Selasa, 15 Juni 2021

BK KP VIII, KOMUNIKASI PEMERINTAHAN

 


 

BK KP VIII, KOMUNIKASI PEMERINTAHAN

KULIAH KE-8, 16 Juni  2021

JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

====================================================

Cat: bacalah materi kuliah ke-8 ini dengan seksama. Setelah itu jawablah pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalamnya dalam WA group, di WA grop, bkan di WA saya, dan selanjutnya kita diskusikan secara bersama.

 

HUBUNGAN ATAU KOMUNIKASI

 NEGARA DAN MASYARAKAT

 

Pengantar

        Pada kuliah-kuliah yang lalu sudah dijelaskan makna, paradigma, kelembagaan atau format komunikasi pemerintahan. Dari ilustrasi-ilustrasi yang diberikan, para mahasiswa dianggap telah memahaminya.

            Namun karena komunikasi pemerintahan sangat dekat dengan ilmu politik, maka yang utama dipahami adalah bagaimana sistim politik yang berlangsung (yang melingkup) dalam komunikasi itu. Tidakkah komunikasi pemerintahan sesungguhnya adalah bagian dari sistim politik?

            Menurut Gabriel Almond, komunikasi pemerintahan/politik adalah salah satu dari tujuh fungsi yang dijalankan oleh setiap sistem politik. Lebih jelasnya Almond mengatakan:

All of the function performed in the political system – political socialization and recruitmen, interest articulation, interest agregation, rule making, rule application, and rule adjudication – are performed by means of communications

            Untuk melengkapinya perlu dikemukakan makna sistim politik menurut David Easton, yakni …sistem interaksi dalam tiap masyarakat dimana di dalamnya terdapat alokasi yang mengikat atau yang mengandung otoritas dibuat dan diimplementasikan

            Gabriel Almond mendefinisikannya sebagai berikut…..sisteminteraksi yang terdapat dalam semua masyarakat merdeka yang menjalankan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik secara internal maupun dalam berhubungan dengan masyarakat lain) dengan alat-alat atau ancaman paksaan fisik, yang kurang lebih absah.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik (Maswadi Rauf,1993:22

            Pertanyaan kemudian adalah bagaimana sistem politik, atau khususnya sistem pemerintahan kita?

  • Demokratiskah?
  •  Patrimonialkah?
  • Sesuaikah dengan yang tertulis dalam UUD 1945?
  • Atau,,,,,atau…..?

Pembahasan/analisisnya cukup kompleks…..namun sebelum sampai kepada pembahasan itu bacalah artikel dibawah ini

 

MERAWAT RELASI NEGARA – MASYARAKAT

Boni Hargens

Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)

Mengajar di sejumlah universitas di tanah air

Kompas 14 Juni 2021

 

Selain menyejahterakan rakyat, apa agenda teleologis negara demokrasi yang memungkinkan alibi dan narasi kekuasaan mendapatkan justifikasi moral dalam beragam situasi kontroversial?

            Mungkinkah relasi negara-masyarakat berada pada titik keseimbangan yang harmonis? Tahun 1956, sosiolog Amerika serikat, Wright Mills (1916-1962) menerbitkan naskah berjudul “The Power Elite”, elite kekuasaan.

            Pada bagian awal, Mills berbicara soal hidup banyak orang yang acapkali tidak dibentuk oleh kehendak dan rancangan sendiri, tetapi diciptakan oleh kepentingan segelintir orang yang lebih berkuasa daripada kebanyakan dalam masyarakat, terutama pada gatra politik dan ekonomi. Mereka ini yang disebutnya “elite kekuasaan” atau “orang-orang hebat” (great men) dalam Bahasa sejarawan budaya Swiss, Carl Jacob Christoph Burchardt (1818-1897). Meski berbicara soal dinamika demokrasi Amerika serikat padanya, tesis Mills selalu relevan dalam berbagai konteks.

        Membaca relitas sosial-politik dalam paradigma kekuasaan, terutama jika diletakkan dalam persfektif elitis, sebetulnya membaca dua kelas: “yang berkuasa” dan “yang dikuasai”. Demokrasi sejak awal, mewartakan esensi kedaulatan rakyat sebagai roh utama dari demokrasi – yang dalam praksis dipercayakan kepada segelintir wakil yang duduk dalam ruang kekuasaan untuk bertindak atas dasar dan demi kemaslahatan rakyat (an sich)

            Sejarah membuktikan, di tangan elite politik, naluri kekuasaan tak selalu slaras dengan esensi moral dari kekuasaan per se. Sebagian elite bertindak “atas nama rakyat” untuk mengenyankan diri. Korupsi politik dan politisasi identitas kelompok, terutama politisasi agama, merupakan contoh praksis pragmatis yang mengikis kandungan moral kekuasaan.

Tanggalkan isu dangkal

Kita baru di ujung prah pertama 2021, wcana pemilihan presiden 2024 sudah menguat. Nama-nama bahkan bersileweran di media massa. Di tengah pandemic yang memunculkan bervariasi keresahan social, kita disuguhi berita politik dangkal, tempral, dan jauh dari pergumulan hidup rakyat jelata.

Sebagaian orang merasa itu dinamika biasa. Pasalnya, politik selalu berbicara siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Namun hal yang bisa disangkal, pengadilan moral berlangsung dalam wilayah Nurani. Setiap kita yang memiliki kepedulian etis terhadap bangsa dan negara tentu tidak bahagia dengan tontonan serupa.

Bagi seorang negarawan, keselamatan rakyat dan kepentingan negara adalah dua realitas yang tak terpisahkan, bahkan saling mensyarati. Tanpa keselamatan rakyat, negara serentak kehilangan esensi ontologis dan tujuan teleologisnya. Sebaliknya, tanpa merawat kepentingan negara (konstitusi, kebijakan,keamanan perangkat negara, keutuhan wilayah, ketahanan ideologi, dan sebagainya), mustahil keselamatan rakyat terwujud.

Apakah salah kalau ambisi politik elite selalumendominasi berita media massa? Ini bukan perkara salah atau benar, melainkan perihal etis atau tidak. Pemerintahan Joko Widodo baru berakhir tiga tahun lagi. Di tengah kompleksitas social hari ini, rakyat berada di titik paling rawan. Dituntut imajinasi moral dan tanggung jawab etis dari elite politik untuk memprioritaskan nasib rakyat dari pada agenda praktmatis pemilu yang masih jauh.

Kemelut relasi negara-masyarakat

Situasi hari ini tidak sesederhana kelihatannya. Benturan social yang keras sebelum dan setelah Pemilu 2019 masih menyiskan turbulensi berkelanjutan yang, bagaimanapun, berpotensi sebagai bom waktu di masa depan. Radikalisme, terorisme, dan separatism merupakan ancaman kasat mata yang dihadapi bangsa dan negara. Konsolidasi di tengah masyarakat dan di tataran elite belum tuntas dalam merespons tiga ancaman tersebut.

Otonomi khusus untuk Papua masih mendapat perlawanan keras. Saat yang sama, isu radikalisme mengalami politisasi kebablasan, terutama oleh sebagian oposisi politik. Hal ini dapat melemahkan kerja deradikalisasi yang sudah berjalan. Sebagian oposisimenilai radikalisme adalah terminology bentukan rezim untuk membungkam lawan politik. Pandangan macam itu tentu masalah serius, bahkan lebih berbahaya daripada radikalisme itu sendiri.

Narasi ketidakadilan yang diusung kelompok populis kanan, terutama setelah Arab spring sukses di Timur Tengah setelah gebrakan besar di Tunisia tahun 2010, terus meningkatkan ketegangan konfliktual dalam relasi negara-masyarakat. Ini persoalan yang melampauai urusan pemilu. Ironisnya, Sebagian elite politik memperlakukan isu maca mini sebagai amunisi electoral.

Para sarjana terus berdebat soal apakah konsolidasi demokrasi sejak 1998 sudah berhasil atau berjalan di tempat. Kapan kita bisa keluar dari fase transisi politik? Erdebatan epistemologis macam ini memiliki  memiliki implikasipraktis yang mendalam. Ujungnya kita akan berbicara soal keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beragam Lembaga tambahan yang dibentuk untuk mendorong percepatan konsolidasi demokrasi di negara post otoritarian.

Dalam sebuah diskusi public, saya katakana sebagai respons terhadap seorang aktivis social, konsolidasi demokrasi belum tuntas. Indicator utamanya adalah keberfungsian pranata dasar demokrasi yang kita kenal sebagai “trias politik”. KPK hakikatnya lembga ad hock, sementara. Dia bisa dibubarkan Ketika yudikatif dinilai sudah kuat untuk menjalankan fungsi penegakan hukum.

Faktum korupsi politik yang masih menggurita tentu membawa kita jauh darililin di ujung terowongan yang gelap. Implikasinya, keberadaan KPK masih dibutuhkan, butuh terus didukung, dan diperkuat.

Apakah test wawasan kebangsaan (TWK) merupakan ancaman? Dalam konteks particular, kompleksitas social tak bisa diatasi dengan sudut pandang tunggal. Ada persoalan radikalisme yang mengancam ketahanan ideologi Pancasila di satu sisi-dan telah lama menjalar dibanyakinstitusi negara, dan ada kebutuhan penciptaan pemerintahan yang bersih di lain sisi. Keduanya fundamental dan sedapat mungkin diatasi secara bersamaan.

Dalam lens aini, TWK perlu dilihat secara optimistis sebagai upaya memperkuat keberadaan dan peran KPK, terutama dalam hal menjaga komitmen moral orang-orang didalamnya untuk berkibalat pada ideologi negara, bukan pada ideologi lain-meskipun sepintas tujuannya kelihatan serupa! Tujuan sama tak membenarkan perbedaan pendekatan. Perjuangan melawan korupsi harus diletakkan dalam kerangka ideologi negara, bukan pada ideologi lain.

Meski demikian, keresahan tentang pelemahan KPK, setelah adanya peralihan status pegawai independent menjadi aparatur sipil negara (ASN), perlu menjadi refleksi seluruh elemen, terutama masyarakat sipil, dalam peran pengawasan terhadap kekuasaan.

Rekomendasi

Rumitnya hubungan negara-masyarakat hari ini mencerminkan ketidaksebangunan (incongruence) dalam sejumlah aspek. Pertama, ada pertentangan antara paradigma negara dan masyarakat terhadap sejumlah isu strategis seperti TWK. Dalam situasi maca mini, sulit adanya harmoni pandangan.

Maka, sebaiknya isu TWK dikesampingkan dan kita Kembali pada aturan hukum yang sudah baku sambal menanti pebuktian KPK dalam hal penguatan kinerja. Protes masyarakat perlu diterima sebagai refleksi sepanjang itu baik untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Kedua, kesan adanya relasi konfliktual antara negara dan masyarakat menguat sejalan dengan penegakan hukum yang berjalan dengan tegas terhadap kelompok oposisi politik terutama oposisi jalanan terseret kasus ujaran kebencian, tindak pidana kekerasan, dan propaganda radikal. Meski negara benar, strategi keseimbangan tetap dibutuhkan untuk mencegah ketegangan menjadi bom waktu dimasa depan.

Ketiga, ketegangan relasional negara-masyarakat tentu tak terpisahkan dari agenda Pemilu 2024. Isu ketidakadilan, perlawanan terhadap pemerintah, dan beragam propaganda di runag public perlu dievaluasikritis untuk membedakan permainan politik dari suara murni rakyat.

Keempat, perlu pembenahan komunikasi pemerintah, terutama dalam merespons serangan oposisi di media massa. Scenario penggalangan sering kali lebih efektif dibandingaknstrategi ofensif. Kritik keras perlu direspons dengan cara yang berbeda dengan tetap menjaga keseimbangan frekuensi supaya wibawa negara tidak diremehkan.

Berikut, promosi prestasi pemerintah dan kerja keras apparat negara adalah upaya alternatif untuk menekan perlawanan opposisi politik tanpa masuk ke arena konflik yang sengaja diciptakan. Ada banyak contoh untuk ini. Pembangunan massif di Papua adalah bentuk kontribusi konkrit pemerintah melawan propaganda kaum separatis.

Terowongan penghubung Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta adalah upaya membangun monument toleransi. Pendekatan positif macam ini perlu ditingkatkan, bukan untuk menang atas opposisi, melainkan untuk membawa relasi negara-masyarakat pada titikkeseimbangan yang harmonis. Selain itu, terutama, untuk merawat persepsi kolektif tentang keindonesiaan kita yang demokratis, toleran, dan cinta damai.

 

P E R T A N Y A A N

1.      Jelaskan dengan singkat apa yang dimaksud dengan sistim politik

2.     Menurut Gabriel Almond ada 7 kategori sistim politik. Jelaskan secara singkat ke tujuh kategori tersebut

3.     Apa perbedaan sistim politik dengan negara atau pemerintahan, uraikan secara singkat

4.    Menurut Boni Hargens, bagaimana hubungan antara masyarakat dan negara. Jelaskan secara singkat

5.     Apa yang saudara tidak pahami dari uraian-uraian di atas. Tulis di WA group ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar