Senin, 18 Oktober 2021

MS2, SKP, SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

 


 

MS2, SKP, SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

KULIAH II, 19 Oktober 2021

JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

Catatan

Bahan atau materi untuk kuliah kedua ini “Sejarah Dan Perkembangan Partai Politik” diambil dari bukunya Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ed revisi, 2013, Gramedia, Jakarta, hal 397 sd 403. Buku ini sebaiknya dimiliki setiap mahasiswa, sebab satu-satunya buku Ilmu Politik yang sangat lengkap dengan konsep-konsep politik, yang ditulis orang Indonesia.

Kuliah kedua ini tekanannya kepada teori, yakni sejrah dan perkembangan partai politik. Agar dibaca dengan seksama, dianalisis, dibandingkan dengan keadaan di Indonesia, supaya paham apa makna dan hakiki partai politik.

Selanjutnya jawablah pertanyaan-pertanyaan yang ada di bagian bawah, dan di kirim ke WA group. Bila ada pertanyaan-pertanyaan, tanggapan, komentar, silakan ajukan via WA, saya layani selama jam kuliah berlangsung.

 

Pengantar.

Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik suda sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai poltik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih mudah dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modern.

Sebagai subjek penelitian ilmiah, partai politik tergolong relative muda/baru. Baru pada awal abad ke-20 studi mengenai masalah ini dimulai. Sarjana-sarjana yang berjasa memelopori antara lain adalah M. Ostrogorsky (1902), Robert Mitchels (1911), Maurice Duverger (1951), dan Sigmund Neumann (1956). Setelah itu, berbagai sarjana behvioralis, seperti Joseph Lapalombara dan Myron Weiner, secara khusus meneropong masalah partai dalam hubungannya dengan pembangunan politik. Kedua sarjana ini kemudian menuangkan pemikiran dan hasil studinya dalam bukunya yang berjudul Political Parties and Political Development (1966). Di samping itu G. Sartori dengan bukunya Parties and Party Systems: A Framework Fir Analysis (1976) merupakan ahli lebih kontemporer yang terkenal.

Dari hasil karya sarjana-sarjana ini Nampak adanya usaha serius kearah penyusunan suatu teori yang komprehensif (menyeluruh) mengenai partai politik. Akan tetapi, sampai pada waktu itu, hasil yang di dapat masih jauh dari sempurna, bahkan bisa dikatakan tertinggal, bila dibandingkan dengan penelitian-penelitian bidang lain dalam ilmu politik.

 

Sejarah Perkembangan Partai Politik

Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan factor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.

Pada awal perkembangannya, pada akhir decade 18-an di negara-negara Barat seperti Inggris dan Perancis, kegiatan politik dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifat elitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja.

Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum (kadang-kadang dinamakan caucus party). Oleh karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari pelbagai golongan masyarakat, kelompok-kelompok politik diparlemen lambat laun juga berusaha mengembangkan organisasi massa. Maka pada akhir abad ke-19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya berkembang menjadi penghubung (link) antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.

Partai semacam ini dalam praktiknya hanya mengutamakan kemenangan dalam pemilihan umum, sedangkan masa antara dua pemilihan umum biasanya kurang aktif. Lagi pula partai sering tidak memiliki disiplin partai yang ketat, dan pemungutan iuran tidak terlalu dipentingkan. Partai ini dinamakan patronage party (partai lindungan yang dapat di lihat dalam rangka patron-client relationship), yang juga bertindak sebagai semacam broker. Partai mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota maka dari itu ia sering dinamakan partai massa. Oleh karena itu ia biasanya terdiri atas pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat, yang sepakat untuk bernaung di bawahnya untuk memperjuangkan suatu program tertentu. Program ini biasanya luas dan agak kabur karena harus memperjuangkan terlalu banyak kepentingan yang berbeda-beda. Contoh Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat.

Dalam perkembangan selanjutnya di dunia Barat timbul pula partai yang lahir di luar parlemen. Partai-partai ini kebanyakan bersandar pada suatu asas atau ideologi atau Weltanschaung tertentu seperti Sosialisme, Fasisme, Komunisme, Kristen-Demokrat dan sebagainya. Dalam partai semacam ini disiplin partai lebih ketat

Pimpinan partai yang biasanya sangat sentralitas menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyimpang dari garis partai yang telah ditetapkan. Maka dari itu partai semacam itu sering dinamakan Partai Kader, Partai Ideologi, atau Partai Asas (Sosialisme, Fasisme, Komunisme, Sosial Demokrat). Ia mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijakan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang ketat dan mengikat.

Pendidikan kader sangat diutamakan dalam partai jenis ini. Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi anggota pimpinan diisyaratkan lulus melalui beberapa tahap seleksi. Unuk memperkuat ikatan batin dan kemurnian ideologi, maka dipungut iuran secara teratur dan disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaran-ajaran serta keputusan-keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan. Partai Kader biasanya lebih kecil dari partai massa.

Akan tetapi pembagian tersebut di atas sering dianggap kurang memuaskan karena dalam setiap partai ada unsur lindungan (patronage) serta perantara (broker) disamping pandanagn ideologi/asas/pandangan hidup, sekalipun dalam takaran yang berbeda.

Pada masa menjelang Perang Dunia I telah timbul klasifikasi partai berdasarkan ideologi dan ekonomi yaitu Partai Kiri dan Partai Kanan. Konsep Kiri versus Kanan telah mengundang banyak perumusan maupun tafsiran yang berbeda-beda. Akan tetapi konsep ini sudah begitu diterima oleh masyarakat sehingga tidak dapat diabaikan dalam analisis politik.

Pembagaian Kiri versus Kanan berasal dari Revolusi Perancis waktu parlemen mengadakan sidang pada tahun 1879. Para pendukung raja dan struktur tradisional duduk di sebelah kanan panggung ketua, sedangkan mereka yang ingin perubahan dan reformasi duduk di sebelah kiri. Jika dewasa ini pengertian Kiri/Kanan digambar dalam suatu spektrum linier, maka terdapat di satu ujung sikap “extrim Kiri” (yaitu campur tangan negara dalam kehidupan sosial dan ekonomi secara total dan diujung yang lain sikap extrim Kanan (pasar bebas secara total). Diantara dua extrim ini terdapat banyak nuansa.

Bagan dibawah ini memperlihatkan dengan sangat sederhana perbedaan antara ideologi “Kiri” dan “Kanan”

K i r i

Kanan

Perubahan, kemajuan

Kesetaraan (equality) untuk lapisan bawah

Campur tangan negara (dalam kehidupan social/ekonomi)

Hak

Status quo, konservatif

Privilege (untuk lapisan atas)

 

Pasar bebas

 

Kewajiban

 

Akhir -akhir ini ada perkembangan baru dalam konstalasi kepartaian. Menjelang Perang Dunia II, tetapi terutama seusai perang tersebut, ada kecenderungan pada partai-partai politik di dunia Barat untuk meninggalkan tradisi membedakan antara berbagai jenis partai (seperti patronage vs ideologi/Weltanschaung, massa vs kader, dan Kiri vs Kanan). Hal itu disebabkan ada keinginan pada partai-partai kecil ntuk menjadi partai besar dan menang dalam pemilihan umum. Partai-partai itu menyadari bahwa unuk mencapai tujuan itu mereka perlu memperluas dukungan dari pemilih (electoral base). Dengan merangkul pemilih tengah (median voter atau floating voter), antara lain dengan patronage dan brokerage. Ternyata mereka berhasil memenangkan pemilihan umum, membentuk pemerintahan baru, dan melaksanakan program partainya. Hal itu dimungkinkan dengan mengendorkan sikap doktriner, kaku, dan eksklusif yang tadinya mereka pegang teguh menjadi fleksibel dan inklusif.

Jadi, di negara Barat yang sudah mapan ada kecenderungan ideologi ekstrim “Kiri” bergeser secara sentripetal ke sisi tengah (trend to the center), dan tidak lagi terlalu bersifat “Kiri” (yang ingin perombakan). Begitu pula pihak ekstrim “Kanan” mengalami kecenderungan centripetal ke tengah, dan dengan demikian tidak terlalu menekankan sifat “Kanannya” (konservatif). Dengan demikian, mulai tahun 60-an terjadi semacam konvergensi antara “Kiri dan Kanan”. Hal ini oleh Otto Kircheimer dinamakan “de ideologisasi” partai-partai

Konvergensi ini terutama terjadi pada partai-partai Sosial Demokrat di Jerman (Social Democate Party atau SDP). Partai Sosial Demokrat di Skandinavia, dan New Labour Party di Inggrs, sedangkan Christian Democratic Union (CDU) menjadi center Right.

Selain itu, seorang tokoh ilmu politik Anthony Downs dalam bukunya yang sangat terkenal An Economic Theory of Democracy (1957) menguraikan bahwa konvergensi dari “Kiri” dan “Kanan” mempunyai dampak jumlah pemilih, yaitu bahwa lebih banyak konvergensi menghasilkan kenaikan pemilih, sedangkan lebih sedikit konvergensi menghasilkan kenaikan pemilih.

Karena perkembangan ini, telah timbul sejenis partai modern yang oleh Otto Kircheimer disebut catch-all party, yaitu partai yang ingin menghimpun semaksimal mungkin dukungan dari bermacam-macam kelompok masyarakat dan dengan sendirinya menjadilebih inklusif. Timbulnya partai catch – all party mencerminkan perubahan dalam keadaan politik dan social, terutama dengan kemajuan teknologi dan dampak dari televisi. Ciri khas dari partai semacam ini ialah terorganisasi secara professional dengan staf yang bekerja penuh waktu, dan memperjuangkan kepentingan umum daripada kepentingan satu kelompok saja. Contoh dari partai jenis ini adalah New Labour Party di Inggris dan Partai Republik serta Partai Demokrat di Amerika Serikat. Begitu pula partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Indonesia dapat disebut catch-all party.

Kembali ke istilah de-ideologisasi yang telah disebut diatas, menarik untuk disimak bahwa di dunia Barat pada saat yang sama telah timbul suatu debat yang dinamakan The end of Ideology Debat. Debat itu dipicu oleh jatuhnya fasisme sesudah Perang Dunia II, disusul dengan mundurnya komunisme. Dua sarjana Amerika yang perlu disebut dalam hubungan ini ialah Daniel Bell dan Francis Fukuyama.

Daniel Bell (1960) dalam bukunya The End of Ideology: On Exhausition of political Ideas in the Fifties menguraikan bahwa:

Di Barat, ada consensus diantara para intelektual tentang masalah politik, yaitu: diterimanya negara kesejahteraan (Welfare State); diidamkannya desentralisasi kekuasaan; sebuah system ekonomi campuran (mixed economy) dan pluralism politik (political pluralism). Dengan demikian masa ideologi telah berakhir.

Consensus ini, menurut Bell, telah mengakhiri debat mengenai ideologi secara tuntas. Konsesnsus yang dimaksud menyangkut konsep para social democrat mengenai perlunya melaksanakan Welfare Economics melalui konsep Welfare State, dimana sumber daya negara didistribusikan dengan lebih adil sehingga mengurangi kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya. Di Inggris kadang-kadang konsep ini dinamakan Keynesian Welfare Consensus, karena merupakan campuran dari pemikiran para tokoh social democrat dan pemikiran Lord Maynard Keynes yang menekankan perlunya memperluas lapangan kerja. Menurut Bell consensus ini telah mengakhiri debat besar yang selama lebih dari sepuluh tahun memecah belah masyarakat dunia Barat. Oleh Bell situasi ini dinamakan The end of Ideology, sebab tidak ada lagi pemikiran skala besar (big ideas) yang perlu dipertentangkan

Kira-kira tiga puluh tahun kemudian, Francis Fukuyama (1989), meneruskan pemikiran ini dan memaparkan ide-idenya dalam tulisannya The End of History. Fukuyama melangkah lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa globalisasi yang sedang melanda seluruh dunia akan mendorong tersebarnya demokrasi ala Barat di dunia luas, dan bahwa majunya ekonomi pasar akan diikuti dengan diterimanya prinsip-prinsip demokrasi liberal secara universal.

Teori Fukuyama mengundang banyak kritik dari berbagai pihak karena dianggap terlalu meremehkan segi-segi negative dari globalisasi. Karena itu Fukuyama merasa perlu untuk menulis suatu penjelasan dalam The End of History and the Last Man (1992)

Samuel Huntington merupakan salah seorang yang membantah teori Fukuyama dan mengatakan bahwa perkembangan di negara-negara Barat tidak merupakan gejala universal, yang pasti akan diikuti seluruh dunia.

 

PERTANYAAN

1.   Jelaskan apa yang dimaksud dengan “patronage party”

2.   Idem no 1, “Weltanchaung”

3.   Apa yang dimaksud dengan “Partai Kader”

4.   Uraikan secara singkat apa yang dimaksud dengan “Partai Kiri dan Partai Kanan”

5.   Apa yang dimaksud dengan “Catch-all party”

6.   Jelaskan dengan singkat apa yang dimaksud dengan “Welfare State”

7.   Jelaskan apa yang dikemukakan Daniel Bell dan Francis Fukuyama.

8.   Setelah anda menjawab no 1 sampai 7, apa kesimpulan/pendapat saudara dalam hubungannya dengan kepartaian di Indonesia?

1 komentar:

  1. Mau nanya pak,apakah soal pertanya'an langsung di jawab yah pak?

    BalasHapus