Rabu, 16 Oktober 2019

DPR, PULAU TERAPUNG DI LAUTAN MASYARAKAT



DPR, PULAU TERAPUNG DI LAUTAN MASYARAKAT
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan & Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published Waspada, 16 Okt 2019
Mereka bukan jembatan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana yang kita lihat pada negara-negara demokratis, atau kita baca pada teori-teori politik
Satu dekade yang lalu, Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, dan PKS melakukan studi banding ke Partai Komunis China (PKC). Kelima partai besar Indonesia ini berikhtiar mengkomparasikan tentang sistim, pola, atau model pengelolaan partai yang dipentaskan dinegeri tersebut. Negeri yang dikenal sebagai negeri komunis yang bersistim satu partai, dengan yang berlangsung di Indonesia yang Pancasilais dan menganut sistim multi partai.
Tiga kota yang menjadi focus studi mereka, yakni Beijing, Shanghai, dan Guiyang. Di kota ini mereka bak ilmuwan yang sedang melakukan riset, melihat secara langsung bagaimana PKC, khususnya di tingkat akar rumput (grassroots) mengimplementasikan tugas, fungsi, untuk mencapai tujuan partainya.
Dari penelusuran yang dilakukan ternyata, “Cabang dan khususnya Ranting PKC” sangat berperan ketimbang level diatasnya (tingkat Provinsi atau nasional, DPD/DPP. Mereka bekerja di akar rumput sesuai tugas, fungsi, dan peran-peran partai yang lain. Dengan kata lain, secara empiric, mereka mengimplementasikan fungsi-fungsi partai politik, seperti fungsi “komunikasi, sosialisasi, agregasi, artikulasi, rekrutmen dan lain-lain fungsi partai politik (Miriam Budiardjo 1975).
Lembaga Disfungsional
Dengan cekatan pengurus-pengurus partai tingkat cabang dan ranting mempraksis-empirikkan pertemuan-pertemuan rutin, baik sesama pengurus, dan atau terutama dengan masyarakat. Kantor-kantor partai mereka penuh dengan aktipitas, seperti membuat perencanaan/planning, pengorganisasian/organizing, pelaksanaan/actuating, dan pengawasan/controlling (POAC), sebagaimana layaknya biro modern.
 Begitu pula kegiatan, aktipitas, dan pengabdian ke tengah-tengah masyarakat. Mereka menyambangi, mendengar, mengartikulasi, dan memberdayakan masyarakat. Mereka berkomunikasi dengan/secara dua arah, dan mensosialisasikan apa yang menjadi kebijakan partai. Sebaliknya , yakni sebagai timbal baliknya, mereka juga mendengar dan menghimpun aspirasi/apa yang diinginkan masyarakat (agregasi dan artikulasi).
Tidak cukup disitu, yang jauh lebih mengesankan adalah, dengan cekatan, pengurus-pengurus PKC demikian mendorong/melatih/memberdayakan masyarakat akan vokasi/keahlian tertentu. Masyarakat diberi pelatihan supaya mereka dapat meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasannya.
Dengan gesit, cekatan, handal dan penuh semangat, pengurus-pengurus PKC membimbing staf/karyawan/pengurus institusi-institusi lokal masyarakat di akar rumput, seperti lembaga kesehatan masyarakat (disini puskesmas) supaya lebih professional, meritokratis, efisien dan efektif melayani pasien-pasiennya.
Begitu pula dalam sektor pertanian dipedesan, yang mayoritas masih merupakan sumber pendapatan utama penduduk. Pengurus-pengurus ranting PKC, sangat cekatan membimbang dan memberdayakan mereka. Bagaimana membudidayakan pertanian-peternakan supaya lebih modern, canggih, memiliki nilai tambah, dan berhasil guna, menjadi pakem pengurus-pengurus akar rumput PKC ini.
Tidak kurang fantastik dan spektakulernya, adalah komitmen, kreatifitas, dan inovasi, pengurus-pengurus ranting PKC memberdayakan usaha-usaha kecil dan menengah (UKM) supaya sanggup bersaing di pasar internasional. Pengurus-pengurus partai begitu piawai, tekun, kerja keras, bersemangat membimbang kalangan ini supaya sanggup bersaing dan unggul di kancah global yang penuh tantangan. Terbukti mereka sukses. Mereka merajai perdagangan dunia saat ini.
Ilustrasi-ilustrasi lain masih dapat diuraikan sekian banyak/panjang lagi, seperti (misalnya) bagaimana mereka mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) asing ke negaranya, namun itu biarlah dilbahas di lain kesempatan. Yang jelas dan pasti pengurus-pengurus PKC adalah sosok-sosok pilihan. Sosok yang lahir secara alamiah dari justifikasi dan legitimasi masyarakat bawah. Tidak karena privilese, privacy, deking/kenalan (nepotisme), karena punya duit, apalagi karena pintar menjilat. Mereka sungguh professional, meritokrat dan legitimate.
Bagaimana dengan partai politik Indonesia? Perbandingannya mungkin ibarat langit dan bumi. Dari pengamatan atau penelitian sederhana dapat kita lihat bahwa partai-partai dinegeri ini masih disfungsional. Kita tak paham apa yang mereka kerjakan sehari-hari. Kantor-kantornya, khususnya kantor cabang, atau ranting nyaris tanpa kegiatan-aktipitas berarti.
Kantor spanduk/papan nama, dan manusianya terpampang, namun apa yang dikerjakan disana tidak jelas. Mungkin hanya kongkow-kongkow saja, ngalor-ngidul mengupas yang bukan fungsi dan tugasnya. Awam lebih melihat organisasi-organisasi lain, seperti LSM, organisasi sosial, keagamaan, berfungsi/punya kegiatan rutin ketimbang partai-partai politik. Sangat tak layak/aneh bin ajaib, lembaga yang seharusnya pro aktif hadir ditengah-tengah masyarakat, namun disfungsional.
Fungsi partai politik sebagaimana diatur dalam Undang Undang Partai Politik, yakni UU No 2 Tahun 2008 dan UU No 2 Tahun 2011, sesungguhnya sudah mensiratkan bahwa partai harus bekerja fungsional. Tidak hanya pada waktu pemilu, melainkan setiap waktu terus bekerja, sebab fungsinya  adalah; satu, sebagai Pendidikan politik, dua, sebagai Pencipta iklim yang kondusif bagi persatuan dan persatuan bangsa untuk kesejahteraan masyarakat, tiga, Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi, empat, Instrument partisipasi politik, dan, lima, rekrutmen politik.
Jelas dan terang benderang, seyogianya apa yang dilakukan di China, juga harus dilakukan disini. Namun sebagaimana faktanya, yang kita saksikan hari-hari ini, partai politik nyaris tidak pernah melakukan pendidikan politik di akar rumput. Begitu pula fungsi-fungsi yang lain, seperti  program-program untuk mensejahterakan masyarakat, agregasi dan artikulasi politik, instrument partisipasi, nyaris nihil melompong-mengongong-melolong, bak tong kosong nyaring bunyinya.
Yang jalan, praktis hanya fungsi kelima, yakni penyedia insan-insan untuk duduk dalam pemerintahan, khususnya menjadi anggota DPR (legislatif). Tampillah insan-insan (out put) yang lahir dari input dan proses yang kacau balau, amburadul, dan berantakan. Sebagai konsekwensinya akan melesat anggota DPR yang tidak melaksanakan fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Pemilu atau UUD 1945.
Pulau Terapung
Mereka bukan jembatan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana yang kita lihat pada negara-negara demokratis, atau kita baca pada teori-teori politik. Mereka menggunakan jembatan hanya untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok, dan birahinya. Proses (yang sadar atau sebaliknya) telah terlembaga pada pemilu pertama era reformasi, yakni pemilu 2004.
Pemilu yang sudah mulai diwarnai money politics, yang menguat pada pemilu 2009, terang benderang pada pemilu 2014, dan sudah dianggap tradisi pada pemilu 2019. Pola jahanam yang kasat mata, namun anehnya tak ada ikhtiar menghentikannya. Sudah tahu keliru, tapi tetap dipraksiskan.
Dipraksiskan, terutama oleh elit, dan kiamatnya, entah mengapa dinikmati juga oleh masyarakat (sadar tak sadar). Semua teriak tidak ke money politics, namun realitanya, baik yang teriak maupun tidak, mayoritas sama-sama menerima money politics. Kampanye  hanya formalitas, praksis-empiriknya adalah bagi-bagi sembako dan duit (Ramlan Surbakti, K, 2018). Mau mengharapkan DPR berfungsi?
Mimpi. DPR sudah lepas dari konstituennya. Mereka adalah pulau terapung di lautan masyarakatnya. Lembaga, komunitas, atau kalangan yang akan melegalkan korupsi via revisi UU KPK, kata Emil Salim cs setelah bertemu Jokowi tanggal 4 oktober yang lalu. Oleh karena itu, meminjam litani Wiji Thukul “hanya satu kata, yakni lawan”. Lawan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar