DISKURSUS 4
KUTUB IDEOLOGI GMNI PEMATANG SIANTAR
Suatu Pendekatan
populer
Oleh :
Reinhard Hutapea
Kompartemen
Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI
Disampaikan dalam rangka KTD DPC GMNI
Pematang Siantar,
2 Desember 2017,
Pengantar
Diskusi
Sebagai
pembuka perbincangan, perhelatan, atau diskursus kita hari ini baiklah
sama-sama kita baca lebih dulu sillabus materi/bahan yang telah disediakan
Presidium GMNI. Sillabus ini, sebagaimana sillabus setiap mata kuliah di kampus-kampus
pada umumnya adalah “dasar, arah, dan muatan” minimal yang harus diberikan
kepada setiap peserta/kader/audience agar dapat memahaminya. Dengan pemahaman
yang pas (valid and reliable), setiap kader diharapkan akan menjadi “pejuang
pemikir – pemikir pejuang” yang tangguh ke masa depan (katanya...).
Berdasarkan
sillabus tersebut yang dimaksud dengan 4 kutub ideologi adalah;
·
Marhaenisme
·
Komunisme
·
Kapitalisme dan
·
Pan Islamisme
Akan
tetapi sebelum sampai kepada pembahasan ke empat kutub tersebut, sebaiknya kita
artikan dulu apa yang dimaksud dengan ideologi? Untuk apa kita memahaminya?
Bagaimana empiriknya saat ini? dan sekian pertanyaan-pertanyaan yang mengikutinya,
yang tak habis-habis kalau terus kita pertanyakan.
Untuk
diskusi di Siantar ini, pengertian atau definisi ideologi akan saya dekati dari
pendapat Mubyarto, dan Fr Magnis Suseno. Dua sosok yang saya kenal tidak dari
sekedar karya-karya intelektualnya, melainkan juga mengenalnya secara pribadi karena sewaktu
tinggal di Jakarta sering bertemu keduanya dalam event-event tertentu.
Pendapat Mubyarto
Menurut
beliau Ideologi adalah suatu “doktrin
kepercayaan dan simbol” sekelompok masyarakat atau bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman kerja atau perjuangan untuk
mencapai tujuan masyarakatnya.
Indonesia →
Pancasila
RRC → Komunis
Arab Saudi →
Islam
Amerika Serikat → Liberal-Kapitalis
Fr Magnis Suseno
·
Ideologi merupakan keseluruhan sistim
berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial,
atau individu
·
Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu
sistim penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya, dan
proyeksinya ke depan
► dengan
demikian ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsultasikan dan menciptakan
arti di dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya
akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang
sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut.
Dengan
pengertian-definisi demikian jelaslah betapa pentingnya kita mempelajari
ideologi. Mempelajari ideologi sangat penting. ....aneh kalau ada yang tidak
mau tahu ideologi. Meskipun itu sesungguhnya, ideologi juga. Daniel Bell tahun
1960-aan nyerocos bahwa the end of ideology, 1990-an Francis Fukuyama bicara
the end of history, Kenichi Ohmae ngebacot the boderless world, yang
seungguhnya adalah kemenangan ideologi kapitalisme (baiklah itu kita bicarakan
nanti)
Ttimbul
pertanyaan “berapa banyak ideologi yang ada di dunia ini?”, jawabannya tidak
ada yang pasti. Sama saja dengan berapa banyak suku, agama, ras, etnik dan
seterusnya-danseterusnya belum ada data yang pasti. Akan tetapi secara umum
sesungguhnya kutub ideologi itu hanya
dua, yakni;
·
Liberal-Kapitalisme dan
·
Sosialisme-Komunisme
Yang
lain, lazimnya adalah varian, derivasi, atau turunan dari kedua ideologi
tersebut.
Lalu
mengapa GMNI membuat klasifikasi/kategori/pola demikian?, mungkin (menurut
saya) disesuaikan dengan keadaan Indonesia[1]. Di negeri ini barangkali
ke empat ideologi itulah yang dominan (?). Paling tidak kalau kita baca media,
khususnya media-media sosial (pacebok/facebook, weo/wa, nistagrum/instragram,
twattar/twitter, dan entah apa lagi itu), jargon-jargon, konsep-konsep, atau ujaran-ujaran,
demikianlah yang mewarnai[2].
Belum
lama kita sering mendengar kata-kata, kalimat, istilah seperti “penista agama
(kasus Ahok yang dramatis), atau celotehan Habib Rizieg Syihab (HRS) tentang
Pancasila. HRS mengatakan bahwa dalam Pancasilanya Bung Karno, Ketuhanan di buat di pantat. Begitu
pula perjuangan Hizbuh Tahrir yang begitu
getol mengusung konsep/ideologi “Khilafah”
untuk diterapkan di Indonesia (HTI), melesatnya pengaruh Negara Islam di Irak
dan Suriah (NIIS) yang pengikutnya konon sudah banyak di negeri ini, serta
kasus pengungsi Rohingya yang begitu dramatis disuarkan kelompok/ideologi
tertentu adalah fakta bahwa Ideologi atau Kekuatan Islam cukup berperan.
Begitu
pula ideologi dan kekuatan Komunis. Dalam media sering kita baca istilah, kata,
kalimat, verba “Komunis”. Komunis....Komunis......Komunis. Yang paling sering mencuat
adalah tudingan akan bangkitnya komunisme....komunisme sudah menyusup jauh
dalam masyarakat, sudah kemana-mana, dan atau khususnya dalam pemerintahan...Tidak
tanggung-tanggung, Jokowi sekalipun oleh kalangan tertentu (?) sering dituding
sebagai komunis (ingat tabloid Obor ketika kampanye Presiden 2014). Belum lama PDIP
oleh petinggi Gerindra dituding sebagai partai yang menghimpun kekuatan Komunis,
meski beliau sudah minta maaf. Idem
dengan ex ketua HMI Surabaya yang menuduh GMNI sebagai Komunis, juga sudah
minta maaf. Komunis...komunis....komunis. Tak ketinggalan tentunya “nobar” film
Pengkhianatan G 30 S/PKI yang dilesatkan Panglima TNI/Gatot Nurmantyo baru-baru
ini. ......Masih banyak ilustrasi-ilustrasi lainnya......yang pasti hantu-hantu
PKI/Komunis akan terus ditiupkan
Walau
tidak senyaring/sevulgar “Komunis dan Islam”, istilah, kalimat, atau jargon tentang
ideologi Kapitalis juga tetap menghiasi media-media. Kata-kata seperti
“Neolib[3]” mungkin adalah istilah
yang paling banyak dilesatkan. Paling populer. Ingat ketika Boediono, mantan Wapres
SBY banyak di bully di medsos sebagai
neo lib, dan sekarang Sri Mulyani Indrawati yang menjadi Menteri Keuangan. Secara
umum FEUI adalah dedengkotnya. Kampus perjuangan Orde Baru yang sering dijuluki
sebagai Mafia Berkeley. Begitu pula konsep-konsep lain, seperti “pasar bebas (free market), pro pasar, persaingan
bebas (competition), konsumtif,
efisien-efektif, maraknya mall/hypermart dikota-kota, hingga
penetrasi Alfa-Indomart ke desa-desa , perilaku pragmatis masyarakat/khususnya
mahasiswa , atau dalam konsep pemerintahan yang disebut dengan “good governace” adalah fakta bahwa
ideologi ini tetap dan dominan hadir.
Bagaimana
dengan ideologi Marhaenisme ?, meski jarang muncul istilah/kata/verba
Marhaenisme, namun tetap hadir/marak dengan istilah-istilah yang lain. Terbukti
dengan kata-kata/istilah-istilah berikut “nasionalisme, kebangsaan, kemajemukan,
pluralisme, dan lain-lain istilah yang
tidak langsung menyinggung Marhaenisme, namun substansinya adalah kesana (ke
Marhaenisme tersebut). Mengapa istilah ini jarang diucapkan karena sejak
Soeharto naik panggung, seluruh yang berbau-bau Bung Karno memang diredam-di
peti eskan. Diikhtiarkan supaya tidak muncul ke permukaan.
Konstalasi
ini masih terasa hingga detik ini. Kita-kita, khususnya yang mengalami tragedi
di era Orde Baru masih alergi dengan kata Marhaenisme tersebut. Begitu pula
para intelektualnya jarang yang terus terang mengakui bahwa ia seorang Marhaenis.....Keadaan
yang mungkin dapat dimengerti,namun juga sebaliknya. Tidakkah seharusnya kita
sudah maju ke pentas? Mengapa masih malu-malu? Aneh bin ajaib, yang banyak
menulis masalah-masalah yang berhubungan dengan Marhaenisme justru banyak dari
kalangan yang ideologinya sesungguhnya berbeda dengan kita. lihat
tulisan-tulisan di harian Kompas dan lain-lainnya, yang banyak menulis
substansi Marhaenisme adalah teman-teman dari NU.....
Baiklah
masalah itu kita bahas di lain kesempatan. Sekarang kita kembali ke 4 kutub
sebagaimana yang terlampir di bawah ini.
Lamp 1
Silabus
4 kutub
Materi 4 kutub ideologi yang akan diketengahkan ialah;
Marhaenisme, Komunisme, Kapitalisme, Islamisme (Pan Islamisme). Mengkaji
kerangka dasar berpikir dari setiap ideologi dan sejarah terbentuknya ideologi
tersebut dan dinamisasinya pada konteks hari ini, dari setiap ideologi yang di
bahas harapannya kader GMNI dapat memahami keterkaitan antar empat ideologi
tersebut dan perbedaannya dalam percaturan politik, ekonomi, dan peradaban
dunia.
Pengkajian Ideologi Marhaenisme pada materi ini, sebagai
lanjutan dari materi PPAB, agar kader GMNI memahami betul paradigma Marhaenisme
di tengah pertarungan ideologi lain yang
menjadi dasar pemikiran negara-negara di dunia, serta mampu menempatkan dasar
ideologi Marhaenisme sebagai pisau analisa dalam berpikir dan berjuang menuju
bangsa Indonesia yang adil dan sejahtera.
Marhaenisme[4]
·
Sejarah Marhaenisme tentang substansi roh
perjuangan bangsa Indonesia yang digagas Bung Karno
·
Materialisme Dialektika Historis serta teori
dan konsep perjuangan dalam Marhaenisme sebagai antitesa sistem Kapitalisme
·
Telaah tentang keterkaitan Marhaenisme dengan
Komunisme Telaah tentang keterkaitan Marhaenisme dengan Islamisme. (Cat; jika dibaca buku Dibawah
Bendera Revolusi bab I, Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, uraian ini
sesungguhnya sudah terjawab)
Kapitalisme[5]
·
Dasar pokok pikiran Adam Smith (wealth of
nations)
·
Sejarah tentang masyarakat dunia dengan skema
globalisasi yang mengkedepankan asas modal sebagai alat penindasan
·
Proses lahirnya Kapitalisme
·
Telaah pengenaan dasar tentang Kolonialisme
dan Imperialisme serta liberalisme
Komunisme[6]
·
Sejarah lahirnya komunisme yang digagas Karl
Marx
·
Dasar-dasar pokok kerangka pemikiran komunisme;
Lenin, Trotsky, Gramschi, Rosa Luxemburg, Kautsky, Eduard Bernstein, Mao Tse
Tung, Otto Bauer
·
Materialisme Dialektika Historis serta teori
dan konsep dalam Marxisme
·
Sejarah perkembangan Komunisme dalam kancah
peradaban dunia
Pan Islamisme[7]
·
Sejarah perkembangan Islam di dunia
·
Sejarah lahirnya Pan Islamisme
·
Jamaluddin Al Afgani dengan pemikiran
pembaharuannya supaya ummat Islam kembali pada ajaran agama Islam yang murni,
kepemimpinan otokrasi diubah menjadi demokrasi
·
Sejarah perkembangan Islam dalam konteks Pan
Islamisme persfektif Bung Karno
·
Pengaruh Pan Islamisme terhadap sejarah
bangsa Indonesia
Lamp 2.
Mengapa
sosialisme dan Komunisme Tidak Sesuai Dengan Ajaran Kristiani ?
Sosialisme dan
Komunisme adalah suatu gerakan atau sistem ekonomi yang berdasarkan atas
kepemilikan secara publik, baik dalam hal sarana produksi maupun perencanaannya
secara sentral. Sosialisme timbul sebagai reaksi terhadap kapitalisme,
sedangkan Komunisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari Sosialisme, yang
bertujuan menghapus adanya perbedaan kelas/kelompok ekonomi di dalam
masyarakat. Mungkin ada orang menyangka bahwa sosialisme dan komunisme adalah
sistem yang baik untuk menyelamatkan nasib para pekerja dari kekuatan para
pemilik modal. Namun walaupun sepertinya baik, sistem tersebut tidak sesuai
dengan ajaran Kristiani. Untuk memahami hal ini, mari kita melihat kepada fakta
sejarah, dan ajaran gereja Katolik, yang jelas dinyatakan, terutama oleh Paus
Leo XIII – dalam surat ensikliknya Rerum Novarum (RN), dan Paus Yohannes Paulus
II, dalam surat ensikliknya Centessimus Annus (CA), Sollicitudo Rei Socialis
(SRS), dan Laborem Exercens (LE)
Sosialisme timbul
setelah zaman industri (di akhir abad ke-18) yang membagi dunia menjadi dua
kelas, yaitu kelompok pemilik modal dan kelompok pekerja/buruh. Sosialisme yang
diprakarsai oleh Karl Marx di akhir abad ke-19 adalah semcam upaya untuk
menghilangkan jurang yang besar diantara kedua kelompok tersebut (See Karl
Marx, Communist Manifesto, Penguin (2002) and “Socialism”, Encyclopaedia
Britannica Online. Karl Marx posited that socialism would be achieved via class
struggle and a proletarian revolution, and would represent a transitional stage
between capitalism and communism). Prinsip utama dari gerakan ini adalah, apa
yang disebut sebagai “milik bersama” (RN 15), yang artinya kepemilikan pribadi
ditolak, dijadikan milik bersama di bawah kontrol dari sejumlah orang dari
pemerintah (RN 4). Namun walaupun sekilas prinsip ini terlihat baik, Paus Leo
XIII mengecamnya, karena prinsip Sosialisme secara mendasar keliru dalam
memahami kodrat manusia, yaitu karena sistim tersebut; (1) menempatkan “milik
bersama” dan “milik pribadi” sebagai dua hal yang bertentangan sehingga seolah
perseorangan dianggap sebagai ancaman bagi komunitas dan bukan sebagai
pendukung komunitas, (2) menentang hukum kodrat dengan menghapuskan hak pribadi
untuk memiliki sesuatu, dan dengan melimpahkan tanggung jawab orang tua dalam
keluarga kepada negara, (3) negara tidak lagi berperan sebagai penjaga yang melindungi
namun sebagai pengatur yang merampas hak warganya, (4) menyebabkan kehancuran
masyarakat terutama para pekerja/buruh sendiri; (5) mengabaikan Tuhan,
mengabaikan kebebasan manusia dan mengabaikan kebahagiaan kekal dengan
memusatkan perhatian kepada perolehan kesenangan materi.
Pertama, dengan
mempertentangkan “milik bersama” dengan “milik pribadi”, kaum sosialis gagal
melihat keuntungan bahwa milik pribadi sesungguhnya dapat mendukung dan
melayani kepemilikan bersama. Seseorang dapat memberikan sebagian miliknya
untuk mendukung kebutuhan komunitas, dan hal ini dapat mempengaruhi orang lain
melakukan yang sama, ataupun mendorong orang lain yang turut menikmati
keuntungannya untuk mendukung komunitas dengan menyumbangkan sesuatu yang ada
padanya – jika tidak dalam bentuk materi, dapat pula dalam bentuk lain, seperti
jasa ataupun pelayanan. Dengan demikian, keberagaman kelompok dalam komunitas
diarahkan untuk saling mendukung dan melengkapi di dalam komunitas. Hal ini
diabaikan dalam sistim Sosilaisme, yang ingin mereduksi masyarakat menjadi satu
kelas (RN 17). Ini bertentangan dengan rencana Allah, sebab meskipun martabat
manusia itu sama, namun manusia diciptakan dengan bermacam kemampuan dan
talenta, supaya mereka dapat saling bekerja sama dan saling mendukung demi
kebaikan bersama. Paus Leo XIII dalam RN 19 berkata “Setiap (golongan)
memerlukan (golongan) yang lain. Pemilik modal tak dapat berbuat sendiri tanpa
pekerja, demikian pula pekerja pekerja tanpa tanpa pemilik modal. Perjanjian
timbal balik menghasilkan cantiknya keteraturan yang baik, sedangkan konflik
yang tak berkesudahan menghasilkan kebingungan dan suasana barbar yang liar).
Prinsip keberagaman yang saling mendukung juga terjadi di dalam tubuh manusia,
keluarga, dan tempat kerja. Tubuh terdiri dari banyak anggota tubuh, dan tiap
anggota tubuh mempunyai sifatnya sendiri-sendiri, tetapi semua bekerja sama
mendukung satu sama lain. Dengan cara ini kebaikan satu anggota menjadi
penyebab dari kebaikan seluruh tubuh. Maka usaha-usaha untuk menyeragamkan
semua anggota (misalnya tubuh hanya terdiri atas tangan-tangan) bukan saja
tidak alami, tetapi juga mustahil, sebab seandainya dilakukan-pun akan
menghasilkan tuubuh yang tidak lengkap dan tidak seimbang.
Selain itu,
mempertentangkan milik bersama dengan milik perorangan dapat mengakibatkan
timbulny anggapan bahwa perorangan adalah ancaman bagi komunitas, sehingga
keadaan ini memupuk persaaingan yang tidak sehat dan kebencian antar anggota.
Oleh karena itu, Paus Leo XIII mengatakan bahwa kita tidak dapat menepis
kemiskinan dengan menghapuskan kelas/tingkatan kelompok dalam masyarakat. Usaha
apapun untuk menghapuskan kelompok-kelompok tersebut hanya akan mengarah kepada
kebencian dan kekerasan. Paus Yohannes Paulus II menghubungkan masalah ini,
bersamaan dengan berbagai masalah ketidakadilan yang terjadi di tingkat
internasional maupun nasional, sebagai penyebab terjadinya Perang Dunia pertama
dan kedua (CA 17), dan berbagai perang revolusi yang terjadi di seluruh dunia.
Maka, klaim para
sosialis, bahwa gagasan kolektivism diambil dari kehidupan jemaat perdana juga
tidak tepat. Sebab praktek kepemilikan bersama dalam gereja awal dilakukan
secara sukarela, dan tidak dipaksakan oleh pihak tertentu (Lihat Kis 4;34,
sebagaimana dijelaskan oleh Paus Leo XIII dalam RN 29; bagaimana para Rasul
membagikan derma kepada jemaat yang lebih miskin, yang diberikan secara
sukarela. Tertulian, dalam Apologia secunda, 39 (Apologeticus, cap. 39; PL 1,
533A) menyebut hal ini sebagai perbendaharaan kesalehan, yaitu ketika jemaat
memberi makan kepada yang membutuhkan, menguburkan yang wafat dan mendukung
para yatim piatu dan para janda...) Maka ide untuk memaksakan konsep
kepemilikan bersama oleh negara itu tidak sesuai dengan ajaran Kitab suci. Kaum
sosialis juga gagal melihat, bahwa “kebaikan bersama” yang harus dilindungi
oleh pihak otoritas harus berarti “kebaikan untuk semua orang”. Maksudnya,
kebaikan bersama ini harus menjadi kebaikan untuk setiap orang, setiap
keluarga, komunitas, dan negara. Maka aturan dasarnya harusnya adalah; apa yang
diusahakan harus mendatangkan kebaikan, baik untuk komunitas, maupun untuk
perorangan. (St Thomas Aquinas dalam Summa Theology (St Iia – II ae, q. LXL, a
1, ad 2) mengajarkan, “karena suatu bagian maupun keseluruhan dalam arti
tertentu adalah sama, maka apa yang menjadi milik keseluruhan juga menjadi
bagian tersebut”). Hanya dengan memusatkan perhatian kepada kepentingan
komunitas saja namun mengabaikan kepentingan perorangan, itu bukan kebaikan
bersama. Demikian pula, jika tugas perorangan sebagai orang tua untuk mendukung
keluarga diambil alih oleh pemerintah, itu juga pada gilirannya akan mengganggu
hubungan kodrati antara orang tua dan anak dalam keluarga. Pada hal seharusnya
sebuah keluarga adalah “sel pokok kehidupan sosial” (KGK 2207) sehingga jika
orang bekerja untuk kebaikan keluarganya, artinya ia juga bekerja untuk
kebaikan bersama di dalam masyarakat.
Kedua, prinsip utama
sosialisme, yaitu kepemilikan bersama – adalah bertentangan dengan hukum kodrat
dan hanya menyebaabkan ketidakadilan kepada manusia dan keluarganya; karena
prinsip tersebut menyerang martabat manusia. Sebab setiap manusia di ciptakan
menurut gambar Tuhan dan diperintahkan agar berkembang biak dan menguasai bumi
(Kej 1; 26,28), maka kelangsungan hidup manusia itu sendiri dimungkinkan oleh
adanya kepemilikan pribadi/perorangan. Sebab, bagaimana mungkin manusia dapat
mempunyai motivasi untuk menguasai hal-hal di bumi jika ia tidak diperbolehkan
untuk memilikinya? Oleh karena itu penolakan atas hak perorangan untuk memiliki
sesuatu sebagai hasil jerih payahnya dan membuat segala sesuatu menjadi milik
bersama, sesungguhnya bertentangan dengan kodrat (RN 9, 13, 47). Menurut Paus
Leo XIII, penolakan atas hak seseorang untuk memiliki properti adalah tidak
adil bagi orang yang bekerja tersebut (RN 10), sebab orang ber hak untuk
mempunyai kepemilikan terhadap hasil buah karyanya untuk mendukung keluarganya.
Tanpa hak untuk memiliki, maka orang akan bekerja seperti robot, tanpa tujuan
dan harapan, tanpa kebebasan untuk mengatur penggunaan gajinya, tidak punya hak
apapun untk memelihara diri sendiri dan keluarganya untuk perbaikan kehidupan
mereka (RN 5), ataupun merencanakan masa
depan mereka. Dengan sistem sosialisme, semua ini diatur oleh negara, negara
ditempatkan di atas manusia. Pada hal sebenarnya manusialah yang mengatasi
negara; artinya, manusia ada lebih dahulu dari negara (RN 7), dan negara
terbentuk untuk melayani kesejahteraan manusia.
Selanjutnya, dengan
negara mengambil alih tugas kewajiban bapa/orang tua terhadap anak-anak mereka,
negara seolah meniadakan peran dan keberadaan keluarga, dengan demikian,
meniadakan konsep bahwa bapa bertugas untuk menghidupi keluarganya (RN 12-14).
Pada hal bapa dan ibu adalah tanda sakramental akan kasih Tuhan kepada
anak-anak mereka, sebagaimana terlihat dalam hal prokreasi dan pendidikan
anak-anak (KGK 1652 dan Ekshortasi Apostolik Paus Yohannes Paulus II,
Familiaris Consortio, 14). Tidak mengherankan, jika negara menggantikan peran
orang tua dalam keluarga, maka negara sesungguhnya mengancam keberadaan
keluarga itu sendiri. Sebab bagaimanapun juga negara tidak dapat menggantikan
peran orang tua dalam hal mengasihi anak-anak mereka, apalagi menggantikan
peran orang tua sebagai tanda yang kelihatan akan kasih Tuhan yang memberikan dirinya
kepada anak-anak mereka.
Jelaslah, dengan
bertujuan untuk menghapuskan adanya kelas dalam masyarakat dan mengendalikan
kehidupan keluarga warga negaranya, negara gagal untuk menerapkan keadilan,
dalam hal ini adalah keadilan
distributif, yaitu keadilan untuk memberikan apa yang layak kepada setiap warga
negara menurut kontribusi dan kebutuhannya (KGK 2411). Sebab kenyataannya,
setiap keluarga mempunyai kebutuhan dan kontribusi yang khusus sendiri-sendiri,
sehingga upaya apapun untuk menggeneralisasi aspek-aspek ini atas nama sistem
sosial, menjadi tidak adil. Contohnya, keluarga yang memiliki lima orang anak,
pasti mempunyai kebutuhan finansial yang lebih besar daripada keluarga lain
yang hanya mempunyai satu orang anak. Maka permasalahan akan muncul ketika
negara harus menentukan kepemilikan bersama yang cocok untuk kedua kasus
tersebut. sebagai akibatnya, hal ini dapat membuka jalan bagi keterlibatan
negara yang lebih besar, yaitu dengan mengatur jumlah anak di dalam keluarga,
sebagaimana kini yang terjadi di Cina, dengan kebijakan hanya satu anak saja
(one child policy) uuntuk setiap keluarga.
Ketiga, dengan membuat
semua kepemilikan sebagai milik bersama, negara menyerap semua perorangan dan
keluarga (RN 35), dan dengan demikian merampas hak-hak mereka, bukannya
melindungi dan menguatkannya. Lihatlah bahwa salah satu perintah Allah adalah
“Janganlah mengingini rumah sesaamamu....atau apapun yang dipunyai sesamamu
(Kel 20;17). Dengan demikian pelimpahan kepemilikan perorangan kepada
pemerintah, merupakan pelanggaran terhadap perintah ini, sebab negara menjadi
pihak yang mengingini milik perorangan. Ini bagaikan wasit yang seharusnya
memimpin pertandingan, malah bermain sendiri sebagai pemain. Dengan sistem ini,
negara dapat terlibat terlalu jauh dalam kehidupan keluarga warganya. Sebagai
contoh, kebijakan “satu anak saja” dalam keluarga, sesungguhnya negara telah
melanggar hak setiap pasangan suami istri untuk secara alami merencanakan
jumlah anak dalam keluarga mereka. Kebijakan ini bahkan dapat mendorong
pasangan melakukan aborsi, sesuatu yang mungkin tidak perlu terjadi jika
kebijakan satu anak itu tidak ada.
Keempat, sistim
sosialisme dapat mengarah kepada kehancuran masyarakat, terutama para
pekerja/buruh yang menjadi tujuan prinsip ini diterapkan. Sebab dengan
diterapkannya sistem ini maka manusia dilihat tidak lagi sebagai pribadi,
tetapi sebagai elemen ekonomi tertentu, yang dipergunakan untuk mencapai
kebutuhan materi. Tak mengherankan, dengan menerapkan prinsip ini, manusia
diarahkan kepada “atheisme dan kebencian terhadap pribadi manusia (CA 14),
sebab sesama manusia lebih dipandang sebagai alat dan saingan untuk mencapai
kebutuhan materi, dan bukan sebagai pribadi untuk dikasihi dan didukung untuk
mencapai kebahagiaannya. Paus Benediktus XVI menyamakan prinsip materialisme
dengan prinsip yang menyamakan manusia sebagai “semata-mata produk keadaan
ekonomi”(Spe Salvi 21). Ini bertentangan dengan kebenaran tentang manusia,
yaitu bahwa keberadaan manusia lebih penting daripada harta miliknya, being is
more important than having. Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa “Seperti
kegiatan manusia itu berasal dari manusia maka di atur demi (kebaikan) manusia.
Sebab ketika manusia bekerja, ia tak hanya mengubah benda-benda dan masyarakat,
namun ia juga mengembangkan dirinya juga...Seorang manusia lebih berharga dari
dirinya sendiri daripada dari apa yang dimilikinya”. (Konsili Vatican II,
Gaudium et Spes, 35. Lihat juga surat ensiklik Paus Yohannes Paulus II, Laborem
Exercens 9” Melalui pekerjaan, manusia tidak hanya mengubah alam dan
menyesuaikannya menurut kebutuhannya, tetapi ia juga mencapai pemenuhannya
sebagai manusia dan....menjadi semakin manusiawi
Selanjutnya penghapusan
kelas dalam masyarakat dapat memimpin kepada masalah lainnya. Sebab kepemilikan
bersama dapat memberikan keuntungan bukan kepada semua masyarakat, tetapi hanya
kepada sejumlah orang-orang tertentu, dengan kepentingan golongan (CA 14), yang
bertindak sebagai administrator yang bertindak atas nama negara. Maka ini
hampir sama dengan menciptakan sistem tuan tanah secara nasional. Jika ini yang
terjadi ,maka kaum miskin yang harusnya memperoleh keuntungan,malah menjadi
korban yang pertama. Dengan demikian jelaslah bahwa upaya apapun untuk
menghapus dua kelompok masyarakat
(pemilik modal dan pekerja/buruh) adalah upaya yang bertentangan dengan kodrat,
karena kedua kelompok itu memang dimaksudkan untuk saling mendukung satu sama
lain (RN 19), dan usaha untuk menghapuskannya hanya akan mengakibatkan
konflik-konflik lainnya. Maka hal yang perlu diusahakan adalah sinergi antara
keduanya, hubungan yang saling mendukung satu sama lain, atas dasar
penghormatan akan martabat manusia.
Akhirnya , upaya kaum
sosialis untuk mencapai keadaan impian tanpa Tuhan adalah sesuatu yang tidak
mungkin, dan karena itu tidak mungkin tercapai (RN 16). Pengingkaran akan
keberadaan Tuhan, yang menjadi titik awal prinsip kaum sosialis, tidak akan
membawa manusia kepada keadaan yang baik. Dengan menerapkan prinsip sosialisme,
maka manusia tidak diarahkan untuk menaati hukum Tuhan, namun diarahkan untuk
menempatkan ideologi mereka di atas manusia. Pada hal manusia tidak akan pernah
lebih adil dari Tuhan. Hukum Tuhan yang sempurna mengatasi manusia. Maka
penolakan akan Tuhan akan mengarahkan manusia kepada kehancuran. Inilah mengapa
sosialisme menghantam kebutuhan manusia yang paling hakiki, yaitu untuk
bertindak sesuai dengan kodratnya. Jika manusia menolak untuk taat kepada hukum
Tuhan, maka “alam berontak melawan manusia dan tidak lagi mengenali manusia
sebagai tuannya” (SRS 30). Hidup menjadi sulit,manusia akan menderita dan jatuh
kedalam bentuk perbudakan benda-benda materi. Dengan demikian, tujuan utama
untuk menghilangkan penderitaan yang disebabkan oleh orang-orang kaya, tidak
terwujud, tetapi hanya diubah menjadi jenis penderitaan yang berbeda. Contohnya
di Cina, upaya menghindari kemiskinan material menghasilkan kemiskinan rohani,
yang mengakibatkan keputusasaan, ketiadaan harapan atau bahkan tingkat bunuh
diri yang tinggi (Menurut Association for Asian Research, as on http://www.asian
research.org/articles/16 tingkat bunuh diri di Cina termasuk yang tertinggi 2.3
lebih tinggi dari angka rata-rata bunuh diri dunia.
Sesungguhnya, upaya
manusia untuk menghapuskan penderitaan sama sekali, nampaknya tidak akan pernah
tercapai, sebab manusia pada dasarnya pasti akan mengalami penderitaan walaupun
kadarnya berbeda-beda pada tiap orang. Manusia memang perlu terus berjuang di
dalam kehidupan ini. Gereja sadar bahwa penderitaan dan kesulitan tidak akan
pernah berakhir di dunia (RN 18), sehingga manusia harus menghadapinya, dan
bukan berpura-pura bhwa penderitaan itu tidak ada. Sebaliknya , manusia perlu
mencari jalan keluarnya, dan untuk melakukan itu manusia dari kedua golongan
kelas (baik pemilik modal maupun pekerja) perlu bekerjasama dan saling
membantu. Baik Paus Leo XIII maupun Yohannes Paulus II kemudian mengusulkan
diadakannya kerjasama berdasarkan kasih antara pemilik modal dan pekerja untuk memajukan
lapangan kerja yangmenguntungkan, dengan mengadakan keuntungan melalui
pelatihan dan berbagai bentuk assosiasi, koperasi kredit, pendidikan umum,
pelatihan profesional, berbagai bentuk partisipasi di dalam kehidupan di
lingkungan kerja maupun masyarakat pada umumnya (RN 55, CA 16). Dengan demikian
jurang pemisah antara yang kaya dan miskin dapat dijembatani dengan keadilan
dan cinta kasih, dan bukan dengan pertarungan antar golongan dan penghapusan
kelas/kelompok.
Maka kesimpulannya,
kesalahan utama Sosialisme adalah karena gerakan tersebut; (1) mengabaikan
martabat manusia, karena manusia dianggap
semata-mata hanya bagian dari sistem (AC 13); 2) menentang hak-hak kodrati
manusia, yang terlihat jelas di dalam hal penghapusan kepemilikan perorangan, sehingga
mengakibatkan efek negatif terhadap keluarga dan masyarakat, (3) mengusahakan
tercapainya keadaan ideal tetapi tanpa melibatkan Tuhan dan prinsip-prinsip
Kristiani, dan upaya ini terbukti tidak berhasil. Menanggapi masalah ini, Paus
Leo XIII menggaris bawahi ajaran sosial Gereja untuk mempengaruhi pikiran dan
hati manusia agar mau tunduk kepada prinsip-prinsip Tuhan. Yang pertama dari
prinsip ini adalah mempertahakan kepemilikan perorangan yang selanjutnya harus
diikuti dengan penggunaan kepemilikan ini demi perbaikan/peningkatan perorangan
maupun komunitas (RN 15). Prinsip kedua adalah pentingnya untuk menerapkan
prinsip Injil, yaitu keadilan dan kasih. Pemilik modal dan pekerja harus
menerima apa yang menjadi hak mereka; dan selanjutnya, mereka yang dipercaya
banyak harus memberi lebih banyak. Juga, setiap orang harus mau berkorban demi
orang lain, terutama demi mereka yang miskin. Keberpihakan gereja kepada kaum
miskin mengambil dasar dari teladan Yesus dan perintahnya. Yesus sendiri
merangkul kemiskinan dan penderitaan ketika hidup di dunia, maka kita akan
menemukan dia di dalam wajah kaum miskin. Hanya dengan kedua prinsip ini, yaitu
keadilan dan kasih, kita dapat menemukan jalan untuk memperbaiki masyarakat,
sambil menantikan tercapainya masyarakat yang sempurna, yaitu dalam kerajaan
Allah di Surga.
Lamp 3
PB NU : Ada Lima Alasan PKI Tidak
Boleh Ada di Indonesia
Ada lima alasan
komunisme dan Partai Kmunis Indonesia (PKI) tidak boleeh kembali muncul di
Indonesia. Dari segala aspek teologi, ideologi, sosial, politik, dan sejarah
yang diajarkan paham ini sangat bertentangan dengan ajaran Indonesia sebagai
negara demokrasi dan berideologi Pancasila.
Hal tersebut dikatakan
oleh, Sekjen PBNU Abdul Munim DZ dalam diskusi-semnar dan dialog lintas
generasi menyelamatkan generasi muda Indonesia dari bahaya komunisme di gedung
juang 45 Selasa (31/5/2016).
Ia mengatakan, dari
segi teologi, komunisme telah melawan prinsip ketuhanan. Hal ini karena
komunisme tidak mengenal adanya Tuhan. Sedangkan di Indonesia, dalam sila
pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu, dari segi
ideologi, komunisme tentu sangat berlainan dengan paham Pancasila. Perbedaan
itu tertanam jelas dari butir Pancasila.
Dari segi sosial, kata
Abdul Munim, komunisme mengajarkan pertentangan kelas. Misalnya pertentangan
antara buruh dan majikan, kaya dan miskin, tuan dan bawahan. Pada hal prinsip
tersebut akan terus mengadu domba antara pihak yang merasa tertindas, sehingga
tidak tercipta suasana yang harmonis
Indonesia tidak
menanamkan prinsip itu, tidak ada pertentangan kelas. Kalau terus
memperdebatkan kelas tidak akan selesai masalahnya dan akan ada terus
ketegangan, ujar Abdul Munim.
Abdul Muniim juga
mengatakan, dari segi politis, komunisme jelas mengajarkan bagaimana melakukan
agitasi dan propaganda kepada lawan politik. Sedangkan hal tersebut tidak
dibenarkan. Pasalnya , Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai kebenaran dan
jujur termasuk dalam berpolitik
Dari nilai sejarah,
pemberontakan yang dilakukan PKI di Indonesia tidak hanya sekali. Menurut dia
pemberontakan PKI dimulai sejak tahun 1926, 1945, 1958, 1950, dan terakhir
tahun 1965.
Peristiwa 1965 dikenal
sebagai pemberontakan PKI yang paling besar karena memakan banyak korban baik
dari para jenderal TNI, masyarakat sipil, hingga anggota PKI
Pemberontakan yang
dilakukan jelas tidak membawa keuntungan dan muslihat yang baik bagi bangsa.
Karena itu PKI tidak boleh ada kembali di Indonesia, kata Abdul Munim.(Kompas,
com)
Penutup
Demikianlah pengantar
pembahasan 4 kutub ini. Pembahasan yang sesungguhnya masih jauh dari memadai,
karena materi yang diberikan cukup banyak dan strtegis/penting nilai-nilainya
Namun meskipun demikian, yakni karena waktunya
sangat singkat, dengan diskusi-diskusi selanjutnya, pemahaman 4 kutub ini
semakin valid and reliable, sehingga kebenaran Marhaenisme sebagai ideologi
yang kita anut dapat kita kembangkan untuk perbaikan negeri ini. Merdeka
Pematang Siantar, 11 November 2017
[1] Tidakkah
Bung Karno mengatakan bahwa untuk dapat memahami Marhaenisme, selain harus
menguasai Marxisme, juga adalah memahami/mengusai sistim, tatanan, atau pranata
sosial Indonesia.
[2] Walaupun
sesungguhnya jika kita hubungkan dengan tulisan Bung Karno “Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme” dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, klassifikasi
Presidium GMNI itu sudah pas. Tidakkah ketiga ideologi itu sama-sama menolak
kapitalisme? Namun menurut Herbeth Feith dan lance Castles dalam buku Pemikiran
Politik Indonesia, 1945 – 1965, ideologi yang hidup di Indonesia ada lima,
yakni Nasionalisme Radikal, Islam, Komunis, Tradisionalisme Jawa, dan
Sosial-Demokrat. Hal ini mereka hubungkan dengan hasil pemilu 1955, yang
menggambarkan kelima ideologi tersebut.
[3] Baca
tulisan HS Dillon di Kompas, 7 September 2017.....kemiskinan struktural menahun
dan ketimpangan yang lebar merupakan akibat diturutinya Konsensus Washington
yang memaksakan globalisasi, perkembangan teknologi tak terkendali, dan
reformasi pro pasar, merevitalisasi kelembagaan ekstraktif warisan
feodal-kolonial. Sebagai akibat pertumbuhan menyengsarakan (immiserizing
growth), para petani, pelaku UKM, dan anggota koperasi tidak dapat menabung
untuk membentuk modal – bik materi maupun pendidikan berkualitas – yang
dibutuhkan untuk naik kelas menapak keluar dari kemiskinan
[4][4][4]
Pengertian Marhaenisme itu cukup beragam. Kalau diperdebatkan apa itu yang
disebut Marhaenisme, mungkin sampai ke langit ketujuhpun tidak akan selesai
mendefinisikannya. Oleh karena itu saya pilih satu pendapat dari figur yang
sesungguhnya bukan seorang Marhaenis, dan belum lama begitu ramai polemiknya,
yakni Ahok. Menurut beliau Marhaenisme adalah “paham yang menentang penindasan
terhadap rakyat kecil”. Ajaran yang disebut Bung Karno pada pidato pendirian
PNI 1927. Sementara itu Bupati Purwakarta, yang menjabat Ketua Golkar Jawa
Barat dalam Musda 14 September 2016 ngomong begini;....meski saya ketua Golkar Jawa Barat, saya ini adalah seorang Marhaenisme.
Saya menjalankannya langsung dalam pola aplikatif, baik sebagai ketua Golkar
maupun sebagai Bupati Purwakarta. Sedangkan definisi yang lebih seksama
saya kutif dari hasil kongres GMNI tahun 1959 di Kaliurang. Pada kongres ini
Bung Karno mengatakan Marhaen adalah (1) asas yang menghendaki susunan
masyarakat yang dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen, (2) Marhaen
adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada
umumnya, (3) marhaen adalah asas dan cara perjuangan menuju hilangnya
“KAPITALISME, IMPERIALISME, DAN KOLONIALISME” . Sedangkan Partindo
merumuskannya sebagai berikut; (1)sosio nasionalisme dan sosio demokrasi, (2)
yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum
melarat Indonesia yang lain, (3) pakai kata marhaen, bukan proletar, sebab
proletar sudah termaktub dalam marhaen, (4) adalah azas yang menghendaki
susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan
marhaen, (5) adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan
susunan negeri yang demikian itu, yang karenanya harus perjuangan revolusioner,
(6) oleh karena itu marhaen adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki
hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme, (7) marhaenis adalah
tiap-tiap orang bangsa indonesia yang menyelamatkan maarhaen.
[5][5]
Arti, sejarah, dan prinsip-prinsip kapitalisme tidak lagi diuraikan karena
dianggap sudah diberikan di PPAB, melainkan ke dosa-dosanya sebagai ditulis J.
Verkuyl; (1) dimana-mana kapitalisme-liberalistis berkuasa, disana ada bahaya,
bahwa u a n g menjadi ukuran untuk segala-galanya, (2) pemusatan kekuasaan
dalam tangan beberapa orang saja, yaitu para pemimpin industri besar, yang
mengakibatkan timbulnya persaingan, (3) cenderung mementingkan untung
orang-orang yang berkuasa di lapangan ekonomi lebih daripada mencukupi
kebutuhan dan permintaan masyarakat awam, (4) tidak menjadi soal apa yang
diproduksikan, yang penting dapat untung, (5) anonimiteit, (6) pencemaran kerja,
upah dianggap sebagai faktor ongkos-ongkos saja dalam anggaran belanja, (7)
sistem itu selalu disertai kegoncangan dan krisis, yang sebentar menimbulkan
pengangguran yang sangat luas dengan segala akibat-akibatnya,
[6] Khusus
tentang Komunisme ini akan saya sertakan artikel yang ditulis dalam www.katolisitas.org. Tidak berarti saya
menyetujuinya, namun untuk memudahkan pembahasan bagi peserta KTD.
[7] Uraian
tentang Pan Islam ini akan saya bahas dalam forum hari ini. baca juga makalah
saya di GMNI Medan belum lama dengan titel Tantangan dan Peluang Terkini,
Marhaenisme-Pancasila sebagai Warisan Bung Karno, yang saya lampirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar