Selasa, 02 Maret 2021

JURNALISME BERPERSPEKTIF MARHAENISME

 


 

JURNALISME BERPERSPEKTIF MARHAENISME

Oleh: Reinhard Hutapea.

Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI

Disampaikan pada Dialog Kebangsaan dan Pelatihan Jurnalistik DPD GMNI Sumatera Utara, 7 Maret 2021, Mess Pak-Pak Bharat, Jl Ngumben Surbakti, Medan.

Pengantar Diskusi

Bagi saya jurnalistik itu adalah surat kabar…. Sebagai surat kabar, ia memberikan berita/informasi/kabar sehari-hari kepada pembaca (masyarakat). Berita yang disampaikan sesuai nama/gelarnya “surat kabar” adalah “berita tertulis”. Bukan berita melalui oral/mulut/bacot, atau melalui audio visual/telefon.

Karena ia tertulis, maka ada penulisnya. Penulis ini dikenal dengan sebutan wartawan/pewarta (bukan juru tulis/notulis/penulis-penulis lain). Itulah pengertian jurnalistik menurut saya.

Akan tetapi supaya ada perbandingan dan pengayaan lebih lanjut, baiklah saya kemukakan pendapat beberapa pakar komunikasi Indonesia.

Adinegoro

Jurnalistik adalah kepandaian dalam hal mengarang yang tujuan pokoknya adalah untuk memberikan kabar/informasi pada masyarakat umum secepat mungkin dan tersiar seluas mungkin

Astrid S Susanto

Jurnalistik adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dalam mencatat dan melaporkan serta menyebarkan informasi kepada masyarakat umum. Informasi yang dimaksud berkenaan dengan kegiatan sehari-hari.

Djen Amar

Jurnalistik merupakan kegiatan untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita secepat mungkin dan seluas mungkin kepada khalayak.

            Sebagaimana saya tulis di awal intinya adalah “surat kabar”, surat dan kabar. Kabar yang tertulis, (berita yang tertulis, atau informasi yang tertulis). Sebagaimana dikatakan Adinegoro dalam hal penulisan itu ada kepandaian, yakni kepandaian mengarang, yakni kemampuan membuat tulisan yang logis, etis, dan estetis (pesan filsafat).

Tidak sekedar nulis…tapi tulisan yang enak dan gampang dibaca. Ada “art”, atau seni dalam tulisan itu. Kalau tidak ada (art/seni), orang/khalayak malas/ogah membacanya. Banyak orang pintar, namun tidak bisa menulis secara jurnalistik.

 Prof Dr Ir Paulus Gulo, MH, M Hum, MM, MSi, Mber (ember), Prof Dr Fairuz Munawir Nasution, Ember….Prof Jend Zaidan Noor Nst Ember…Prof Dr Faisal Hadi Pinem….adalah guru besarnya guru guru besar, tapi tulisannya belum pernah nongol di media/pers/koran.

Dinamika Pers Mahasiswa

Sebaliknya, Andus Simbolon,  Jacob Bobo, Sujana, Galuh Kirana Dewi, Lily Bertha, Rahadi Zakaria, (semuanya dari Untag/GmnI Jakarta Raya) Binoto Nadapdap (GmnI APP), Edi Siswoyo (GmnI STP/IISIP/GmnI), Radjoki Sinaga (GmnI UI),  ketika masih mahasiswa di Jakarta, sudah sering nulis di koran.

Tulisan mereka secara rutin gentayangan di harian-harian Jakarta, seperti Terbit, Merdeka, Pelita, Angkatan Bersenjata, Suara Karya, Berita Yudha, Jayakarta, Bisnis Indonesia, Neraca, Suara Pembaruan, Media Indonesia, hingga Kompas (termasuk juga di daerah-daerah, mereka nulis).

 Kalau honor tulisannya sudah turun, biasanya kita ramai-ramai makan nasi padang, bakso, minum kopi, dan beli rokok. Lalu sebagaimana tradisi saat itu, sambal makan/minum diskusi lagi, berdebat lagi,…romantika lagi, dialektika lagi, dinamika lagi,  yang (sadar tidak sadar) membuat bahan tulisan tidak pernah kering/habis.

Begitu pula anggota-anggota Kelompok Cipayung lainnya, seperti HMI, PMII, GMKI, PMKRI, banyak yang menjadi penulis ketika mereka masih aktif diorganisasinya. Keaktifan mereka diskusi, debat, dan diskursus, plus (dan ini yang paling penting) kerakusan mereka membaca, membuat artikel-artikelnya selalu up to date (syarat suatu artikel di media, yakni harus aktual).

Tentu yang paling monumental adalah sosok So Hok Gie, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Seorang demonstran yang ikut menumbangkan Bung Karno, adalah kolumnis kesohor di eranya. Meski ia masih berstatus mahasiswa yang muda-belia, namun tulisan-tulisannya sangat berbobot, bernas, dan menohok ke sasaran.

Kemampuannya yang brilian mengutak kata-kata, tak jarang menjadikan sosoknya melewati kwalitas penulis-penulis/kolumnis-kolumnis senior, termasuk (khususnya) dosen-dosennya. Tak berlebihan kalau Gie disebut sering melewati kompetensi senior, guru, atau khalayak yang lebih dulu darinya.

Di sisi lain, dan ini yang terpenting adalah kritikannya yang tajam terhadap kebijakan atau politik pejabat yang dianggapnya bias, kerapkali membuat para penguasa tersebut merah kupingnya. Gie tak pernah takut, selama yang ditulisnya, dianggapnya benar. Dan itulah kepiawaiannya yang membuat orang senang membaca tulisannya.

Dari uraian-uraian demikian, sedikit banyak, telah terjawab permintaan panitia kepada saya, yakni jurnalistik yang berperspektif Marhaenisme. Artinya bahwa saat itu, aktivis-aktivis GmnI  (sadar tidak sadar), karena aktif menulis, automaticly (dengan sendirinya) telah mengimplementasikan ideologinya secara kongkrit.

Artikel-artikel yang ditulisnya adalah hasil pergumulan dari penggodokan, penggemblengan, diskusi-diskusi rutin yang dijalankan GmnI, plus kerakusan mereka membaca referensi-referensi pendukung tulisannya. Dengan kata lain, sosok-sosok GmnI Jakarta Raya, menulis sesuai, sejalan, dan selaras dengan Marhaenisme, HMI, PMII dengan ideologi Islamnya, GMKI dengan Protestannya, PMKRI dengan keKatolikannya, So Hok Gie dengan Sosialisnya, dan lain-lain ideologi mahasiswa saat itu.

Nuansa yang dinamis, dialektis, dan romantik, sebab mereka-mereka (para aktivis) itu pun saat itu, juga tidak jarang adalah pengelola pers-pers mahasiswa di kampusnya. Siapa yang tidak kenal Balairung, pers mahasiswa UGM, Salemba, pers mahasiswa UI, Citra Patria, pers mahasiswa Untag.

Tidak hanya pers, surat kabar, atau koran mahasiswa, merekapun mengelola penerbitan-penerbitan lain, seperti majalah, tabloid, dan lain-lain jenis penerbitan media kampus. Sayang seribu sayang suasana, nuansa, dan tradisi, seperti itu, nyaris tidak kita dapatkan saat ini.

GmnI sekarang sudah jarang, kalau bukan tidak ada lagi diskusi, diskursus, dan debat-debat. Sekretariatnya sering tutup. Bagaimana kita bicara jurnalistik, gerakan, dan lain-lain instrument olah otak, bila (kalau) kegiatan-kegiatan di sekretariat sendiripun tidak ada? Imposible itu.

Bung Karno sebagai super Jurnalis

Sebagai derivasinya, jadilah seperti sekarang…..lebih besar pasak dari tiang…..eksistensinya sebatas legal formal, atau administratif….punya pengurus, kantor, lambang/simbol, struktur organisasi, dan lain-lain atribut organisasi, namun nyaris disfungsional…..

Mirisnya lagi sampai lupa bahwa guru besar, idola, dan rujukannya, yakni Bung Karno adalah jurnalis agung. Bagaimana tidak seacak kadut demikian? Masuk GmnI, namun tidak pernah membaca Dibawah Bendera Revolusi. Tidakkah semua karangan Bung Karno dalam DBR itu adalah karya jurnalistik? Tidakkah semua tulisan itu di tulis di berbagai surat kabar yang terbit saat itu? seperti:

·        Suluh Indonesia Moeda

·        Fikiran rakyat

·        Panji Islam

·        Pemandangan

·        Etc ?

Jelas dan terang sudah….tidak usah kita cari kemana-mana, teori, konsep, atau paradigma jurnalis yang berperspektif Marhaenisme itu. Ikutin saja praksis-praksis pemimpin besar kita, Bung Karno, lebih dari cukup untuk menjadi jurnalis yang professional. Merdeka

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar