbau sosial-politik dilakukan, peran mereka hanyalah sekunder, bahkan
tertier. Tidak primer sebagaimana yang berlangsung sebelum-sebelumnya. Peran yang
disorot dengan miring, dan sebelah mata, sebab perannya tak lebih tak kurang
hanya sebatas event organizer (EO).
Yang berperan adalah (lazimnya) para dosennya, pejabat pemerintah, dan
tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Mereka praktis hanya pelaksana (EO).
Meluruskan
Kekeliruan
Sebagai derivasinya,
kalangan terpelajar ini pun sudah terjerembab ke pola yang sangat
praktis-pragmatis. Bagaimana mendapat keuntungan sesaat menjadi tema (core) pergerakannya. Mereka sangat doyan,
senang dan bergembira ria menjajakan proposal-proposal kegiatan kesana-kemari,
khususnya ke otoritas kampusnya.
Peran yang sudah jauh
dari idealisnya sebagai kandidat intelektual dan calon pemimpin masa depan.
Peran yang diejek Mahfud MD, hanya sebatas mengejar Indeks Prestasi Kumulatif
(IPK) yang tinggi dan cepat lulus. Yang penting IP tinggi, cepat lulus, titik!.
Soal seperti apa proses mencapainya tak perlu dihiraukan. Emang gue pikirin
kata anak-anak Jakarta.
Nuansa yang
kecenderungannya memang tidak permanen. Sebagaimana pesan/tradisi ilmu sejarah
(historis) bahwa apa yang terjadi di dunia ini akan selalu berputar dan berulang,
menjadi dalih pembenar, bahwa suatu saat mahasiswa akan kembali siuman. Mereka yang
dikonotasikan tidur lelap dan khusuk bersemedi pasca penggulingan Soeharto,
akan keluar dari pertapaan dan tidurnya.
Persoalan-persoalan kronis,
yang dihadapi masyarakat, yang tersumbat penyelesaiannya, dan menjadi trending topic atau public opinion, akan memicu adrenalin dan nalurinya, tidak saja
dari ruang kuliahnya/kampus, melainkan juga turun ke jalan. menyuarakan
sekaligus memperjuangkan suara kenabiannya par
exellence.
Masalah
kebebasan/demokrasi yang kebablasan dan terbajak elit, pemilu yang didominasi
uang, oligarchi yang congkak,
nepotisme yang menjijikkan, dan atau khususnya, tampilnya satu lembaga pemerintahan
(DPR),yang seharusnya memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, malah
sebaliknya akan melegalkan korupsi, mendorong kalangan terpelajar ini turun ke
jalan.
Jalan tidak hanya wahana
transportasi atau instrument perjalanan, melainkan juga arena kuliah dan
berpolitik dalam arti sebenarnya, yakni menyambung lidah rakyat yang tersumbat
ke pemerintah, otoritas, atau negara. Model, pola, atau rancang bangun yang
terpaksa harus ditempuh, karena telinga dan mata yang berwenang sudah tidak
berfungsi (tuli dan buta).
Kurang apa, 3200-an guru
besar/dosen, 33 perguruan tinggi menolak revisi UU KPK, namun DPR bak pulau
terapung di samudera masyarakat, ngotot mengundangkannya. Anehnya, pemerintah/presiden
yang seharusnya berpikir panjang (60 hari) dengan distorsi itu, entah dikejar
siapa buru-buru menyetujuinya, yakni langsung memberi surat persetujuan
(surpres).
Jangankan mahasiswa atau
guru besar, awam atau anak kecil sekalipun paham bahwa revisi itu bukan
menguatkan, tapi sebaliknya melemahkan. Membuat pengawas di atas pengawas adalah
tindakan irrasional (contradictio in
terminis). Apakah DPR yang banyak nunggak UU, akan dibikin juga
pengawasnya?.
KPK sudah punya punya
sistim atau metode, yang didalamnya sudah termasuk (include) pengawasan. Untuk
apa bikin pengawas lagi. Begitu pula meminta izin penyadapan lebih dulu ke
dewan pengawas, akan membuat penyadapan tidak sampai ke tujuannya (menagkap/OTT
koruptor). Melainkan akan amburadul, acakkadut, dan berantakan.
Mengharuskan seluruh staf
KPK harus dari PNS/ASN dan berada dibawah otoritas eksekutif DPR, akan
menghilangkan independensinya. Apa bedanya dengan kepolisian dan kejaksaan?
Tidakkah independensinya yang membuat KPK fungsional berdaya guna? Tidakkah
juga apabila KPK dibawah otoritas pemerintah, akan mencuat persaingan dengan
Kepolisian dan Kejaksaan?
Demikian pula tentang penyidikan
dan penuntutan tindak pidana korupsi, apabila penyidikan dan penuntutannya
tidak selesai dalam dalam jangka waktu paling lama satu tahun harus dihentikan.
Jika ini dipraksiskan sama saja dengan wewenang yang sudah dimiliki kejaksaan
dan kepolisian yang sering disorot masyarakat sipil. Apalagi, selama ini KPK telah
terbukti selalu berhasil mempertahankan pembuktiannya di setiap sidang tipikor
meski tanpa kewenangan SP3.
Oleh karena itu
penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) tak ada logikanya/tak perlu, karena
proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di KPK telah terhubung satu
atap dalam satu kedeputian, yaitu kedeputian penindakan. Dalam artian lain juga
sudah sistemik dan ampuh selama ini. Mengapa harus di utak atik? Abraham Samad,
K,9 sept 2019)
Analog dengan RUU yang
lain, seperti RKHUP, RUU Ketenagakerjaan, UU Pertanahan, UU SDA, dan RUU PKS.
RUU yang tidak jelas bagaimana progresnya selama ini, tiba-tiba diakhir
jabatannya (injuri time) mau
diundangkan semua Tidakkah itu membuat suasana semakin runyam?
Bangkitnya
Politik Mahasiswa
Keirrasionalan
demikianlah yang memancing masyarakat, khususnya mahasiswa turun ke jalan
(demonstrasi,unjuk rasa), menekan DPR supaya mengurungkan RUU irrasionalnya.
Dengan berbondong-bondong, kalangan terpelajar ini mengepung Senayan/markas
DPR, dan menyampaikan tuntutannya.
Kenyataan tuntutannya
direspons pemerintah, yakni Presiden Jokowi langsung meminta ke DPR agar lima
RUU, ditunda pengesahannya, sedangkan revisi RUU KPK, masih dicari formula
penyelesaiannya. Kabar-kabar burung terdengar, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) menjadi bentuk penyelesaiannya.
Masalah seperti apa endingnya, yakni apakah Perppu akan
keluar, atau sebaliknya, belum ada yang dapat memastikan, sebab prosesnya masih
berjalan. Yang jelas dan pasti mahasiswa sudah bangkit dari pertapaannya, dan
menunjukkan dirinya sebagai kekuatan politik. Semoga ke depan terjaga
kemurniannya, dan tidak ditunggangi penumpang-penumpang gelap. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar