BK 2, MK, MANAJEMEN KONFLIK
KULIAH II, JUMAT, 22 OKT 2021
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH : REINHARD HUTAPEA
======================================================
Pengantar
Pada kuliah kedua ini, anda akan masuk dalam dunia “teori”, dunia yang memerlukan keseriusan. Jika anda tidak terbiasa membaca dengan serius, akan membosankan, dan membuat dahi berkerut.
Namun apapun dalihnya, teori adalah keharusan, substansi atau hakiki yang harus dikuasai. Dengan teori anda akan memecahkan masalah keilmuan dengan logis dan sistimatis. Jadi meski memerlukan keseriusan yang extra, mulailah membaca dengan serius.
Karena bahan ini cukup panjang, tidak usah semua dibaca. Yang harus dibaca (dalam kuliah kedua ini) ialah halaman 2 dan 3, yakni pendahuluan, dan halaman 12 sampai halaman 20, yakni definisi konflik (yang lain dibaca dirumah).
Setelah anda baca, jawablah pertanyaan-pertanyaan ini:
- Pengertian konflik menurut Dean G Fruit dan Feffrey Z Rubin
- Pengertian konflik menurut Johnson dan Duinker.
- Pengertian konflik menurut Lewis Coser
- Pengertian konflik menurut Robbins
- Pengertian konflik menurut Fisher et al
Dikumpulkan di WA group. Jika ada yang tak dipahami/ pertanyaan, silakan diajukan…akan saya layani selama jam kuliah
Cat : Bahan untuk kuliah kedua ini diambil dari buku Manajemen Konflik yang ditulis Drs Edi Santosa dan Dr Lilin Budiati, SH, MM, dari Universitas Terbuka (UT)
Ruang Lingkup Manajemen Konflik
PENDAHULUAN
|
Modul ini akan membahas ruang lingkup manajemen konflik. Oleh karena itu, modul ini akan dibagi dalam tiga kegiatan belajar:
1. ruang lingkup manajemen konflik,
2. bentuk-bentuk konflik,
3. kaitan konsensus dan konflik.
Pada tujuan instruksional umum Mata kuliah ini diharapkan agar mahasiswa dapat menggunakan konsep dan teori manajemen konflik untuk menganalisis fenomena-fenomena konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk kemudian dapat mengelolanya dalam membangun suatu konsensus. Secara lebih spesifik, mahasiswa paham terhadap bentuk-bentuk konflik yang terjadi pada hubungan interpersonal, intrapersonal, serta interpersonal dalam organisasi sosial, politik, bisnis, dan organisasi pemerintah. Pada akhirnya, secara khusus, diharapkan mahasiswa mempunyai keterampilan dalam menerapkan konsep manajemen konflik, baik sebagai ilmu, proses, maupun seni. Pada tujuan instruksional khusus pembelajaran Manajemen Konflik modul 1, diharapkan agar mahasiswa memahami konsep teoretis manajemen konflik, bentuk-bentuk konflik, serta kaitan antara konsensus dan konflik.
Kegiatan Belajar 1
Ruang Lingkup Manajemen Konflik
|
kelembagaan.
Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat disarikan bahwa ilmu manajemen memberi kontribusi yang besar terhadap perkembangan ilmu ekonomi. Ilmu manajemen sebagai cabang ilmu ekonomi memberi andil besar terhadap induknya dan juga terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial lainnya. Hal ini membuktikan bahwa perkembangan ilmu manajemen amat pesat serta selaras dengan dinamika kemajuan zaman dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam konteks ini, peran dan fungsi manajemen konflik sangat diperlukan. Hal ini dibuktikan oleh begitu banyaknya konsentrasi studi manajemen yang dikemas dengan bidang lain yang lebih spesifik. Berbagai terminologi yang menggunakan label manajemen sangat banyak, antara lain manajemen organisasi, manajemen sumber daya manusia, manajemen industri, manajemen perusahaan, manajemen organisasi, manajemen tantangan, manajemen bencana, menajemen risiko, manajemen strategis, manajemen pemerintahan, dan manajemen konflik.
Terminologi manajemen konflik terdiri atas dua kata, yakni kata manajemen dan konflik. Secara substansial, tentu kedua kata tersebut memiliki makna konseptual dan fungsional. Oleh karena itu, perlu terlebih dahulu ditelaah makna masing-masing kata tersebut dan bagaimana relevansinya antara dua kata tersebut.
A. DEFINISI DAN FUNGSI MANAJEMEN
1. Definisi Manajemen
Kata manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno, ménagement yang berarti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Efektif berarti tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan. Sementara itu, efisien berarti tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisasi, dan sesuai dengan jadwal. Berdasarkan literatur-literatur yang ada, pengertian manajemen dapat dilihat dari lima pengertian, yakni: manajemen sebagai suatu proses, suatu kolektivitas manusia, ilmu (science), seni (art), dan keterampilan.
Manajemen sebagai suatu proses, yaitu bagaimana cara orang mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Dalam Encyclopedia of the Social Science, disebutkan bahwa manajemen adalah suatu proses yang tujuan tertentunya dilaksanakan dan diawasi. Menurut Haiman (1970), manajemen adalah fungsi untuk mencapai suatu tujuan melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha-usaha yang dilakukan individu untuk mencapai tujuan. Georgy R. Terry mengatakan bahwa cara pencapaian tujuan telah ditentukan terlebih dahulu melalui kegiatan orang lain. A. F. Stoner (1997: 121) mendefinisikan bahwa manajemen ialah suatu proses perencanaan, pengorganisasian kepemimpinan, dan pengendalian upaya dari anggota organisasi serta penggunaan semua sumber daya yang ada pada organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Sementara itu, menurut Ordway Tead yang disadur oleh Rosyidi dalam buku Organisasi dan Manajemen, manajemen adalah proses dan kegiatan pelaksanaan usaha memimpin dan menunjukkan arah penyelenggaraan tugas suatu organisasi dalam mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan.
Manajemen sebagai suatu kolektivitas, yaitu suatu kumpulan dari orang- orang yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama. Kolektivitas atau kumpulan orang ini disebut dengan manajemen. Sementara itu, orang
yang bertanggung jawab terhadap terlaksananya suatu tujuan atau berjalannya aktivitas manajemen disebut manajer.
Manajemen sebagai ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia berdasarkan method. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, sedangkan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri atas satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, baik tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek (karena itu disebut kebenaran objektif), bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian. Semua objek kajian dilakukan secara metodis, objektif, dan sistematis guna menjamin kebenaran secara universal. Berdasarkan konsep dan syarat-syarat tersebut, manajemen dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan ilmiah karena memiliki syarat pengetahuan ilmiah yang tersusun secara rasional, logis, objektif, dan dapat dipercaya kebenarannya.
Manajemen sebagai Seni
Dalam praktik manajemen, aspek seni senantiasa melekat, yakni seni dalam berkomunikasi dan seni dalam kepemimpinan. Intinya adalah ungkapan perasaan seseorang dalam praktik manajemen yang dituangkan dalam kreasi bentuk gerak, rupa, nada, atau syair yang mengandung unsur- unsur keindahan. Mary Parker Follet (1998: 12) mengatakan bahwa manajemen adalah suatu seni karena untuk melakukan suatu pekerjaan melalui orang lain, dibutuhkan keterampilan khusus.
Manajemen sebagai Keterampilan
S. P. Siagian dalam buku Filsafat Administrasi mendefinisikan manajemen sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui orang lain. Sebagai keterampilan, untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, diperlukan alat- alat sarana (tools). Dalam aktivitas manajemen, tools merupakan syarat suatu usaha untuk mencapai hasil yang ditetapkan. Tools tersebut dikenal dengan 6M, yaitu men, money, materials, machines, method, dan markets.
2. Fungsi Manajemen
Suatu fungsi manajemen memiliki sebuah pengorganisasian. Artinya, menciptakan bagian-bagian yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga hubungan dengan antarbagian dipengaruhi oleh hubungan dalam struktur tersebut. Sebuah pengorganisasian bertujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Selain itu, juga dapat mempermudah seorang manajer dalam melakukan sebuah pengawasan dan menentukan orang-orang yang akan dibutuhkan untuk melaksanakan tugas- tugas yang sudah ditetapkan. Fungsi manajemen juga dapat memberikan bimbingan, saran, dan perintah-perintah atau berbagai instruksi satu kepada lainnya yang saling membutuhkan. Sebuah rencana memang penting dilakukan untuk mengetahui adanya keterbatasan tentang perencanaan diri dari suatu hal yang sangat sederhana sampai dengan yang sangat rumit. Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat dalam proses manajemen yang akan menjadi acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Fungsi manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang industrialis Prancis yang bernama Henry Fayol pada awal abad ke-20. Ketika itu, Fayol menyebut ada lima fungsi manajemen, yaitu merancang, mengorganisasi, memerintah, mengoordinasi, dan mengendalikan. Namun, pada hakikatnya, kelima fungsi tersebut telah diringkas menjadi tiga seperti berikut ini.
a. Perencanaan (planning) adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan, kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen. Tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan.
b. Pengorganisasian (organizing) dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas yang telah dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa
yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada tingkatan mana keputusan harus diambil, dan sebagainya.
c. Pengarahan (directing) adalah suatu tindakan agar semua anggota kelompok mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha.
B. DEFINISI KONFLIK
1. Apakah Konflik Itu?
Berbagai referensi ilmu sosial, khususnya ilmu politik, antropologi, sosiologi, dan psikologi, banyak membahas aspek konflik sebagai materi kajian tentang konflik. Menurut Santosa (2001), jika ditelaah dari isi dan substansi berbagai definisi tentang konflik, ada dua yang harus dimengerti, yakni apa dan bagaimana pandangan tentang konflik dari para ahli teori. Berikut ini dijelaskan pengertian konflik dari empat sudut pandang para ahli teori politik, antropologi, manajemen, dan ekonomi politik serta berbagai definisi para ilmuwan sosial lainnya.
a. Konflik dari perspektif politik
Politik merupakan konflik dalam mencari atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Paul Conn dalam Conflict and Decision Making (1971) mengatakan bahwa kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum tiada lain sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan nilai- nilai. Dalam memperjuangkannya, sering kali terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan yang bersifat fisik di antara berbagai pihak yang berupaya mendapatkan nilai-nilai dan mereka yang berupaya mempertahankan apa yang selama ini telah didapatkan. Ilmuwan politik yang menelaah kekuasaan (powers) umumnya berpendapat bahwa politik merupakan upaya bagaimana memperoleh, merebut, dan mempertahankan kekuasaan dengan cara damai atau melalui konflik. Harold D. Laswell dan A. Kaplan misalnya, dalam Power and Society mengatakan bahwa ilmu politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan yang dilakukan dengan damai atau melalui konflik. Dalam ulasan tentang Konflik Antarelite Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Sifulah, 2004) mengatakan bahwa fakta paling mencolok dalam penyelenggaraan pilkada adalah pragmatisme partai politik (parpol) yang mengesampingkan ideologinya.
Parpol melakukan segala cara untuk merebut kemenangan. Parpol lebih tampak sebagai monster pemburu kekuasaan. Beragam konflik berujung pada anarkisme, kecurangan, penghalalan segala cara—mulai dari penggunaan ijazah palsu, politik uang, hingga intimidasi terhadap kandidat. Semua itu adalah bukti bahwa katalisator konsolidasi demokrasi (pilkada) berpotensi menghambat akselerasi demokrasi karena konflik di mana-mana. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang berwujud pada proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. William Robson dalam Political Science (1954) mendefinisikan bahwa ilmu politik sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Politik adalah seni dan ilmu meraih kekuasaan secara konstitusional ataupun nonkonstitusional.
b. Konflik dari perspektif antropologi
Dalam International Encyclopedia of The Social Sciences Vol. 3 (hlm. 236-241), diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi. Konflik timbul sebagai akibat dari persaingan antara dua pihak atau lebih. Tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu (Nader, t.t.). Dengan demikian, pihak-pihak yang dapat terlibat dalam konflik meliputi bermacam bentuk dan ukuran. Selain itu, dapat pula dipahami bahwa pengertian konflik secara antropologis tidak berdiri sendiri, melainkan secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-aspek lain turut ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial dalam kehidupan kolektif manusia (Chang, 2001).
c. Konflik dari perspektif manajemen
Menurut Webster (1966) dalam Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin, istilah conflict dalam bahasa aslinya berarti suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan, yaitu konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Arti kata itu kemudian berkembang menjadi ketidaksepakatan
yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan. Ilmuwan manajemen, Stoner dan Freeman (1989: 391), mendefinisikan konflik sebagai … disagreement between individuals or groups within the organization stemming from the need to share scarce resources or engage in interdependent work activities or from differences in status, goals, or cultures.
d. Konflik dari perspektif ekonomi politik
Ahli ekonomi politik seperti Kreitner dan Kinicki (1995: 283), mengatakan bahwa konflik tidak lebih sebagai all kinds of opposition or antagonistic interaction. It based on scarcity of power, resources or social position, and differing value systems. Demikian definisi dari para ilmuwan sosial yang memiliki latar belakang ilmu yang berbeda. Lebih lanjut, dikemukakan berbagai definisi konflik menurut para ahli teori.
Beberapa contoh di atas dapat dipahami bahwa definisi konflik dapat ditinjau dari berbagai konsentrasi keilmuan. Berikut ini dikemukakan berbagai definisi konflik untuk lebih memperkaya khazanah definisi konflik.
1. The condition of objective incompatibility between values or goals, as the bahavior of deliberately interfering with another’s goal achievement, and emotional in terms of hostility (Luthans, 1985: 386).
2. A process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or her interests (Robbins, 1996:428).
3. Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin memaknai konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Konflik dapat terjadi pada berbagai macam keadaan dan berbagai tingkat kompleksitas.
4. Konflik merupakan sebuah hal yang dinamis. Maksudnya, aktivitas individu, keluarga, pemerintahan, bisnis, dan proses industrialisasi senantiasa berinteraksi dalam proses kontak sosial sebagai satu kesatuan sistem. Konflik bisa diperluas jika dapat dipandang sebagai media dan energi potensial untuk proses aktualisasi agar terbentuk perilaku kooperatif (konsensus), baik dalam tingkat personal maupun institusional. Hal ini mengingat konflik dalam semua situasi selalu mengandung unsur positif dan negatif sebagaimana pendapat Lewis
Coser (1956: 23). Unsur negatif itu adalah konflik tidak dapat mencapai komitmen antar pihak untuk sebuah konsensus atau kesepakatan. Intinya, konflik hanya untuk konflik yang merupakan suatu hal kontraproduktif karena itu negatif. Sementara itu, sifat positif konflik adalah antarpihak terjadi komitmen atau kesepakatan untuk sebuah resolusi dan solusi yang bisa berwujud pernyataan bersama (declaration) dalam kesepahaman (understanding) tentang suatu hal yang menjadi sumber konflik.
5. Konflik adalah pertentangan antarbanyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah, serta bagian yang menyatu sejak kehidupan ada (Johnson dan Duinker, 1993: 17). Konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan dan dapat bersifat positif ataupun negatif. Aspek positif konflik muncul ketika konflik membantu mengidentifikasikan sebuah proses pengelolaan dan sumber daya yang tidak bekerja secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman.
6. Konflik juga akan bermanfaat pada saat mempertanyakan status quo sehingga sebuah pendekatan yang kreatif muncul. Sebaliknya, konflik dapat bersifat negatif jika diabaikan. Konflik yang tidak terselesaikan merupakan sumber kesalahpahaman, ketidakpercayaan, serta bias. Konflik menjadi buruk apabila menyebabkan semakin luasnya batas- batas untuk saling bekerja sama antarberbagai pihak (Johnson dan Duinker, 1993: 19).
7. Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak sehingga pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing. Subtantive conflicts merupakan perselisihan yang berkaitan dengan tujuan kelompok, pengalokasian sumber daya dalam suatu organisasi, distribusi kebijaksanaan dan prosedur, serta pembagian jabatan pekerjaan. Emotional conflicts terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak simpatik, takut dan penolakan, serta adanya pertentangan antarpribadi (personality clashes).
8. Konflik dapat didefinisikan sebagai an expressed struggle between at least two interdependent parties who perceive incompatible goals, scarce resources, and interference from others in achieving their goals (Wilmot & Hocker, 2001: 41).
9. Konflik adalah sebuah situasi terjadinya pertentangan antara kedua belah pihak yang memiliki kepentingan berbeda. Oleh karena itu, kedua belah pihak merasa saling dirugikan. Akibatnya, terjadi pertentangan antara kedua pihak tersebut.
10. Konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perseived of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan (Dean Pruitt, 1986). Kepentingan adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya diinginkannya. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat (intensi)-nya (Raven dan Rudi, 1983).
11. Robbins (2001) menyatakan bahwa konflik merupakan suatu hal yang dilakukan satu pihak serta menimbulkan ketidaksenangan pihak lain. Konflik merupakan ketidaksetujuan antara individu ataupun kelompok dalam organisasi karena kebutuhan dari sumber daya yang terbatas, perbedaan status, tujuan, kepentingan, atau budaya (Stoner, 1989).
12. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang dapat berlaku dalam berbagai keadaan akibat bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi, dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih secara berkelanjutan.
13. Fisher et al. (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan.
2. Timbulnya Konflik
Mengapa konflik bisa terjadi? Banyak referensi yang membahas timbulnya konflik. Beberapa pemikir memiliki konsep pemahaman yang berbeda walaupun sebenarnya secara substansial memiliki kesamaan. Pembahasan lebih jauh tentang mengapa timbul konflik akan dibahas pada Kegiatan Belajar 3, yakni ciri-ciri timbulnya konflik. Berikut ini dikemukakan pendapat tentang timbulnya konflik dari para ahli teori.
a. Asley M. dalam Peter du Toit (2000) menjelaskan bahwa konflik timbul saat beberapa pihak percaya aspirasi mereka tidak dapat diraih bersama- sama dan merasa adanya perbedaan dalam tata nilai, kebutuhan, atau kepentingan. Mereka dengan sengaja menggunakan kekuasaannya dalam usaha saling menyingkirkan, menetralkan, atau mengubahnya untuk
melindungi dan meningkatkan kepentingan mereka dalam interaksi ini. Peter du Toit (2000) mengatakan bahwa definisi tersebut dapat dipakai untuk memahami unsur yang berbeda dari konflik:
1) konflik hanya akan terjadi jika ada hubungan antar orang yang terlibat,
2) paling tidak ada dua pihak yang terlibat,
3) keyakinan dan persepsi tentang kebutuhan dan kepentingan dapat memicu konflik,
4) konflik yang melibatkan penggunaan kekuasaan dengan maksud tertentu dapat menggunakan tindakan mobilisasi sumber daya untuk memaksa pihak lain bertindak/tidak bertindak dengan cara tertentu,
5) keputusan untuk menggunakan kekuasaan dapat memiliki beberapa tujuan, dan
6) dua alasan penggunaan sumber daya, yaitu melindungi status quo dan mencegah terjadinya perubahan atau mencoba membawa perubahan yang akan membantu mereka memuaskan kebutuhan dan kepentingan mereka.
b. A. M. Ruslan (2001) mengatakan bahwa konflik dapat dipandang sebagai sesuatu yang bersifat negatif ataupun positif. Konflik dipandang sebagai sesuatu yang bersifat negatif bila diartikan percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Sementara itu, yang memandang konflik sebagai sesuatu yang bersifat positif menyatakan bahwa konflik adalah bagian dari pergerakan masyarakat dan konflik akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Pandangan positif ini berangkat dari keyakinan bahwa konflik berakar dalam watak manusia. Dalam masyarakat, telah terbentuk suatu struktur dominasi dan subordinasi sehingga ketidakadilan bisa berkembang dan meluas. Struktur ini pula yang tidak memungkinkan terjadinya distribusi sumber daya secara adil. Mitchell et al. (2003) juga mengatakan bahwa konflik merupakan sesuatu yang selalu ada atau inherent dalam setiap masyarakat.
c. Menurut Mitchell et al. (2003), akar konflik yang sering muncul meliputi empat aspek, yakni: perbedaan pengetahuan dan pemahaman, perbedaan nilai, perbedaan kepentingan, serta persoalan pribadi atau latar belakang sejarah.
d. Santosa (2004: 7) membagi timbulnya konflik dalam tiga tahap berikut.
1) Konflik tahap satu (peristiwa biasa)
Konflik tahap satu dapat timbul dalam interaksi sosial sehari- hari, baik dalam kepentingan bisnis, perkantoran, keluarga, maupun pertemanan yang masing-masing berbeda paham agama (interpersonal). Sifat konflik dicirikan oleh sikap emosi personal karena perbedaan pandangan ajaran/paham yang diperoleh dari pemimpinnya. Oleh karena itu, hal tersebut tidak begitu mengancam dan paling mudah dikelola untuk rujuk kembali. Biasanya dilakukan melalui dialog untuk mencari kesepahaman walau dalam perbedaan ajaran. Keuntungan yang dipetik adalah sebuah integrasi gagasan.
2) Konflik tahap dua (tantangan)
Konflik ini bisa terjadi karena eskalasi konflik tahap satu yang tak terselesaikan sehingga menjadi konflik intragrup, seperti umat agama yang sama. Konflik dipahami sebagai unsur kompetisi antarkelompok yang ditandai “sikap kalah-menang” dan yang dimotori oleh pemimpin kelompoknya. Kemenangan menjadi faktor penentu sikap pribadi pemimpin kelompok untuk membela dan mempertahankan diri. Tataran konflik tahap dua ini perlu dipahami sebagai jenis konflik realistis atau nonrealistis (isu-isu). Penyelesaian konflik melalui institusi dilakukan dengan pendekatan intervensi mediator (ada campur tangan). Perdamaian atau rekonsiliasi adalah hasil yang bisa dirasakan. Jika pihak yang berkonflik tidak berhasil mencapai kesepakatan damai, eskalasi konflik meningkat ke konflik tahap tiga.
3) Konflik tahap tiga (pertentangan)
Konflik tahap tiga bisa terjadi intragrup atau antargrup yang berbeda paham keagamaan dan kesukuan. Tujuan konflik adalah mengubah sikap keinginan kelompok untuk menang serta menjadi keinginan untuk mencederai dan merusak bahkan saling membunuh (seperti peristiwa Sambas dan Ambon). Motivasinya adalah menghilangkan kelompok lain. Sikap emosionalnya adalah konflik telah meningkat dan harus ada korban. Pengelolaan konflik tahap ini memerlukan energi dan media yang besar. Tidak satu pun orang yang mampu memberikan prognosis mujarab sehingga konsensus tidak dapat dicapai. Arbitrase (hukum positif) pun tidak dapat digunakan untuk upaya penyelesaian konflik jenis ini karena sentimen telah menjadi kedendaman.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa timbulnya konflik bersumber dari banyak faktor. Berdasarkan pengalaman penulis dalam melakukan mediasi konflik sumber daya alam, khususnya dampak pembangunan Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, sumber konflik, indikator, dan potensi konflik dapat dituangkan dalam tabel berikut.
Tabel 1.1
Sumber, Indikator, dan Potensi Konflik
SUMBER KONFLIK |
INDIKATOR PENYEBAB |
POTENSI KONFLIK |
1. Perbedaan pengetahuan dan pemahaman sesuatu hal (capacity) |
1. Intelektualitas 2. Pengalaman 3. Kesejahteraan |
1. Kebodohan 2. Ketidaktahuan 3. Keterbelakangan 4. Kemiskinan |
2. Perbedaan nilai dan kepentingan (value and interest) |
1. Keyakinan 2. Kepercayaan 3. Paham 4. Ideologi |
1. Provokasi 2. Dendam 3. Sentimen |
3. Perbedaan pembagian (alocation) |
1. Keadilan 2. Kekuasaan 3. Kewenangan |
1. Kecemburuan Sosial 2. Alienasi 3. Arogansi 4. Diskriminasi |
4. Latar belakang personal (history) |
1. Etnik 2. Budaya 3. Kepemimpinan |
1. Adaptasi 2. Akulturasi 3. Kepatuhan |
Sumber: Santosa (2004) dari berbagai sumber.
3. Pandangan terhadap Konflik
Defrimardinsyah (2008: 2) mengatakan, perbedaan di antara masing- masing individu dapat menyebabkan terjadinya konflik. Perbedaan pendidikan, pemikiran, persepsi, kepentingan, dan setiap detik dalam hidup kita dapat memunculkan banyak konflik. Pandangan orang terhadap konflik ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu menghindari konflik, menghadapi konflik, dan pembuat konflik.
Ada pertentangan pendapat mengenai perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam organisasi yang disebut oleh Robbin (1996: 431) sebagai the conflict paradoks, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi dua bagian berikut.
a) Pandangan tradisional (the traditional view)
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
b) Pandangan hubungan manusia (the human relation view)
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar dan terjadi dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antaranggota. Oleh karena itu, konflik harus menjadi suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus menjadi motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan dalam tubuh kelompok atau organisasi.
Robbins (2001) mengemukakan bahwa pandangan terhadap konflik mengalami perubahan sehingga terbagi dalam tiga pandangan.
1) Pandangan tradisional (traditional view)
Pandangan ini menganggap bahwa semua konflik adalah buruk, merugikan, dan harus dihindari. Oleh karena itu, untuk memperkuat konotasi negatif, konflik disinonimkan dengan kekerasan, destruktif, dan tidak masuk akal.
2) Pandangan hubungan manusia (human relations view)
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik merupakan suatu hal yang wajar dan alami dalam setiap organisasi. Konflik tidak dapat dihindari ataupun disingkirkan sehingga kelompok ini menerima keberadaan konflik sejauh konflik tersebut dapat membawa manfaat kerja.
3) Pandangan interaksionis (interactionist view)
Dalam pandangan ini, pimpinan justru mendorong terjadinya konflik karena adanya anggapan bahwa kelompok yang tampaknya kooperatif, tenang, dan damai cenderung memiliki sifat apatis, statis, dan minim daya tangkap.
Mangkuprawira (2007) menambahkan bahwa konflik diciptakan untuk memotivasi anggota agar berinovasi, inisiatif, dan kreatif. Oleh karena itu, pimpinan mempertahankan tingkat minimum konflik agar kelompok atau bawahan dapat bertahan hidup, swakritik, dan kreatif.
Stoner dan Freeman (1989: 392) membagi pandangan menjadi dua, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view) seperti berikut ini.
1. Pandangan tradisional
Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi, sehingga manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan modern
Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai- nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
Selain pendapat Robbin serta Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu tradisional dan kontemporer (Myers, 1993: 234).
1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan, sering kali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan, baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, hal itu pasti menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi sehingga akan muncul konflik yang lebih besar. Oleh karena itu menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2. Dalam pandangan kontemporer, konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan bukan bagaimana meredam konflik, tetapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi atau tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Berdasarkan penjabaran di atas, ada dua hal penting yang bisa dikaji mengenai konflik.
a. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tetapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, dalam proses itu pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal, tetapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka atau gerak badan yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993: 341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai „perang dingin‟ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata-kata yang mengandung amarah.
b. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tetapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993: 342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam me-manage suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik perseteruan pihak-pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu- waktu terjadi kembali.
Kelompok pertama adalah kelompok tradisional yang selalu berusaha untuk menghindari konflik yang ada. Jika ada konflik, kelompok ini cenderung menghidarkan diri dari konflik yang ada. Alasan untuk menghindari konflik tersebut bermacam-macam, di antaranya adalah merasa capek hati dan perasaan untuk terombang- ambing dalam gejolak perasaan. Anda mungkin termasuk dalam kelompok ini. Jangan kecewa. Walaupun kelompok ini merupakan kelompok yang selalu terbuang, kelompok ini merupakan kelompok yang jumlahnya cukup besar dibandingkan kelompok yang lain. Oleh karena itu, banyak kursus atau seminar motivasi dengan jumlah peminat yang banyak sebab bagi penghindar konflik, terjadinya konflik menyebabkan turunnya semangat dan motivasi diri.
Kedua adalah kelompok yang menghadapi konflik. Jika ada konflik yang terjadi, kelompok ini cenderung menghadapinya dan mengikuti irama konflik. Jadi jika terjadi konflik, kelompok ini menghadapinya dengan tenang, bahkan sekali-kali menikmati konflik yang terjadi. Jika Anda termasuk kelompok ini, bersyukurlah sebab bagi Anda konflik tidak mengganggu, bahkan kadang dapat menjadi motivasi diri.
Kelompok ketiga adalah pembuat konflik. Walaupun kelompok ini sering mendapat gelar yang tidak sedap, seperti “tukang kompor” (bukan bermaksud mendiskreditkan tukang jual kompor) atau provokator, sebenarnya menurut pendapat penulis, kelompok inilah yang akan menjadi pemimpin masa depan. Dengan keahliannya dalam membuat dan me-manage konflik yang terjadi, orang-orang yang memiliki kecenderungan ini bisa membuat berkembangnya organisasi, baik organisasi perusahaan maupun bentuk organisasi lainnya. Tentu saja dengan catatan bahwa sang pembuat konflik itu memiliki keinginan atau maksud untuk meningkatkan kemampuan diri dan organisasinya, bukan menghancurkannya.
4. Tingkat Konflik (Levels Of Conflict)
Konflik yang timbul dalam suatu lingkungan organisasi dapat dibagi menjadi empat tingkatan. Konflik dapat terjadi dalam diri semua individu. Konflik dalam diri seseorang dapat timbul jika terjadi kasus overload, misalnya seseorang dibebani dengan tanggung jawab pekerjaan yang terlalu banyak. Selain itu, dapat pula terjadi saat seseorang harus membuat
keputusan yang melibatkan pemilihan alternatif yang terbaik. Perspektif di bawah ini mengidentifikasikan empat episode konflik yang dikutip dari tulisan Thomas V. Banoma dan Gerald Zaltman dalam buku Psychology for Manajement.
a. Approach-approach conflict, yaitu situasi saat seseorang harus memilih salah satu di antara beberapa alternatif yang sama baiknya.
b. Avoidance-avoidance conflict, yaitu keadaan seseorang yang terpaksa memilih salah satu di antara beberapa alternatif tujuan yang sama buruknya.
c. Approach-avoidance conflict merupakan suatu situasi saat seseorang terdorong oleh keinginan yang kuat untuk mencapai satu tujuan. Di sisi lain, secara simultan, hal itu selalu terhalang karena aspek-aspek yang tidak menguntungkan dan tidak bisa lepas dari proses pencapaian tujuan tersebut.
d. Multiple aproach-avoidance conflict, yaitu situasi saat seseorang
terpaksa dihadapkan pada kasus kombinasi ganda dari approach- avoidance conflict.
C. DEFINISI MANAJEMEN KONFLIK
Melalui deskripsi tentang makna manajemen dan makna konflik di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen dan konflik dapat diibaratkan sebagai satu koin mata uang: masing-masing sisi berbeda rupa, tetapi memiliki fungsi dan peran yang sama pentingnya. Manajemen sebagai alat, sedangkan konflik sebagai objek. Konsep manajemen sumber daya manusia menurut pendekatan strategis menitikberatkan pada kinerja team work dalam jaringan kerja (network) organisasi yang saling bersinergi. Oleh karena itu, organisasi akan mampu membentuk, mendukung, dan mengarahkan aktivitas anggotanya menuju aktivitas yang strategis.
Organisasi itu perlu berkembang dan bertahan hidup dalam abad informasi yang sangat dinamis dengan berbagai kemungkinan munculnya konflik yang diakibatkan oleh diversity dalam organisasi serta organisasi yang mulai bersifat tanpa batas. Diperlukan penanganan atas munculnya konflik potensial ataupun konflik terbuka yang ada di antara anggota. Maka itu, konflik tidak bersifat disfungsional, tetapi justru menguntungkan (sebagai sumber inovasi atau kreativitas) organisasi dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Mengingat semua orang dan organisasi tidaklah mungkin hidup tanpa menghadapi masalah konflik, yang terpenting adalah
bagaimana pemahaman konsep tentang definisi atau batasan manajemen konflik. Berikut ini dijelaskan berbagai definisi manajemen konflik dari berbagai ahli.
1. Secara konseptual, pengertian manajemen konflik (conflict management) dapat didefinisikan sebagai proses, seni, ilmu, dan segala sumber daya yang tersedia dalam individu, kelompok, ataupun organisasi untuk mencapai tujuan mengelola konflik (Santosa, 2000: 6). Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku ataupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku ataupun pihak luar dan bagaimana mereka memengaruhi kepentingan (interests) serta interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
2. Menurut Ross (1993), manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam mengarahkan perselisihan pada hasil tertentu yang dapat berupa penyelesaian konflik dan menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerja sama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga), atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku serta bagaimana mereka memengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
3. Wirawan (2010: 23) mendefinisikan manajemen konflik sebagai proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga yang menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku ataupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku ataupun pihak luar dan bagaimana mereka memengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi
konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
4. Menurut Lynne Irvine (1988), the strategy which organizations and individual employ to identify and manage differences, thereby reducing the human and financial costs of unmanaged conflict, while harnessing conflict as a source of innovation and improvement. Menurut wikimedia, conflict manajement refers to the long-term manajement of intractable conflicts. It is the variety of ways by which people handle grievances- standing up for what they consider to be right and against what they consider being wrong. Those ways include such diverse phenomenon as gossip, ridicule, lynching, terrorism, warfare, feuding, genocide, law, mediation, and avoidance.
6. Criblin (1982: 219) mengemukakan, manajemen konflik merupakan teknik yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur konflik. Hal ini dilakukan dengan menentukan peraturan dasar dalam bersaing. Tosi et al. (1990) berpendapat bahwa conflict management mean that a manager takes an active role in addressing conflict situations and intervenes if needed. Manajemen konflik dalam organisasi menjadi tanggung jawab pimpinan (manajer), baik manajer tingkat lini (supervisor), manajer tingkat menengah (middle manager), maupun manajer tingkat atas (top manager). Oleh karena itu diperlukan peran aktif untuk mengarahkan situasi konflik agar tetap produktif. Manajemen konflik yang efektif dapat mencapai tingkat konflik yang optimal, yaitu menumbuhkan kreativitas anggota, menciptakan inovasi, mendorong perubahan, dan bersikap kritis terhadap perkembangan lingkungan.
7. Fisher dkk (2001: 7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan manajemen konflik yang mencakup empat aktivitas, yakni pencegahan konflik untuk mencegah timbulnya konflik yang keras, penyelesaian konflik untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai, pengelolaan konflik untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat, serta resolusi konflik untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
D. FUNGSI MANAJEMEN KONFLIK
Menurut W. Hendricks (2000) dalam manajemen konflik, diperlukan langkah diagnostis pendekatan konflik dengan menggunakan diagram lima gaya. Dalam diagram, kualitas perhatian terhadap diri sendiri dan aktor lainnya merupakan penentuan gaya konflik. Diagram tersebut digambarkan sebagai berikut.
PERHATIAN PADA DIRI SENDIRI
TINGGI RENDAH
|
RENDAH
Gambar 1.1
Diagram Lima Gaya Konflik (W. Hendricks, 2000: 47)
PERHATIAN PADA ORANG LAIN
Miall et al. (2002) membagi konflik menjadi dua, yakni konflik simetris (konflik kepentingan antara pihak yang relatif sama) dan konflik tidak simetris (konflik tidak seimbang: mayoritas dan minoritas atau majikan dan bawahan). Penyelesaian konflik tidak simetris adalah yang kuat akan selalu menang dan pihak yang lemah selalu kalah. Satu-satunya cara adalah mengubah strukturnya. Pihak ketiga harus menggabungkan kekuatan dengan pihak yang lemah untuk menghasilkan pemecahan. Jika perlu, berkonfrontasi dengan pihak yang kuat. Ini bermakna mentransformasi hubungan yang tidak seimbang dan tidak damai ke hubungan damai dan dinamis.
Konflik dalam tubuh organisasi tidak selamanya harus dimaknai permusuhan atau pertikaian. Dalam kajian sosiologis, konflik itu juga bisa bermakna kompetisi, tegangan (tension), atau sekadar ketidaksepahaman. Itu pula sebabnya kehadiran konflik tidak selamanya harus dimaknai sebagai kekuatan yang menghancurkan (a necessarily destructif force). Dalam
banyak hal, konflik itu juga bernilai positif, bahkan konstruktif. Karena itu,manajemen konflik memiliki fungsi positif bagi penciptaan harmonisasi. Tujuan manajemen konflik adalah mencapai kinerja yang optimal dengan memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan (R. E. Walton, 1987: 79). Kegagalan dalam mengelola konflik dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi. Maka itu, pemilihan terhadap teknik pengendalian konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi. Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dan subsistem lainnya, tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antarkelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain perbedaan sifat-sifat pribadi, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang mendukung satu sama lain menuju pencapaian tujuan
organisasi.
Gibson et al. (1997: 437) menyatakan bahwa fungsi manajemen konflik, selain dapat menciptakan kerja sama, dapat pula melahirkan inovasi dan kreasi. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan yang sama, tidak berjalan sendiri-sendiri, dan saling bekerja sama satu sama lain. Akan tetapi konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut apabila tidak ditempatkan sebagai fungsi manajemen. Konflik tersebut mungkin tidak membawa “kematian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan. Jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian, hal itu pertanda tidak berfungsinya manajemen organisasi.
Oleh karena itu, keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi. Pada konteks inilah, terlihat fungsi leadership dalam menjalankan manajemen organisasi. Tepatnya, konflik dinamika lahir maka konflik kreativitas muncul. Bahkan, menurut sosiolog asal Jerman, George Mills, konflik adalah penggerak sejarah sekaligus sumber perubahan. Oleh karena itu, konflik besar sumbangannya dalam mencegah kebekuan sosial. The changes caused by conflict prevent society from stagnating (Mills, 1956). Menurut Minnery (1980: 220),
manajemen konflik merupakan proses. Hal ini sama dengan kegiatan perencanaan sebagai suatu proses. Proses manajemen konflik merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif. Artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus-menerus mengalami penyempurnaan hingga mencapai model yang representatif dan ideal.
Manajemen konflik dalam organisasi meliputi beberapa fungsi berikut.
1. Fungsi akomodasi, yakni penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan).
2. Fungsi klarifikasi, yakni identifikasi dan diskursus karakteristik serta struktur konflik.
3. Fungsi evaluasi konflik, yakni manfaat atau outcome manajemen konflik (jika bermanfaat, dilanjutkan dengan proses berikutnya; jika tidak, hal itu tidak dilanjutkan).
4. Fungsi menentukan aksi tindakan, yakni tindakan apa yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik. Fungsi penentuan peran, yakni fungsi pengorganisasian manajemen konflik, bagaimana menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan fungsi-fungsi tersebut berlangsung dalam proses dan konteks pengelolaan konflik, baik bagi aktor, mediator, maupun antarpihak yang ikut andil mengelola konflik sebagai partisipan atau pihak ketiga.
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996: 430) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu konflik fungsional (functional conflict) dan konflik disfungsional (dysfunctional conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja kelompok. Sementara itu, konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok. Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional pada waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok walaupun kurang memuaskan, konflik tersebut dikatakan fungsional. Begitu juga sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuasakan individu, tetapi menurunkan kinerja kelompok, konflik tersebut disfungsional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar