MK HMM XI, HUKUM MEDIA MASSA
KULIAH XI, 14 Januari 2021, JAM 08.30 – 10.30
dan jam 17.00 sd 19.00
JURUSAN KOMUNIKASI FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
⌂
HUKUM MEDIA MASSA DAN GLOBALISASI PENYIARAN
Pengantar
Pada diskusi kuiah ke -9 dan 10, meski ada peningkatan intensitas, yakni jumlah yang aktif mengutarakan pendapat, namun kualitas diskusinya masih jauh dari harapan. Mayoritas masih berkutat di “media massanya”. Belum pada tekanan “hukumnya”
Hal demikian dapat diihat dari miskinnya argumen ketika menjawab “masalah ke-4”, yakni tentang tuntutan RCTI dan iNews TV ke Mahkamah Konstitusi (MK) (lihat lampiran dibawah). Mengapa bisa seperti itu, yakni tanggapannya hanya kepada media massanya? Jawabannya tidak hitam putih. Bisa jadi pengetahuannya tentang dasar-dasar hukum belum memadai, atau minimnya penguasaan akan masalah-masalah (ekonomi-politik) global.
Hal demikian terlihat dari jawaban-jawaban yang dimajukan, masih sekitar permasalahan media lokal. Walaupun sudah dipancing dengan pertanyaan yang berkhasanah global (Masalah/Pertanyaan no 5), uraiannya, balik-balik ke masalah media local…. Pemikiran local…..lagi-lagi local. Pada hal kalau dirunut lebih seksama, permasalahan-permasalahan itu adalah dampak dari perubahan kemajuan Iptek global.
Tidakkah aplikasi internet, You Tube, Face Book, Twitter, Instagram, e mail, Netflix dan sejenisnya itu muncul dari negara yang menguasai Ilmu, Teknologi, Ekonomi, Cultur, dan lain-lain tradisi modern, dari negara-negara di luar Indonesia? Lalu kita membebek saja dengan situasi itu? Euphoria dengan semua konten, tayangan, acara, yang tidak kita sadari telah (banyak) menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945? Tidakkah pemimpin besar negeri ini, Bung Karno dalam Trisaktinya “berkepribadian dalam bidang kebudayaan?
Roy Suryo, ahli telematika setuju dengan tuntutan RCTI dan iNews TV, karena UU Penyiaran yang berlangsung saat ini sudah kurang up date dalam mengadopsi kemajuan teknologi (sudah jadul).
Oleh karena itu peraturan per Undang-Undangan harus mengikuti perkembangan zaman. Apalagi dalam faktanya banyak konten-konten yang melanggar etika bersiliweran di media-media. Konten-konten yang sudah pasti tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia.
Terang dan jelas sudah kebablasan…..karena sekarang banyak juga konten-konten You Tube dan Sosial Media yang tidak beretika bermunculan, dengan alasan “tidak ada hukumnya”
Namun pendapat yang berbalik, atau menolak tuntutan RCTI dan iNews TV, justru datang dari pemerintah dan DPR. Pemerintah, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika, via Dirjen Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI) dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), menolak permohonan kedua lembaga penyiaran itu.
Dirjen PPI menengarai jika permohonan itu dikabulkan akan berimplikasi luas, dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, baik dalam industri penyiaran, maupun tatanan kehidupan masyarakat.
Bila definisi penyiaran diperluas, sebagaimana yang dituntut pemohon, akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram live, Facebok live, YouTube live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi Lembaga penyiaran yang wajib berizin.
Artinya kita harus menutup mereka, kalau mereka tidak mengajukan izin…..banyak pembuat konten tidak akan bisa memenuhi syarat perizinan penyiaran yang mengakibatkan kegiatan yang dilakukan merupakan penyiaran yang illegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum, karena penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana.
Selain itu, mengingat sifat internet yang melintas batas negara, penutupan akses ke platform-platform digital dari luar negeri berpotensi bersifat “kontra produktif terhadap perdagangan antara negara yang mungkin menimbulkan dampak negatif terhadap negara Indonesia (Sidang MK, 26 Juni 2020)
Dalam bahasa yang lain, namun dalam arti/substansi yang sama, DPR, yang dijuru-bicarai Habiburohman dalam sidang MK tersebut, menyatakan penyediaan Over The Top (OTT) seperti You Tube, Instagram, Twitter, serta media berbasis aplikasi digital tidak masuk dalam lingkup yang diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, karena konten yang disiarkan tidak diterima secara serentak (layanan OTT menggunakan spektrum frekuensi radio di luar dari blok frekuensi penyiaran yang ditetapkan pemerintah)
Lampiran
Masalah ke empat
Baru-baru ini, dua perusahaan TV, yakni RCTI dan iNews TV, mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitsi (MK) terhadap Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Mereka menuntut agar penyiaran lewat internet, sebagaimana terjadi lewat Youtube dan Netflix, ikut di atur lewat Undang-Undang Penyiaran.
Lewat permohonannya RCTI dan iNews TV menilai UU Penyiaran menyebabkan perlakuan berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio seperti mereka dan penyelenggara layanan berbasis internet
RCTI dan I News TV menyatakan bahwa hak konstitusional mereka dilanggar.
Sebagai penyelenggara penyiaran konvensional, mereka terikat UU Penyiaran. Sementara, penyelenggara berbasis internet tidak.
Maka RCTI dan iNews TV menghendaki UU Penyiaran dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak mencakup penyiaran menggunakan internet[1].
Menurut saudara/i akankah MK mengabulkannya? Berikan tanggapannya.
Masalah ke lima
Bila anda perhatikan dengan seksama, acara-acara, konten-konten, atau tayangan-tayangan di televisi kita sangat banyak meniru acara-acara, konten-konten, atau tayangan-tayangan dari Barat, khususnya Amerika Serikat (CNN). Sebaliknya, acara-acara, konten-konten, atau tayangan-tayangan ciptaan/buatan negeri ini, nyaris tak di temukan disana.
Bagaimana tanggapan saudara/i dengan suasana ini. Apakah kita terus seperti ini? Meniru, menjiplak terus? Uraikan secara sistimatis
Sebagai perbandingan untuk uraian di atas,baca juga
tulisan “tirto id” dibawah ini
K O N F R O N T A S I
Yang Tidak Dijelaskan RCTI-iNews
di Balik Klaim Melindungi Kreator
Oleh: Felix Nathaniel - 31 Agustus 2020
Dibaca Normal 6 menit
Permohonan RCTI-iNews ke Mahkamah Konstitusi bisa menyebabkan kerugian kepada industri kreatif. Kreativitas content creator juga akan terbatasi.
tirto.id - PT Rajawali Citra Televisi dan PT
Visi Citra Mitra Mulia mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-undang
Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Gugatan ini, jika dikabulkan, besar kemungkinan
akan menjadi preseden tidak menyenangkan bagi para pengguna internet di
Indonesia.
Kedua perusahaan ini—akrab dikenal publik sebagai RCTI dan iNews TV—berada di
bawah naungan PT MNC Investama Tbk atau MNC Group yang dipimpin Hary
Tanoesoedibjo. Sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, Hary bukan saja
menguasai RCTi dan iNews TV, tapi juga televisi lain seperti GlobalTV dan MNC
TV.
Pada situs resminya, MNC Grup mengklaim
mempunyai pangsa penonton hingga 40 persen dan pangsa iklan 45 persen secara
nasional. Angka ini menjadi yang paling tinggi dibandingkan dengan televisi
lainnya. Untuk mengoptimalkan keempat saluran televisi ini, MNC kemudian
meluncurkan RCTI+ di tahun 2019. Dengan aplikasi streaming tersebut,
masyarakat bisa mengakses 4 tayangan stasiun televisi dalam satu platform.
Meski punya RCTI+ yang termasuk layanan Over The Top (OTT) yang
menyediakan on demand/streaming, RCTI dan iNews TV tak peduli. Mereka
menggugat UU Penyiaran Pasal 1 angka 2 yang dianggap pilih kasih terhadap
layanan OTT yang menggunakan internet. Selama ini UU Penyiaran hanya berlaku
kepada penyiaran berbasis frekuensi publik seperti radio dan televisi, tapi
tidak mencakup internet.
Dalam Perbaikan Permohonan Nomor 39/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Pasal 1
Angka 2 UU Penyiaran yang diajukan RCTI-iNews, keduanya merasa telah merugi
secara konstitusional. Salah satu kerugiannya adalah lembaga konvensional
seperti televisi harus patuh pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Penyiaran (P3SPS) dalam membuat konten siaran, sedangkan pengguna
internet tidak.
Perihal membuat konten, televisi harus tunduk pada aturan dan pengawasan oleh
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan siapapun yang aktif di internet dan
membuat tayangan tidak perlu takut mendapat pengawasan dari KPI ataupun teguran
dan sanksi. Bagi RCTI-iNews, absennya KPI atau pengawasan penyiaran di internet
telah “merugikan Para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional baik
secara materiil maupun immateriil.”
Gugatan ini lantas membawa debat panjang antara content creator di
internet dengan RCTI-iNews.
Mematikan Kompetitor?
Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra
Arief menduga apa yang dilakukan RCTI-iNews hanyalah salah satu perilaku
pebisnis dalam perang dagang. Ini tak lepas dari fakta penonton televisi
pelan-pelan mulai beralih ke internet.
Dalam permohonan RCTI-iNews, mereka mengutip studi dari lembaga AC Nielsen
tahun 2018 yang menunjukkan bahwa masyarakat menonton televisi rata-rata 4 jam
53 menit per hari, sementara menonton di internet persis di bawahnya yaitu 3
jam 14 menit. Dengan kata lain, durasi menonton di internet kian mendekati
durasi menonton televisi.
Sedangkan dosen ilmu komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rahayu, menilai
perilaku ekonomi seperti ini tak bisa dibenarkan begitu saja. Baginya, ini
hanya upaya pencegahan agar penonton internet tetap setia menonton televisi.
Dan itu tetap saja tak dapat dibenarkan.
“Jika merasa terancam, harusnya mereka lebih inovatif mengikuti zaman. Ini
tanda mereka enggak bisa kreatif,” kata Rahayu kepada Tirto, Jumat
(28/8/2020).
Kesulitan bisnis ini sebenarnya bukan perkara baru. Pada 2017, di Inggris,
sebuah acara televisi bertajuk Blue Peter tidak ditonton oleh siapapun selama musim
panas. Kejadian ini menjadi tamparan bagi stasiun televisi dan memaksa mereka
untuk terus berinovasi agar bisa bertahan hidup. Mereka harus bersaing ketat
dengan Netflix, Amazon Prime, atau Hulu.
John Martin, mantan CEO dan pemimpin Turner Broadcasting Company (TBC), tidak
menyalahkan banyaknya layanan on demand yang bermunculan tanpa aturan.
Dia justru optimis bahwa televisi konvensional bisa bertahan asalkan terus
membuat tayangan berkualitas. Banyak penonton yang belum terjaring oleh layanan
on demand atau malah terus berpindah saking banyaknya pilihan. Jika bisa
menemukan penonton setia dan terus konsisten, ia yakin televisi bisa bersaing.
“Mereka (televisi) harus mulai beralih dari langgam tradisional dan meraih
perhatian publik,” kata Martin seperti dikutip IBC.
Allisan Metcalfe, Manajer Umum bidang televisi di LiveRamp, menganggap saat inilah momentum televisi
berbenah untuk menemukan acara bagus yang merangsang loyalitas penonton.
Netflix, misalnya, tidak main-main dalam menampilkan konten yang bisa membuat
penontonnya bertahan. Salah satu contohnya adalah mengeluarkan 100 juta dolar
AS untuk Friends, serial lawas yang berjaya pada akhir 1990-an, yang
punya penggemar setia di seluruh dunia.
Sebenarnya RCTI pernah mempraktikkan cara serupa. Mereka, misalnya, membayar
mahal untuk menayangkan Indonesian Idol dan acara ini berhasil merebut
penonton yang loyal.
Kendati demikian, pihak RCTI-iNews menampik tudingan bahwa gugatan yang mereka
ajukan adalah langkah bisnis untuk mematikan kompetitor. Sejauh ini, RCTI-iNews
juga punya produk berbasis internet seperti RCTI+ maupun kanal YouTube RCTI,
GlobalTV, MNC TV, hingga i-News.
Namun jika dilihat dari jumlah akun yang berlangganan pada layanan OTT RCTI
atau i-News, keduanya memang kalah dari anak perusahaan MNC Group lainnya. RCTI
punya 3,46 juta subscribers, sedangkan iNews hanya 2,54 juta. Adapun GTV
hanya di angka 2,6 juta dan MNCTV paling tinggi di angka 9,6 juta.
“Gak ada hubungannya dengan kompetisi. Dalam bisnis, kompetisi itu mah biasa,”
kata Corporate Legal Director MNC Group Christophorus Taufik kepada Tirto, Sabtu (29/8/2020). “Karena
kami kan juga punya produk-produk berbasis internet. Jadi artinya kami takut
bersaing dengan kami sendiri? Gagal paham aku.”
Content Creator Terbatasi
Dalam permohonannya, RCTI menjelaskan bahwa layanan OTT bisa
dipecah menjadi tiga jenis. Pertama, aplikasi WhatsApp, Line, Telegram, Skype,
Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya. Kedua, konten atau video on
demand/streaming seperti Netflix, YouTube, HOOQ, Iflix, Viu, dan
sejenisnya. Ketiga, layanan seperti Go-Jek, Grab, dan semacamnya.
Dalam poin ke-31, RCTI-iNews menyebut “layanan OTT yang output-nya
berupa konten gambar, audio, video dan/atau gabungan dari itu semua atau yang
masuk ke dalam kategori konten/video on demand/streaming [dalam Surat
Edaran Menteri Kominfo Nomor 3/2016 disebutkan sebagai layanan konten melalui
internet] sebenarnya masuk kategori 'siaran' apabila merujuk kepada definisi
yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran.”
Agar layanan yang berjenis “penyiaran” ini bisa diatur oleh UU Penyiaran, maka
RCTI-iNews menyebut aturan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran bertentangan dengan UUD
1945 karena tidak menerapkan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Aturan UU Penyiaran harus juga mencakup penyiaran penggunaan internet.
Permohonan RCTI-iNews itu memang terkesan sederhana. Yang tidak sederhana:
dampaknya.
Di depan publik, RCTI-iNews menampik mentah-mentah tudingan bahwa gugatan ini
bisa mengancam kreativitas dan mata pencaharian orang-orang industri kreatif di
YouTube atau Instagram dan Facebook.
Saat muncul di tayangan YouTube Deddy Corbuzier,
Christophorus Taufik menegaskan yang diatur adalah lembaga penyedia layanan OTT
seperti YouTube dan semacamnya, bukan si pembuat konten. Pernyataan serupa juga
ia tegaskan lagi kepada Tirto.
“Sama kayak tempat Mas kerja, kan juga diatur. Sekarang apa bedanya tempat Mas
kerja dengan perusahaan OTT (termasuk kami)? Kalau perusahaan tempat Mas kerja
diatur, boleh tidak kami mengharapkan perlakuan yang sama?” kata Chris.
Formula RCTI-iNews kira-kira begini jika memang UU Penyiaran mencakup internet:
YouTube, Netflix, dan segala macam penyedia layanan OTT harus tunduk pada UU
Penyiaran. Jika ada tayangan yang melanggar, maka KPI atau entah siapa yang
bertanggung jawab bisa menegur dan memberi sanksi kepada platform penyedia
layanan. Pembuat konten boleh saja melakukan live streaming atau
mengunggah video, tapi jika tak sesuai aturan KPI, maka KPI akan menegur
YouTube dan penyedia layanan on demand/streaming di mana video tersebut
ditampilkan.
Dengan formula ini, RCTI-iNews merasa mereka justru menolong content
creator. Jika memang ada yang melanggar aturan, mereka tidak akan dipidana,
melainkan KPI akan menyemprit penyedia layanan.
“Yang kami inginkan jangan tiba-tiba ada blokir atau pidana, tapi ada
mekanisme, seperti contohnya TV dengan KPI ada dialog, ada parameter yang
disepakati,” ucap Chris lagi.
Satu yang tidak disebutkan Chris, ketika penyedia layanan ditegur, maka yang
terdampak sesungguhnya adalah content creator. Karena selama ini memang
alurnya demikian.
Mengawasi stasiun televisi, KPI tidak menegur artis semena-mena melainkan
stasiun televisi dan program-program mereka. Kemudian jika teguran itu tidak
dipatuhi, maka KPI bisa saja menutup acara tersebut. Ketika program itu
tutup, yang terdampak kehilangan pekerjaan tentu adalah artis yang mengisi
acara.
Jika YouTube-Netflix mendapat teguran KPI, maka alurnya bisa jadi serupa.
Bayangkan saja berapa banyak content creator yang tidak memenuhi standar
KPI di YouTube atau Instagram? Semuanya akan diminta berhenti oleh KPI jika tak
sesuai aturan atau mematuhi teguran. Alhasil, kreativitas mereka akan mengikuti
standar KPI.
Bukan hanya abai, tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu dengan risiko content creator, RCTI-iNews juga
menganggap gugatan ini tak berpengaruh sama sekali pada content creator di Instagram atau
Facebook.
Padahal, jika mengacu pada definisi yang ditawarkan oleh RCTI-iNews, maka
Instagram dan Facebook bisa terdampak karena sudah menyediakan layanan on
demand/streaming seperti IGTV atau Facebook Live. Namun RCTI-iNews tutup
mata pada definisi yang mereka ajukan sendiri ke Mahkamah Konstitusi.
Masalah ketiga yang perlu diluruskan adalah soal banyaknya konten yang
dipermasalahkan dengan UU ITE dan mengancam pidana pembuat konten. RCTI-iNews
berpandangan dengan menerapkan UU Penyiaran di layanan OTT, maka pembuat konten
tidak akan menjadi sasaran pidana, melainkan penyedia layanan yang harus
bertanggung jawab dan menghapus kontennya.
Faktanya, selama ini hal itu sudah dilakukan oleh YouTube, Facebook, dan
mungkin lembaga penyedia OTT lain, kendati tidak maksimal. Di YouTube,
misalnya, unggahan Erdian Aji Prihartanto soal obat
COVID-19 dihapus tidak sampai seminggu setelah video itu ketahuan bermasalah
dan menyebarkan kesesatan. Beberapa video lain juga sudah dihapus YouTube terkait hoaks
COVID-19. Meski kontennya sudah dihapus, toh pembuat
kontennya tetap dilaporkan ke polisi karena video itu terlanjur dilihat banyak
orang.
Masalah lainnya, jika merujuk pada aturan UU Penyiaran, adalah persoalan izin
siar. Dalam Pasal 33 UU Penyiaran ditekankan bahwa lembaga penyiaran wajib
memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran. Jika demikian, maka penyedia layanan
seperti YouTube, atau mungkin Twitch.tv dan sebagainya, harus mengajukan ke
pemerintah setempat untuk bisa menyediakan fitur tersebut.
Atau skenario yang lebih buruk: setiap pembuat konten harus mengantongi izin
sebelum bisa mengunggah video atau mengadakan live streaming. Sampai
izin diterbitkan, maka tidak boleh ada layanan yang bentuknya siaran di
platform itu.
Itu baru pada ranah industri kreatif. Penerapan UU Penyiaran di internet ini
bisa berdampak pada pendidikan, kesehatan, bisnis, dan bidang-bidang lainnya.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian
Komunikasi dan Informatika Ahmad M. Ramli menyampaikan dampak dari permohonan
itu jika diterima oleh MK dalam sidang uji materi pada Rabu (26/8/2020)
bisa sangat luas.
Berbicara mewakili Presiden Joko Widodo, Ramli menjelaskan dikabulkannya
permohonan itu menimbulkan ketidakpastian hukum baik bagi industri penyiaran
maupun masyarakat. Menurut pemerintah, ketika perluasan makna penyiaran
diberlakukan, maka setiap lembaga penyiaran harus memiliki izin.
Bukan hanya kepada content creator,
hal serupa harus diberlakukan kepada para pengguna lain termasuk badan usaha,
atau badan hukum yang memanfaatkan layanan seperti Instagram TV, Instagram
Live, Facebook Live, dan Youtube Live. Jika mereka menyiarkan tanpa izin, maka
"kegiatan yang dilakukan merupakan penyiaran ilegal dan harus ditertibkan
oleh aparat penegak hukum" sebab "penyiaran tanpa izin merupakan
pelanggaran pidana" dan menurut Ramli izin itu tidak akan bisa dipenuhi
sebagian lembaga atau perorangan.
Jalan RCTI-iNews tentu akan lebih mulus jika UU Penyiaran diterapkan ke
internet. Dibanding pembuat acara di YouTube, Instagram, dan semacamnya,
tayangan RCTI dan iNews serta televisi lainnya yang diunggah ke YouTube sudah
melalui proses pengawasan KPI. Masyarakat sukar berharap akan ada
tayangan-tayangan inovatif yang berbeda dari televisi karena bagaimanapun
semuanya dikontrol oleh KPI.
KPI sendiri menyambut baik permohonan dari RCTI-iNews ini.
“Menurut saya, harus ada pemikiran bersama terhadap ini. KPI pemikirannya
sederhana saja. Media baru harus diatur,” tegas Komisioner KPI Yuliandre Darwis
kepada Tirto, Sabtu (29/8/2020).
Jika gugatan RCTI-iNews dikabulkan MK, siapa yang diuntungkan? Kita tidak bisa
berspekulasi, tapi yang jelas gerak dan kreativitas content creator akan
terbatasi.
==========
PERTANYAAN
Setelah saudara/i membaca tulisan di atas, jawablah kembali pertanyaan/masalah ke empat lebih analitis…… memakai teori komunikasi 5 W + 1 H
Semoga para mahasiswa bisa berpikir global, bertindak lokal….

Tidak ada komentar:
Posting Komentar