Rabu, 03 Maret 2021

PERTARUHAN REFORMA AGRARIA JOKOWI

 


 

PERTARUHAN REFORMA AGRARIA JOKOWI

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Published, Waspada, 4 Maret 2021

Bagaimana adil bila 1% penduduk menguasai 58 persen pertanahan secara nasional. Tidak-kah itu ketimpangan yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip dan tujuan reforma agraria yang berkeadilan sosial? Apa bedanya dengan kasus pertanahan di era kolonialisme… 

 

Mungkin karena begitu banyaknya isu-issu baru, yang terus menerus gentayangan ditengah-tengah kehidupan sehari-hari, seperti banjirnya Jakarta dan sekitarnya, kontroversi pembuatan undang-undang/legislasi, gonjang-ganjing kudeta AHY, terpasungnya kebebasan berpendapat karena UU ITE, dan terutama terpaparnya kehidupan akibat belenggu Covid-19, membuat masyarakat tak sempat lagi memikirkan hal-hal yang strategis.

Hal-hal elementer, yang diimperatifkan Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945, supaya kehidupan masyarakat, lebih aman, sejahtera, dan cerdas, dibandingkan era kelam sebelumnya (penjajahan/kolonialisme), melalui kebijakan “reforma agraria” (land reform), nyaris tak pernah dituntaskan.

Selalu diperbincangkan, dimasalahkan, dan diupayakan implementasinya, namun yang tampil permanen hanya dari perbincangan, permasalahan, pengikhtiaran ke perbincangan, permasalahan, dan pengikhtiaran berikutnya. Begitu nuansanya terus menerus tanpa henti.

Meminjam “teori sistem”, hanya “dari proses ke proses”….(sekali lagi dari proses ke proses). Tidak dari proses ke keputusan, apalagi ke kebijakan/kemaslahatan (out put). Tuntutan dan dukungan yang selalu datang dari masyarakat (in put), tidak pernah diproses secara demokratis, supaya menjadi kemaslahatan bersama (David Easton, 1950).

Sinyalemen demikian dapat dilihat dari pernyataan begawan/pakar hukum agraria, Maria SW Sumardjono dalam memperingati 60 tahun UUPA baru-baru ini. Beliau gamang bin galau karena pembahasan RUU Pertanahan sebagai pelaksanaan operasional dan teknis UUPA, di DPR yang sudah lama diikhtiarkan, dihentikan pada tanggal 23 september 2019, dan digantikan dengan UU yang bertolak belakang dengannya, yakni UU Omnibus Law/Cipta Kerja yang sungguh-sungguh kontroversial, berkarakter negatif dan destruktif.

Karena keadilan sosial yang menjadi tujuan utama dibentuknya UU Pertanahan makin tak jelas juntrungannya (semakin kabur). Begitu pula, prinsip-prinsip UUPA, yang menjadi master piece pembuatnya, begitu saja ditinggalkan. Tak cukup disitu, putusan MK pun dilanggar, dan prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam yang tertuang dalam Tap MPR No IX tahun 2001 sama sekali tak diakomodasi (K, 22 feb 2020)

Reforma Agraria Jokowi

Lalu bagaimana prospek/nasib Perpres no 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang menjadi bench mark Jokowi? Tidakkah diperpres itu dikatakan dengan jelas bahwa reforma agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia, akan kembali lagi hanya sebagai “slogan, mythos, dan retorika” sebagaimana sebelum-sebelumnya? Tidak ada jawaban yang tunggal.

Yang jelas, selama persoalan elementer dalam keagrariaan tidak diselesaikan, seperti pemilikan jumlah-banyaknya tanah yang dapat dimiliki oleh individu, korporasi, dan badan hukum lainnya tidak dibatasi dengan jelas, reforma agraria akan sukar berkembang, alias jalan di tempat.

Disini sentral dan sumbu masalahnya . Bagaimana adil bila 1 persen penduduk menguasai 58 persen pertanahan secara nasional. Tidakkah itu ketimpangan yang bertolak belakang dengan prinsip dan tujuan reforma agraria yang berkeadilan sosial? Apa bedanya dengan kasus pertanahan di era kolonialisme, yang memberikan keistimewaan kepada individu-individu, partikelir-partikelir, dan korporat-korporat tertentu yang menyengsarakan ribumi?

Tanah sebagaimana amanat rakyat, yang diimplementasikan para perumusnya dalam UUPA No 5 Tahun 1960 berfungsi sosial (tidak liberal-individualistik). Tidak boleh dijadikan komoditi komersil seperti yang marak saat ini, dan, terutama, tanah harus benar-benar diberikan  bagi yang sungguh-sungguh mengerjakan-membutuhkannya.

Orientasi/cita-cita, filosofi, ideologi, bahkan paradigma hukum yang tidak saja berlaku dalam reforma agraria di Indonesia, melainkan secara mondial-universal berlaku di seluruh dunia, terlepas dari ideologi yang dianutnya. Soal bagaimana cara, sistim, atau metode mengimplementasikannya, tentu tiap negara punya cara/sistem tersendiri.

 Konteks seperti itu yang masih jauh dari perjalanan reforma agraria negeri ini. Termasuk di era Jokowi, yang sejak periode pertama pemerintahnnya telah mengadopsi reforma agraria sebagai programnya. Begitu pula dalam periode keduanya, reforma agraria, tetap mendapat tempat yang layak. Akan tetapi mengapa cenderung jalan ditempat pada hal sudah menjadi kebijakan politik  presiden?

Penyebabnya kecenderungnnya tidak tunggal atau parsial, melainkan sudah akut dan sistemik. Menurut Gunawan Wiradi(2005), macetnya reforma agraria yang terjadi sejak dulu hingga saat ini adalah akibat warisan politik hukum Orde Baru, yang merubah semangat, prinsip, atau tujuan reforma agraria, yang sebelumnya berfungsi sosial, menjadi komoditas ekonomi  strategis an sich (semata-mata) untuk memenuhi kebutuhan pemodal, terutama pemodal asing.

Sebagai derivasinya rakyat ditekan/dilarang bicara agraria. Bahkan dengan tragisnya, jika coba-coba memperjuangkan orientasi reforma agraria, akan dituding sebagai komunis, yang membuat rakyat ketakutan dan penuh trauma, apalagi saat itu aparat aktif melakukan intimidasi.

Trauma atau ketakutan, yang meski Orde Baru sudah tumbang, masih tetap dirasakan, sebab yang berkuasa kemudian masih penuh dengan anasir-anasir sebelumnya, yakni elit-elit atau kalangan-kalangan yang mendapat keuntungan dari rezim Orde Baru/Soeharto. Dengan kata lain, Orde Baru/Soeharto tumbang, tapi tidak dengan rezimnya.

Rezimnya masih mewarnai, kalau bukan menguasai pemerintahan-pemerintahan selanjutnya, yaitu pemerintahan – kekuasaan era reformasi. Reformasi politik yes, reformasi ekonomi no. Kekuatan ekonomi masih mayoritas dipegang kekuatan-kekuatan eks Orde Baru, yang dapat konsesi (privilege) selama Soeharto berkuasa.

Sebatas Geliat

Meminjam paradigma Marxian, yakni ekonomi menentukan politik, aktor-aktor ekonomi eks Orde Baru demikian, step by step, namun pasti, kembali lagi (come back) mewarnai pentas politik (baca: Kekuasaan). Fenomenanya sangat jelas, ketika Gus Dur dilengserkan dari singgasana kekuasaan dan digantikan Megawati, pola-pola ekonomi politik yang ditempuh dalam era Soeharto kembali lagi berjaya.

Dan semakin berjaya ketika SBY naik ke takhta/singgasana kekuasaan. Ekonomi Indonesia tetap berorientasi pasar bebas (free market) dengan mantra-mantra Washington Consensus, seperti deregulasi, privatisasi, liberalisasi (Stiglitz, 2001), yang popular dengan sebutan “neolib”.

 Singkatnya semangat ekonominya masih terbelenggu neolib, atau liberal-kapitalis nan super individualistik (Gunawan Wiradi, 2005, Maria SW Sumardjono, 2020). Lalu muncul tuntutan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan, melalui penataan asset yang disertai penataan akses, sebagaimana definisi reforma agraria dalam Perpres no 86 tahun 2018? Tidakkah terlalu jauh?

Jelas sangat jauh, namun itu adalah perintah konstitusi (Pasal 33 ayat 3, UUD 1945) yang harus diperjuangkan apapun taruhannya. Political will Jokowi yang sudah take off, meski sangat tertatih-tatih, atau sebatas geliat harus kita dukung. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar