Minggu, 02 Mei 2021

 


 

FEODALISME VERSUS DEMOKRASI

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA, Medan

Pubished, Waspada, 3 Mei 2021

 

…telah terjadi pembatasan kerja-kerja nurnalis di Balai Kota. Seperti pembatasan jumlah pertanyaan yang hendak/akan diajukan, waktu wawancara yang dipersempit

 

Harian ini (Waspada, 16 April 2021), memuat tema “Wartawan Unjuk Rasa Di Pemko Medan”. Para wartawan menuntut Walikota Medan, Muhammad Bobby Afif Nasution meminta maaf atas arogansi Paspampres, Satpol PP, dan Polisi yang ada di Balai Kota, sebab, tim pengamanan menantu Presiden tersebut terkesan menghalang-halangi (mengusir?) wartawan yang ingin mewawancarai Bobby dengan pola doorstop (cegat langsung).

Mengapa terjadi seperti itu? Tidakkah pola doorstop telah menjadi kelaziman dalam kerja-kerja jurnalistik, yang sudah berjalan pada era-era Wali Kota sebelumnya? Mengapa Wali Kota baru kecenderungannya birokratik-legalistik nan patrimonial, sebagaimana pamflet-pamflet unjuk rasa yang berbunyi; Walikota rasa presiden,panglima talam, Bobby jangan halangi kerja wartawan, Medan nggak berkah kalau banyak panglima talam, Tuan Wali Kota jangan Warisi Paham Kolonial ?

Menurut Kabag Humas Pemko Medan, Arrahman Pane, yang hadir pada aksi unjuk rasa tersebut menyatakan, tidak ada pengusiran terhadap wartawan, melainkan hanya “miss komunikasi” saja. Miss komunikasi yang melesat, karena rekan-rekan wartawan yang mau wawancara walikota tidak koordinasi lebih dulu ke Humas, dan ada wartawan yang meliput tidak memakai ID card (kartu pengenal).

Sebaliknya komandan Paspampres yang dikonfirmasi di Jakarta, mengatakan bahwa memang terjadi pengusiran wartawan oleh pasukan/anggota Paspampres, karena para wartawan tidak mengikuti prosedur yang berlaku, yakni belum ada perjanjian lebih dulu antara Wali Kota dan Wartawan, dan wartawan yang hendak wawancara, juga tidak mengenakan tanda pengenal (ID card)

Belum Punya Format

Jadi miss komunikasinya tidak lagi tunggal, melainkan sudah melebar jadi dua, yakni miss komunikasi yang disampaikan Kabag Humas, Arrahman Pane kepada wartawan untuk disampaikan kepada masyarakat sebagai informasi resmi, dan antara Arrahman Pane dengan Paspampres yang distortif.

Mungkin karena ewuh pakewuh (segan) dengan paspampres,  Arrahman Pane dengan diplomatis menyatakan tidak ada pengusiran terhadap para kuli tinta, meski sesungguhnya terjadi pengusiran. Dengan rekayasa pesan (message), Arrahman Pane berkilah bahwa yang terjadi hanyalah, tidak ada koordinasi sebelumnya dengan Humas dan para wartawan yang tidak memakai ID card, urainya.

 Sebaliknya dengan apa adanya, tanpa diplomasi, melainkan tembak langsung, komandan Paspampres, Mayjen Agus Subianto, mengakui memang terjadi pengusiran oleh anggotanya terhadap wartawan, karena sesuai dengan prosedur/aturan/SOP, pengawalan keluarga Presiden, yang berlaku selama ini.

Akan tetapi jika dipertanyakan lebih lanjut atau lebih jauh, bagaimana sesungguhnya pengawalan Paspampres terhadap keluarga presiden yang bertepatan menjadi tokoh publik/tokoh pemerintahan, sudah pasti akan menimbulkan perdebatan panjang baru. Apakah (misalnya) paspampres dapat bertindak langsung, tanpa koordinasi lebih dulu dengan pengawal-pengawal Walikota seperti, Satpol PP dan Polisi yang berlaku sebelum-sebelumnya, atau jangan-jangan sesungguhnya Satpol PP dan Polisi yang minta bantuan paspampres, karena kurang diindahkan peringatannya oleh para wartawan.

Sekian pertanyaan yang menantang masih dapat dikemukakan sekian banyak lagi, namun yang pasti, nuansa/suasana ini adalah konstalasi baru yang belum pernah terjadi, sebab pada era ini ada keluarga presiden yang menjadi Walikota (Medan dan Solo). Namanya yang baru, sudah pasti akan mengalami hambatan-hambatan/kerikil-kerikil yang belum terpikirkan sebelumnya.

Begitu pula jika dipertanyakan lebih “substantif-fungsional”, apakah Pemerintah Kota Medan, sudah punya “kebijakan dan format” baru dalam kehumasan atau public relationsnya setelah menantu Presiden menjadi Wali Kota? Tidakkah itu sudah diantisipasi jauh-jauh hari?

Hal ini dipertanyakan mengingat informasi yang beredar, sebagaimana diutarakan anggota DPRD Medan dari fraksi PKS, Rudiyanto Simangunsong (SIB, 23 April 2021), telah terjadi pembatasan kerja-kerja jurnalis di Balai Kota, seperti pembatasan jumlah pertanyaan yang hendak/akan diajukan, waktu wawancara yang dipersempit, jadwal kerja Wali Kota yang tentatif ( tidak transparan), sehingga wartawan kesulitan mengaksesnya, dan lain-lain kiat mengurangi hingga menghindari pertemuan dengan wartawan.

Sinyalemen demikian dapat dilihat dari keterangan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumut, Hermansyah, ketika menanggapi aksi unjuk rasa wartawan tersebut. Hermansyah mengatakan;….seharusnya dia kalau nggak mau doorstop, buat kegiatan yang bisa menjadi saluran untuk wartawan bertanya visi- misinya sebagai Wali Kota.

Sebagai pamungkas bahwa memang belum ada kebijakan dan format kehumasan yang baru di Balai kota dapat dilihat dari pengakuan sejumlah jurnalis yang bertugas di Pemko Medan pada tanggal 21 April 2021 yang lalu. Mereka bingung dengan sebuah video mengenai prosedur wawancara system doorstop terhadap Walikota Medan, M Bobby Afif Nasution yang beredar di akun Instagram resmi, milik Humas Pemko Medan @humaspemkomedan.

Video berdurasi 1 menit 34 detik itu di unggah di akun Instagram resmi Humas pemko Medan pada Rabu (21/4) dini hari. Namun selang beberapa jam, setelah video itu beredar, Pemko Medan justru menghapus video tersebut hingga tak bisa di akses lagi (SIB, 23 April 2021). Mengapa? Konon karena pihak Pemko masih melakukan sejumlah revisi pada video itu.

Jelas disini “hulu atau akar” miss komunikasinya, yakni Pemko Medan belum punya format baru dalam kebijakan Humasnya. Mereka belum mengantisipasi, ketika seorang keluarga presiden menjadi Wali Kota, dimana pengawalannya tidak sebagaimana Wali Kota-Walikota sebelumnya, yang hanya dikawal Satpol PP dan Polisi.

Feodalisme versus Demokrasi

Hulu masalah yang jika di tilik lebih dalam, tidak (sekedar) terkait sistim komunikasi/informasi, melainkan sistim pemerintahan secara keseluruhan. Artinya apakah pemerintahannya, selama ini sungguh-sungguh menjalankan fungsi dan tugasnya secara konstitusional atau belum. Meminjam teori ilmu pemerintahan, atau ilmu politik, apakah pemerintahannya telah menjalankan demokrasi atau tata kelola good governance (berdasarkan Pancasila dan UUD 1945)  

Jika jawabannya sudah, yakni telah konstitusional, demokratis, dan good govrnance, maka komunikasinya akan rasional, terbuka, dua arah, dan (lazimya) dilakukan dengan tatap muka. Jika tidak atau sebaliknya, maka yang mengemuka adalah irrasional, tertutup, satu arah (otoritarian), dan tanpa tatap muka (apalagi doorstop).

Melihat realita-empiriknya di Indonesia sebagaimana ditengarai Kongres Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) tahun 1990 di Ujung Pandang, komunikasi pemerintahan di negeri ini relatif masih dominan tertutup. Baik yang berlangsung antara elit politik dengan anggota masyarakat, atau antara elite dengan elite.

Artinya komunikasi pemerintahannya masih jauh dari nilai-nilai demokratis yang rasional, terbuka, dua arah, dan dipraksiskan dengan tatap muka, melainkan cenderung masih hipokrit, satu arah, tertutup, otoriter, alias feodal-patrimonialistik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar