Jumat, 22 Oktober 2021

MSE 2, SKP, SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

 


                        
 

MSE 1,  SKP,

 SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

K U L I A H  I

HARI: Sabtu 23 Oktober 2021

JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

==================================================================================

Pengantar

Pada kuliah perdana/pertama ini, saya tidak akan langsung menelaah teori-teori (teori kepartaian dan pemilu), melainkan langsung kepada” contoh, ilustrasi, atau empiriknya”. Dengan harapan (setelah membacanya) para mahasiswa akan paham garis besar atau arah perkuliahan selanjutnya. Contoh,ilustrasi, atau emprik ini adalah artikel-artikel saya di berbagai media.

Silahkan dibaca, jika ada hal yang ingin ditanyakan, didiskusikan, atau ditanggapi, tulis via WA group. Setelah selesai membacanya, jawablah pertanyaan-pertanyaan yang ada di bagian bawah/akhir. Jawaban semua di kirim ke WA group…..bukan ke WA saya.

KAPAN PARTAI MENJALANKAN FUNGSINYA ?

Oleh: Reinhard Hutapea

Direktur CEPP PPS UNITAS  Palembang. Staf ahli DPR RI 1999-2009.

Published, Sumsel Post,10 Februari 2016

Saat-saat ini kita sedang menikmati  pertikaian dua partai politik besar, yakni Golkar dan PPP. Dua-duanya sama-sama mengalami perpecahan dalam pimpinan puncaknya. Golkar antara kubu Aburizal Bakrie versus kubu Agung laksono. PPP antara kubu Djan Faridz versus kubu Romarhumuzzi.

Kedua kubu sama-sama mengklaim dirinya paling benar. Paling tepat menjadi pemimpin. Dengan logika yang sering tidak masuk akal , masing-masing pihak saling menyerang. Menyerang kesasaran yang tak jelas, sehingga kalangan diluarnyapun turut terimbas. Terimbas  pendapat yang juga tidak logis.

Sinyalemen demikian dapat kita lihat pada media cetak, audio visual khususnya media-media sosial. Masing-masing kalangan mengeluarkan unek-uneknya tanpa lebih dulu mendalami masalahnya dengan seksama. Yang penting tumpahkan seluruh unek-unek. Masalah itu logis atau sebaliknya, tidak usah dihiraukan.

Konsekwensinya mencuatlah kebebasan argumen yang muaranya hanya untuk kebebasan itu sendiri. Dari kebebasan ke kebebasan. Bukan  untuk mencari titik temu. Kebebasan yang seharusnya menuju konsensus berakhir pada anarkhisme. Masing-masing pihak menganggap argumennya paling benar.

 Tak terkecuali yang namanya ilmuwan sekalipun, turut larut dalam anarkhisme demikian. Dengan pengetahuan yang minim dalam ilmu politik,khususnya ilmu kepartaian, mereka menembakkan pelurunya dengan sasaran yang tak jelas. Peluru nyasar kemana-mana sehingga menambah kebingungan bagi yang mengikutinya

Konflik elit Golkar dan PPP

Supaya tulisan ini tidak terjebak anarkhisme demikian, pendekatan akan disesuaikan dengan persfektif yang lazim digunakan. Pendekatan yang meneropong dari eksistensi suatu partai politik secara teoritik maupun berdasarkan Undang-Undang Kepartaian. Akan kita pertanyakan apakah elit-elit yang bertikai itu ada hubungannya dengan substansi dan hakiki suatu partai politik atau hanya ingin jabatan saja. Untuk ini akan didekati dari tiga faktor penentu, yakni dari definisi, tujuan dan fungsi.

Menurut  UU Partai politik No 8 tahun 2012, partai diartikan sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia  secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.

Mari  sama-sama kita simak, benarkah Golkar maupun PPP dilahirkan oleh sekelompok warga negara indonesia yang punya kehendak yang sama?. Menurut historisnya Golkar ditampilkan sebagai antisipasi terhadap partai-partai politik yang saling sikut-sikutan pada waktu itu. Supaya tidak terus-terusan terjerat konflik, , pemerintahan Orde Lama/Bung Karno mengajak kalangan-kalangan profesional-kekaryaan membentuk Sekber-Golkar. Jadilah Golkar menjadi kekuatan politik.

Agak beda dengan Golkar namun substansi yang sama, PPP terbentuk adalah atas inisiatif pemerintahan Orde Baru/Soeharto menyederhanakan sistim kepartaian. Beberapa partai politik yang azasnya Islam di dorong bergabung (fusi) dalam satu partai baru. Fusi ini berlangsung pada tahun 1973 dengan nama “Partai Persatuan pembangunan, PPP”.

Mengapa pemerintahan saat itu melakukan kebijakan demikian jawabannya tak mungkin diulas dalam artikel singkat ini. Yang pasti kedua partai itu tidak dibentuk oleh sekelompok warga negara yang punya ideologi yang sama sebagaimana diamanatkan UU No 8 tahun 2012 tersebut. Mereka dibentuk segelintir elit pemerintah yang berkuasa waktu itu.

 Dengan kata lain dibentuk dari atas (top down) bukan dari bawah (bottom up). Oleh karena itu tak perlu heran apabila partai itu tidak mengakar di masyarakat. Bagaimana mengakar wong datangnya dari langit. Akar mereka (Kalaupun ada) hanyalah segelintir elit dalam pranata kekuasaan. Inilah yang dialami Golkar pasca Soeharto.

Soeharto lengser Golkar pun dihujat habis-habisan. Namun apakah untuk memepertahankan eksistensi, atau hanya mencari keuntungan sesaat, beberapa kalangan, terutama dari ex-ex alumni HMI Golkar kembali dibangun. Mereka tetap mempertahankan Golkar meski dihujat habis-habisan.

Akan tetapi sebagaimana kemudian dalam perjalanannya, tetap saja penuh dengan konflik elit. Masing-masing faksi yang ada dalam tubuhnya saling berebut pengaruh untuk berkuasa. Begitu pula PPP tidak terkecuali, tetap terjerat konflik elit. Seakan-akan hanya dari konflik ke konflik, bukan dari konflik ke konsensus (Duverger, M, 1980)

Konsekwensinya tampillah suasana yang tak diinginkan, namun harus diikuti. Dengan munafik kita mendendangkan idealisasi-idealisasi, namun yang dijalankan adalah pragmatisasi-pragmatisasi. Kepada akar rumput didengungkan nilai-nilai normatif, seperti partai adalah jembatan emas antara masyarakat dan negara, pada hal keduanya selalu terpisah. Hal ini dapat kita lihat dalam fungsi partai politik.

 Fungsi yang terabaikan

Dalam UU No 12 tahun 2012   fungsi partai politik adalah ; (1) melakukan pendidikan politik, (2) penciptaan iklim kondusif dan  program kerja kongkrit untuk kesejahteraan masyarakat, (3) penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat (4) instrument partisipasi masyarakat, dan (5) recrutmen jabatan-jabatan politik.

Mari kita simak secara seksama, kapan partai-partai politik melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Kapan mereka menyadarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dengan kasar-vulgar dapat kita sebut bahwa fungsi tersebut belum pernah dilakukan. Apalagi pendidikan politik secara secara terstruktur dan sistemik, sudah pasti semakin jauh.

Oleh karena itu kita tak  paham, apa sesungguhnya yang dikerjakan partai politik setiap hari. Mereka punya kantor,pengurus dan alat-alat perkantoran lain tapi tidak jelas apa out put maupun out comenya. Mereka sibuk hanya menjelang pemilu.

Tidak sebagaimana lazimnya suatu kantor yang dikelola secara  “biro dan teknokratis”. Yang dalam pekerjaannya ada hierarkhi, prosedur tertulis, spesialisasi hingga meritokrasi di atas  prinsip “legal-rasiona”l. Kalau melihat fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Kepartaian, faktor-faktor teknokratis itu seharusnya tersedia.

Analog dengan fungsi-fungsi yang lain, seperti, penciptaan stabilitas/program kerja, agregasi-segregasi-artikulasi politik dan instrumen demokrasi masyarakat tidak pernah dilakukan partai-partai politik. Kecuali fungsi terakhir/kelima, yakni penyedia jabatan-jabatan politik mereka unggul 100%.    

Oleh karena itu bila kita ukur secara  kwantitatif-matematik, artinya diberi angka penilaian (rentang 0 – 100) pada lima fungsi itu, maka akan terlihatlah; fungsi 1, 2, 3 dan 4 angkanya nol persen, sedangkan fungsi terakhir/kelima angkanya 20 persen.

Dengan pendekatan  kwantitatif matematik tersebut dapat dikatakan bahwa partai politik hanya menjalankan 20% dari fungsi semestinya. Angka yang moderat/baik idealnya adalah antara 80 sampai 100, angka sedang, antara 56 sampai 79. Angka 45 sampai 55 lampu merah. Angka atau nilai dibawahnya sudah pasti lonceng kematian, alias  partai sudah menjadi beban masyarakat.

 Telah Menjadi Konsensus

Kalau begitu konstatasinya kita tak perlu kaget kalau elit-elit partai-partai hanya sibuk mengejar jabatan politik. Dengan segala cara para elit-elit tersebut akan mengejar posisi itu sebagaimana yang terjadi pada Golkar dan PPP saat ini. Demikian pula partai-partai yang lain tidak tertutup kemungkinan akan mengalami hal yang sama.

Sejarah telah membuktikan siklus demikian. Lalu apa yang dapat kita perbuat? Apakah mengkaji ulang keberadaan bahkan menolaknya?. Salah satu kiat mungkin adalah mengajak mereka yang selama ini anti partai namun bermoral tinggi,  masuk ke dalam partai. Mereka, khususnya para cendekiawan jangan terus diluar, segera masuk kedalam, sebab negeri ini telah konsensus menjadikan partai sebagai instrumen demokrasi. Dengan demikian kedepan partai kita harapkan akan berfungsi maksimal sebagaimana eksistensinya.


 

PILKADA 2020; MELESATNYA ANOMALI DEMOKRASI

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

23 September 2020 , negeri ini kembali mementaskan pilkada serentak untuk ke empat kalinya (setelah 2015, 2017, dan 2018). Perhelatan yang diharapkan akan membuat kehidupan politik lokal semakin dinamis, dialektik, dan romantik, yakni untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik melalui pemilihan langsung.

Pemimpin yang diimpikan akan sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi masyarakatnya, sebagaimana tujuan negara ini didirikan, yakni pemimpin yang melindungi setiap warga negara, mewujudkan kesejahteraan, dan mencerdaskan kehidupannya bangsa (alinea ke empat pembukaan UUD 1945).

Para pemimpin lokal demikian dinanti akan mewujudkan tujuan tersebut dalam visi, misi, dan program, sebagai derivasi/penjabaran ideologisnya, melalui sistim pemilihan demokratis. Akankah semakin terealisir, atau justru sebaliknya semakin jauh?

Demokrasi Disfungsional

Sebagaimana setting socio-cultural atau fakta-empiriknya, demokrasi bukanlah konsep yang digali dari bumi nusantara, melainkan diadopsi dari luar, yakni dari Barat, dan atau khususnya dari Amerika Serikat (AS). Konsep yang ditempat asalnya sendiri pun sesungguhnya sudah lama diragukan, dipertanyakan, bahkan dihujat, karena tujuan yang diharapkan dari pola tersebut tak pernah mencuat. Kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan yang merupakan substansi atau tema sentral demokrasi nyaris belum/tak pernah tampil kepermukaan.

Yang melesat sebagaimana realitasnya hanyalah segelintir elit yang berkuasa bak raja-raja yang memonopoli kesejahteraan. Rakyat kebanyakan, sebagaimana era-era sebelumnya, yakni era dahulu kala, era primitif/pra negara, era patrimonial, era kolonial, permanen hanya jadi pelengkap penderita nan marjinal, atau penonton yang mulutnya mangap-mangap dan matanya berputar-putar karena tontonan yang menjenuhkan ( jenuh dengan janji demokrasi).

Tragedi yang sesungguhnya sudah lama berlangsung, yakni sejak konsep itu lahir/tampil melalui revolusi Perancis. Revolusi yang bersemboyan “kebebasan (liberte), kesetaraan (egalite), dan persaudaraan (fraternite), faktanya hanya dinikmati para borjuis (pemilik modal) dan kroni-kroninya. Rakyat kebanyakan tetap terbelenggu dengan fitrah alamiahnya, yakni berkubang dalam kemelaratan dan ketidak adilan.

Sinyalemen yang lebih dari cukup sudah banyak ditulis para ahli atau sejarawan politik. Artinya tidak ada yang istimewa dari narasi ini. Namun akan istimewa/menarik kalau adagium tersebut kembali ditulis oleh sosok-sosok yang berasal dari negara yang sangat memberhalakan atau sering disebut kampium demokrasi (AS), namun menghujat sistim demokrasi tersebut dengan telak.

Sosok ini antara lain adalah David Mathews (2018), mantan Presiden Alabama, University, yang melihat demokrasi dinegerinya sedang terkapar-mengglepar. Mengglepar karena system pemerintahan dan politik yang didasarkan kepada demokrasi itu sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman.

Menurut beliau (Mathews) ada tujuh problem sistemiknya, yakni; pertama; warga yang sangat kurang berpartisipasi dalam proses pemerintahan, kedua; politik yang mengemuka di masyarakat adalah politik pembelahan warga, ketiga;  keterlibatan masyarakat dalam politik cenderung negatif, keempat; tidak punya sumber daya yang dibutuhkan, kelima: aksi-aksi masyarakat yang tidak terfocus, keenam; pemerintah yang tidak merespons situasi yang berubah, dan terakhir/ke tujuh; melesatnya saling tidak percaya antara masyarakat dan pemerintah.

Pendapat yang dibenarkan oleh pakar lainnya, yakni Rasmussen (dalam Mathews). Rasmussen  yang melakukan survey pada tahun 2011 memperkuat pendapat Mathews demikian. Menurutnya, mayoritas (lebih dari separoh) pemilih Amerika merasakan bahwa era kejayaan/terbaik mereka sudah lewat pada waktu-waktu lalu (hanya 17 persen yang yakin bahwa negaranya masih jalan di arah yang tepat).

Masyarakat/orang-orang Amerika telah pesimis. Kepercayaan pada pemerintah mengalami fluktuatif/turun-naik yang hebat, dimana dalam 40 tahun terakhir kepercayaan itu sungguh sangat rendah. Tidak hanya kepada pemerintahnya publik kehilangan kepercayaan, namun juga ke lembaga-lembaga penting, seperti sekolah hingga media.

Masyarakat AS pada umumnya menuding bahwa lembaga-lembaga tersebut telah kehilangan martabat (legitimasi). Miris/kacau/kiamatnya lagi adalah bahwa pejabat-pejabat disana pun tidak yakin dengan rakyatnya. Kedua pihak terjerembab saling tidak percaya. Mereka saling curiga-mencurigai yang akhirnya bermuara kepada konflik antara pemerintah dan yang diperintah.

Distorsi yang terus meningkat significan dalam dasawarsa terakhir. Bank-bank mengalami kemerosotan ketidakpercayaan sebesar 24 persen antara tahun 2002 sampai 2011. Kepercayaan kepada lembaga kepresidenan merosot 23 persen. Tidak hanya disitu, kepercayaan kepada Mahkamah Agung pun jatuh sampai 13 persen.

Salah satu dalih mengapa kemerosotan itu terjadi (menurut laporan National Journal) adalah karena ketidakmampuan lembaga-lembaga itu merespons keprihatinan publik. Lembaga-lembaga tersebut selain terbelenggu korup dan rusak, namun yang juga sangat memprihatinkan adalah melesatnya euphemism, verbalism, hingga retorika yang doyan dilakukan para pejabat dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakatnya, yakni selalu menyederhanakan atau menggampangkan masalah. Singkatnya lembaga-lembaga yang dulu pernah menjadi kebanggan, tidak lagi memadai dalam abad ke 21 ini.

Dalam artian lain, lembaga-lembaga tersebut telah gagal merespons keterpurukan  warga akan perubahan-perubahan cepat yang terjadi dalam ekonomi, teknologi, dan demografi. Disisi lain warga pun berada dalam keadaan lemah sehingga tidak dapat mengawasi lembaga-lembaga yang afkir itu. Persis seperti yang diungkapkan Fareed Zakaria: …begitu memasuki abad ke-21, AS sama sekali bukan negara yang hanya fundamental ekonominya lemah, atau masyarakatnya dekaden. Melainkan (negeri ini ) sedang bergerak cepat ke arah sistem politik yang disfungsional.

Anomali Demokrasi

Tragis, namun itulah realitanya, yakni realita demokrasi yang sedang disfungsional dan sekarat, namun entah mengapa masih banyak penganut dan pengagumnya. Salah satunya adalah Indonesia. Dengan dalih mengenyahkan otoritarianisme Soeharto, era reformasi telah merombak sistim politik negeri ini super liberal.

Lebih liberal dari AS yang dikenal sebagai mascotnya demokrasi liberal. Betapa tidak? Di negeri paman sam yang tingkat kesejahteraan, sistim sosial, dan literasinya lebih maju dari negeri ini, pemilihan presidennya belum menerapkan sistim pemilihan langsung. melainkan via electorat vote. Sebaliknya Indonesia yang tingkat kesejahteraannya rendah, ketimpangan sosialnya tinggi, tingkat literasinya masih rendah, nekad-nekadnya menempuh pemilihan langsung.

Tidak hanya dalam pemilihan presiden. Dalam pemilihan kepala daerahnya pun, negeri ini telah menerapkan pemilihan langsung, yang di AS sekalipun masih melalui tiga tahap, yakni a, dipilih secara langsung (strong mayor), b, dipilih melalui dewan (strong council), dan c, ditunjuk/diangkat (city manager) (Djohermansyah Djohan, K,28 Jan 2020). Sungguh jumbo liberal.

Bagaimana bisa seliberal itu? Ulasannya cukup panjang, dan tak mungkin terurai dalam tulisan singkat ini. Yang pasti sistim itu sudah diterapkan sejak tahun 2005. Dan agar lebih efisien dan efektif (katanya), sejak tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020 pelaksanaannya dilakukan secara serentak.

Hasilnya pun sudah sama-sama kita ketahui, yakni jauh panggang dari api. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Substansi demokrasi yang diimpikan seperti kesejahteraan dan keadilan semakin lama, semakin serentak, semakin tak kelihatan. Malah sebaliknya yang tampil adalah paradok atau anomali, seperti maraknya dinasti politik, menguatnya oligarkhi partai, kentalnya politik SARA, dan meningkatnya politik transaksional, yang sungguh-sungguh bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi. Sungguh ironis. Masihkah terus dipertahankan?


 

POLITIK UANG IMPLIKASI SISTIM PEMILU

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan & Direktur CEPP MIP Unitas Palembang

Published, Waspada 1 Maret 2019

….rezim yang berkuasa bersemboyan melaksanakan Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 secara murni dan konsekwen…Pemilu yang didasarkan kepada UU Pemilu selera rezim

Pakar korupsi pemerintahan, Susan Rose-Ackerman dalam bukunya yang terkenal Corruption and Government;  Causes, Consequences, and Reform (2000) menawarkan dua jalan keluar (way out) radikal meretas dampak korupsi yang kronis. Yang pertama adalah melegalkan yang selama ini dianggap illegal. Sahkan saja, tapi catat dengan baik. Yang kedua menghilangkan sama sekali kebijakan/program/event yang menjadi sumber korupsi itu. Bubarkan begitu kongkritnya.

Bila dihubungkan dengan pemilu Indonesia yang marak dengan “suap, beli suara, atau politik uang”, jalan keluar yang ditawarkan Susan Rose-Ackerman demikian mungkin relevan dipertimbangkan. Daripada terus menerus meratapi, menghujat, atau membuat beban, tidakkah jalan keluar ekstrim itu pantas diterapkan?

Artinya politik uang yang terus merebak bak bunga bangkai, yang baunya sudah sampai ke langit ketujuh itu tidakkah sebaiknya disahkan saja? Biarkan saja berlangsung apa adanya. Biarkan masing-masing caleg/pihak berlomba-lomba menabur duit kepada konstituen. Kalau tidak mau seperti itu, yah bubarkan saja (perhelatan/pemilu itu). Cari rancang bangun/model baru yang lebih baik.

Rekayasa Sistim Pemilu

Toh dibeberapa negara yang tidak mempraktekkan pemilu demokratis dalam pemilihan dan penentuan pemimpinnya tiada masalah. Lancar-lancar/biasa-biasa saja. RRC, Brunei Darussalam, Myanmar etc adalah beberapa ilustrasi negara yang tidak melangsungkan pemilu demokratis dalam penentuan elit-elitnya. Nyatanya baik-baik saja. Bahkan dari segi kemajuan ekonomi, negara-negara ini cukup maju.

Secara general, masyarakatnya aman, sejahtera, dan cerdas.  Jarang, atau nyaris terdengar bahwa dinegara-negara itu terjadi kerusuhan, konflik, kesengsaraan, atau ketimpangan yang ekstrim, sebagaimana yang kerapkali terjadi dinegara-negara yang mempraktekkan demokrasi. Tidakkah tujuan, suasana atau iklim seperti ini sesungguhnya yang harus kita gapai, seperti yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945?

Dalam UUD 1945 asli (sebelum di amandemen) kata “demokrasi”, apalagi sistim pemilu demokratis tidak ditemukan (memang tidak dicantumkan), sebab dianggap tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, yakni kekeluargaan, dan atau khususnya gotong royong. Demokrasi yang berasal dari Barat, yang didasarkan kepada titahnya Rousseau itu tidak cocok karena berpaham perseorangan/individualistik.

Celakanya menolak demokrasi Barat, namun tidak menetapkan sistim yang sesuai dengan demokrasi Indonesia (Pancasila, dan khususnya pasal 1 ayat (2) UUD 1945, negara berdasarkan kedaulatan rakyat). Para perumus UUD 1945 hingga penetapannya pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak mencapai kesepakatan tentang “instrument (tool), metode atau konsep, yang sesuai untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana tertulis dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Dalam artian lain, the founding fathers itu dead lock, kalau bukan gagal, memutus atau menseleksi salah satu sistim pemilu yang sesungguhnya sangat banyak pilihannya. Apakah itu sistim pemilihan seperempat, separoh, atau full demokratis yang sudah lazim digunakan diberbagai negara dengan segala variannya, yang patrimonial/neo patrimonial/otoriter, yang juga banyak jenisnya, atau cara lain yang spesifik/khas Indonesia tidak tuntas hingga batas waktu yang ditetapkan (18 Agustus 1945).

Masing masing anggota BPUPKI, (yakni badan pembuat UUD), yang bersidang waktu itu, terjebak dalam perdebatan yang sukar, alot, dikhotomik dan kontradiktif. Perdebatan yang idealnya sudah selesai ketika konstitusi itu diundangkan sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Tidakkah konstitusi kata akhir legitimasi, justifikasi, atau khususnya sumber dari segala sumber hukum?

Pertanyaan tinggal pertanyaan, yang pasti itulah realitanya. Realita yang dalam perjalanannya kemudian mengalami bolong-bolong dan bopeng-bopeng yang cukup serius. Pemilu pertama yang dilaksanakan tahun 1955, tidak didasarkan kepada UUD 1945, melainkan UUD Sementara 1950 yang bersifat parlementaris.

Pemilu/pileg yang disebut-sebut paling demokratis, namun dalam perjalanan atau prosesnya tidak sesukses pemilunya. Out put atau hasilnya nol besar, sebab Konstituante yang menjadi lembaganya gagal menjalankan fungsinya. Antara anggota-anggotanya tidak ada kesepakatan, sehingga memaksa Presiden Soekarno membubarkannya dan kembali ke UUD 1945.

Meski telah kembali ke UUD 1945, dan rezim yang berkuasa bersemboyan melaksanakan Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 secara murni dan konsekwen, tidak ada garansi bahwa sistim pemilu yang kemudian akan diterapkan pada pemilu 1971, akan mengikuti imperatif UUD.

Pemilu 1971 sebagaimana sudah menjadi pengetahuan umum adalah pemilu yang penuh rekayasa. Pemilu lawak-lawakan/sandiwara/penuh intrik. Pemilu yang sudah diketahui hasil/ pemenangnya sebelum pemilunya dilangsungkan. Pemilu yang didasarkan kepada UU Pemilu selera rezim. UU dan sistem pemilihan yang kemudian diterapkan pada pemilu, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Pemilu selanjutnya yang seharusnya dilaksanakan 2002, namun sesuai Tap MPR No XIV Tahun 1998 sebagaimana tuntutan reformasi, dipercepat menjadi tahun 1999. Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya/Orde Baru, pemilu kali inipun tetap didasarkan kepada UU. Bedanya adalah bahwa dalam pemilu 1999 ini merebak euphoria kebebasan, khususnya kebebasan membentuk partai-partai politik, sebagai konsekwensi dari reformasi yang berhembus kencang

Hembusan kencang dan dinamika politik, yang akhirnya menelorkan 48 partai, yang sebelumnya hanya tiga dalam pemilu. Namun sebagaimana faktanya kemudian yang dapat kursi di DPR hanya 21 partai. Itupun kalau ditilik lebih seksama, masihlah partai-partai dan pemain-pemain lama yang berperan dalam Pemilu Orde Baru.

Era dan bungkusnya saja yang baru. Isi, substansi dan hakikinya masih tetap yang lama, yakni oligark-oligark yang menguasai panggung ekonomi-politik Orde Baru. Dengan mengikuti perkembangan yang sedang berlangsung (euphoria reformasi), kalangan elitis ini mengkonsolidasikan diri untuk tetap/kembali berkuasa.

Dalam terminologi/bahasa Olle Tornquist (2005), oligark-oligark itu telah sukses membajak demokrasi dan membelokkannya sesuai dengan kepentingannya, yakni otoritarianisme dengan busana kebebasan politik. Kebebasan politik (alias demokrasi) yang bertiup kencang, justru menjadi instrument terbaik mencapai kepentingan-kepentingan sempitnya (vested interest)

Implikasi Sistim Pemilu

Walaupun UUD 1945 kemudian diamandemen hingga empat kali, dan memasukkan “Pemilu dan partai politik” di dalamnya (agar kelihatan lebih demokratis), pada implementasinya tidak ada perubahan yang significan. Artinya tidak terjadi transformasi sosial, yakni kesetaraan dan keadilan, yang menjadi substansi demokrasi.

Malah sebaliknya yang melesat, yakni semakin didemokratiskan sistim pemilihan semakin tinggi biaya dan ekses sosialnya. Dengan diterapkannya sistim proporsional terbuka dengan prioritas daftar/nomor urut, yang bersaing kemudian tidak lagi partai lawan partai, melainkan orang lawan orang yang berimplikasi sangat luas.

Masalah-masalah yang sebelumnya tidak muncul kepermukaan ketika sistim proporsional dengan daftar tertutup, seperti issu primordialisme, jeruk makan jeruk, dan terutama biaya kampanye yang terus membengkak, melesat dalam sistim pemilihan proporsional terbuka dengan daftar/nomor urut ini.

Konon untuk menjadi anggota DPR RI minimal harus menyediakan Rp 5 M (Tajuk Kompas, 29 Januari 2019) dan itu bukan isapan jempol, kata pakar pemilu, Ramlan Surbakti (K, 5 Des 2018). Betapa tidak? Selain mempraksiskan kampanye yang diizinkan UU No 7 Tahun 2017, yang berbiaya sangat besar, terutama adalah terjadinya transaksi/beli suara, yang popular dengan sebutan politik uang.

 Politik keliru, tercela, dan bejat, namun karena sama-sama membutuhkan terjadilah perselingkuhan itu. Akan dilestarikan? Susan Rose-Ackerman sudah memberikan jalan keluar, legalkan atau ganti sistim pemilunya. Merdeka !

 


 

KONSISTENSI JERMAN PADA IDEOLOGI, KOALISI, DAN KOMPROMI

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan, Dekan Fisip Untag Jakarta 2008-2011

Ketika suatu partai tidak mencapai suara mayoritas dalam pemilu, yakni di atas 50 persen, maka untuk membentuk pemerintahan, ia harus berkoalisi dengan partai lainnya. Sebagaimana hakiki koalisi dalam sistim politik demokratis, maka yang pertama-tama dan utama dirundingkan adalah kebijakan masing-masing partai, yakni program kerja yang akan diimplementasikan dalam pemerintahan tersebut. Kedua sebagai konsekwensi atau lanjutan dari kebijakan tersebut adalah pembagian kekuasaan, yaitu jabatan-jabatan politik yang berhubungan dengan program yang dikompromikan.

Suatu kompromi yang tidak mudah tentunya, mengingat/sebab masing-masing partai telah mempunyai kebijakan sendiri-sendiri sebagai manifestasi dari ideologinya. Partai yang berdekatan ideologinya, lazimnya akan mudah berkompromi. Sebaliknya, yakni yang jarak ideologinya jauh, bahkan bertentangan akan sukar mencapai kesepakatan. Disisi lain, kompromi akan semakin sukar apabila jarak perolehan suaranya dalam pemilu sangat berdekatan. Inilah yang terjadi dalam kasus koalisi Angela Merkel dari partai CDU/CSU dengan mitranya SPD, yang dipimpin Martin Schultz.

Meski sama-sama dari ideologi yang berdekatan, yakni sama-sama sosialis dan sama-sama demokratis (sosdem), namun dalam kebijakan atau terobosan kerjanya (yang ditawarkan ke masyarakat) sangat berbeda. CDU-CSU, walaupun sesungguhnya sosialis-demokrat sebagaimana dikatakan sebelumnya, dalam sepak terjangnya agak condong ke liberalisme dan kapitalisme. Sebaliknya SPD yang puriten sosialis universal. Bagaimana perbedaan/diskrepansinya dapat dilihat dari misi atau program yang akan mereka kompromikan.

Jalan Terjal Koalisi-Kompromi

CDU/CSU dalam hal immigran yang sedang marak saat ini masuk ke Eropa, Jerman khususnya mengambil kebijakan pembatasan, yakni bahwa immigran yang masuk ke negeri ini harus dibatasi jumlahnya. Sebaliknya SPD, yakni tidak menyetujui pembatasan. Selama mereka (immigran tersebut) punya kapabilitas, kemampuan, dan professionalitas yang mumpuni tidak perlu dibatasi. Dalam hal buruh, yang merupakan jati diri, karakteristik atau benchmark SPD, partai ini konsisten akan terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kesehatannya. Sebaliknya, CDU/CSU menganggap kebijakan demikian memakan ongkos yang mahal.

Belum lagi sekian banyak/ratusan issu-issu krusial/mikro lain yang kental diskrepansi, kontroversi, dan perbedaannya, seperti masalah pertahanan/persenjataan, kebijakan luar negeri/Uni Eropa/Euro, pajak/perekonomian/energi, lingkungan dan sebagainya, yang  menyita waktu, kesabaran, dan pengorbanan.

 Meminjam litani Angela Merkel, kompromi yang menyakitkan, karena harus mengorbankan beberapa kebijakan yang sebelumnya belum pernah dikorbankan. Kebijakan-kebijakan luar negeri dan keuangan yang sebelumnya 100 persen kebijakan/milik CDU, kali ini harus diserahkan kepada SPD, agar pemerintahan dapat dijalankan. Begitu pula beberapa item yang lain.

Tidak cukup disitu, meski sudah tercapai kesepakatan antar elit CDU/CSU dengan SPD tidak berarti persoalan telah selesai. Ujian terberat masih menghadang di depan, yakni harus mendapat persetujuan anggota-anggota SPD yang berjumlah 465.000 orang. Dengan kata lain harus dilakukan referendum. Realitanya memang setelah diadakan referendum, 65 persen menyetujuinya.

Dengan persetujuan demikian, Angela Merkel kembali menjadi kanselir untuk ke empat kalinya. Persis seperti yang dilalui mentornya dari CDU/CSU, Helmut Kohl, yang empat kali juga menjabat kanselir (1982-1998). Sebelumnya pimpinan-pimpinan CDU/CSU juga, telah menjabat hal yang sama, seperti Konrad Adenaur, tiga kali, yakni dari tahun 1949 hingga 1963, Ludwig Erhard, yang mengenalkan pasar sosial (social market), satu kali, 1963-1966, dan Kurt Georg Kiesinger, satu kali, 1966-1969. Disela-selanya diisi oleh pimpinan SPD, seperti, Willy Brandt, tiga kali, 1969-1974, Helmut Schmidt, dua kali, 1974-1982, Gerhard Schroder, dua kali, 1998-2005.

Pencapaian yang spektakuler dan fantastik. Bagaimana berturut-turut sampai empat kali menjadi kanselir dinegara besar, apalagi seorang perempuan, bukanlah sembarang karir. Sudah pasti karena ia punya prestasi luar biasa. Prestasi kepemimpinan politik yang  sungguh-sungguh mewujudkan aspirasi rakyatnya, serta gemilang membawa Jerman menjadi negara makmur dan sejahtera yang disegani dikancah global.

Konsistensi Jerman

Sebagaimana fakta historisnya, pemerintahan Jerman  sejak perang dunia II hingga hari ini, adalah pemerintahan yang paling stabil di dunia. Pemerintahan yang sungguh-sungguh mempraksiskan sistim politik demokratis, good governance, birokrasi nan legal-rasional, dan lain-lain pola demokrasi substantif, namun juga kemajuan ekonomi. Kemajuan yang didasari ideologinya yang khas, yang mengambil jalan tengah, yakni “sosialis-demokratis” (sosdem)

Ideologi yang merupakan sublimasi/jalan tengah antara liberal-kapitalisme dengan sosialis-komunisme yang berseteru dan saling berebut pengaruh pasca perang dunia II. Meski Jerman satu orbit dengan Amerika Serikat (AS) yang menjadi kampium liberal-kapitalisme dalam perang dingin (cold war), dan mendapat bantuan ekonomi via Marshall Plan, negeri ini tidak tunduk pada ideologi atau dikte-diktenya.

Dengan tegas dan pasti Jerman jalan dengan ideologinya sendiri sebagaimana dikatakan Ludwig Erhard dari CDU/CSU yang menjadi kanselir tahun 1963-1966, yakni bahwa Jerman menganut pasar sosial. Bukan pasar bebas (free market) yang memberikan setiap individu bebas bersaing (competition), melainkan pasar yang dikendalikan negara dengan dasar keadilan sosial.

Ideologi, pola, atau model, yang mengingatkan kita kepada pemikiran Bung Karno pada tahun 1930-an, dan atau khususnya sewaktu merumuskan Pancasila, yakni socio-demokrasi alias demokrasi sosial. Demokrasi yang tidak hanya dalam bidang politik sebagaimana yang umum dikenal, namun juga dalam bidang ekonomi.

Ideologi tengah  yang dalam ilmu ekonomi modern/kontemporer dikenal dengan sebutan Keynesian, sesuai dengan nama konseptornya, John Maynard Keynes. Keynes sebagaimana sejarahnya menitahkan, jika terjadi distorsi dalam pasar, maka negara harus melakukan intervensi agar mekanisme pasar berjalan sempurna.

Adapun metode, strategi, atau kiatnya melakukan intervensi demikian disesuaikan dengan parasit yang terjadi di pasar. Jika penyakitnya sudah akkut/kronis, seperti malaise yang melanda AS tahun 1930-an, kiat yang ditempuh adalah menempuh pembelian besar-besaran (new deal) supaya ekonomi menggeliat. Ada juga kemungkinan melakukan subsidi, atau bantuan langsung, dan sebagainya.

 Namun di atas itu semua, yang terutama adalah menjaga agar aktor-aktor ekonomi yang berkompetisi di pasar harus sesuai dengan sistim ekonomi-politik yang tertulis dan tersirat dalam konstitusi. Tidak diizinkan/tidak boleh monopoli, oligopoli, kartel, mafia, dan lain-lain penyakit ekonomi. Harus menguntungkan secara sosial.

Sayang seribu sayang, Pancasila dan UUD 1945 yang lebih lengkap dari ideologi tengah/sosdem Jerman demikian, dan pernah ditawarkan Bung Karno sebagai alternatif ideologi dunia dalam sidang PBB 1963, nyaris tinggal sebatas kenangan, karena jauh dari harapan. Apakah dengan dibentuknya Unit Kerja Presiden tentang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) akan menuntaskan persoalan struktural demikian? Sejarahlah yang menjawab.


 

PILKADA 2018 DALAM JEBAKAN KARTEL POLITIK

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Published, Waspada, 17 Januari 2018

Sangkin asyiknya menentukan balon-balon kepala daerah/ maupun wakilnya, banyak yang amnesia atau lupa untuk apa sesungguhnya  pilkada dilangsungkan. Mereka sadar atau sebaliknya telah terjerembab dalam euforia, alfa akan substansi, dan seakan-akan tujuan utama perhelatan pilkada hanya memenangkan figur, sosok, atau aktor tertentu. Titik !

Sinyalemen demikian dapat dilihat dari perilaku partai-partai politik yang melakukan koalisi tanpa mengindahkan ideologi yang dianutnya. Partai-partai yang secara ideologis seharusnya tidak mungkin berkoalisi karena platform, visi, dan misi politiknya berbeda, atau bertolak belakang, secara permisif telah melakukan koalisi. Koalisi model apa itu? Tidakkah koalisi ditempuh atas persamaan visi dan platform?

Partai Kartel

Yang pasti koalisi seperti itu tidak lazim (uncommon) dalam sistim demokrasi, negara maupun teori-teori politik modern. Bagaimana partai yang beraliran kiri, nyaris tanpa syarat berkoalisi dengan partai kanan sungguh-sungguh tak masuk akal. Idem dengan, yang berlabel religius dengan sekuler, atau yang putih dengan hitam, kuning, hijau, biru dan sebagainya, berkoalisi tanpa mengindahkan jati dirinya.

 Ibarat air dan minyak, atau  kucing dengan tikus, tidak mungkin bersatu dalam satu wahana. Air dan minyak tidak akan larut, kucing akan menerkam tikus dan lain-lain perumpamaan yang mencerminkan betapa metode seperti itu tidak mungkin dipersatukan, alias tidak mungkin bekerjasama dalam satu koalisi.

Namun apapun dalihnya, mereka, yakni partai-partai itu telah berkoalisi mencalonkan Gubernur, Bupati, atau Walikota idolanya. Persetan dengan demokrasi, dengan teori, dengan fatsun politik, dan lain-lain bentuk legitimasi, yang penting jagoan menang, seakan-akan menjadi, atau itulah kredonya.

 Celakanya lagi koalisi demikian tidak berhenti hanya pada waktu kontestasi pemilu/pilkada berlangsung. Pasca pemilu/pilkada, koalisi nan munafik tersebut kembali dilanjutkan dalam bentuk baru yang lebih menyeleluruh, yakni koalisi antara partai-partai pemenang pemilu/pilkada dengan partai-partai yang kalah dalam pemilu/pilkada tersebut.

Fenomenanya dapat dilihat pada/sejak pilpres 1999 dimana beberapa partai melakukan koalisi untuk memenangkan presiden pilihannya. Namun setelah presiden terpilih, kembali lagi terjadi koalisi baru, yakni koalisi seluruh partai. Seluruh partai , termasuk partai-partai yang kalah mendapat jatah menteri di kabinet.

Bahasa politik, atau dengan kata lain tidak ada lagi partai opposisi, yakni partai diluar pemerintahan/kekuasaan yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, baik di eksekutif (Presiden/kabinet), legislatif (DPR, DPD, MPR), maupun judicatif (MK, MA).

Dan Slater (2006), seorang Indonesianist yang meneliti politik dan pemerintahan Indonesia sejak era reformasi menyebut gejala demikian sebagai “jebakan pertanggung jawaban” karena hilang atau gagalnya partai-partai politik melakukan pengawasan dan keseimbangan (cheks and balances) sebagaimana lazimnya dalam sistim politik demokratis.

 Begitu terus-menerus berlangsung, berkelindan, hingga terlembaga diseluruh level pemerintahan (pusat dan daerah), yakni tidak ada partai yang menjadi opposisi sebagaimana hakikatnya demokrasi. Kuskridho Ambardi (2008) yang menulis disertasi di Ohio University menyebut fenomena pemilu/demokrasi tanpa opposisi, tanpa ideologi sebagai basis koalisi, ini sebagai partai kartel.

Partai yang melakukan pengelompokan, baik sebelum maupun sesudah pemilu/pilkada untuk menghilangkan pengawasan dan persaingan, agar dapat mengeruk finansial/keuangan sebesar-besarnya untuk kepentingan partai, dan atau khususnya kekayaan para elit-elitnya (Katz & Mair, 1995)

Mereka berkoalisi untuk berkolusi, yaitu menggangsir uang negara/pemerintah/rakyat dengan model yang populer dengan sebutan rent seeking (perburuan rente) dan korupsi. Korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan, yang menjerumuskan Rohmin Dahuri, Bulog gate I dan II yang melibatkan Akbar Tanjung adalah beberapa contoh/bukti betapa masalah ini tidak dapat dibongkar tuntas karena partai-partai yang terlibat saling menutup dan melindungi (Ambardi, K, 2008)

Ekwivalen, analog, atau sama dengan kasus-kasus mega korupsi lain, seperti kasus BLBI, Century, khususnya kasus e-KTP yang sedang marak saat ini.  Meski pengadilan belum memutuskannya, khalayak (public opinion) sudah yakin bahwa kasus tersebut sukar dituntaskan,  karena partai-partai yang (ditengarai) terlibat di dalamnya (partai kartel) saling melindungi.  

Pilkada 2018 Permanen Kartel

Demikian pula yang terjadi di daerah. Pada waktu kontestasi pemilihan Gubernur, Bupati, atau Walikota, terbentuk koalisi antar beberapa partai. Akan tetapi setelah kontestasi selesai (telah terpilih kepala daerahnya), seluruh partai/termasuk yang kalah, kembali lagi berkoalisi.

Berkoalisi sebagaimana yang terjadi di pusat tidak didasarkan kepada visi, misi, paltform, dan program kerja, melainkan untuk mengeruk sebesar-besarnya keuangan daerah untuk kepentingan finansial partai, dan atau khususnya kekayaan elit-elitnya.

Adapun metode, cara, atau siasat yang digunakan sebagaimana sudah rahasia umum adalah cincay-cincay antara birokrasi/kepala daerah dengan DPRD dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

APBD direkayasa sedemikian rupa seakan-akan demi kepentingan masyarakat, pada hal motif utamanya adalah untuk kepentingan birokrasi dan legislatif itu sendiri. Sinyalemen ini dapat APAKAHdilihat ketika APBD yang disahkan ditelusuri item per item atau butir per butir. Disana banyak anggaran yang irrasional, yang tak jelas peruntukannya, yang jumlahnya telah di gelembungkan/mark up, yang tumpang tindih, dan lain-lain yang tak sejalan dengan kepentingan masyarakat.

Kasus APBD DKI Jaya yang Rp 12,1 T dicoret Ahok adalah kasus yang paling menarik betapa APBD sering dicincay-cincay, alias disalah gunakan antara birokrasi daerah dengan DPRD nya. Kalau di ibukota saja masih berlangsung seperti itu, bagaimana dengan daerah?

Mungkin sudah tak perlu di bahas lagi, sebab masyarakat sudah letih, jenuh, dan jijk melihatya. Kunjungan, atau tepatnya jalan-jalan DPRD ke daerah lain yang terus menerus, yang bisa lima kali dalam sebulan, dan atau semakin banyaknya kepala daerah yang ter OTT KPK, adalah realita bahwa pemerintahan daerah sudah terjebak kartel politik. Pilkada 2018, tak lebih tak kurang terjebak disitu. 

 

PERTANYAAN

1)     Apakah saudara/i, sudah pernah ikut pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD.

2)    Apakah saudara/i,sudah pernah ikut pemilihan kepala daerah?

3)    Apakah saudara anggota partai atau tidak?

4)   Idem no 3, mengapa anda memutuskan atau memilih seperti itu.

5)    Menurut saudara/i, partai manakah yang menjadi favorit/kesukaan anda, dan sebaliknya, partai manakah yang tidak anda sukai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar